Pada
prakemerdekaan pendidikan bukan untuk mencerdaskan kaum pribumi, melainkan
lebih pada kepentingan kolonial penjajah. Pada bagian ini, semangat
menggeloraan ke-Indonesia-an begitu kental sebagai bagian dari membangun
identitas diri sebagai bangsa merdeka. Karena itu tidaklah berlebihan jika
instruksi menteri saat itu pun berkait dengan upaya memompa semangat perjuangan
dengan mewajibkan bagi sekolah untuk mengibarkan sang merah putih setiap hari
di halaman sekolah, menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga menghapuskan
nyanyian Jepang Kimigayo.[2]
Organisasi
kementerian yang saat itu masih bernama Kementerian Pengajaran pun masih sangat
sederhana. Tapi kesadaran untuk menyiapkan kurikulum sudah dilakukan. Menteri
Pengajaran yang pertama dalam sejarah Republik Indonesia adalah Ki Hadjar
Dewantara. Pada Kabinet Syahrir I, Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr.
Mulia. Mr. Mulia melakukan berbagai langkah seperti meneruskan kebijakan
menteri sebelumnya di bidang kurikulum berwawasan kebangsaan, memperbaiki
sarana dan prasarana pendidikan, serta menambah jumlah pengajar.[2]
Pada Kabinet
Syahrir II, Menteri Pengajaran dijabat Muhammad Sjafei sampai tanggal 2 Oktober
1946. Selanjutnya Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Soewandi hingga 27
Juni 1947. Pada era kepemimpinan Mr. Soewandi ini terbentuk Panitia Penyelidik
Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai Ki Hadjar Dewantara. Panitia ini
bertujuan meletakkan dasar-dasar dan susunan pengajaran baru.[2]
Era Demokrasi Liberal (1951-1959)
Dapat
dikatakan pada masa ini stabilitas politik menjadi sesuatu yang langka,
demikian halnya dengan program yang bisa dijadikan tonggak, tidak bisa
dideskripsikan dengan baik. Selama masa demokrasi liberal, sekitar sembilan
tahun, telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet. Kabinet Natsir yang
terbentuk tanggal 6 September 1950, menunjuk Dr. Bahder Johan sebagai Menteri
Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K). Mulai bulan April 1951 Kabinet
Natsir digantikan Kabinet Sukiman yang menunjuk Mr. Wongsonegoro sebagai
Menteri PP dan K. Selanjutnya Dr. Bahder Johan menjabat Menteri PP dan K sekali
lagi, kemudian digantikan Mr. Mohammad Yamin, RM. Soewandi, Ki Sarino
Mangunpranoto, dan Prof. Dr. Prijono.[2]
Pada periode
ini, kebijakan pendidikan merupakan kelanjutan kebijakan menteri periode
sebelumnya. Yang menonjol pada era ini adalah lahirnya payung hukum legal
formal di bidang pendidikan yaitu UU Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950.[2]
Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dekret
Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri era demokrasi parlementer, digantikan era
demokrasi terpimpin. Di era demokrasi terpimpin banyak ujian yang menimpa
bangsa Indonesia. Konfrontasi dengan Belanda dalam masalah Irian Barat, sampai
peristiwa G30S/PKI menjadi ujian berat bagi bangsa Indonesia.[2]
Dalam
Kabinet Kerja I, 10 Juli 1959 – 18 Februari 1960, status kementerian diubah menjadi
menteri muda. Kementerian yang mengurusi pendidikan dibagi menjadi tiga menteri
muda. Menteri Muda Bidang Sosial Kulturil dipegang Dr. Prijono, Menteri Muda PP
dan K dipegang Sudibjo, dan Menteri Muda Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat
dipegang Sujono.[2]
Era Orde Baru (1966-1998)
Setelah
Pemberontakan G30S/PKI berhasil dipadamkan, terjadilah peralihan dari demokrasi
terpimpin ke demokrasi Pancasila. Era tersebut dikenal dengan nama Orde Baru
yang dipimpin Presiden Soeharto. Kebijakan di bidang pendidikan di era Orde
Baru cukup banyak dan beragam mengingat orde ini memegang kekuasaan cukup lama
yaitu 32 tahun. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kewajiban penataran P4
bagi peserta didik, normalisasi kehidupan kampus, bina siswa melalui OSIS,
ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan atau EYD, kuliah kerja nyata (KKN)
bagi mahasiswa, merintis sekolah pembangunan, dan lain-lain. Pada era ini
tepatnya tahun 1978 tahun ajaran baru digeser ke bulan Juni. Pembangunan
infrastruktur pendidikan juga berkembang pesat pada era Orde Baru tersebut.[2]
Menteri
pendidikan dan kebudayaan di era Orde Baru antara lain Dr. Daud Joesoef, Prof.
Dr. Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr. Ing. Wardiman
Djojonegoro, dan Prof. Dr. Wiranto Aris Munandar.[2]
Era Reformasi (1998-sekarang)
Masa Awal Reformasi
Setelah
berjaya memenangkan enam kali Pemilu, Orde Baru pada akhirnya sampai pada akhir
perjalanannya. Pada tahun 1998 Indonesia diterpa krisis politik dan ekonomi.
Demonstrasi besar-besaran di tahun tersebut berhasil memaksa Presiden Soeharto meletakkan
jabatannya. Kabinet pertama di era reformasi adalah kabinet hasil Pemilu 1999
yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid. Pada masa ini Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional dengan menunjuk
Dr. Yahya Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Pada tahun 2001 MPR
menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam sidang istimewa MPR dan mengangkat
Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Di era pemerintahan Presiden Megawati,
Mendiknas dijabat Prof. Drs. A. Malik Fadjar, M.Sc.[2]
Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada pemilihan Umum 2004 dan 2009,
rakyat Indonesia memilih presiden secara langsung. Pada dua
pemilu tersebut, Susilo Bambang
Yudhoyono berhasil terpilih menjadi presiden. Selama
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, jabatan Mendiknas secara berturut-turut dijabat
oleh Prof. Dr. Bambang
Sudibyo, MBA. dan Prof. Dr. Ir. Mohamad Nuh. Pada tahun 2011
istilah departemen diganti menjadi kementerian dan pada tahun 2012 bidang
pendidikan dan kebudayaan disatukan kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.[2] Kebijakan pendidikan di era
reformasi antara lain perubahan IKIP menjadi universitas, reformasi
undang-undang pendidikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
Ujian Nasional (UN), sertifikasi guru dan dosen, Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), pendidikan karakter, dan lain-lain.[2]
Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo
Pada periode
kabinet pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Kabinet Kerja) kementerian ini dirombak
dengan memisahkan, dan memasukkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi yang
berubah namanya menjadi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi,
dan Direktorat Jenderal lainnya (Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal,
dan Informal, Dirjen Pendidikan Dasar, Dirjen Pendidikan Menengah, dan Dirjen
Kebudayaan) tetap pada struktur, dan nomenklatur Kementerian Pendidikan, dan
Kebudayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar