Bagi kita taqlid dengan
imam mujtahid itu suatu keharusan yang tidak boleh tidak, karena
keterbatasan kita tentang ilmu ilmu al-Qur’an atau pun hadits Nabi
Muhammad dan akhir-akhir ini datang faham baru yang melarang taqlid,
mengharamkan mengikuti madzhab empat, dll.
Fenomena penolakan sebahagian kalangan pada
konsep taqlid untuk kaum awam memunculkan polemik bagi umat
Islam, terutama bagi orang seperti kita yang tiadak memiliki kemampuan untuk
mendalami agama langsung dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah
(Hadits).
Disamping itu, keengganan untuk bermadzhab
(baca: taqlid) telah serta merta membangkitkan semangat sebahagian
umat Islam untuk beristinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya, yakni
al-Qur’an dan as-Sunnah) tanpa disertai sarana yang memadai. Akibatnya
dapat kita rasakan, betapa spirit agama yang selayaknya adalah “Rahmatan
Lil ‘Alamiin” beralih jadi “fitnah perpecahan” diantara sesama umat
islam.
Adakah Kita Sudah Mendalami Bahasa Arab
Dengan Benar?
Syarat pertama, mendalami bahasa Arab dengan benar adalah sarana pertama yang harus kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam Islam ialah al-Qur’an dan as-Sunnah yang notabene menggunakan bahasa Arab dengan kualitas yang amat sangat tinggi. Ilmu yang harus kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab/Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufrodat, dst.
Syarat pertama, mendalami bahasa Arab dengan benar adalah sarana pertama yang harus kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam Islam ialah al-Qur’an dan as-Sunnah yang notabene menggunakan bahasa Arab dengan kualitas yang amat sangat tinggi. Ilmu yang harus kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab/Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufrodat, dst.
Hal ini penting guna meminimalisir
kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang dikehendaki syari’at dari sumbernya
secara harfiyah (tekstual), juga untuk mengidentifikasi
nash-nash yang bersifat ‘Am, Khosh, berlaku Hakiki, Majazi dst. Adalah hal
yang naif bila kita berani mengatakan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shohih-‘Alil”
cuma berdasar pemahaman dari terjemah al-Qur’an atau as-Sunnah.
Sebagai ilustrasi sederhan berikut kami kutipkan peran pemahaman bahasa
arab yang baik dan benar dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah:
Contoh Fungsi Gramatika Arab
Firman Allah yang menuturkan tata cara berwudhu:
Firman Allah yang menuturkan tata cara berwudhu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang yg beriman! Bila kalian
hendak melakukan sholat, maka basuhlah wajahmu & tanganmu hingga ke siku,
& usaplah kepalamu & kedua kakimu hinggakedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)
Coba anda perhatikan kalimat وَاَرْجُلَكُمْ (& kedua kaki kalian) dalam firman
Alloh di atas, di mana kata tsb dibaca Nashob (dibaca Fathah pada huruf lam)
padahal kata tersebut lebih dekat dgn kata بِرُءُوسِكُمْ (kepala kalian)yg dibaca Jar (dibaca
kasroh pada huruf Ro’) dengan konsekwensi makna sebagai berikut:
·
Seandainya kata وَاَرْجُلِكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yang mesti dilakukan untuk kaki disaat berwudhu adalah Mengusap bukan Membasuh, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dgn kata بِرُءُوسِكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) yakni وَامْسَحُوا (dan Usaplah)
Seandainya kata وَاَرْجُلِكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yang mesti dilakukan untuk kaki disaat berwudhu adalah Mengusap bukan Membasuh, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dgn kata بِرُءُوسِكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) yakni وَامْسَحُوا (dan Usaplah)
·
Apabila kata وَاَرْجُلَكُمْ
(dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yang mesti dilakukan untuk
kaki saat berwudhu adalah Membasuh bukan Mengusap, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلَكُمْ
disambung dengan kata وُجُوهَكُمْ yg berarti amil (kata kerjanya) adalah فَاغْسِلُوا (Basuhlah)
Coba anda perhatikan: betapa dengan sedikit perbedaan, berimplikasi makna
dan kewajiban yang tidak sama. Dimana dikala kata وَاَرْجُلَكُمْ dibaca
Fathah/Nashab maka kewajibannya adalah membasuh, sedang apabila kata وَاَرْجُلِكُمْ
dibaca Kasroh/Jarr, maka kewajibannya adalah mengusap. Adakah hal ini kita
dapati dari al-Qur’an terjemah?
Contoh Fungsi Balaghoh/Sastra Arab
Masih dalam tema ayat diatas, coba anda lihat kata إِذَا قُمْتُمْ dengan menggunakan Fiil Madhi (kata kerja masa lampau) yang jikalau dialih bahasakan dengan cara harfiyah memberimakna: “Apabila kalian sudah berdiri/menjalankan” sedang yang dimaksud adalah sebelum sholat. Inilah yang dalam pelajaran sastra Arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal”
Masih dalam tema ayat diatas, coba anda lihat kata إِذَا قُمْتُمْ dengan menggunakan Fiil Madhi (kata kerja masa lampau) yang jikalau dialih bahasakan dengan cara harfiyah memberimakna: “Apabila kalian sudah berdiri/menjalankan” sedang yang dimaksud adalah sebelum sholat. Inilah yang dalam pelajaran sastra Arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal”
Contoh Fungsi Manthiq
Diantara fungsi manthiq/logika bahasa dalam konteks ayat diatas ialah guna men-Tashowwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat diatas, misal yang dimaksud dengan “Yad” (tangan) adakah ia adalah “Tangan” dalam bahasa kita? “Wajah” seberapakah daerah yang masuk kategori “Wajah”? dan “Ru’us” (kepala), Membasuh, Mengusap, dst. Adakah semuanya dapat kita definisikan dengan kamus bahasa Indonesia? Sedang al-Qur’an memakai bahasa Arab dengan kualitas paling tinggi?
Diantara fungsi manthiq/logika bahasa dalam konteks ayat diatas ialah guna men-Tashowwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat diatas, misal yang dimaksud dengan “Yad” (tangan) adakah ia adalah “Tangan” dalam bahasa kita? “Wajah” seberapakah daerah yang masuk kategori “Wajah”? dan “Ru’us” (kepala), Membasuh, Mengusap, dst. Adakah semuanya dapat kita definisikan dengan kamus bahasa Indonesia? Sedang al-Qur’an memakai bahasa Arab dengan kualitas paling tinggi?
Sudahkah Anda Menghafal al-Qur’an
(Seluruhnya) dan Juga Sekurang-Kurangnya Seratus Ribu Hadits?
Syarat kedua ini benar-benar diperlukan karena dengan terpenuhunya syarat tersebut akan tergambar seluruh ayat dan hadits terkait kalau anda hendak memutuskan sebuah perkara, dengan begitu keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.
Syarat kedua ini benar-benar diperlukan karena dengan terpenuhunya syarat tersebut akan tergambar seluruh ayat dan hadits terkait kalau anda hendak memutuskan sebuah perkara, dengan begitu keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.
Sebagai ilusrtrasi sederhana kita pakai ayat-ayat di atas dengan terjemah
sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian hendak melaksanakan sholat,
maka basuhlah wajahmu dan tanganmu hingga ke siku, dan usaplah kepalamu
dan kedua kakimu hingga kedua mata kaki …” (QS. Al-Ma’idah :
6)
Seandainya kita mendalami cuma dari ayat tersebut, maka akan kita dapati
hukum wajibnya berwudhu adalah bagi setiap orang yang hendak melaksanakan
sholat, baik ia orang yang masih dalam kondisi suci atau pun berhadats.
Mengingat keumuman perintah pada ayat diatas yang ditujukan pada tiap-tiap
orang yang hendak melakukan sholat.
Syarat kedua tersebut, juga berguna untuk menghindarkan anda menempatkan
dalil bukan pada tempatnya, misal menempatkan ayat-ayat yang sejatinya untuk
orang-orang kafir tetapi anda hantamkan untuk orang-orang Islam. Bukankah
Abdulloh Ibn Umar –rodhiyallohu ‘anhu- pernah berkata, ketika beliau ditanya
tentang tanda-tanda kaum Khowarij?
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ
انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
“Dan adalah Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khowarij) sebagai
seburuk-buruk makhluk Allah dan ia berkata: ‘Mereka (Khowarij) berkata tentang
ayat-ayat yang (sejatinya) turun kepada orang-orang kafir, mereka timpahkan
ayat tersebut untuk orang-orang beriman’.” (HR. Al Bukhori, Bab Qotlil
Khowaarij)
Sudahkah Anda Menguasai Ilmu-ilmu Pendukung yang Lain Guna Mendalami
al-Qur’an dan as-Sunnah?
Syarat ketiga adalah perangkat lain yang harus anda kuasai dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang memang luas dan dalamnya melebihi luas dan dalamnya samudera, diantaranya yaitu;
Syarat ketiga adalah perangkat lain yang harus anda kuasai dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang memang luas dan dalamnya melebihi luas dan dalamnya samudera, diantaranya yaitu;
·
Anda mesti mengetahui
“Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap
hadits, hal ini mutlak supaya anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai
porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (pengganti/penyalin)
dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)
·
Anda juga mesti
menguasai sekurang-kurangnya “Qiro’ah Sab’ah” dalam ilmu qur’an, mengingat akan
naif rasanya seseorang “Calon Mujtahid” melafadzkan al-Qur’an tanpa pengucapan
yang fashih.
Disamping itu, anda juga mesti menguasai ilmu-ilmu pendukung guna mendalami
as-Sunnah, seperti Mushtholah Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dst. Hal ini
penting setidaknya biar anda tak berhukum dengan hadits yang lemah dengan
menabrak hadits yang shohih.
Sudahkah Anda Menguasai Kaidah ber-Istinbath Dari Para Imam Mujtahid?
Syarat keempat ini juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) bila terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).
Syarat keempat ini juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) bila terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).
Juga sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan firman Allah berikut:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi dan orang-orang
Shobiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir
dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa
takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqoroh : 62)
Sepintas ayat diatas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi dan orang-orang Shobiin, untuk
mendapat pahala disisi Allah atas kebajikan yang mereka perbuat. Maka seakan
ayat tersebut menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi
dan orang-orang Shobiin, bisa masuk surga.
Adakah kenyataannya memang demikian? sedang dalam ayat lain Allah
berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ
فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tak akan diterima, dan di
akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Alu Imron : 85)
Perhatikan dua ayat diatas, adakah pengetahuan yang memadahi pada diri anda
untuk men-Jami’-kan dua nash yang dzahirnya Mukholafah (tak searah)
tersebu? Sungguh apa yang kami sampaikan diatas hanyalah sebahagian kecil
perangkat yang harus anda kuasai untuk ber-Istinbath (menggali hukum langsung
dari sumbernya, yaitu al-Qur’an dan hadits Nabi).
Saudaraku, kami sampaikan hal-hal diatas bukan dalam rangka mematahkan
semangat menuntut ilmu anda, akan tetapi ketika anda mencoba menggali hukum
dari sumbernya langsung tidak dengan perangkat yang memadai, maka yakinlah
kelancangan anda cuma akan berakibat pada perpecahan umat Islam.
LIKULLI SYAIIN AHLUN, IDZA WUSIDAL AMRU LIGHOIRI AHLIHI.. FANTADZHIRIS
SAA’AH (setiap segala sesuatu ada ahlinya, kalau suatu perkara diembankan
(diserahkan) kepada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya).
Sebagaimana fenomena yang terjadi sekarang ini banyak kehancuran, musibah,
dan saling menjatuhkan pendapat di dunia maya (media sosial) dikarenakan banyak
orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali
hukum dari al-Qur’an dan hadits tanpa melalui prosedur ijtihad dan tanpa
mempelajari kitab Kuning.
Oleh: Wiliando
Farsyad Syarif
Sumber: rumah-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar