Pendidikan Anak Usia Dini
dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, segala
sesuatu yang dilaksanakan, tentulah memiliki dasar hukum baik itu yang berasal
dari dasar naqliyah maupun dasar aqliyah. Begitu juga
halnya dengan pelaksanakan pendidikan pada anak usia dini. Berkaitan dengan
pelaksanaan pendidikan anak usia dini, dapat dibaca firman Allah berikut ini:
Artinya: "Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur". (An Nahl: 78)
Berdasarkan ayat tersebut di
atas, dipahami bahwa anak lahir dalam keadaan lemah tak berdaya dan tidak
mengetahui (tidak memiliki pengetahuan) apapun. Akan tetapi Allah membekali
anak yang baru lahir tersebut dengan pendengaran, penglihatan dan hati
nurani (yakni akal yang menurut
pendapat yang sahih pusatnya
berada di hati). Menurut pendapat yang lain adalah otak. Dengan itu manusia
dapat membedakan di antara segala sesuatu, mana yang bermanfaat dan mana yang
berbahaya. Kemampuan dan indera ini diperoleh seseorang secara bertahap, yakni
sedikit demi sedikit. Semakin besar seseorang maka bertambah pula kemampuan
pendengaran, penglihatan, dan akalnya hingga sampailah ia pada usia matang dan
dewasanya.[1] Dengan bekal
pendengaran, penglihatan dan hati nurani (akal) itu, anak pada perkembangan
selanjutnya akan memperoleh pengaruh sekaligus berbagai didikan dari lingkungan
sekitarnya. Hal ini pula yang sejalan dengan sabda Rasul berikut ini:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ [2]
Artinya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”.(HR. Bukhari,
Abu Daud, Ahmad)
Meskipun anak lahir dalam
keadaan lemah tak berdaya serta tidak mengetahui apa-apa, tetapi ia lahir dalam
keadaan fitrah, yakni suci dan bersih dari segala macam keburukan. Karenanya
untuk memelihara sekaligus mengembangkan fitrah yang ada pada anak, orang tua
berkewajiban memberikan didikan positif kepada anak sejak usia dini atau bahkan
sejak lahir yang diawali dengan mengazankannya. Hal ini dikarenakan pada
prinsipnya fitrah manusia menuntut pembebasan dari kemusyrikan dan
akibat-akibatnya yang dapat menyeret manusia kepada penyimpangan watak dan penyelewengan
serta kesesatan di dalam berfikir, berencana dan beraktivitas. Bagi manusia
kepala merupakan pusat penyimpanan informasi alat indera yang mengatur semua
eksistensi dirinya, baik psikologis maupun biologis. Indera pendengaran,
penglihatan, penciuman dan indera perasaan diatur oleh kepala. Tatkala azan
berikut kalimah yang dikandungnya, yaitu kalimah Takbir dan kalimah Tauhid,
meyentuh pendengaran si bayi, maka kalimah azan tersebut ibarat tetesan air
jernih yang berkilauan ke dalam telinganya, sesuai dengan fitrah dirinya. Pada
waktu itu si bayi belum dapat merasakan apa-apa, hanya kesadarannya dapat
merekam nada-nada dan bunyi-bunyi kalimah azan yang diperdengarkan kepadanya.
Kalimah terebut dapat mencegah jiwanya dari kecenderungan kemusyrikan serta
dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan. Demikian pula kalimah azan
seolah-olah melatih pendengaran manusia (dalam hal ini anak bayi/usia dini)
agar terbiasa mendegarkan panggilan nama yang baik, sehingga hal ini menuntut
para orang tua untuk memberi (menamai) anaknya dengan nama yang baik serta
memiliki makna yang baik pula. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْوَرَّاقُ الْبَصْرِيُّ
حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ
الْمَكِّيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ “أَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ” قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ[3]
Artinya: “Nama yang
paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”.(HR. At-Tirmizi)
Nama yang indah sesungguhnya
tidak hanya sekedar nama atau panggilan, tetapi sesungguhnya merupakan cerminan
tentang adanya pujian atau do'a, harapan atau gambaran semangat dan dambaan
indah kepada anak-anaknya.
Dalam
mendukung perkembangan anak pada usia-usia selanjutnya, termasuk pada usia
dini, yang menjadi kewajiban orang tua adalah memberikan didikan positif
terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anaknya tersebut tidak menjadi/mengikut
ajaran Yahudi, Nasrani atau Majusi, melainkan menjadi muslim yang sejati. Mendidik anak
dalam pandangan Islam, merupakan pekerjaan mulia yang harus dilaksanakan oleh
setiap orang tua, hal ini sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَعْلَى عَنْ نَاصِحٍ عَنْ سِمَاكِ بْنِ
حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
يَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ [4]
"Seseorang yang mendidik
anaknya adalah lebih baik daripada ia bersedekah dengan satu sha'(R. Tirmidzi)
Dalam pandangan Islam anak
merupakan amanah di tangan kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih merupakan
permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam ukiran dan gambaran.
Ukiran berupa didikan yang baik akan tumbuh subur pada diri anak, sehingga ia
akan berkembang dengan baik dan sesuai ajaran Islam, dan pada akhirnya akan
meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jika anak sejak dini
dibisakan dan dididik dengan hal-hal yang baik dan diajarkan kebaikan
kepadanya, ia akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan akan memperoleh
kebahagiaan serta terhindar dari kesengaraan/siksa baik dalam hidupnya di dunia
maupun di akhirat kelak. Hal ini senada dengan firman Allah:
Artinya: "Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(At Tahrim: 6)
Terhadap
ayat ini Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa ayat ini menganjurkan
kepada setiap individu muslim bertakwa kepada Allah dan perintahkanlah kepada
keluargamu untuk bertakwa kepada Allah. Ibnu Kasir menjelaskan bahwa Qatada
mengatakan bahwa engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau
cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadapNya, dan hendaklah engkau tegakkan
terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya
serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya. Jika engkau melihat di kalangan
keluargamu suatu perbuatan maksiat kepada Allah, maka engkau harus cegah mereka
darinya dan engkau larang mereka melakukannya. Hal yang sama juga dikemukakan
Ad-Dahlak dan Muqatil, bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang
muslim mengajarkan kepada keluarganya, baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya,
hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang
dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.[5]
Berdasarkan ayat tersebut,
dipahami bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk memelihara diri dan keluarga
(anak-anaknya) dari siksaan api neraka. Cara yang dapat dilakukan oleh orang
tua ialah mendidiknya, membimbingnya dan mengajari akhlak-akhlak yang baik.
Kemudian orang tua harus menjaganya dari pergaulan yang buruk, dan jangan
membiasakannya berfoya-foya, jangan pula orang tua menanamkan rasa senang
bersolek dan hidup dengan sarana-sarana kemewahan pada diri anak, sebab kelak
anak akan menyia-nyiakan umurnya hanya untuk mencari kemewahan jika ia tumbuh
menjadi dewasa, sehingga ia akan binasa untuk selamanya. Akan tetapi seharusnya
orang tua sejak dini mulai mengawasi pertumbuhannya dengan cermat dan bijaksana
sesuai dengan tuntutan pendidikan Islam.[6]
Dari uraian di atas kiranya
dapat disebutkan bahwa tujuan pendidikan anak usia dini dalam pandangan Islam
adalah memelihara, membantu pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia yang
dimiliki anak, sehingga jiwa anak yang lahir dalam kondisi fitrah tidak
terkotori oleh kehidupan duniawi yang dapat menjadikan anak sebagai Yahudi,
Nasrani atau Majusi. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan anak usia
dini dalam pendidikan Islam bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai
keislaman kepada anak sejak dini, sehinga dalam perkembangan selanjutnya anak
menjadi manusia muslim yang kāffah, yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT. Hidupnya terhindar dari kemaksiatan, dan dihiasi
dengan ketaatan dan kepatuhan serta oleh amal soleh yang tiada hentinya.
Kondisi seperti inilah yang dikehendaki oleh pendidikan Islam, sehingga kelak
akan mengantarkan peserta didik pada kehidupan yang bahagia di dunia maupun di
akhirat.
B. Kurikulum dan Materi
Pendidikan Anak Usia Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam
Ada berbagai bentuk
kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli dalam pendidikan anak usia dini. Ada yang disebut
dengan Kurikulum terpisah-pisah, yakni kurikulum mempunyai
mata pelajaran yang tersendiri satu dengan lainnya tidak ada kaitannya, karena
masing-masing mata pelajaran mempunyai organisasi yang terintegrasikan. Ada pula Kurikulum saling
berkaitan, yakni antara
masing-masing mata pelajaran ada keterkaitan, antara dua mata pelajaran masih
ada kaitannya. Dengan demikian anak mendapat kesempatan untuk melihat
keterkaitan antara mata pelajaran, sehingga anak masih dapat belajar
mengintegrasikan walaupun hanya antara dua mata pelajaran. Kemudian ada pula
yang dinamai dengan Kurikuluim Terintegrasikan, dalam kurikulum ini anak
mendapat pengalaman luas, karena antara satu mata pelajaran dengan mata
pelajaran lain saling berkaitan. Dalam kaitannya dengan materi pendidikan untuk
anak usia dini, Ibnu Sina telah menyebutkan dalam bukunya yang
berjudul As-Siyasah, ide-ide yang cemerlang dalam mendidik anak. Dia menasihati
agar dalam mendidik anak dimulai dengan mengajarkannya al Qur’an al-Karim yang
merupakan persiapan fisik dan mental untuk belajar. Pada waktu itu juga
anak-anak belajar mengenal huruf-huruf hijaiyah, cara membaca, menulis dan
dasar-dasar agama. Setelah itu mereka belajar meriwayatkan sya’ir yang dimulai
dari rojaz kemudianqashidah karena
meriwayatkan dan menghafal rojaz lebih mudah sebab
bait-baitnya lebih pendek dan wajn (timbangan)nya
lebih ringan. Sebaiknya dalam hal ini, guru memilih sya’ir tentang adab-adab
yang terpuji, kemuliaan orang-orang yang berilmu dan hinanya orang-orang yang
bodoh, mendorong untuk berbakti kepada orang tua, anjuran melakukan amar ma’ruf
dan memuliakan tamu. Apabila anak-anak sudah bisa menghafal Al-Qur’an al-Karim
dan mengetahui qaidah-qaidah bahasa Arab dengan baik, maka untuk mengarahkan ke
jenjang berikutnya adalah dengan melihat kecenderungannya atau apa yang sesuai
dengan tabiat dan bakatnya. Di dalam nasihat terakhir tersebut Ibnu Sina
menyebutkan pengarahan guru yang disesuaikan dengan kecenderungan atau apa yang
sesuai dengan bakat anak, merupakan ruh (inti) pendidikan modern di jaman kita
ini. Para pakar pendidikan sekarang
mengajak untuk selalu memperhatikan kesiapan dan kecenderungan anak-anak didik
dalam belajar, mereka diarahkan ke dalam masalah teori maupun praktik yang
meliputi masalah adab, olah raga, agama, sosial dan kesenian sesuai dengan
kecenderungan mereka, agar mereka sukses dalam belajarnya.[7] Dengan demikian seluruh mata
pelajaran merupakan satu kesatuan yang utuh atau bulat. Adapun pokok-pokok
pendidikan yang harus diberikan kepada anak, adalah meliputi seluruh ajaran
Islam yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni, aqidah,
ibadah dan akhlak serta dilengkapi dengan pendidikan membaca Al Qur’an.
a. Pendidikan akidah, hal ini diberikan
karena Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling mendasar,
terlebih lagi bagi kehidupan anak, sehingga dasar-dasar akidah harus
terus-menerus ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan
pertumbuhannya senantiasa dilandasi oleh akidah yang benar.
b. Pendidikan ibadah,
hal ini juga penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.
Karenanya tata peribadatan menyeluruh sebagaimana termaktub dalamfiqih Islam hendaklah
diperkenalkan sedini mungkin dan dibiasakan dalam diri anak sejak usia dini.
Hal ini dilakukan agar kelak mereka tumbuh menjadi insan yang benar-benar
takwa, yakni insan yang taat melaksanakan segala perintah agama dan taat pula
dalam menjauhi segala larangannya.
c. Pendidikan akhlak,
dalam rangka mendidik akhlak kepada anak-anak, selain harus diberikan
keteladanan yang tepat, juga harus ditunjukkan tentang bagaimana menghormati
dan bertata krama dengan orang tua, guru, saudara (kakak dan adiknya) serta
bersopan santun dalam bergaul dengan sesama manusia. Alangkah bijaksananya jika
para orangtua atau orang dewasa lainnya telah memulai dan menanamkan pendidikan
akhlak kepada anak-anaknya sejak usia dini, apa lagi jika dilaksanakan secara
terprogram dan rutin.[8]
Dalam rangka mengoptimalkan
perkembangan anak dan memenuhi karakteristik anak yang merupakan individu unik,
yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang berbeda, maka perlu dilakukan
usaha yaitu dengan memberikan rangsangan-rangsangan, dorongan-dorongan, dan
dukungan kepada anak. Agar para pendidik dapat melakukan dengan optimal maka
perlu disiapkan suatu kurikulum yang sistematis. Selain pembentukan sikap dan
perilaku yang baik, anak juga memerlukan kemampuan intelektual agar anak siap
menghadapi tuntutan masa kini dan masa datang. Sehubungan dengan itu maka
program pendidikan dapat mencakup bidang pembentukan sikap dan pengembangan
kemampuan dasar yang keseluruhannya berguna untuk mewujudkan manusia sempurna
yang mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan mempunyai bekal untuk
memasuki pendidikan selanjutnya. Karenanya kurikulum untuk anak usia dini
sebaiknya memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, berpusat pada
anak, artinya anak merupakan sasaran dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan
oleh pendidik. Kedua, mendorong perkembangan fisik, daya pikir, daya
cipta, sosial emosional, bahasa dan komunikasi sebagai dasar pembentukan
pribadi manusia yangh utuh. Ketiga, memperhatikan
perbedaan anak, baik perbedaan keadaan jasmani, rohani, kecerdasan dan tingkat
perkembangannya. Pengembangan program harus memperhatikan kesesuaian dengan
tingkat perkembangan anak (Developmentally Appropriate Program).[9]
Acuan menu pembelajaran pada
Pendidikan Anak Usia Dini telah mengembangkan program kegiatan belajar anak
usia dini. Program tersebut dikelompokkan dalam enam kelompok usia, yaitu lahir
– 1 tahun, 1 – 2 tahun, 2 – 3 tahun, 3 – 4 tahun, 5 – 6 tahun dan 5 – 6 tahun.
Masing-masing kelompok usia dibagi dalam enam aspek perkembangan yaitu:
perkembangan moral dan nilai-nilai agama, perkembangan fisik, perkembangan
bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan sosial emosional, dan perkembangan
seni dan kreativitas.[10]
Masing-masing aspek
perkembangan tersebut dijabarkan dalam kompetensi dasar, hasil belajar dan
indikator. Indikator-indikator kemampuan yang diarahkan pada pencapaian hasil
belajar pada masing-masing aspek pengembangan, disusun berdasarkan sembilan
kemampuan belajar anak usia dini. Kecerdasan linguistic (linguistc
intelligence) yang dapat berkembang bila dirancang melalui berbicara,
mendengarkan, membaca, menulis, berdiskusi, dan bercerita. Kecerdasan
logika-matematika (logico-mathematical intelligence) yang dapat
dirangsang melalui kegiatan menghitung membedakan bentuk, menganalisis data,
dan bermain dengan benda-benda. Kecerdasan visual-spasial (visual-spatial
intelligence) yaitu kemampuan ruang yang dapat dirangsang melalui
kegiatan bermain balok-balok dan bentuk-bentuk geometri melengkapi puzzle, menggambar,
melukis, menonton film maupun bermain dengan daya khayal (imajinasi).
Kecerdasan musikal (musical intelligence) yang dapat dirangsang melalui
irama, nada, berbagai bunyi, dan tepuk tangan. Kecerdasan kinestik (kinesthetic
intelligence) yang dirangsang melalui kegiatan-kegiatan seperti melakukan
gerakan yang teratur, tarian, olahraga, dan terutama gerakan tubuh. Kecerdasan
naturalis (naturalist intelligence) yaitu mencintai keindahan dan alam.
Kecerdasan ini dapat dirangsang melalui pengamatan lingkungan, bercocok tanam,
memelihara binatang, termasuk mengamati fenomena alam seperti hujan, angin,
banjir, pelangi, siang malam, panas dingin, bulan dan matahari. Kecerdasan
antarpersonal (interpersonal intelligence) yaitu kemampuan untuk
melakukan hubungan antar manusia (berkawan) yang dapat dirangsang melalui
bermain bersama teman, bekerjasama, bermain peran, dan memecahkan masalah,
serta menyelesaikan konflik. Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan memahami
diri sendiri yang dapat dirangsang melalui pengembangan konsep diri, harga
diri, mengenal diri sendiri, percaya diri, termasuk kontrol diri dan disiplin.
Kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yakni kemampuan mengenal
dan mencintai ciptaan Tuhan. Kecerdasan ini dapat dirangsang melalui
kegiatan-kegiatan yang diarahkan pada penanaman nilai-nilai moral dan agama.
Kecerdasan-kecerdasan tersebut merupakan dasar bagi perumusan kompetensi, hasil
belajar dan kurikulum pembelajaran pada anak usia dini.[11]
Sesuai dengan dasar, tujuan
dan kompetensi pendidikan anak usia dini, maka ada beberapa materi pokok yang
harus diajarkan kepada anak-anak di usia dini. Dalam konsep Islam, secara umum
materi yang harus diajarkan kepada anak usia dini, sama dengan materi dasar
ajaran Islam yang terdiri dari bidang aqidah, ibadah, dan akhlak. Dalam
pembelajaran terhadap anak usia dini, tentu saja uraian materi yang diberikan
tidaklah sama dengan yang diberikan kepada orang dewasa, meskipun masih berada
dalam lingkup akidah, ibadah dan akhlak.
Pada
bidang aqidah,
meskipun anak usia dini belum layak untuk diajak berpikir tentang hakikat
Tuhan, malaikat, nabi (rasul), kitab suci, hari akhir, dan qadha dan qadar, tetapi anak usia dini sudah dapat diberi pendidikan
awal tentang aqidah (rukun Iman). Pendidikan
awal tentang aqidah,
bisa saja diberikan materi yang berupa mengenal nama-nama Allah dan
ciptaan-Nya yang ada di sekitar kehidupan anak, nama-nama malaikat, kisah-kisah
Nabi dan Rasul, dan materi dasar lainnya yang berkaitan denganaqidah (rukun
Iman). Di antara yang
dapat dilakukan dalam memberi pendidikan aqidahkepada anak ialah
dengan cara mengazankan anak yang baru lahir, sebagaimana diperintahkan rasul
dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ
عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ[12]
Artinya:
Dari Abu Rafi’, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW ażan sebagaimana ażan
şalat, di telinga Husain bin Ali ketika Fathimah melahirkannya”(R. at-Tirmiżi)
Ibnu
Qayyim seperti dikutip oleh Al Mun’im Ibrahim, menyebutkan bahwa rahasia azan
adalah agar awal yang didengar bagi seorang yang baru dilahirkan adalah azan
yang mengandung keagungan dan keluhuran Tuhan. Sebagaimana kalimat syahadat
bagi orang yang baru masuk Islam. Praktik tersebut merupakan pengenalan
terhadap syi’ar Islam di dunia ini[13].
Selain itu azan juga dimaksudkan agar suara yang pertama-tama didengar oleh
bayi adalah kalimat-kalimat yang berisi kebesaran dan keagungan Allah serta
syahadat yang pertama-tama memasukkannya ke dalam Islam. Azan juga merupakan
seruan menuju Allah, menuju agama Islam dan menuju peribadahan kepadaNya yang
mendahului ajakan-ajakan lainnya.[14] Tatkala azan berikut kalimat yang dikandungnya, yaitu
kalimat takbir dan kalimat tauhid, menyentuh pendengaran bayi, maka kalimat
azan tersebut ibarat tetesan air jernih yang berkilauan ke dalam telinganya,
sesuai dengan fitrah dirinya. Pada waktu itu bayi belum dapat merasakan
apa-apa, hanya kesadarannya dapat merekam nada-nada dan bunyi-bunyi kalimat
azan yang diperdengarkan kepadanya. Kalimat tersebut dapat mencegah jiwa dari
kecenderungan kemusyrikan, serta dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan.
Demikian pula kalimat azan melatih pendengaran manusia balita agar terbiasa
mendengarkan panggilan nama yang baik beserta pengertian makna dan pengaruh
yang terkandung di dalamnya.[15]
Dalam
ajaran Islam, membaca al-Qur´an dinilai juga sebagai ibadah, karenanya dalam
sebuah hadisnya Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا
حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ
مَرْثَدٍ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ
وَعَلَّمَهُ [16]
Artinya:
Sebaik-baik kamu ialah orang yang mempelajari al-Qur´an dan mengajarkannya
kepada orang lain. (HR. at-Tirmiżi)
Setiap
orang tua harus menyadari bahwa mengajarkan al-Qur´an kepada anak-anak adalah
suatu kewajiban mutlak dan harus dilaksanakan sejak dini agar ruh al-Qur´an
dapat membekas dalam jiwa mereka. Sebab bagaimana anak-anak dapat mengerti
agamanya jika mereka tidak mengerti al-Qur´an. Selain itu untuk kepentingan
bacaan dalam sholat, anak-anak pun wajib mengetahui dan dapat membaca surah Al
Fatihah dan lainnya yang menjadi keperluan sebagai bacaan dalam sholat. Dengan
adanya tuntutan kewajiban sholat, maka mutlak bagi orang tua wajib memberi
pendidikan al-Qur´an kepada anak-anaknya. Islam juga memerintahkan untuk memberikan pendidikan
membaca Al Qur-an kepada anak sejak usia dini, tentu saja dalam bentuk
pendidikan awal. Pada masa sekarang ini pembelajaran membaca al Qur-an pada
anak usai dini dapat diberikan dengan cara pembelajaran metode Iqra', dan
ternyata metode ini banyak memberikan hasil positif bagi perkembangan dan
kemampuan membaca al Qur-an anak usia dini (usia Taman Kanak-kanak). Cara yang dapat ditempuh orang tua dalam memberikan
pendidikan al-Qur-an kepada anak-anaknya, antara lain adalah:
1. Mengajarkannya sendiri dan ini cara yang
terbaik. Karena orang tua sekaligus dapat lebih akrab dengan anak-anaknya dan
mengetahui sendiri tingkat kemampuan anak-anaknya. Ini berarti orang tualah
yang wajib terlebih dahulu dapat membaca Al Qur-an dan memahami ayat-ayat yang
dibacanya.
2. Menyerahkan kepada guru mengaji al-Qur-an
atau memasukkan anak-anak pada sekolah-sekolah yang mengajarkan tulis baca
al-Qur-an.
3. Dengan alat yang lebih modern, dapat
mengajarkan al-Qur-an lewat video casette, dan atau vcd, jika orang tua mampu
menyediakan peralatan semacam ini, tetapi ingatlah bahwa cara yang pertamalah
yang terbaik.[17]
Pada
usia dini anak juga perlu diberi pengajaran tentang ibadah, seperti tentang
bersuci, do'a-do'a, dan ayat-ayat pendek, cara mengucap salam, dan sedikit
tentang tata cara melaksanakan şalat, serta beberapa hal lain yang
dikategorikan kepada amal dan perbuatan baik yang diridhoi Allah. Dalam
hal memberi pendidikan şalat kepada anak di usia dini dapat dilakukan orang tua
dengan mulai membimbing anak untuk mengerjakan şalat dengan
mengajak melakukan şalat di sampingnya, dimulai ketika ia sudah mengetahui
tangan kanan dan kirinya.[18] Jangan diamkan anak menonton televisi, sementara azan
berkumandang. Jika orang tua menghendaki anak mengerjakan şalat, berilah ia
teladan. Orang tua perlu menjelaskan bahwa şalat merupakan satu wujud rasa
syukur, karena Allah telah memberikan nikmat berupa rezki yang halal dan
kesehatan.[19] Rahasianya adalah agar anak dapat mempelajari
hukum-hukum ibadah şalat sejak masa pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh
besar, ia telah terbisa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah,
melaksanakan hak-hakNya, bersyukur kepada Allah, di samping itu anak akan
mendapatkan kesucian ruh, kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan
perbuatan di dalam ibadah şalat yang dilaksanakannya.[20]
Dalam mengajari şalat, dapat dibaca pada firman Allah berikut ini:
Artinya: "Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki
kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa."
(Thaha: 132)
Ayat
ini mengandung arti, selamatkanlah mereka dari azab Allah dengan mengerjakan şalat secara
rutin dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.[21]
Dan
karenanya dewasa ini adalah menjadi keharusan bagi setiap orang tua memberi
pendidikan şalat kepada anak-anak sejak usia dini. Meskipun dalam hadis Rasul
disebutkan mengajari anak şalat setelah usia 7 (tujuh), bukan berarti pada usia
sebelumnya anak tidak diajari şalat sama sekali. Pada usia ini setidaknya anak
dikenalkan dengan şalat misalnya kedua orang tua bisa mulai
membimbing anak mengerjakan şalat dengan cara mengajak anak untuk melakukan
şalat di samping mereka. Dalam mengajarkan şalat kepada anak-anak hendaklah
diberikan secara bertahap, yaitu bagi anak-anak umur 7 (tujuh) tahun pertama
yang diajarkan adalah tentang rukun-rukun şalat, kewajiban-kewajiban dalam
mengerjakan şalat serta hal-hal yang bisa membatalkan şalat [22], setelah itu diajarkan pula
gerak-geriknya terlebih dahulu, kemudian bacaannya secara bertahap, bacaan yang
paling mudah dibaca dan dihapal anak-anak, itulah yang diajarkan terlebih
dahulu, baru dilanjutkan dengan bacaan-bacaan lainnya.[23] Jangan diamkan anak menonton televisi, sementara azan
berkumandang. Jika orang tua menghendaki anak mengerjakan şalat, berilah ia teladan. Orang tua perlu menjelaskan
bahwa şalat merupakan satu wujud rasa syukur, karena Allah telah memberikan
nikmat berupa rezki yang halal dan kesehatan.[24] Rahasianya adalah agar anak dapat mempelajari
hukum-hukum ibadah şalat sejak masa pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh
besar, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah,
melaksanakan hak-hakNya, bersyukur kepada Allah, di samping itu anak akan
mendapatkan kesucian ruh, kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan
perbuatan di dalam ibadah şalat yang dilaksanakannya.[25]
Pendidikan akhlak juga
merupakan materi penting untuk diberikan pada anak usia dini, hal ini senada
dengan sabda Rasululah Saw:
حَدَّثَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ أَبِي عَامِرٍ
الْخَزَّازُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَحَلَ وَالِدٌ
وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ [26]
Artinya:
"Tidaklah ada pemberian yang lebih baik dari seorang ayah kepada anaknya
daripada akhlak yang baik" (R. Tirmizi)
Dalam hadis lain Rasul
bersabda:
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُمَارَةَ أَخْبَرَنِي الْحَارِثُ بْنُ النُّعْمَانِ
سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ[27]
Artinya: "Muliakanlah
anak-anakmu dan ajarkanlah mereka budi pekerti yang baik" (R. Ibnu Majah).
Di antara pendidikan akhlak
yang perlu diberikan kepada anak usia dini, antara lain adalah akhlak terhadap
orang tua, keluarga, teman, guru, lingkungan dan masyarakat secara umum.
Pendidikan tentang cinta kepada keluarga, sangat penting diberikan kepada anak
usia dini, agar anak sejak dini mengerti hak dan kewajibannya dalam kehidupan
berkeluarga. Termasuk dalam materi ini, adalah pengajaran tentang hormat dan
taat kepada orang tua, jasa dan kasih sayang orang tua kepada anak, serta
hal-hal lain yang berkaitan dengan tata krama dalam kehidupan keluarga.
Berkenaan dengan kasih sayang terhadap keluarga pernah dicontohkan oleh
Rasulullah dalam mencintai anak-anak seperti yang disebutkan dalam hadis
berikut:
Artinya: Belum pernah saya
melihat orang yang lebih mengasihi keluarganya dibandingkan Rasulullah SAW.(R.
Muslim)
Selain itu juga perlu
diberikan akhlak atau adab ketika membaca Al Qur-an, adab ketika menyantap
makanan dan minuman, adab keluar masuk kamar
mandi, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan pencipataan akhlakul karimah pada
anak usia dini. Rasul juga memberikan pedoman tentang pendidikan makan dan
minum terhadap anak-anak orang Islam, hal ini dapat dibaca pada hadis berikut
ini:
حدثنا محمد
بن سليما ن بن بلال عن أبي وجزة عن عمر بن أبي سلمة قال قال النبي صلى الله عليه
وسلم اد ن بني فسم الله و كل يمينك و كل مما يليك[29] (رواه أبوداود)
Artinya:
Hadis Muhammad ibn Sulaiman Luain dari Sulaiman ibn Bilal dari Abi Wajzah dari
Umar ibn Abi Salamah, Rasul saw bersabda: “Mendekatlah padaku hai anakku,
bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat
denganmu”.
Selain materi-materi tersebut
di atas, anak pada usia dini juga masih perlu diberikan materi pendidikan
tentang kesehatan dan kebersihan badan, gerak badan (olah raga), belajar
bermain dengan teman sebaya, belajar membaca dan menulis latin, belajar
menghitung, menggambar, melipat, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi
perkembangan dan pertumbuhan psiko motorik anak.
C. Metode Pendidikan Anak Usia
Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam
Untuk merealisasikan
pelaksanaan kegiatan pendidikan pada anak usia dini serta guna mencapai hasil
yang menggembirakan, para pendidik hendaklah senantiasa mencari berbagai metode
yang efektif, serta mencari kaidah-kaidah pendidikan yang berpengaruh dalam
mempersiapkan dan membantu pertumbuhan anak usia dini, baik secara mental dan
moral, spiritual dan etos sosial, sehingga anak dapat mencapai kematangan yang
sempurna guna menghadapi kehidupan dan pertumbuhan selanjutnya. Dengan
bersumberkan kepada Al Qur-an dan hadis, ada beberapa metode pendidikan Islam
yang dapat dan layak diterapkan pada kegiatan pendidikan terhadap anak usia dini.
Metode dimaksud adalah:
1. Metode dengan
Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan
Islam, merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak sejak
usia dini. Hal ini karena pendidik adalah figure terbaik dalam pandangan anak
didik yang tindak tanduknya dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan
menjadi perhatian anak-anak sekaligus ditirunya. Keteladanan menjadi faktor
penting dalam menentukan baik buruknya pertumbuhan dan perkembangan anak usia
dini. Jika pendidik dan orang tua jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia,
berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia,
berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
agama. Anak usia dini, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk
kebaikannya, bagaimanapun sucinya fitrah, tidak akan mampu memenuhi
prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia (anak usia
dini) tidak melihat pendidik dan orang tua sebagai teladan dari nilai-nilai
moral yang tinggi. Kiranya sangat mudah bagi pendidik untuk mengajari anak
dengan berbagai materi pendidikan, tetapi teramat sulit bagi anak untuk
melaksanakannya jika ia melihat orang yang memberikan pengajaran tidak
mengamalkan-nya.
Allah swt, juga telah
mengajarkan bahwa rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada
umat manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual,
moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, belajar darinya,
memenuhi panggilannya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan
akhlak yang terpuji. Allah mengutus Muhammad Saw. Sebagai teladan yang baik
bagi umat Islam sepanjang jaman, dan bagi umat manusia di setiap saat dan
tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang memberi petunjuk. Allah
berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 21:
Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah."
Ayat tersebut ditafsirkan oleh
Baidhawi, bahwa uswatun hasanah yang dimaksud
adalah perbuatan baik yang dapat dicontoh[30].
Dalam ringkasan tafsir Ibnu Kasir disebutkan bahwa ayat ini merupakan prinsip
utama dalam meneladani Rasulullah SAW, baik dalam ucapan, perbuatan maupun
sikap dan perilakunya.[31] Islam telah menyajikan pribadi Rasul sebagai suri
teladan yang terus-menerus bagi seluruh pendidik, suri teladan yang selalu baru
bagi generasi demi generasi, dan selalu aktual dalam kehidupan manusia, setiap
kali kita membaca riwayat kehidupannya bertambah pula kecintaan kita kepadanya
dan tergugah pula keinginan untuk meneladaninya. Islam tidak menyajikan
keteladanan ini sekedar untuk dikagumi atau sekedar untuk direnungkan dalam
lautan hayal yang serba abstrak. Islam menyajikan riwayat keteladanan itu
semata-mata untuk diterapkan dalam diri setiap individu muslim baik itu
anak-anak maupun orang dewasa.
Dalam memberikan pendidikan
kepada anak usia dini, pendidikan dengan memberi teladan secara baik dari para
pendidik dan orang tua, teman bermain, pengajar, atau kakak, akan merupakan
faktor yang sangat memberikan bekas dalam membina pertumbuhan anak, memberi
petunjuk, dan persiapannya untuk menjadi melanjutkan kehidupannya di fase-fase
perkembangan selanjutnya. Dengan demikian perlu dipahami oleh para pendidik dan
orang tua bahwa mendidik dengan cara memberi teladan yang baik, terutama pada
masa anak usia dini sesungguhnya penopang utama dan dasar dalam meningkatkan
anak usia dini pada keutamaan, kemuliaan dan etika sosial yang terpuji.[32]
Manusia telah diberi fitrah
untuk mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi mereka, yang menerangi
jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan kepada mereka
bagaimana seharusnya melaksanakan syrai'at Allah. Karenanya, untuk
merealisasikan risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para rasulNya yang
menjelaskan kepada manusia syari'at yang diturunkan Allah kepada mereka. Anak
usia dini merupakan tingkat usia yang dalam pertumbuhannya memiliki keterkaitan
besar terhadap keteladanan dari pihak luar dirinya. Di dalam kehidupan
berkeluarga misalnya, anak usia dini membutuhkan suri teladan, khususnya dari
kedua orang tuanya, agar sejak dini (masa kanak-kanak) ia menyerap dasar tabiat
perilaku Islami dan berpijak pada landasannya yang luhur. Keteladanan yang baik
memberikan pengaruh besar terhadap jiwa anak, sebab anak banyak meniru kedua
orang tuanya. Anak-anak akan selalu memperhatikan dan mengawasi perilaku orang
tuanya atau orang dewasa lainnya, dan mereka akan mencontohnya, jika anak
mendapati orang tuanya berlaku jujur, mereka akan tumbuh dengan kejujuran.
Kedua orang tua dituntut mengimplementasikan perintah-perintah Allah dan sunnah
Rasul sebagai perilaku dan amalan serta terus menambah amalan-amalan sunnah
tersebut semampunya, karena anak-anak akan terus mengawasi dan meniru mereka
setiap waktu. Kemampuan anak dalam menerima teladan dari orang dewasa secara
sadar atau tidak sadar sangatlah tinggi, meskipun anak-anak sering dianggap
sebagai makhluk kecil yang belum mengerti dan paham ajaran Islam, tetapi dengan
melihat teladan yang diberi orang dewasa hal itu akan memberi bekasan pada diri
anak.[33] Di sekolah, anak-anak juga membutuhkan suri
teladan yang dilihatnya langsung dari setiap guru yang mendidiknya, sehingga
dia merasa pasti dengan apa yang dipelajarinya. Pada perilaku dan tindakan
guru-gurunya, hendaknya anak dapat melihat langsung bahwa tingkah laku utama
yang diharapkan mereka melakukannya adalah hal yang tidak mustahil dan memang
dalam batas kewajaran untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.[34]
2. Pendidikan dengan Latihan dan Pengamalan
Islam merupakan agama yang
menuntut para pemeluknya mampu merealisasikan berbagai ajaran Islam dalam
bentuk amal nyata yaitu berupa amal şaleh yang diridhai Allah SWT. Islam
menuntut umatnya agar mengarahkan segala tingkah laku, naluri, aktivitas dan
hidupnya untuk merealisasikan adab-adab dan perundang-undangan yang berasal
dari Allah secara nyata.
Dalam hal pendidikan melalui
latihan pengamalan, Rasulullah SAW, sebagai pendidik Islam yang pertama dan
utama sesungguhnya telah menerapkan metode ini dan ternyata memberikan hasil
yang menggembirakan bagi perkembangan Islam di kalangan sahabat. Dalam banyak
hal, Rasul senantiasa mengajarkannya dengan disertai latihan pengamalannya, di
antaranya; tatacara bersuci, berwudhu, melaksanakan şalat, berhaji dan berpuasa.
Atas dasar ini, maka dalam
pelaksanaan pendidikan Islam baik kepada orang dewasa, apalagi terhadap
anak-anak usia dini pendidikan melalui latihan dan pengamalan merupakan satu
metode yang dianggap penting untuk diterapkan. Metode belajar learning by doing atau dengan jalan
mengaplikasikan teori dan praktik, akan lebih memberi kesan dalam jiwa,
mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan dalam ingatan. Di antara yang
dapat dilatihkan sebagai amalan bagi anak-anak usia dini antaranya ialah; cara
menggosok gigi, latihan mencuci tangan yang benar, cara beristinja, latihan
berwudhu', mengucapkan salam ketika masuk rumah, serta beberapa do'a yang harus
diamalkan sebagai mengawali berbagai aktivitas sehari-hari, seperti do'a hendak
dan sesudah makan, do'a hendak dan bangun tidur, do'a masuk kamar mandi, dan
do'a lain yang mudah diamalkan oleh anak-anak usia dini.
Orang
tua wajib membiasakan atau melatih anak-anak mereka pergi ke masjid, juga
melaksanakan şalat di rumah maupun di sekolah. Hal ini dapat dibaca pada
hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ
وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي قَالَ وَجَعَلْتُ
يَدَيَّ بَيْنَ رُكْبَتَيَّ فَقَالَ لِي أَبِي اضْرِبْ بِكَفَّيْكَ عَلَى
رُكْبَتَيْكَ قَالَ ثُمَّ فَعَلْتُ ذَلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَضَرَبَ يَدَيَّ
وَقَالَ إِنَّا نُهِينَا عَنْ هَذَا وَأُمِرْنَا أَنْ نَضْرِبَ بِالْأَكُفِّ عَلَى
الرُّكَبِ[35]
Artinya:
Hadis Saad bin Abi Waqqas r.a: Diriwayatkan daripada Mus'ab bin Saad r.a
katanya: Aku pernah sembahyang di sisi ayahku. Aku rapatkan tangan antara kedua
lututku. Lalu ayahku berkata kepadaku: Letakkan kedua telapak tanganmu pada
lututmu. Kemudian aku melakukan hal itu sekali lagi. Lalu ayah memukul tanganku
sambil mengatakan: Sesungguhnya kita dilarang dari melakukan ini yaitu
meletakkan tangan di antara dua lutut dan kita diperintahkan supaya meletakkan
tangan di atas lutut. (HR. Muslim)
Nilai
pendidikan yang terdapat dalam hadis di atas adalah tentang praktik melatih
anak dalam melaksanakan şalat. Praktik pendidikan şalat seperti inilah yang
seyogiyanya diterapkan oleh para orang tua dalam memberi pendidikan sholat
kepada anak-anaknya, sehingga anak tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis
tentang şalat, tetapi juga memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sifatnya
praktis tentang şalat, dan dengan demikian maka anak akan mampu melaksanakan
şalat dengan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam
hadis lain ditemukan juga bagaimana Rasulullah memberi pendidikanşalat kepada
anak-anak, seperti sabda beliau yang diriwayatkan dari Anas:
حَدَّثَنَا
أَبُو حَاتِمٍ مُسْلِمُ بْنُ حَاتِمٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِيَّاكَ وَالِالْتِفَاتَ
فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ الِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ هَلَكَةٌ فَإِنْ كَانَ لَا
بُدَّ فَفِي التَّطَوُّعِ لَا فِي الْفَرِيضَةِ[36]
Artinya:
Berkata Anas bin Malik telah berkata Rasulullah SAW; “Hai anakku, janganlah
engkau menoleh ke sana ke mari dalam şalat, karena akan merusak şalat, jika
engkau terpaksa melakukan hal itu, maka boleh dilakukan hanya dalam şalat
sunnah, dan bukan dalam şalat fardhu”.(HR. at-Tirmiżi)
Hadis
ini dikeluarkan oleh Rasulullah dalam rangka memberi peringatan kepada
anak-anak agar tidak menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan
şalat, dan ini sesungguhnya merupakan bukti perhatian Rasul dalam mengajarkan
kepada anak-anak tentang tatacara şalat.[37] Para sahabat juga menempuh cara yang sama dalam
memberi pendidikan şalat kepada
anak-anaknya dengan cara memberi contoh kepada anak-anaknya tentang berbagai
tata cara şalat sesuai
dengan yang diajarkan Rasul Saw. Cara ini juga pantas jika dipraktikkan oleh
para orang tua Muslim dalam memberi pendidikan şalat kepada anak-anaknya,
terutama tentang ketertiban dalam şalat (larangan menoleh ke kanan atau ke kiri
pada waktu şalat).
Orang tua juga berkewajiban
melatih mereka melaksanakan puasa dan infaq, bersedekah serta
berbuat baik kepada tetangga dan orang-orang fakir, juga menolong orang-orang
yang lemah. Disamping itu juga harus dilatih menghormati orang yang lebih tua
dan telah berumur, dilatih/dibiasakan melakukan berbagai kegiatan dengan niat
kerena keridhaan Allah semata, mencintai karena Allah dan membenci karena
Allah. Mengorbankan harta serta diri mereka di jalan Allah, melaksana-kan
kewajiban agama, menegakkan moral Islam, khususnya mengenakan jilbab bagi anak
perempuan.[38]
3. Mendidik melalui permainan, nyanyian, dan
cerita
Sesuai dengan pertumbuhannya,
anak usia dini memang lagi gemar-gemarnya melakukan berbagai permainan yang
menarik bagi dirinya. Berkaitan dengan ini, maka pendidikan melalui permainan
merupakan satu metode yang menarik diterapkan dalam pendidikan anak usia dini.
Tentu saja permainan yang positif dan dapat mengembangkan intelektual dan
kreativitas anak-anak. Bagi anak-anak usia balita, bermain dengan ibu tentu
lebih banyak dampak positifnya karena lebih memperlancar komunikasi antara keduanya,
adalah teman terbaik bagi mereka.[39] Hal ini dapat dibaca pada hadis Rasul yang
menjelaskan tentang cara memberi pendidikan
puasa kepada anak-anak berikut ini:
و حَدَّثَنِي
أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ بْنِ
لَاحِقٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ
بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ
الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ
نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ
الْإِفْطَارِ[40]
Diriwayatkan
daripada Ar-Rubaiyyi' binti Muawwiz bin Afra' r.a katanya: Pada hari Asyura,
Rasulullah s.a.w telah mengirimkan surat ke perkampungan-perkampungan Ansar di
sekitar Madinah yang berbunyi: Siapa yang berpuasa pada pagi ini hendaklah
menyempurnakan puasanya dan siapa yang telah berbuka yaitu makan pada pagi ini
hendaklah dia juga menyempurnakannya yaitu berpuasa pada pagi harinya. Selepas
itu kami pun berpuasa serta menyuruh anak-anak kami yang masih kanak-kanak
supaya ikut berpuasa, jika diizinkan Allah. Ketika kami berangkat menuju ke
masjid, kami buatkan suatu permainan untuk anak-anak kami yang diperbuat dari
bulu biri-biri. Jika ada di antara mereka yang menangis meminta makanan, kami
akan berikan mainan tersebut sehingga tiba waktu berbuka. (HR.Muslim)
Dengan
membaca hadis di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan puasa kepada anak dapat
dilakukan dengan cara melatih mereka berpuasa dan jika mereka menangis meminta
makanan dapat dialihkan keinginan mereka dengan cara memberi mainan kepada
mereka, sehingga anak-anak lupa akan rasa laparnya dan asik dengan
permainannya, selain itu anak juga merasa terhibur oleh permainan dan tidak
merasakan panjangnya hari yang mereka lalui dengan puasa. Ibnu Hajar seperti
dikutip Suwaid, menjelaskan bahwa hadis ini menjadi dalil mengenai
disyariatkannya melatih anak-anak untuk berpuasa, sebab usia yang disebutkan
dalam hadis tersebut belum sampai pada masa mukallaf, akan tetapi hal itu
dilakukan sebagai bentuk latihan.[41]Namun
perlu diingat pula bahwa yang paling perlu orang tua usahakan pertama kali
sebelum mengenalkan dan melatih bepuasa adalah mengkondisikan anak dengan
lingkungan yang Islami. Kenalkan suasana puasa di lingkungan keluarga, karena
suasana itu bagi anak merupakan bekal dalam mempersiapkan dirinya, sehingga
anak terbiasa dengan suasana berpuasa. Anak tidak melihat ibu, bapak, dan
anggota keluarganya makan di siang hari, tetapi makan ketika terbenam matahari.
Perlu juga diingat adalah jangan sekali-sekali memaksa mereka melakukan puasa
secara terus menerus sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari, namun
latih mereka untuk melakukan puasa secara bertahap, mulai dari hitungan jam
sampai akhirnya mereka dapat terus berpuasa dari terbit fajar hingga berbuka
pada magribnya. Setelah anak mampu berpuasa selama satu hari penuh, kenalkan
mereka dengan hal-hal yang membatalkan puasa.[42]
Muhammad
Suwaid menjelaskan bahwa hadis yang menceritakan bahwa Nabi merestui A’isyah
yang sedang bermain dengan boneka, menunjukkan kepada kita bahwa anak kecil
memang butuh mainan. Demikian juga hadis tentang burung nughar kecilnya Abu
Umair yang dibuat mainan olehnya dan hal itu juga disaksikan oleh Nabi menjadi
bukti lain akan adanya kebutuhan mainan bagi anak agar ia bisa riang gembira.
Dalam hal ini kedua orang tuanyalah yang mesti memberikan mainan untuk anaknya
yang sesuai dengan usia dan kemampuannya, dan kemudian menyerahkannya secara
lansgung, hal itu dimaksudkan agar akal dan panca inderanya beraktivitas dan
bisa tumbuh sedikit demi sedikit.
Agar
mainan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka benar-benar bisa
bermanfaat, maka kedua orang tua perlu mempertimbangkan; apakah mainan itu
termasuk mainan yang akan membangkitkan aktivitas jasmani dan kesehatan yang
berguna bagi anak. Apakah mainan tersebut membeikan kesempatan bagi anak untuk menyusunnya,
dan apakah mainan tesebut bisa mendorong anak untuk meniru perilaku orang-orang
dewasa dan cara berpikir mereka. Jika jawaban atas semua pertanyaan tersebut
adalah “ya”, maka mainan tersebut berarti sesuai untuknya dan memberikan
manfaat edukatif.[43] Selain memberi permainan kepada anak, bermain dengan
anak dan bertingkah seperti mereka dalam bergaul dengan mereka akan menumbuhkan
semangat di dalam jiwanya dan juga akan membantunya menampilkan serta
mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.[44] Dalam al-Ishabah dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah
bermain-main dengan Hasan dan Husin ra. Rasulullah saw. Merangkak di atas kedua
tangan dan lututnya, dan kedua cucunya tersebut bergelantungan dari kedua
sisinya, dan merangkak bersama keduanya.[45]
Bernyanyi juga satu cara yang
baik diterapkan dalam pembelajaran pada anak usia dini. Bernyanyi di sini bukan
hanya mengajari anak menyanyikan berbagai lagu, tetapi dapat dilakukan untuk
mengajarkan anak membaca huruf hijaiyah dengan cara membacanya secara berirama
sehingga anak merasa senang dan rilek dalam mengikuti pembelajaran yang
diberikan oleh guru-gurunya. Selain itu, belajar sambil bernyanyi juga akan
memberi keceriaan dan kebahagiaan kepada anak dalam belajar. Keceriaan dan
kebahagiaan memainkan peran penting dalam jiwa anak secara menakjubkan, serta
memberikan pengaruh kuat. Anak-anak usia dini tentu saja ingin selalu riang
gembira, selanjutnya keceriaan dan kegembiraan anak itu akan melahirkan rasa
optimisme dan percaya diri serta akan selalu siap untuk menerima perintah,
peringatan atau petunjuk dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Adalah
Rasulullah senantiasa menanamkan jiwa periang dan kegembiraan di dalam jiwa
anak dan hal itu beliau lakukan dengan bebagai macam cara. Di antaranya adalah
dengan menyambut mereka dengan sambutan yang hangat ketika bertemu dengan
mereka, mengajak mereka bercanda, menggendong mereka dan meletakkan mereka di
pangkuan beliau, mendahulukan mereka dengan memberi makanan yang baik, dan
dengan cara makan bersama-sama dengan mereka.[46]
Juga tidak kalah pentingnya
adalah pembelajaran dengan cara memberikan atau menyajikan kisah-kisah Islami
yang bersumber dari Al Qur-an dan Hadis Rasul. Dalam pendidikan Islam, kisah
mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian
lain. Hal ini karena kisah Qur-an dan nabawi memiliki beberapa keistimewaan
yang membuatnya mempunyai dampak psikologis dan edukatif yang sempurna,
rapi, dan jangkauan yang luas. Di samping itu kisah eduktif dapat melahirkan
kehangatan perasaan dan vitalitas serta aktvitas di dalam jiwa, yang
selanjutnya memotivasi anak didik untuk mengubah perilakunya dan memperbarui
tekadnya sesuai dengan tuntunan, pengarahan dan ide-ide yang terkandung dalam
kisah tersebut.[47]
Kisah Qur-ani bukanlah karya
seni yang tanpa tujuan, melainkan merupakan satu di antara sekian banyak metode
Qur-ani untuk menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan dan ketuhanan serta satu
cara untuk menyampaikan ajaran Islam terutama bagi anak-anak usia dini. Tentu
saja kemasan kisah qur-an yang dapat diterapkan dalam memberikan pendidikan
kepada anak usia dini, merupakan kisah yang dikemas secara indah dan menarik
bagi anak-anak usia dini. Misal kisah-kisah yang dapat diberikan kepada anak usia
dini antara lain adalah kisah para Nabi dan Rasul-Rasul Allah, kisah anak
durhaka, kisah-kisah anak soleh dan kisah-kisah orang pemberani dalam
kebenaran, serta kisah-kisah lain mengandung nilai pendidikan dan mendukung
bagi pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak usia dini.
Artinya
"Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman". (Huud: 120)
Dijelaskan
oleh Ibnu Kasir bahwa dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa semua kisah para
rasul terdahulu bersama umatnya masing-masing sebelum Muhammad, Kami ceritakan
kepadamu perihal mereka. Semua itu diceritakan untuk meneguhkan hatimu, hai
Muhammad, dan agar engkau mempunyai suri teladan dari kalangan
saudara-saudaramu para rasul yang terdahulu.[48]
Artinya "Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir".(Al
A'raaf: 176)
Ayat
176 ini diturunkan menceritakan kisah Bal’aam, untuk mengingatkan manusia bahwa
meskipun seorang itu sudah mencapai ilmu yang sangat tinggi sebagaimana yang dicapai
oleh para Nabi tetapi lalu ia maksiat dan condong kepada dunia, maka akhirnya
bernasib sebagaimana Bal’aam yang disebut oleh Allah:Famasaluhu kamasalail
kalbi in tahmil alaihi yalhas au tatrukhu yalhas. Orang itu contohnya bagaikan
anjing yang selalu menjilat-jilat dan tidak berguna baginya segala peringatan,
ancaman dan nasihat, tidak berguna baginya iman dan pengetahuannya. Karena
itulah ayat ditutup dengan kalimat “Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berfikir" Ikutilah kisah ini supaya mereka
berpikir dan memperhatikan, dan dapat mawas diri dan berhati-hati jangan sampai
terjadi seperti itu[49].
Kisah bisa memainkan peran
penting dalam menarik perhatian, kesadaran pikiran dan akal anak. Nabi biasa
membawakan kisah di hadapan sahabat, yang muda maupun yang tua, mereka
mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap apa yang dikisahkan beliau, berupa
berbagai peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, agar bisa diambil
pelajarannya oleh orang-orang sekarang dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Yang penting dicatat adalah bahwa kisah-kisah yang disampaikan oleh Nabi
bersandar pada fakta riil yang pernah terjadi di masa lalu, jauh dari khurafat
dan mitos. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan keyakinan sejarah pada diri
anak, di samping juga menambahkan spirit pada anak untuk bangkit serta
membangkitkan rasa keislaman yang bergelora dan mendalam. Kisah-kisah para
ulama, ‘amilin dan orang-orang mulia yang
shalih merupakan sebaik-baik sarana yang akan menanamkan berbagai keutamaan
dalam jiwa anak serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan
dalam rangka meraih tujuan yang mulia dan luhur. Di samping itu juga akan
membangkitkan untuk mengambil teladan orang-orang yang penuh pengorbanan
sehingga ia akan terus naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.[50]
4. Mendidik dengan Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang
disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu maslahat, kenikmatan, atau
kesenangan akhirat. Sedangkan tarhib adalah ancaman
dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh
Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah.[51] Ini merupakan metode pendidikan Islam yang didasarkan
atas fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, seperti keinginan terhadap
kekuatan, kenikmatan, kesenangan, dan kehidupan abadi yang baik serta ketakutan
akan kepedihan, kesengsaraan dan kesudahan yang buruk. Ditinjau
dari segi paedagogis, hal ini mengandung anjuran, hendaknya pendidik dan atau
orang tua menanamkan keimanan dan aqidah yang benar di dalam jiwa anak-anak,
agar pendidik dapat menjanjikan(targhib) surga kepada mereka
dan mengancam (tarhib) mereka dengan azab Allah,
sehingga hal ini diharapkan akan mengundang anak didik untuk merealisasikan
dalam bentuk amal dan perbuatan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Dalam
memberikan pendidikan melalui targhib dan tarhib, pendidik
hendaknya lebih mengutamakan pemberian gambaran yang indah tentang kenikmatan
di surga dan berbagai kenikmatan lain yang diperoleh sebagai balasan bagi amal
sholeh yang dikerjakan, sekaligus juga diberikan sedikit gambaran tentang
dahsyatnya azab Allah yang diberikan sebagai ganjaran pelanggaran yang
dilakukan.[52] Pendidikan dengan menerapkan metode ini
merupakan upaya untuk menggugah, mendidik dan mengembangkan perasaan Rabbaniyah pada anak sejak
usia dini, perasaan-perasaan yang diharapkan dapat dikembangkan melalui metode
ini antara lain; khauf kepada Allah, perasaan khusyu', perasaan cinta
kepada Allah, dan perasaan raja' (berharap) kepada
Allah.
Targhib dan tarhib merupakan
bagian dari metode kejiwaan yang sangat menentukan dalam meluruskan anak, ia
merupakan cara yang jelas dan gamblang dalam pendidikan ala Rasul, beliau
sering menggunakannya dalam menyelesaikan masalah anak di segala kesempatan,
terutama dalam masalah berbakti kepada orang tua. Beliau mendorong anak agar
berbakti kepada kedua orang tuanya serta menakut-nakutinya dari berbuat durhaka
kepada keduanya. Hal itu tidak lain bertujuan agar anak itu menyambut hal ini
dan mendapatkan pengaruh sehingga ia bisa memperbaiki diri dan perilakunya.[53]
5. Pujian dan Sanjungan
Tidak diragukan lagi, pujian
terhadap anak mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap dirinya, sehingga
hal itu akan menggerakkan perasaan dan inderanya. Dengan demikian, seorang anak
akan bergegas meluruskan perilaku dan perbuatannya. Jiwanya akan menjadi riang
dan juga senang dengan pujian ini untuk kemudian semakin aktif. Rasulullah
sebagai manusia yang mengerti tentang kejiwaan manusia telah mengingatkan akan
pujian yang memberikan dampak positif terhadap jiwa anak, jiwanya akan tergerak
untuk menyambut dan melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.[54]
Anak kecil yang masih berada
dalam umur tiga tahun pertama bukannya tidak mempunyai perasaan kehormatan
serta harga diri, ia menyadari bahwasanya dirinya adalah anak kecil, akan
tetapi dalam lubuk hatinya ia tidak menerima jika dianggap remeh dalam bentuk
dan sikap yang bagaimanapun. Selama ia masih tumbuh berkembang maka perasaan
dihargai dan dihormati ikut tumbuh kembang dalam dirinya. Perasaan harga diri
dan dihormati merupakan pembawaan manusia secara fitrah, baik sebagai anak
kecil maupun sebagai manusia dewasa, sebab sesungguhnya manusia merupakan
makhluk yang dihormati lagi dimuliakan. Mengenai bentuk dan ragam pemberian
pujian atau penghargaan cukup banyak, yang terpenting adalah anak sejak dini
dipandang sebagai manusia sekaligus diperlakukan secara manusiawi.[55]
Secara lebih lanjut, pujian
dan sanjungan dapat diberikan dalam bentuk hadiah. Namun orang tua hendaklah
berhati-hati dalam memilih hadiah, agar tidak menimbulkan ketagihan. Hindarilah
memberi hadiah uang, karena selain benda ini sangat menggiurkan, orang tua pun
harus bekerja dua kali untuk membimbing anak agar mampu membelanjakan uangnya
dengan baik. Pilihlah hadiah yang bersifat edukatif, sehingga tak jadi
persoalan jika anak-anak kemudian ketagihan. Buku cerita, alat-alat sekolah
serta perlengkapan kegemaran anak akan cukup menyenangkan mereka. Pilih barang
yang saat itu sedang mereka butuhkan, sehingga orang tua tidak perlu
membelikannya lagi, misalnya jika sepatunya sudah mulai nampak berlubang,
mengapa tidak menjadikannya saja sebagai hadiah, sebab kalaupun tidak sebagai
hadia toh akhirnya orang tua harus membelikannya juga. Orang tua harus sejak
awal dan terus-menerus menanamkan pengertian bahwa hadiah yang diberikan kepada
anak bukan semata untuk menghargai prestasi akhir mereka, namun lebih
dititikberatkan pada usaha anak untuk mengubah dirinya.[56]
6. Menanamkan Kebiasaan yang
Baik
Dalam usaha memberikan
pendidikan dan membantu perkembangan anak usia dini, selain pengembangan
kecerdasan dan keterampilan, perlu juga sejak dini ditanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang positif. Pendidikan dengan mengajarkan dan pembiasaan
adalah pilar terkuat untuk pendidikan anak usia dini, dan metode paling efektif
dalam membentuk iman anak dan meluruskan akhlaknya, sebab metode ini
berlandasakan pada pengikutsertaan. Tidak diragukan lagi, mendidik dengan cara
pembiasaan anak sejak dini adalah paling menjamin untuk mendatangkan hasil positif,
sedangkan mendidik dan melatih setelah dewasa sangat sukar untuk mencapai
kesempurnaan[57].
Ada beberapa hal yang
dapat dianggap positif untuk dibiasakan terhadap anak usia dini, di antaranya
adalah:
- Anak harus dibiasakan menjaga kebersihan, sebab Islam sangat
mementingkan kebersihan, sebagaimana dapat dibaca pada firman Allah
berikut ini:
Artinya: “Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”.
(Taubah: 108)
Ayat di atas menjelaskan tentang kecintaan
Allah terhadap orang yang bersih, yaitu orang menyucikan dirinya dari segala
macam najis dan kotoran sekaligus membersihan jiwanya dari segala macam dosa.[58] ِAyat ini sejalan
dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ
بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ
يُحِبُّ النَّظَافَةَ…[59]
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai
kebaikan, bersih dan menyukai kebersihan”… (R. at-Tirmiżi)
Dalam rangka membiasakan hidup bersih dan
hidup sehat, pada anak usia dini, hendaklah anak dibiasakan untuk; berdo’a
sebelum tidur dan ketika bangun, mandi secara teratur, menggosok gigi setiap
bangun dan menjelang tidur, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, serta
membuang sampah pada tempatnya.
- Anak dilatih dan dibiasakan hidup teratur,
misalnya dengan membiasakan anak makan secara teratur dan tidak
berlebihan, sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan”.(Al A’raaf ayat 31)
Makna yang terdapat pada ayat ini adalah
makanlah sesukamu dan berpakaianlah sesukamu selagi engkau hindari dua pekerti,
yaitu berlebih-lebihan dan sombong. Allah menghalalkan makan dan minum selagi
dilakukan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak untuk kesombongan[60].
Dalam hadis Rasul kita temukan tentang
aturan makan dan minum, yaitu seperti yang tersebut dalam hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ نُمَيْرٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ[61]
Artinya: Dari Jaddah ibn Umar Rasulullah
berkata: “Jika makan salah seorang diantara kamu, maka makanlah dengan tangan
kanan, dan jika minum, maka minumlah dengan tangan kanan, karena sesungguhnya
syaitan makan dan minum dengan tangan kiri”(R. At-Tirmizi)
- Anak sejak dini hendaknya dibiasakan hidup
sederhana dan hemat. Untuk itu sebaiknya anak tidak dibiasakan jajan,
sebab jajan di samping merupakan kebiasaan yang tidak baik, juga makananan
yang ia beli belum terjamin kebersihannya hingga bisa membahayakan
kesehatannya.[62]
Itulah
beberapa metode pendidikan yang menurut hemat penulis layak untuk diterapkan
pada pelaksanaan pendidikan anak usia dini. Dengan metode-metode tersebut secara teoritis akan memberikan
hasil positif terhadap pembinaan dan pendidikan anak usia dini, baik itu yang
dilaksanakan orang tua di rumah, maupun oleh para guru di sekolah/lembaga
pendidikan anak usia dini.
D. Evaluasi Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
Rangkaian akhir dari suatu
proses pendidikan anak usia dini adalah evaluasi atau penilaian. Evaluasi
merupakan suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di
dalam proses pendidikan.[63] Dalam pendidikan Islam, termasuk juga pendidikan anak
usia dini, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari sistem
pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai
alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses
pendidikan dan proses pembelajaran.[64]
Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan dalam rangka mengetahui
tingkat keberhasilan pendidikan dalam menyampaikan materi pendidikan kepada
peserta didik. Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas, evaluasi dilakukan
untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan
dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.[65]
Sebagai satu komponen penting
dalam pendidikan, evaluasi yang dilaksanakan secara umum memiliki fungsi untuk;
mengetahui peserta didik yang mana yang terpandai dan terbodoh di
kelasnya, mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki oleh
peserta didik atau belum, mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta
didik, mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mengalami
didikan dan ajaran, mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode,
dan berbagai penyesuaian dalam kelas, dan sebagai laporan terhadap orang tua
peserta didik dalam bentuk rapor, ijazah, piagam dan sebagainya.[66]
Mengigat pentingnya evaluasi
bagi proses pendidikan, maka dalam kegiatan pendidikan yang diberikan kepada
anak usia dini juga perlu dilakukan evaluasi. Terhadap kegiatan pendidikan anak
usia dini, evaluasi atau penilaian dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain melalui pengamatan dan pencatatan anekdot. Pengamatan dilakukan untuk
mengetahui perkembangan dan sikap anak yang dilakukan dengan mengamati tingkah
laku anak dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus, sedangkan
pencatatan anekdot merupakan sekumpulan catatan tentang sikap dan perilaku anak
dalam situasi tertentu.
Beberapa alat penilaian yang
dapat digunakan untuk memperoleh gambaran perkembangan kemampuan dan perilaku
anak, antara lain adalah:
1. Portofolio yaitu
penilaian berdasarkan kumpulan hasil kerja anak yang dapat menggambarkan
sejauhmana keterampilan anak berkembang.
2. Unjuk kerja (performance) merupakan
penilaian yang menuntut anak untuk melakukan tugas dalam bentuk perbuatan yang
dapat diamati, misalnya praktik menyanyi, olahraga, atau memperagakan sesuatu perbuatan;
seperti cara menggosok gigi, cara beristinja, cara berwudhu’ dan sedikit
tentang gerakan dalam sholat.
3. Penugasan (project)
merupakan tugas yang harus dikerjakan anak yang memerlukan waktu yang relativ
lama dalam mengerjakannya, misalnya melakukan percobaan menanam biji.
Seluruh kegiatan evaluasi yang
dilakukan dalam pendidikan anak usia dini adalah untuk mengetahui perkembangan
anak didik, yang mencakup dua aspek utama yaitu aspek pembiasan dan kemampuan
dasar. Pada aspek pembiasaan, penilaian meliputi tentang perkembangan moral dan
nilai-nilai agama, social, emosional dan kemandirian. Sedangkan pada aspek
kemampuan dasar penilaiannya meliputi; kemampuan berbahasa, kemampuan kognitif,
kemampuan fisik/motorik, dan kemampuan seni. [68] Terhadap perkembangan
moral dan nilai-nilai agama, evaluasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan anak
dalam berdo’a, mengucapkan salam, membedakan cipataan-ciptaan Allah, membaca
beberapa do’a pendek, sekaligus juga mengetahui perkembangan anak dalam
berdisiplin, kesopanan dalam berpakaian dan ketertiban dalam mengerjakan
tugas-tugas di sekolah. Adapun penilaian terhadap perkembangan sikap sosial,
emosional dan kemandirian, ditujukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan
anak dalam bergaul, berteman, mengambil keputusan sederhana, bertanya
sederhana, mengendalikan emosi dan kemandirian dalam mengurus
keperluannya di sekolah. Sedangkan penilaian pada aspek kemampuan dasar
ditujukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan anak dalam berbahasa, seperti
kemampuan melakukan macam-macam perintah, menceritakan pengalamannya, merespon
pertanyaan guru, dan kemampuan berkomunikasi dengan guru maupun temannya.
Evaluas perkembangan kemampuan kognitif dilakukan untuk
menilai kemampuan anak dalam menyatakan waktu yang dikaitkan dengan jam,
membedakan macam-macam suara, mengelompokan warna, mengenal dan membedakan
macam-macam rasa, serta kemampuan anak dalam menghitung bilangan tanpa menggunakan
alat bantu. Evaluasi perkembangan fisik/motorik dilakukan dalam rangka
mengetahui kemampuan anak dalam hal fisik/motoriknya seperti dalam kegiatan
makan, menyisir rambut, mencuci dan mengelap tangan, memantulkan, menangkap,
melempar bola, menggunting, melipat, dan meniru suatu gerakan terutama dalam
bentuk senam atau tarian sederhana. Evaluasi perkembangan seni adalah untuk
mengetahui kemampuan anak dalam mengapresiasikan imajinasinya dalam bentuk
seni, seperti menggambar bebas dengan menggunakan krayon dan pensil berwarna,
mewarnai gambar, menyanyikan lagu sambil bermain, dan mengekspresikan gerak.
[1] Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Al Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir
Ibnu Kaśīr juz 14, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h.
216.
[2]Abu Abdullah ibn
Muhammad Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhri Juz I, (Riyadh: Idaratul Bahtsi Ilmiah,tt), h. 25.
[3] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 4,
(Semarang: Toha Putra,tt,). H. 216.
[4] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3,
(Semarang: Toha Putra,tt,). h 227
[6] Muhammad Ali
Quthb, Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah, terjemahan
Bahrum abu Bakar Ihsan, (Bandung: Diponegoro,1988), h. 59.
[7] M. Athiyah Al Abrasy, at-Tarbiyah
al-Islāmiyah wa Falasatuhā, (TTp: ’Isa al-Bābi
al-Jalabī wa syirkāhu,1969), h. 163.
[10]Depdiknas, Acuan Menu
Pembelajaran pada Pendidikan Usia Dini(Pembelajaran Generik), (Jakarta:
Depdiknas,2002), h. 21.
[12]Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa bin
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3,
(Semarang: Toha Putra,tt,). h 36.
[13] Abu A’isy Abd Al
Mun’im Ibrahim, Tarbiyah Al-Banati fi Al- Islam, terjemahan
Herwibowo, Pendidikan Islam bagi Remaja Putri, (Jakarta: Najla
Press,2007), h. 96.
[15]Ali Quthb, Auladuna fi
Dlau-it Tarbiyyat al- Islamiyyah, terjemahanSang Anak dalam Naungan Pendidikan
Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), h. 48.
[17] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab
Orang Tua Terhadap Anak,(Yogyakarta: Pustaka Al Kautsar, 1992), h. 106-107.
[18] Muhammad Suwaid, Manhaj
at-Tarbiyyah an-Nabawiyyah lit-Tifl, terjemahan Salafuddin Abu
Sayyid, Mendidik Anak Bersama Nabi, (Solo: Pustaka Arafah,2003),
h. 175.
[20]Abdullah Nashih Ulwan,Tarbiyatu ‘l-Aulad
fi-‘l-Islam, terjemahan Saifullah Kamalie, Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy
Syfa’,1981). h. 153.
[21] Al-Imam Abul Fida
Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir,
juz 16, (Bandung: Sinar
Baru Algesindo,2003). h.456.
[22]Muhammad Suwaid, Mendidik Anak
Bersama Nabi, terjemahan Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Pustaka Arafah, 2004), h. 175.
[25]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat
al-Aulad fi-all-Islam, terjemahan Saifullah Kamalie, Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy
Syfa’,1981). h. 153.
[26] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3,
(Semarang: Toha Putra,tt,). h Sunan At-Tirmizi, hadis nomor
1875.
[27] Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Quzwaini, Sunan
Ibnu Mājah, juz 1, (Bairut: Dār al-Fikr,tt), h. 597.
[29] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan
Abu Daud, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet.
1, 1401 H), juz 10, h. 179. lihat juga dalam Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad
ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3,
(Semarang: Toha Putra,tt,). h 189.
[30] Al-Baidhawi, Tafsir Baidhawi, (http://www.Altafsir.com) Juz 5 h. 9, baca
An-Naisaburi, Tafsir An-Naisaburi, juz 1 h. 81.
[32] Abdullah Nashih
Ulwan, Tarbiyat al- Aulad Fi al- Islam, terj. Jamaluddin
Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1995), h.37
[34]Abdurrahman
An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam
Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Semarang: Diponegoro,1989),
h. 366.
[36] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 1,
(Semarang: Toha Putra,tt,) h. 260.
[38]Muhammad Zuhaili, Al Islam Wa Asy
Syabab, terjemahan Arum
Titisari, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: AH.
Ba’adillah Press, 2002), h. 70.
[40]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi
an-Naisaburi, Şahih Muslim Juz 1,
(Bandung: Al Ma’arif,tt), h 460.
[48] Al Imam abul Fida
Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al Qur’an
al-‘Ażīm, terjemahan
Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 12, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo,2003), h. 184.
[49] Salim Bahreisy dan
Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, jilid III, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1986), h. 509.
[58]Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Al Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir
Ibnu Kaśīr juz 11, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h.
48.
[59] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 4,
(Semarang: Toha Putra,tt,) h. 198.
[60] Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Al Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir
Ibnu Kaśīr juz 8, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h.
289.
[61]Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi,Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3,
(Semarang: Toha Putra,tt,) h. 166.
[62] Panitia Muzakarah Ulama, Memelihara
Kelangsungan Hidup Anak Menurut Ajaran Islam,
(Jakarta: Kerjasama Departemen Agama, MUI dan UNICEF, 1987/1988), h. 58-59.
[67] Boediono, ed. Standar Kompetensi
Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2003), h. 13.
[68] Lihat pada buku Laporan Perkembangan Anak Didik Taman
Kanak-Kanak, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia, tahun 2007.
Hmmm....
BalasHapus