Jumat, 18 November 2016

Artikel
Hakikat  & Martabat Pendidik
       Sering kali kita dengar, Berbagai macam kasus penganiayaan guru terhadap peserta didik, dan begitu pula sebaliknya, seorang murid yang berani melawan guru merupakan peristiwa yang sangat pedih dirasa. apabila hal ini kita cermati, dekadensi moral yang merajalela, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi insan pendidik yang peduli terhadap nurani jiwa kependidikannya.
       Guru sebagai salah satu ujung tombak pendidikan, tidak boleh lepas tangan begitu saja, serentetan gaji dan tunjangan-tunjangan yang diterimakan, tidak boleh dimaknai dengan istilah penopang kesejahteraan hidup saja, namun perlu pula di jadikan sebagai motivasi yang harus dipakai untuk lebih giat dalam mengajar, mendidik , pendamping, serta sebagai fasilitator terhadap anak didik.
       Bukankah Tuhan memposisikan guru didalam derajat yang sangat mulia, namun tidak banyak orang yang tahu akan hal tersebut, mereka tidak tahu bahwa dengan dijadikan dia sebagai profesi pendidik, berarti diberi kedudukan/derajat yang tiada bandingnya. Seperti hadist nabi Muhammad saw yang artinya : “Keutamaan seorang yang berilmu dibandingkan dengan seorang yang ahli ibadah seperti keutamaanku dibandingkan dengan orang yang paling rendah di antara kamu, Sesungguhnya Allah, Malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi hingga semut yang berada di lubangnya, dan ikan-ikan selalu mendoakan seorang guru yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”.
            Benar kiranya apa yang ditulis oleh saudara Herry Santoso, S.Pd dalam artikel “Menghadirkan Kebermaknaan Hidup dalam Proses Pembelajaran” yang dimuat dalam majalah Cerdas edisi 03, bahwa bilangan berapapun apabila dibagi nol, pasti hasilnya tak terhingga. angka nol diartikan dengan sikap ihlas, karena ikhlas merupakan bahasa hati, apabila hati berbicara, maka akan diterima oleh hati pula, namun kalau hanya bibir yang berkata tanpa dibarengi dengan hati yang ikhlas, maka hanya akan didengar oleh telinga, dan akan dimakan oleh “Lupa’”, tak akan membekas didalam dada, apa yang kita perbuat pasti akan sia-sia.
            Hal inilah yang kiranya perlu kita terapkan sebagai insan pendidik, menjadi Guru yang selalu memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, guru mempunyai kedudukan tinggi dalam agama. Dalam ajaran Islam pendidik disamakan ulama yang sangatlah dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Firman Allah Swt:
Artinya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadalah 11)
                        Disamping itu, Pengertian guru menurut Ahmad Tafsir, bahwa pendidik yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik potensi kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik.
A.D. Marimba memberi pengertian guru atau pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik. Sedangkan Zakiah Daradjat, lebih memilih kata guru sebagai pendidik profesional, sebab secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab pendidikan yang terpikul dipundak para orang tua.
Menurut Hadari Nawawi bahwa guru adalah orang yang mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah (kelas). Secara lebih khusus lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Artinya, guru tidak hanya memberi materi di depan kelas, tetapi juga harus aktif dan berjiwa kreatif dalam mengarahkan perkembangan murid.
Guru menurut paradigma baru ini bukan hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar yaitu realisasi atau aktualisasi potensi-potensi manusia agar dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya. Sehingga hal ini berarti bahwa pekerjaan guru tidak dapat dikatakan sebagai suatu pekerjaan yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang yang benar-benar memiliki wewenang secara akademisi, kompeten secara operasional dan profesional.
Untuk menyandang predikat sebagai seorang guru tidaklah mudah, sebab predikat seorang guru hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar memiliki wewenang secara mutlak. Kemutlakan tersebut ditandai dengan keprofesionalan dengan ciri-ciri sebagaimana diatas, yang mana hal ini terdapat kesesuaian dengan hadits Nabi saw, bahwa setiap segala urusan yang diserahkan pada orang yang tidak mampu secara maksimal, diantaranya masalah pendidikan maka sudah secara otomatis tujuan pendidikan tidak akan dapat tercapai, karena guru sebagai pembawa arah pendidikan tidak mumpuni dalam mengantarkan murid menjadi insan berkualitas baik bagi lingkungan sesamanya maupun dihadapan sang khaliq.
Dengan mengetahui kedudukan yang teramat mulia ini, tentu sayang sekali apabila kesempatan sebagai pendidik kita sia-siakan begitu saja, jangan samakan dengan profesi yang lain, kita harus lebih giat dalam berusaha, berinovasi demi kemajuan pendidikan anak bangsa, karena ditangan merekalah nasib bangsa kita dimasa yang akan datang, apabila kita salah dalam mendidik, niscaya tunggulah masa kehancurannya.
Jadi, menurut istilah yang manapun, guru tetap memiliki kedudukan yang tinggi, yang harus dijaga nama baiknya, dilaksanakansebagaimana fungsinya, sehingga tetap berwibawa dan terhormat dimata ummat dan masyarakat, karena guru sebagai panutan, ujung tombak dalam menentukan perkembangan jaman.
Penyusun :
 
                       





Nur Amin, S.Pd.I
GPAI SDN Balesari 04, Ngajum.

Telp. 0341-8189829 / 081216000310

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Generasi Rawan Lupa, Servis dalam Rumah Tangga

10 Hal Romantis Rasulullah yang Ditinggalkan Generasi  Now Rumah tangga Rasulullah SAW luar biasa. Rasulullah SAW dan istri-istriny...