Oktober 4, 2008 oleh Wira Mandiri Bachrun
Penulis: Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts wal Ifta’
Dalil-dalil
tentang Puasa Syawal
Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
Hukum
Puasa Syawal
Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang
menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad
dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits
ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan
puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari
Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia
tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini
adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang
shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak
mengetahui.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]
Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391]
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]
Bagaimanapun
juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul
aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS
Thoha: 84]
2. Tidak
boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
“Jika
seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih
dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia
tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia
telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”
[Fataawa
Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/392]
Tanya :
Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya
qadla(mengganti) Ramadhan ?
Jawab :
Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana
mengerjakan puasa satu tahun.”
Jika
seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya
kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah
mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
Hukum
mengqadha enam hari puasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?
Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]
Hadits
ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan
ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan
tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku
bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha :
84]
Juga
berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan
bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk
melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih
utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya)
: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan
walaupun sedikit”
Tidak
disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena
puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa
udzur.
Mengqadha
enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal
enam hari
Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?
Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : “Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan”
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : “Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan”
Yang
berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits
ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit,
atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia
menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa
sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah
menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa
enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud.
Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa
sunnat Syawal.
Apakah
suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?
Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.
Hukum
puasa sunnah bagi wanita bersuami
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?
Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali puasa Ramadhan”
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari ‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali puasa Ramadhan”
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari ‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.
(Al-Fatawa
Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita
Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)
Sumber
artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=383
SHAHIH DAN DHAIF HADITS
PUASA ENAM HARI BULAN SYAWWAL
Pembaca,
Berikut kami sampaikan beberapa hadits yang shahih maupun dhaif, berkaitan dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal. Hadits-hadits ini kami ambil dari pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani sebagaimana tersebut dalam kitab yang membahasnya. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
Berikut kami sampaikan beberapa hadits yang shahih maupun dhaif, berkaitan dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal. Hadits-hadits ini kami ambil dari pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani sebagaimana tersebut dalam kitab yang membahasnya. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
HADITS SHAHIH BERKAITAN
PUASA SYAWAL
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ رواه مسلم وأبو داود
والترمذي والنسائي وابن ماجه
Dari Abu Ayyub al
Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari
pada bulan Syawwal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun”. [Diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasaa-i dan Ibnu Majah].
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ
سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ
بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا رواه ابن ماجه والنسائي ولفظه :
Dari Tsauban maula
(pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
yang melakukan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri, maka, itu
menjadi penyempurna puasa satu tahun. [Barangsiapa membawa amal yang baik, maka
baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya – QS al An’am/6 ayat 160-]”.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan Imam Nasaa-i dengan lafazh :
جَعَلَ اللهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ
وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةَ
“Allah menjadikan
(ganjaran) kebaikan itu sepuluh kali lipat, satu bulan sama dengan sepuluh
bulan; dan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri merupakan penyempurna
satu tahun”.
Diriwayatkan pula oleh
Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dengan lafazh :
صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ
بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ
“Puasa bulan Ramadhan,
(ganjarannya) sepuluh bulan dan puasa enam hari (sama dengan) dua bulan. Itulah
puasa satu tahun”.
Diriwayatkan pula oleh
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan lafazh :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَسِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَقَدْ صَامَ السَّنَةَ
“Barangsiapa yang
berpuasa pada bulan Ramadhan dan enam hari pada bulan Syawwal, berarti sudah
melaksanakan puasa satu tahun”.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَه بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ
فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ رواه البزار وأحد طرقه عنده صحيح
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan
mengiringinya dengan enam hari dari bulan Syawwal, maka seakan dia sudah
berpuasa satu tahun”. [Diriwayatkan oleh al Bazzar, dan salah satu jalur beliau
adalah shahih].
Semua hadits di atas
dinyatakan shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, sebagaimana
terdapat pada kitab Shahihut Targhibi wat Tarhib, no. 1006, 1007 dan 1008.
HADITS DHA’IF
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَشَوَّالاً وَالأَرْبِعَاءَ وَالْخَمِيْسَ
وَالْجُمْعَةَ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang
berpuasa pada bulan Ramadhan, Syawwal, hari Rabu, Kamis dan Jum’at, maka dia
akan masuk surga”.
Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, 3/416, dari Hilal bin Khabbab dari Ikrimah bin Khalid, dia mengatakan :
Aku diberitahu oleh salah satu dari orang pandai Quraisy, aku diberitahu oleh
bapakku bahwasanya dia mendengar dari belahan bibir Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam … lalu dia membawakan hadits di atas.
Syaikh al Albani mengatakan :
Ini merupakan sanad yang lemah, karena orang pandai dari kalangan Quraisy ini tidak diketahui jati dirinya. Dan Hilal, orangnya shaduq (jujur dan terpercaya), tetapi dia berubah pada masa tuanya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab at Taqriib.
Ini merupakan sanad yang lemah, karena orang pandai dari kalangan Quraisy ini tidak diketahui jati dirinya. Dan Hilal, orangnya shaduq (jujur dan terpercaya), tetapi dia berubah pada masa tuanya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab at Taqriib.
Dan hadits ini diriwayatkan
oleh al Haitsami dalam al Majma’, 3/190 tanpa ada kalimat “wal Jum’ah,” lalu
beliau rahimahullah mengatakan : Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan di dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak disebutkan, sementara para perawi lainnya
adalah tsiqah (bisa dipercaya, Red).
Begitu juga dibawakan
oleh Imam as Suyuthi dalam al Jami’, dari riwayat Imam Ahmad dari seseorang,
akan tetapi dengan menggunakan lafazh : سِتًّا مِنْ
شَوَّالٍ sebagai ganti dari
kalimat Syawwal.
Syaikh Al Albani mengatakan :
Aku tidak tahu, apakah perbedaan ini karena perbedaan naskah kitab Musnad atau karena kekeliruan si penukil. [Lihat Silsilah adh Dha’ifah, no. 4612, 10/124-125].
Aku tidak tahu, apakah perbedaan ini karena perbedaan naskah kitab Musnad atau karena kekeliruan si penukil. [Lihat Silsilah adh Dha’ifah, no. 4612, 10/124-125].
HADITS MAUDHU’ (PALSU)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ خَرَجَ مِنْ
ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berpuasa
Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka dia
keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dilahirkan dari perut ibunya”.
Syaikh al Albani mengatakan :
Maudhu’ (palsu). Diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani dalam kitab al Ausath melalui jalur Imran bin Harun, kami diberitahu oleh Maslamah bin Ali, kami diberitahu oleh Abu Abdillah al Hamsh dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar secara marfu’, dan beliau rahimahullah (Ath Thabrani) mengatakan : Hadits ini tidak diriwayatkan, kecuali oleh Abu Abdillah, dan Maslamah menyendiri dalam membawakan riwayat ini.
Maudhu’ (palsu). Diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani dalam kitab al Ausath melalui jalur Imran bin Harun, kami diberitahu oleh Maslamah bin Ali, kami diberitahu oleh Abu Abdillah al Hamsh dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar secara marfu’, dan beliau rahimahullah (Ath Thabrani) mengatakan : Hadits ini tidak diriwayatkan, kecuali oleh Abu Abdillah, dan Maslamah menyendiri dalam membawakan riwayat ini.
Syaikh al Albani mengatakan :
Orang ini (yakni Maslamah, Red) muttaham (tertuduh), ada beberapa riwayat maudhu’nya sudah dibawakan di depan, yaitu hadits no. 141, 145 dan 151.
Orang ini (yakni Maslamah, Red) muttaham (tertuduh), ada beberapa riwayat maudhu’nya sudah dibawakan di depan, yaitu hadits no. 141, 145 dan 151.
Sedangkan Abu Abdillah
al Hamsh, saya cenderung memandang bahwa orang ini adalah Muhammad bin Sa’id al
Asdiy al Mashlub al Kadzdzab (banyak berdusta) al waddha’ (sering memalsukan
hadits). Mereka merubah nama orang ini menjadi sekitar seratus nama, untuk
menutupi jati dirinya. Ada yang memberinya kunyah Abu Abdirrahman, Abu
Abdillah, Abu Qais. Tentang nisbahnya, ada yang mengatakan, dia itu Dimasqiy
(orang Damaskus), al Urduni (orang Urdun). Dan ada yang mengatakan ath
Thabariy.
Maka saya (Syaikh al
Albani, Red) tidak menganggap mustahil, jika kemudian orang yang tertuduh,
yaitu Maslamah mengatakan tentang orang ini : Abu Abdillah al Hamshy.
Tidak menutup
kemungkinan bahwa Abu Abdillah al Hamshy ini adalah orang yang dinamakan
Marzuq. Ad Daulabiy membawakannya dalam kitab al Kuna seperti ini. Orang ini
termasuk perawi Imam Tirmidzi, akan tetapi, mereka tidak pernah menyebutkan
bahwa orang ini memiliki riwayat dari Nafi’. Berbeda dengan al Mashlub. Wallahu
a’lam.
Hadits ini diberi
isyarat dhaif oleh al Mundziri, 2/75. Al Haitsami menyatakan illat hadits ini
ialah Maslamah al Khasyani. [Lihat Silsilah adh Dha’ifah, no. 5190, 11/309]
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 07/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-7574821]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar