Kejahatan PKI Terhadap Umat Islam
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah…..
Memasuki tahun 1960-an merupakan masa gegap gempitanya politik. PKI
menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia yang memiliki kesempatan untuk
berkuasa. PKI sadar, untuk mencapai tujuannya itu harus memanfaatkan figur
Presiden Soekarno. Itu sebabnya, PKI berusaha mendukung semua kebijakan
Presiden Soekarno.
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah
usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang
dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam tindak-tindak kekerasan yang
dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat
pemerintah dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang
mereka golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah negara maupun
tanah milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Sejumlah aksi massa PKI yang dimulai pada pertengahan 1961 itu
adalah peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa
Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit
(15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di
kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai peristiwa pembunuhan KH
Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan, Madura (28 Juli 1965)
Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada
akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang bukan PKI.
Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi
massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan
organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh
PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi
bersangkutan kecuali dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki
tahun 1964—dalam hal ini KH M Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng Jombang
tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser).
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di antara perlawanan yang pernah dilakukan
oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi massa sepihak PKI adalah peristiwa Nongkorejo,
Kencong, Kediri di mana pihak PKI didukung oleh oknum aparat seperti Jaini
(Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan Koramil setempat. Dalam kasus
itu, PKI telah mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur
kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi (PKI)
dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur darah.
Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik
Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah klobot,
padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI menanam kacang dan
ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir.
Karena merasa tidak berdaya, maka Haji Amir meminta bantuan kepada
Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor dari Lirboyo bersenjata clurit
dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan Pemuda Rakyat pecah pula di Malang.
Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang dan dalam pidatonya
mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus diganyang. Mendengar
pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung naik ke podium dan langsung
menyerang Karim. Para anggota Pemuda Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik.
Pemuda Rakyat banyak yang luka.
Kelahiran Banser
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat
meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI
melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh
setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat,
tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat
(LSIK, 1988:72). Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan
desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi massa sepihak yang
dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja mengkapling
tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas pula tanah
bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan, sekolah-sekolah negeri pun
akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Hal ini terutama terjadi di Blitar. Dengan aksi itu, baik perangkat
desa maupun guru-guru yang ingin terus bekerja harus menjadi anggota PKI.
Atas dasar aksi sepihak PKI itulah kemudian pengurus Ansor
kabupaten Blitar membentuk sebuah barisan khusus yang bertugas menghadapi aksi
sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh pengurus GP Ansor seperti
Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali Muksin, H. Badjuri, Atim,
Abdurrohim Sidik, diputuskanlah nama Barisan Ansor Serbaguna disingkat Banser.
Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang diterima aklamasi.
“Karena Banser adalah suatu kekuatan paramiliter serba guna yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di masa genting maupun aman, maka lambang
yang disepakati dewasa itu berkaitan dengan keberadaan Banser,” tutur Agus
Sunyonto, penulis masalah gerakan Islam, dalam tulisan “Mengenang Partisipasi
Politik Banser pada 1965 : Lahir dalam Tekanan PKI.”
Lambang awal Banser mencakup tiga gambar yakni cangkul, senapan dan
buku. Menurut Romdhon, tiga gambar itu memiliki makna bahwa seorang anggota Banser
siap melakukan pekerjaan membantu masyarakat yang membutuhkan (simbol cangkul),
siap pula membela agama, bangsa dan negara (senapan) dan siap pula belajar
(buku).
Dalam tempo singkat, setelah Banser Blitar terbentuk, secara
berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah. Dan pada 24 April 1964, Banser
dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional. Mula-mula, Banser dilatih
oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih pula oleh RPKAD, Raiders dan
batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh pihak militer, Banser
secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat dengan berbagai ilmu
kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal sebagai pembina
spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim (Tulungagung), KH
Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki
(Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH Djawahiri
(Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Siddiq (Jember).
Hasil kongkret dari pembentukan Banser, perlawanan terhadap aksi
sepihak PKI makin meningkat. Kordinasi-kordinasi yang dilakukan anggota Banser
untuk memobilisasi kekuatan berlangsung sangat cepat dan rapi. Dalam keadaan
seperti itu, mulai sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser
dengan PKI. Bahkan pada gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan
anggota Banser terhadap aksi-aksi massa maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah
berbagai bentrokan fisik antara Banser dengan PKI di berbagai tempat seperti:
Peristiwa Kanigoro.
Pada 13 Januari 1965 tepat pukul 04.30 WIB, sekitar 10.000 orang
Pemuda Rakyat dan BTI melakukan penyerbuan terhadap pondok pesantren Kanigoro,
Kras, Kediri. Alasan mereka melakukan penyerbuan, karena di pesantren itu
sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar Indonesia (PII). Pimpinan
penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono. Massa Pemuda Rakyat dan BTI itu
menyerbu dengan bersenjatakan golok, pedang, kelewang, arit, dan pentungan
sambil berteriak histeris: – “Ganyang santri…!”, “Ganyang Serban…!”, “Ganyang
Kapitalis..!”, “Ganyang Masyumi…!”.
Para anggota PR dan BTI yang sudah beringas itu kemudian
mengumpulkan kitab-kitab pelajaran agama dan Al-Qur’an. Kemudian semua
dimasukkan ke dalam karung dan diinjak-injak sambil memaki- maki. Pimpinan
pondok, Haji Said Koenan, dan pengasuh pesantren KH Djauhari, ditangkap dan
dianiaya. Para pengurus PII digiring dalam arak-arakan menuju Polsek setempat.
Para anggota PR dan BTI menyatakan, bahwa PII adalah anak organisasi Masyumi
yang sudah dilarang. Jadi PII, menurut PKI, berusaha melakukan tindak makar
dengan mengadakan training-training politik.
Peristiwa penyerangan PR dan BTI terhadap pesantren Kanigoro, dalam
tempo singkat menyulut kemarahan Banser Kediri. Gus Maksum “putera KH Djauhari”
segera melakukan konsolidasi. Siang itu, 13 Januari 1965, delapan truk berisi
Banser dari Kediri datang ke Kanigoro. Markas dan rumah-rumah anggota PKI
digrebek. Suryadi dan Harmono, pimpinan PR dan BTI, ditangkap dan diserahkan ke
Polsek.
Banser Versus Lekra
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga
sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh) dalam
sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal
dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti
hati umat Islam yakni : “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Pada saat ludruk sedang ramai, tiba-
tiba Banser melakukan serangan mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain
dihajar. Bahkan salah seorang pemain yang memerankan raja, saking ketakutan
bersembunyi di kebun dengan pakaian raja. Bulan Juli 1965, terjadi insiden di
Dampit kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan
dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon “Malaikat Kawin“. Banser datang dari
berbagai desa sekitar. Pada saat ludruk dipentaskan para anggota Banser yang
menonton di bawah panggung segera melompat ke atas panggung. Kemudian dengan
pisau terhunus, satu demi satu para pemain itu dicengkeram tubuhnya.
(Sumber: Duta Masyarakat)
Kumpulan Pendapat dan Argumentasinya
pada Tragedi berdarah masa kelam bangsa
Indonesia
Kumpulan Pendapat dan Argumentasinya
pada Tragedi berdarah masa kelam bangsa
Indonesia
TENTANG PERISTIWA GERAKAN 30
SEPTEMBER 1965
Oleh: Harsa Permata
Pendahuluan
Peristiwa G-30-S adalah peristiwa yang sangat berpengaruh dalam sejarah masyarakat Indonesia. Paska peristiwa ini pluralitas ideologi di Indonesia mulai dibatasi. Tidak hanya pembatasan terhadap pluralitas ideologi (terutama ideologi Marxisme-Leninisme yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan), pembantaian jutaan manusia yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga terjadi pascaperistiwa tersebut.
Bahkan, di dunia akademik diskursus tentang Marxisme juga dibatasi sesuai dengan isi dari TAP MPRS No.XXV/1966. Di dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang membatasi pluralitas ideologi, khususnya di dunia akademik, pertama:
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Keterbatasan ini menyebabkan kurangnya pemikiran alternatif untuk memperkaya studi ilmiah, terutama studi tentang ilmu sejarah, dan filsafat sejarah. Konsep materialisme dialektika historis yang menjadi inti Marxisme, paska diberlakukannya pelarangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme menjadi tidak bisa dipahami secara utuh, karena adanya keterbatasan untuk mempelajarinya.
Selain itu, keluarga dari orang-orang yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI mengalami hidup yang sangat sulit. Bahkan, mereka juga menemui keterbatasan di dalam mencari pekerjaan, dengan adanya “syarat bebas G-30-S” sebagai salah satu persyaratan dalam mencari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI.
Itulah beberapa akibat kongkrit dari peristiwa G-30-S, oleh karena itu maka studi filsafat sejarah terhadap peristiwa G-30-S adalah sangat penting. Dengan mempelajari peristiwa ini dengan menggunakan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme, maka diharapkan sebuah kebenaran tersembunyi bisa terungkap.
Ragam Versi Peristiwa G-30-S
Ada berbagai versi tentang G-30-S, pertama adalah versi Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Menurut versi ini, PKI adalah dalang sekaligus pelaku G-30-S. Oleh karena itu maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan G-30-S/PKI. Versi Orde Baru ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan G-30-S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI, yang menyiksa dan membantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua organisasi/kelompok yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada di bawah pengaruh PKI.
John Roosa, di dalam bukunya yang berjudul, “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September”, mengatakan bahwa Pusat Penerangan Angkatan telah mempublikasikan tiga jilid buku, dari bulan Oktober sampai Desember 1965, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa PKI secara organisasional adalah dalang G-30-S. Bukti utama yang diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung, yang ditangkap di Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap tanggal 11 Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan interogasi terhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam G-30-S yang merupakan kesukarelaan, dan untuk kepentingan PKI, adalah disampaikan dalam kondisi setengah sadar, dan sedang mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam sidang-sidang Mahmilub, keduanya, baik Untung maupun Latief, menyangkal laporan-laporan interogasi mereka, dan menyatakan bahwa G-30-S berada di bawah kepemimpinan mereka, sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan saja (Roosa, 2008 : 94-95).
Versi kedua mengenai G-30-S adalah berasal dari “analisa awal” Bennedict Anderson, dan Ruth Mc Vey. Di dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam berita-berita pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang lebih masuk akal adalah menjelaskan G-30-S sebagai suatu konflik internal Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 95-96).
Ben Anderson dan Ruth McVey berpendapat bahwa, G-30-S adalah sebuah pemberontakan dalam Angkatan Darat dari perwira-perwira muda yang berasal dari Jawa Tengah. Alasan pemberontakan adalah karena jijik terhadap kemerosotan gaya hidup, dan garis politik pro-Barat dari para Jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) di Jakarta. G-30-S adalah sebuah usaha untuk mengubah Angkatan Darat menjadi lebih merakyat. Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson dan McVey, bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal yang korup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno untuk menjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103).
Versi ketiga adalah versi Harold Crouch. Menurut Crouch, G-30-S, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda dengan PKI. Inisiatif awal G-30-S adalah berasal dari perwira-perwira muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagai kelompok inti yang merencanakan dan mengeksekusi. Versi ini sama dengan versi Sudisman (anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaitu Aidit, Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI). Sudisman berpendapat bahwa G-30-S adalah peristiwa internal Angkatan Darat. Ia mengakui bahwa beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai institusi tidak terlibat (Roosa, 2008 : 106).
Versi kelima adalah pendapat W.F Wertheim. Menurutnya, G-30-S adalah konspirasi antara Soeharto dengan teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung (tim inti G-30-S). (Roosa, 2008 : 112). Beberapa pimpinan PKI terlibat G-30-S, karena mereka ditipu oleh Sjam, dan komplotan perwira anti-PKI yang ingin menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno (Roosa, 2008 : 116).
Filsafat Sejarah Peristiwa G-30-S
Marx dan Engels, di dalam Manifes Partai Komunis paragraf pertama, mengatakan:
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan” (Marx dan Engels, 1964 : 50).
Peristiwa G-30-S adalah manifestasi dari konflik antar kelas-kelas dalam masyarakat, seperti pendapat Marx bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah kelas-kelas yang saling bertentangan. Apa saja kelas-kelasnya? Apakah hanya borjuis dan proletar? Untuk kasus G-30-S, kelompok-kelompok yang bertentangan sangat rumit, dan sulit dijelaskan posisi keberpihakan tiap kelompok pada suatu kelas.
PKI adalah partai proletar yang telah menjadi kekuatan politik yang cukup diperhitungkan ketika itu. Ini bisa dilihat dari perolehan suara yang didapat PKI pada pemilu tahun 1955, yaitu sebanyak 6.176.914 suara. Dengan ini, PKI mendapatkan 39 kursi di parlemen (Ricklefs, 2010 : 520).
Akan tetapi dengan banyaknya jumlah kursi yang dimiliki PKI, tidak disertai dengan dominasi dalam politik. Pembatasan terhadap distribusi Koran PKI, Harian Rakyat, pelarangan rapat umum, dan demonstrasi massa PKI oleh Pimpinan TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang dalam hal ini adalah Nasution. Pembatasan dan pelarangan ini bersandar pada Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB), yang memberi kekuasaan besar pada militer (Pour, 2011 : 221).
Posisi kuat militer (TNI) dalam politik ditentukan oleh kuatnya posisi mereka dalam ekonomi. Hukum darurat militer tahun 1957, memosisikan para perwira militer sebagai pengelola perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi. Ini kemudian memunculkan kelas baru, yaitu kelas borjuis militer (Caldwell & Utrecht, 2011 : 246).
Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal. Demokrasi terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer yang ingin membatasi pengaruh partai-partaai politik, khususnya PKI. Dengan digantinya UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak bertanggung jawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan leluasa memecat para menteri, dan dengan ini maka pengaruhnya menjadi terbatas. (Caldwell & Utrecht, 2011 : 218-219). Selama masa Demokrasi Terpimpin, militer telah mengendalikan 60 persen pos-pos utama dalam administrasi sipil (Caldwell & Utrecht, 2011 : 247).
Jadi, konflik antara borjuis dan proletar, seperti pendapat Marx tentang sejarah masyarakat, memang terjadi pada masa sebelum Orde Baru. Konflik ini memuncak pada peristiwa G-30-S, beberapa pimpinan PKI terlibat dalam peristiwa itu. Selain PKI, perwira-perwira Angkatan Darat juga terlibat, seperti Untung, Latief, dan Supardjo, selain itu ada satu orang perwira Angkatan Udara yang terlibat, yaitu Soejono.
Keterlibatan para perwira militer dalam G-30-S membuat peta konflik kelas menjadi agak bias. Perwira militer yang terlibat, secara politik adalah pendukung Soekarno, dan telah melakukan konspirasi dengan Biro Chusus PKI dalam merencanakan aksi G-30-S. Keberpihakan para perwira militer pelaku G-30-S ini adalah pada Soekarno, karena awalnya para Jenderal yang dihabisi dalam peristiwa G-30-S akan dihadapkan secara hidup-hidup pada Soekarno, untuk dimintai pertanggungjawaban terkait dengan isu Dewan Jenderal (Roosa, 2008: 311).
Kemenangan borjuis militer, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dalam konflik antarkelas ini, adalah dikarenakan kesalahan PKI dalam mempraktekkan prinsip-prinsip Marxisme. Dalam prinsip Marxisme, revolusi adalah perjuangan kelas tertindas yang terorganisir untuk merebut kekuasaan. Sementara itu, aksi G-30-S adalah aksi konspirasi antara beberapa perwira Angkatan Bersenjata pro-Soekarno dengan divisi rahasia PKI (Biro Chusus). Keterlibatan proletar yang dalam hal ini buruh dan tani, dikatakan tidak ada. PKI memiliki organisasiunderbouw buruh dan tani, yaitu SOBSI dan BTI, yang memiliki banyak anggota. Akan tetapi, pada peristiwa tersebut organisasi-organisasi ini tidak dilibatkan sama sekali.
Soekarno secara ideologi adalah seorang sosialis. Bahkan, ia meng-Indonesiakan Marxisme dengan konsep Marhaenismenya. Akan tetapi secara politik, Soekarno memiliki kecendrungan membiarkan dominasi politik tentara professional dalam kekuasaan, walaupun kemudian dia juga memberi tempat pada pimpinan PKI dalam kabinetnya. Namun demikian, para menteri dari pimpinan PKI tidak ada yang memiliki jabatan strategis. Kekuasaan Negara pada zaman Demokrasi terpimpin secara keseluruhan dipegang oleh militer dengan adanya UUKB.
Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 memakan korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira pertama. Peristiwa ini kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto. Wewenang khusus lewat Supersemar kemudian diberikan oleh Soekarno. Soeharto lalu membubarkan PKI sebagai konsekuensi dari kewenangan yang diberikan oleh Soekarno lewat Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret adalah fondasi awal kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Dengan manipulasi politik lewat Dekrit Presiden No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966, dengan dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).
Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk mengambilalih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan sebagai kudeta merangkak adalah karena usaha kudeta dilakukan lewat selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai kudeta. Soeharto kemudian membesar-besarkan G-30-S sebagai sebuah aksi pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan yang besar dalam pemerintahan Soekarno. Dengan dalih ini, Soeharto menuduh PKI sebagai dalang G-30-S. Selanjutnya, Soeharto menangkap sekitar satu setengah juta orang yang dituduh terlibat dalam G-30-S. Ratusan ribu kemudian dibantai oleh Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 5). Menurut pengakuan Sarwo Edhie Wibowo, sebagai komandan pembantaian, terdapat tiga juta orang yang telah dibantai (Pour, 2011:273).
Pandangan Marxisme yang mengatakan bahwa kontradiksi melahirkan perubahan memang terjadi di dalam peristiwa 1965. Secara politik memang terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada borjuis militer Soeharto. Secara ekonomi juga terjadi perubahan dari yang sebelumnya menutup diri dari dominasi asing, bahkan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing, kemudian pada masa Orde Baru modal asing bisa bergerak leluasa di Indonesia (Caldwell & Utrecht, 2011 : 287).
Selain itu, secara politik terjadi perubahan dengan diselenggarakannya pemilu, walaupun masih bersifat manipulatif. Hal ini berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin yang meniadakan pemilu. Akan tetapi persamaannya adalah pada kekuasaan presiden yang besar, bahkan legislatif pada masa Orde Baru, tunduk pada presiden.
Sistem ekonomi liberal yang diterapkan Orde Baru, kemudian memaksa sistem politik otoriter Orde Baru jatuh. Ini ditandai dengan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada tahun 1998, setelah gelombang aksi-aksi massa menuntut penggulingan Soeharto dan kerusuhan sebagai akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998.***
*Penulis
adalah mahasiswa program Master (S2) Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
DAFTAR PUSTAKA
Caldwell, M & Utrecht, E. 2011. Sejarah
Alternatif Indonesia. (Terjemahan Indonesia), Diterjemahkan
oleh Saut Pasaribu. Djaman Baroe. Yogyakarta.
Marx, K & Engels, F. 1964. Manifes
Partai Komunis. (Terjemahan
Indonesia), Diterjemahkan Oleh Depagitprop CC PKI, Jajasan Pembaruan. Jakarta.
Pour, Julius. 2011. Gerakan
30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang. PT Kompas Media Nusantara.
Jakarta.
Roosa, John, 2008. Dalih
Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Hasta
Mitra. Jakarta.
Undang-Undang:
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966
Pembantaian di Indonesia 1965–1966
adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepadaSoeharto.
Tragedi Kemanusiaan ini berawal dari konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat yang muncul sebagai akibat kesenjangan perikehidupan antara tentara prajurit dengan tentara perwira. Konflik laten dalam tubuh Angkatan Darat yang sudah dimulai sejak 17 tahun sebelumnya, kemudian mendapatkan jalan manifestasinya ketika muncul isu tentang rencana Kudeta terhadap kekuasaan Soekarno yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal. Perwia-perwira Angkatan Darat yang mendukung kebijakan Sosialisme Soekarno kemudian memutuskan untuk melakukan manuver (aksi) polisionil dengan menghadapkan tujuh orang Jendral yang diduga mengetahui tentang Dewan Jendral ini ke hadapan Soekarno. Target operasi adalah menghadapkan hidup-hidup ketujuh orang Jendral tersebut. Fakta yang terjadi kemudian adalah tiga dari tujuh orang Jendral yang dijemput paksa tersebut, sudah dalam keadaan anumerta.
Soeharto lah yang paling awal menuduh PKI menjadi dalang dari peristiwa pagi hari Jumat tanggal 01 Oktober 1965 tersebut. Tanpa periksa dan penyelidikan yang memadai, Soeharto mengambil kesimpulan PKI sebagai dalang hanya karena Kolonel Untung ---yang mengaku menjadi pimpinan Dewan Revolusi (kelompok tandingan untuk Dewan jendral)--- memiliki kedekatan pribadi dengan tokoh-tokoh utama Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. Hasil akhirnya adalah Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Pembantaian dimulai pada Januari 1966 seiring dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb dan memuncak selama kuartal kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1967 (menjelang pelantikan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden). Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar keJawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis;[1][2] dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi ditetapkan menjadi Presiden oleh MPRS yang diketuai oleh Jendral Abdul Harris Nasution (yang memang sengaja Soeharto tempatkan setelah menangkap dan memenjarakan seluruh pimpinan MPRS yang notabene adalah tokoh-tokoh PKI dan tokoh-tokoh Soekarnois).
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional.
Penjelasan memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari berbagai prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Latar belakang
Soeharto menghadiri
pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965. (Gambar
oleh Departemen Penerangan Indonesia)
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan
partai komunis terbesar ketiga di dunia.[6] Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak
dua juta orang.[7] Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.
Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung
pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh
dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut,
menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada
awal dan pertengahan tahun 1960-an.[8] Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan
tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.[9]
Pada tanggal 01 Oktober 1965, enam Jendral (tiga
diantaranya dalam proses penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga
sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh oleh kelompok
yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai
gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta
sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 01
Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan GESTAPU dengan sebutan GESTAPO
(Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka
pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto
mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif
sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan
Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI).
Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta
telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut.[10] Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan.
Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh
negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati
internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.[10] Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh.[11]Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun
meledak.[12]
Pembersihan politik
Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai
simpatisan PKI dicabut jabatannya.[3] Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno.
Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dibunuh pada saat
penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses persidangan pura-pura untuk
konsumsi HAM Internasional.[10]Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta.[10] Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.[13][14]Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).[11] Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000
aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer
Pembantaian
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang
selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam
skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya,[15] terutama Sumatera. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur.[12][14] Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali.[12] Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal
6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November,
dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukmansegera sesudahnya.[13][16]
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan
darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian
ini.[17] Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan
secara jelas.[18] Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan
senjata kepada milisi-milisi lokal.[15] Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan
bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara
mengenakan sanksi kekerasan.[19][20]
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya
komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar
tokoh komunis dari kepala desa.[21] Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam
masyarakat.[22] Kedutaan BesarAmerika Serikat di Jakarta
menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata
Indonesia.[23][24]
Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan
pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan.[25][26]Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI"
diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
beraliran kiri.[27] Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang
hanya dituduh atau diduga komunis.[11]
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban.
Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah.[27] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas
bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000
warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara
mereka tewas dibantai.[18]
Metode pembantaian meliputi penembakan atau
pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga
pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri,Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka
lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke
sungai.[18][27] Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah
korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.[27]
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun
beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.[16][28][29]Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai
berakhirnya pembantaian.[29]
Ketika dua pria sedang
menanti kematiannya, seroang tentara di belakang mereka menusukkan bayonetnya
ke mayat-mayat di bawah kakinya.
Jawa
Di Jawa, banyak pembunuhan
dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santriJawa untuk mencari
anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa.[2] Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di
Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang
lainnya hanya dituduh[29] atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.[2][29] Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya
ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan
yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana.[11] Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para
pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.[30]
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara
partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI
berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.[11] Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa
pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan
tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatera.
Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan.[16][18] Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis
supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan.
Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948.[27] Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh
orang-orang komunis yang tertangkap.[29]
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada
bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur
pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat.
Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.[31] Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur
mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan
kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi
angkatan bersenjata Indonesia.[31]
Bali
Penangkapan salah
seorang simpatisan PKI.
Bercermin dari
melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an,
di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Jabatan
pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada
tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno.[32] Sengketa atas
tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian,
ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral". Setelah Soeharto berkuasa
di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya.
Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta
karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk
menghancurkan PKI.[33]
Sebagai satu-satunya
pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di
Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI.[2] Pendeta tinggi
Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat
pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial.[29] Pemimpin Hindu
Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat
Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga merupakan
musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai
akar-akarnya."[34]
Seperti halnya sebagian
Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika
orang-orang komunis berkumpul kembali.[27] Keseimbangan
kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika
Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di Bali
setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan militer Jawa mengizinkan skuat
Bali untuk membantai sampai dihentikan.[35][36] Berkebalikan
dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk
membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk membantai justru sangat
besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer
harus ikut campur untuk mencegah anarki.[37] Serangkaian
pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin
oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi
menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI.[27] Antara Desember
1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar
5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah
manapun di Indonesia.[38][39][40][41]
Sumatera
Tindakan PKI berupa
gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di
perkebunan-perkebunan di Sumatera memicu aksi balasan yang cepat terhadap
orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di
seluruh Sumatera.[10] Pemberontakan
kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatera karena
banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan
organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada
Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian
tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatera dipandang sebagai
"pendudukan suku Jawa".[10] Di Lampung, faktor lain dalam
pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa.[18]
Jumlah korban
Meskipun garis besar
peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya,[15] dan jumlah pasti
korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.[42] Hanya ada sedikit
wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata
merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan
pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.[43] Media di
Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi
Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966.[44] Karena
pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit
penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa
Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde
Lama".[45]
Dalam waktu 20 tahun
pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius
mengenai jumlah korban.[37] Sebelum
pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah
meninggal[46] sedangkan menurut
orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.[37] Di kemudian hari,
angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1
juta orang.[31] Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada
1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.[37] Sebagian besar sejarawan
sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,[2][40][47][48] lebih banyak dari
peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[2] Suatu komando
keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa
dibantai.[29]
Para korban dibunuh
dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata
dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka",
tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.[49]
Penahanan
Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dijaga oleh para tentara dalam perjalanan mereka dengan truk bak terbuka
ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965.
Penangkapan dan
penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian.[2] Pada 1977,
laporan Amnesty Internationalmenyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang
dituduh terlibat dalam PKI ditahan.[50] Antara 1981 dan
1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan
tahanan ada di masyarakat.[51] Ada kemungkinan
bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses
peradilan.[16][31] Diperkirakan
sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya.[37][52][53] Orang-orang PKI
yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya
mencoba menyembunyikan masa lalu mereka.[2] Mereka yang
ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer , serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada
periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi
dan penganiayaan.[31] Ketika
orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah tanah, kadang
kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68.
Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara
rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai
pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.[31]
Dampak
Tindakan Soekarno yang
ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom
telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dimusnahkan
oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada jalan
menuju kekuasaan.[1][2] Banyak Muslim
yang tak lagi memercayai Soekarno, dan pada awal 1966, Soeharto secara terbuka
mulai menentang Soekarno, sebuah tindakan yang sebelumnya berusaha dihindari
oleh para pemimpin militer. Soekarno berusaha untuk berpegang kepada kekuasaan
dan mengurangi pengaruh baru dari angkatan bersenjata, namun dia tidak dapat
membuat dirinya menyalahkan PKI atas usaha kudeta sesuai permintaan Soeharto.[54] Pada 1 Februari
1966, Soekarno menaikkan pangkat Soeharto menjadi Letnan Jenderal.[55] Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian besar kekuasaan Soekarno atas
parlemen dan angkatan bersenjata kepada Soeharto,[56] memungkinkan
Soeharto untuk melakukan apa saja untuk memulihkan ketertiban. Pada 12 Maret
1967 Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan
Soeharto menjabat sebagai Presiden Sementara.[57] Pada 21 Maret
1968, Majelis
Permusyawaratan Rakyat secara resmi
memilih Soeharto sebagai presiden.[58]
The Year of Living
Dangerously (1982), salah
satu film asing yang dicekal di Indonesia pada era Orde Baru.
Pembantaian ini hampir
tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh
sedikit perhatian dari rakyat Indonesia maupun warga internasional.[3][4][5] Akan tetapi,
setelah Soeharto mundur pada 1998, dan meninggal pada tahun 2008, fakta-fakta
mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam pembantaian ini mulai terbuka kepada
masyarakat dalam tahun-tahun berikutnya.[26][59][60] Pencarian makam
para korban oleh orang-orang yang selamat serta anggoa keluarga mulai dilakukan
setelah tahun 1998, meskipun hanya sedikit yang berhasil ditemukan. Lebih dari
tiga dekade kemudian, rasa kebencian tetap ada dalam masyarakat Indonesia atas
peristiwa tersebut.[26] Film AustraliaThe Year of Living
Dangerously, yang ceritanya
diadaptasi secara mirip dari novel berjudul sama yang didasarkan pada peristiwa berujung pada pembantaian ini,
dilarang diputar di Indonesia sampai tahun 1999, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Penjelasan memuaskan
untuk skala dan kekejaman dari pembantaian ini telah menarik minat para ahli dari
berbagai perspektif ideologis. Salah satu pendapat memandang kebencian komunal
di balik pembantaian sampai pemaksaan demokrasi parlementer ke dalam masyarakat
Indonesia, mengklaim bahwa perubahan semacam itu secara budaya tidak sesuai dan
sangat mengganggu pada masa 1950-an pasca-kemerekaan. Pendapat yang berlawanan
adalah ketika Soekarno dan angkatan bersenjata menggantikan proses demokrasi
dengan otoriterianisme, persaingan kepentingan-yaitu antara militer, Islam
politis, dan komunisme-tidak dapat secara terbuka diperdebatkan, melainkan
lebih ditekan dan hanya dapat ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan.[54] Metode
penyelesaian konflik telah gagal, dan kelompok-kelompok Muslim dan angkatan
bersenjata menganut prinsip "kita atau mereka", dan bahwa ketika
pembantaian sudah berakhir, banyak orang Indonesia menganggap bahwa orang-orang
komunis layak menerimanya.[54] Kemungkinan
adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik
"Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik.[18] Kewaspadaan
terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto.[61] Di Barat,
pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme
pada Perang Dingin.
Pemerintah dan
media-media Barat lebih menyukai Soeharto dan Orde baru daripada PKI dan Orde
Lama.[54][62] Pembantaian itu
oleh Time digambarkan
sebagai "Berita Barat Terbaik di Asia".[63] Kepala berita di US News and World Report tertulis: "Indonesia: Harapan... di mana dahulu pernah tidak
ada".[64] Kolomnis New York Times, James Reston menyebutnya sebagai "Secercah cahaya di Asia".[65] Perdana Menteri
Australia Harold Holt, yang sedang
mengunjungi Amerika Serikat, berkomentar di The New York Times, "Dengan 500.000 sampai satu juta simpatisan komunis telah
disingkirkan... Saya kira sudah aman untuk menganggap bahwa re-orientasi telah
terjadi."[66]
Keterlibatan Amerika Serikat
Dokumen rahasia yang
membeberkan pembantaian tahun 1965.
Joseph Lazarsky, wakil
kepala CIA di Jakarta, mengatakan bahwa
konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas Soeharto. "Kami
memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus
ditangkap," kata Lazarsky. "Angkatan bersenjata memiliki 'daftar
tembak' yang berisi sekitar 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka tidak memiliki
cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup
berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan.
Kami tahu apa yang mereka lakukan... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan,
jika kamu membiarkan mereka hidup, kamu harus memberi mereka makan."[67][68]
Duta Besar Amerika di
Jakarta adalah Marshall Green, yang dikenal di
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai "ahli kudeta". Green
telah tiba di Jakarta hanya beberapa bulan sebelumnya, membawa serta reputasi
karena telah mendukung penggulingan diktator Korea Syngman Rhee, yang telah keluar bersama Amerika. Ketika pembantaian berlangsung di
Indonesia, manual mengenai pengorganisasian pelajar, yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Korea, disebarkan oleh
kedutaan Amerika Serikat ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).[69] Amerika Serikat
juga secara langsung mendanai mereka yang berpartisipasi dalam penindasan
terhadap orang-orang komunis. Pada tanggal 2 Desember 1965, Green mendukung
rencana untuk menyediakan lima puluh juta rupiah untuk apa yang
disebutnya sebagai "gerakan Kap-Gestapu," yang dia gambarkan sebagai
"kelompok aksi sipil tapi terilhami tentara" yang "membawa beban
upaya represif yang ditujukan kepada PKI, terutama di Jawa Tengah." [70] Green tidak
menyebutkan fakta bahwa "upaya represif saat ini" terhadap PKI di
Jawa Tengah meliputi, menurut Konsulat Amerika Serikat di Medan, usaha untuk
"membasmi semua orang PKI". Apakah dia menyadari fakta ini atau
tidak, agak diragukan, karena ia sendiri mencatat bahwa Kedutaan Besar Amerika
Serikat memiliki akses ke "laporan intelijen substansial" mengenai
kegiatan Kap-Gestapu, kegiatan yang ia yakinkan pada Departemen Luar Negeri
sebagai kegiatan yang "sepenuhnya sejalan dengan dan dikoordinasikan oleh
tentara" dan yang ia puji sebagai kegiatan yang "sangat sukses".[71]
Selain itu, Amerika
Serikat memasok peralatan logistik penting pada jenderal-jenderal Indonesia.
Para jenderal memintanya melalui penghubung yang ditunjuk di Bangkok,Thailand.[72] Dukungan itu
datang terutama dalam bentuk alat komunikasi taktis dengan tujuan menghubungkan Jakarta dengan pasukan
militer yang melaksanakan penindasan terhadap PKI di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi.[72] Amerika Serikat
juga menyediakan "senjata" yang berasal dari Amerika Serikat maupun
yang bukan dari Amerika Serikat, yang secara khusus merupakan permintaan untuk
"mempersenjatai pemuda Muslim dan Nasionalis di Jawa Tengah untuk
digunakan melawan PKI".[73][74] Kawat diplomatik
menunjukkan bahwa senjata-senjata ini adalah senjata ringan, digunakan untuk
membunuh dari jarak dekat.[75][76] Brad Simpson,
Asisten Profesor Sejarah dan Studi Internasional di Princeton University dan direktur Proyek Dokumentasi Indonesia/Timor Timur di George Washington University, menyatakan bahwa "Amerika Serikat terlibat langsung sejauh bahwa
mereka menyediakan bantuan kepada Angkatan Bersenjata Indonesia yang mereka
berikan untuk membantu memfasilitasi pembunuhan massal."[77]
Pada tanggal 5 Oktober
1965, Green mengirim telegram ke Washington mengenai
bagaimana Amerika Serikat dapat "membentuk perkembangan untuk keuntungan
kita". Rencananya adalah untuk memperburuk nama PKI dan
"pelindung"-nya, Soekarno. Propaganda ini harus didasarkan pada
"(penyebaran) kisah pengkhianatan, kesalahan, dan kebrutalan PKI".
Pada puncak pertumpahan darah, Green meyakinkan Jenderal Soeharto:
"Amerika Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sedang
dilakukan oleh angkatan bersenjata."[78] Adapun mengenai
jumlah korban, Howard Federspiel, ahli Indonesia di Biro Intelijen dan
Penelitian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun tahun 1965,
mengatakan, "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, mereka
harus dibantai. Tidak ada yang merasa perlu melakukan sesuatu mengenai hal
itu."[67]
Perkembangan kontemporer
Setelah Soeharto mundur bekat adanya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tapi itu ditangguhkan oleh
Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian diadakan di
Singapura pada tahun 2009.[49]
Pada bulan Mei 2009,
pada waktu yang berdekatan dengan Konferensi Singapura, penerbit di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang ditulis oleh Nathaniel Mehr,
berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika Serikat,
Britania Raya dan Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei
tingkat-pengantar mengenai pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto.
Pada 23 Juli 2012,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan
pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang
berat. Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil
pemeriksaan saksi menunjukkan adanya sembilan kejahatan yang masuk kategori
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara
sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Hasil penyelidikan
Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat
pada masa lalu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.[79]
Pada tahun 2012 dan
2014, dua film yang mengungkap bagaimana pembantaian massal dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, Sumatera Utara, diluncurkan. Film tersebut berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing) dan Senyap (judul versi
Inggris: The Look of Silence) masing-masing dengan fokus yang berbeda, Jagal
menelusuri bayangan, pandangan, dan pendapat para pelaku pembantaian massal
mengenai diri dan sejarah, sementara Senyap memotret pandangan keluarga korban
mengenai beban sejarah yang mereka tanggung, serta bagaimana satu orang dari
mereka meminta pertanggungjawaban para pelaku.[80][81]
Pembantaian ini telah banyak dihilangkan dari buku pelajaran sejarah
Indonesia. Dalam buku pelajaran sejarah, disebutkan bahwa pembantaian ini
adalah "kampanye patriotik" yang menghasilkan kurang dari 80.000
korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah dan mencantumkan
kejadian tersebut, tapi kurikulum baru ini ditinggalkan pada tahun 2006 karena
adanya protes dari kelompok militer dan Islam.[49] Buku-buku
pelajaran yang menyebutkan pembunuhan massal itu kemudian dibakar,[49] atas perintahJaksa Agung
Oleh: Harsa Permata
Pendahuluan
Peristiwa G-30-S adalah peristiwa yang sangat berpengaruh dalam sejarah masyarakat Indonesia. Paska peristiwa ini pluralitas ideologi di Indonesia mulai dibatasi. Tidak hanya pembatasan terhadap pluralitas ideologi (terutama ideologi Marxisme-Leninisme yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan), pembantaian jutaan manusia yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga terjadi pascaperistiwa tersebut.
Bahkan, di dunia akademik diskursus tentang Marxisme juga dibatasi sesuai dengan isi dari TAP MPRS No.XXV/1966. Di dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang membatasi pluralitas ideologi, khususnya di dunia akademik, pertama:
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Keterbatasan ini menyebabkan kurangnya pemikiran alternatif untuk memperkaya studi ilmiah, terutama studi tentang ilmu sejarah, dan filsafat sejarah. Konsep materialisme dialektika historis yang menjadi inti Marxisme, paska diberlakukannya pelarangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme menjadi tidak bisa dipahami secara utuh, karena adanya keterbatasan untuk mempelajarinya.
Selain itu, keluarga dari orang-orang yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI mengalami hidup yang sangat sulit. Bahkan, mereka juga menemui keterbatasan di dalam mencari pekerjaan, dengan adanya “syarat bebas G-30-S” sebagai salah satu persyaratan dalam mencari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI.
Itulah beberapa akibat kongkrit dari peristiwa G-30-S, oleh karena itu maka studi filsafat sejarah terhadap peristiwa G-30-S adalah sangat penting. Dengan mempelajari peristiwa ini dengan menggunakan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme, maka diharapkan sebuah kebenaran tersembunyi bisa terungkap.
Ragam Versi Peristiwa G-30-S
Ada berbagai versi tentang G-30-S, pertama adalah versi Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Menurut versi ini, PKI adalah dalang sekaligus pelaku G-30-S. Oleh karena itu maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan G-30-S/PKI. Versi Orde Baru ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan G-30-S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI, yang menyiksa dan membantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua organisasi/kelompok yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada di bawah pengaruh PKI.
John Roosa, di dalam bukunya yang berjudul, “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September”, mengatakan bahwa Pusat Penerangan Angkatan telah mempublikasikan tiga jilid buku, dari bulan Oktober sampai Desember 1965, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa PKI secara organisasional adalah dalang G-30-S. Bukti utama yang diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung, yang ditangkap di Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap tanggal 11 Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan interogasi terhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam G-30-S yang merupakan kesukarelaan, dan untuk kepentingan PKI, adalah disampaikan dalam kondisi setengah sadar, dan sedang mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam sidang-sidang Mahmilub, keduanya, baik Untung maupun Latief, menyangkal laporan-laporan interogasi mereka, dan menyatakan bahwa G-30-S berada di bawah kepemimpinan mereka, sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan saja (Roosa, 2008 : 94-95).
Versi kedua mengenai G-30-S adalah berasal dari “analisa awal” Bennedict Anderson, dan Ruth Mc Vey. Di dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam berita-berita pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang lebih masuk akal adalah menjelaskan G-30-S sebagai suatu konflik internal Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 95-96).
Ben Anderson dan Ruth McVey berpendapat bahwa, G-30-S adalah sebuah pemberontakan dalam Angkatan Darat dari perwira-perwira muda yang berasal dari Jawa Tengah. Alasan pemberontakan adalah karena jijik terhadap kemerosotan gaya hidup, dan garis politik pro-Barat dari para Jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) di Jakarta. G-30-S adalah sebuah usaha untuk mengubah Angkatan Darat menjadi lebih merakyat. Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson dan McVey, bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal yang korup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno untuk menjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103).
Versi ketiga adalah versi Harold Crouch. Menurut Crouch, G-30-S, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda dengan PKI. Inisiatif awal G-30-S adalah berasal dari perwira-perwira muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagai kelompok inti yang merencanakan dan mengeksekusi. Versi ini sama dengan versi Sudisman (anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaitu Aidit, Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI). Sudisman berpendapat bahwa G-30-S adalah peristiwa internal Angkatan Darat. Ia mengakui bahwa beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai institusi tidak terlibat (Roosa, 2008 : 106).
Versi kelima adalah pendapat W.F Wertheim. Menurutnya, G-30-S adalah konspirasi antara Soeharto dengan teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung (tim inti G-30-S). (Roosa, 2008 : 112). Beberapa pimpinan PKI terlibat G-30-S, karena mereka ditipu oleh Sjam, dan komplotan perwira anti-PKI yang ingin menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno (Roosa, 2008 : 116).
Filsafat Sejarah Peristiwa G-30-S
Marx dan Engels, di dalam Manifes Partai Komunis paragraf pertama, mengatakan:
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan” (Marx dan Engels, 1964 : 50).
Peristiwa G-30-S adalah manifestasi dari konflik antar kelas-kelas dalam masyarakat, seperti pendapat Marx bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah kelas-kelas yang saling bertentangan. Apa saja kelas-kelasnya? Apakah hanya borjuis dan proletar? Untuk kasus G-30-S, kelompok-kelompok yang bertentangan sangat rumit, dan sulit dijelaskan posisi keberpihakan tiap kelompok pada suatu kelas.
PKI adalah partai proletar yang telah menjadi kekuatan politik yang cukup diperhitungkan ketika itu. Ini bisa dilihat dari perolehan suara yang didapat PKI pada pemilu tahun 1955, yaitu sebanyak 6.176.914 suara. Dengan ini, PKI mendapatkan 39 kursi di parlemen (Ricklefs, 2010 : 520).
Akan tetapi dengan banyaknya jumlah kursi yang dimiliki PKI, tidak disertai dengan dominasi dalam politik. Pembatasan terhadap distribusi Koran PKI, Harian Rakyat, pelarangan rapat umum, dan demonstrasi massa PKI oleh Pimpinan TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang dalam hal ini adalah Nasution. Pembatasan dan pelarangan ini bersandar pada Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB), yang memberi kekuasaan besar pada militer (Pour, 2011 : 221).
Posisi kuat militer (TNI) dalam politik ditentukan oleh kuatnya posisi mereka dalam ekonomi. Hukum darurat militer tahun 1957, memosisikan para perwira militer sebagai pengelola perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi. Ini kemudian memunculkan kelas baru, yaitu kelas borjuis militer (Caldwell & Utrecht, 2011 : 246).
Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal. Demokrasi terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer yang ingin membatasi pengaruh partai-partaai politik, khususnya PKI. Dengan digantinya UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak bertanggung jawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan leluasa memecat para menteri, dan dengan ini maka pengaruhnya menjadi terbatas. (Caldwell & Utrecht, 2011 : 218-219). Selama masa Demokrasi Terpimpin, militer telah mengendalikan 60 persen pos-pos utama dalam administrasi sipil (Caldwell & Utrecht, 2011 : 247).
Jadi, konflik antara borjuis dan proletar, seperti pendapat Marx tentang sejarah masyarakat, memang terjadi pada masa sebelum Orde Baru. Konflik ini memuncak pada peristiwa G-30-S, beberapa pimpinan PKI terlibat dalam peristiwa itu. Selain PKI, perwira-perwira Angkatan Darat juga terlibat, seperti Untung, Latief, dan Supardjo, selain itu ada satu orang perwira Angkatan Udara yang terlibat, yaitu Soejono.
Keterlibatan para perwira militer dalam G-30-S membuat peta konflik kelas menjadi agak bias. Perwira militer yang terlibat, secara politik adalah pendukung Soekarno, dan telah melakukan konspirasi dengan Biro Chusus PKI dalam merencanakan aksi G-30-S. Keberpihakan para perwira militer pelaku G-30-S ini adalah pada Soekarno, karena awalnya para Jenderal yang dihabisi dalam peristiwa G-30-S akan dihadapkan secara hidup-hidup pada Soekarno, untuk dimintai pertanggungjawaban terkait dengan isu Dewan Jenderal (Roosa, 2008: 311).
Kemenangan borjuis militer, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto dalam konflik antarkelas ini, adalah dikarenakan kesalahan PKI dalam mempraktekkan prinsip-prinsip Marxisme. Dalam prinsip Marxisme, revolusi adalah perjuangan kelas tertindas yang terorganisir untuk merebut kekuasaan. Sementara itu, aksi G-30-S adalah aksi konspirasi antara beberapa perwira Angkatan Bersenjata pro-Soekarno dengan divisi rahasia PKI (Biro Chusus). Keterlibatan proletar yang dalam hal ini buruh dan tani, dikatakan tidak ada. PKI memiliki organisasiunderbouw buruh dan tani, yaitu SOBSI dan BTI, yang memiliki banyak anggota. Akan tetapi, pada peristiwa tersebut organisasi-organisasi ini tidak dilibatkan sama sekali.
Soekarno secara ideologi adalah seorang sosialis. Bahkan, ia meng-Indonesiakan Marxisme dengan konsep Marhaenismenya. Akan tetapi secara politik, Soekarno memiliki kecendrungan membiarkan dominasi politik tentara professional dalam kekuasaan, walaupun kemudian dia juga memberi tempat pada pimpinan PKI dalam kabinetnya. Namun demikian, para menteri dari pimpinan PKI tidak ada yang memiliki jabatan strategis. Kekuasaan Negara pada zaman Demokrasi terpimpin secara keseluruhan dipegang oleh militer dengan adanya UUKB.
Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 memakan korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira pertama. Peristiwa ini kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto. Wewenang khusus lewat Supersemar kemudian diberikan oleh Soekarno. Soeharto lalu membubarkan PKI sebagai konsekuensi dari kewenangan yang diberikan oleh Soekarno lewat Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret adalah fondasi awal kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Dengan manipulasi politik lewat Dekrit Presiden No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966, dengan dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).
Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk mengambilalih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan sebagai kudeta merangkak adalah karena usaha kudeta dilakukan lewat selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai kudeta. Soeharto kemudian membesar-besarkan G-30-S sebagai sebuah aksi pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan yang besar dalam pemerintahan Soekarno. Dengan dalih ini, Soeharto menuduh PKI sebagai dalang G-30-S. Selanjutnya, Soeharto menangkap sekitar satu setengah juta orang yang dituduh terlibat dalam G-30-S. Ratusan ribu kemudian dibantai oleh Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 5). Menurut pengakuan Sarwo Edhie Wibowo, sebagai komandan pembantaian, terdapat tiga juta orang yang telah dibantai (Pour, 2011:273).
Pandangan Marxisme yang mengatakan bahwa kontradiksi melahirkan perubahan memang terjadi di dalam peristiwa 1965. Secara politik memang terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada borjuis militer Soeharto. Secara ekonomi juga terjadi perubahan dari yang sebelumnya menutup diri dari dominasi asing, bahkan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing, kemudian pada masa Orde Baru modal asing bisa bergerak leluasa di Indonesia (Caldwell & Utrecht, 2011 : 287).
Selain itu, secara politik terjadi perubahan dengan diselenggarakannya pemilu, walaupun masih bersifat manipulatif. Hal ini berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin yang meniadakan pemilu. Akan tetapi persamaannya adalah pada kekuasaan presiden yang besar, bahkan legislatif pada masa Orde Baru, tunduk pada presiden.
Sistem ekonomi liberal yang diterapkan Orde Baru, kemudian memaksa sistem politik otoriter Orde Baru jatuh. Ini ditandai dengan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada tahun 1998, setelah gelombang aksi-aksi massa menuntut penggulingan Soeharto dan kerusuhan sebagai akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998.***
*Penulis
adalah mahasiswa program Master (S2) Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
DAFTAR PUSTAKA
Caldwell, M & Utrecht, E. 2011. Sejarah
Alternatif Indonesia. (Terjemahan Indonesia), Diterjemahkan
oleh Saut Pasaribu. Djaman Baroe. Yogyakarta.
Marx, K & Engels, F. 1964. Manifes
Partai Komunis. (Terjemahan
Indonesia), Diterjemahkan Oleh Depagitprop CC PKI, Jajasan Pembaruan. Jakarta.
Pour, Julius. 2011. Gerakan
30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang. PT Kompas Media Nusantara.
Jakarta.
Roosa, John, 2008. Dalih
Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Hasta
Mitra. Jakarta.
Undang-Undang:
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966
Pembantaian di Indonesia 1965–1966
adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepadaSoeharto.
Tragedi Kemanusiaan ini berawal dari konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat yang muncul sebagai akibat kesenjangan perikehidupan antara tentara prajurit dengan tentara perwira. Konflik laten dalam tubuh Angkatan Darat yang sudah dimulai sejak 17 tahun sebelumnya, kemudian mendapatkan jalan manifestasinya ketika muncul isu tentang rencana Kudeta terhadap kekuasaan Soekarno yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal. Perwia-perwira Angkatan Darat yang mendukung kebijakan Sosialisme Soekarno kemudian memutuskan untuk melakukan manuver (aksi) polisionil dengan menghadapkan tujuh orang Jendral yang diduga mengetahui tentang Dewan Jendral ini ke hadapan Soekarno. Target operasi adalah menghadapkan hidup-hidup ketujuh orang Jendral tersebut. Fakta yang terjadi kemudian adalah tiga dari tujuh orang Jendral yang dijemput paksa tersebut, sudah dalam keadaan anumerta.
Soeharto lah yang paling awal menuduh PKI menjadi dalang dari peristiwa pagi hari Jumat tanggal 01 Oktober 1965 tersebut. Tanpa periksa dan penyelidikan yang memadai, Soeharto mengambil kesimpulan PKI sebagai dalang hanya karena Kolonel Untung ---yang mengaku menjadi pimpinan Dewan Revolusi (kelompok tandingan untuk Dewan jendral)--- memiliki kedekatan pribadi dengan tokoh-tokoh utama Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. Hasil akhirnya adalah Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Pembantaian dimulai pada Januari 1966 seiring dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb dan memuncak selama kuartal kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1967 (menjelang pelantikan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden). Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar keJawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis;[1][2] dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi ditetapkan menjadi Presiden oleh MPRS yang diketuai oleh Jendral Abdul Harris Nasution (yang memang sengaja Soeharto tempatkan setelah menangkap dan memenjarakan seluruh pimpinan MPRS yang notabene adalah tokoh-tokoh PKI dan tokoh-tokoh Soekarnois).
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional.
Latar belakang
Soeharto menghadiri
pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965. (Gambar
oleh Departemen Penerangan Indonesia)
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan
partai komunis terbesar ketiga di dunia.[6] Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak
dua juta orang.[7] Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.
Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung
pada koalisi "Nasakom" antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh
dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut,
menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada
awal dan pertengahan tahun 1960-an.[8] Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan
tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.[9]
Pada tanggal 01 Oktober 1965, enam Jendral (tiga
diantaranya dalam proses penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga
sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh oleh kelompok
yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai
gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta
sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 01
Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan GESTAPU dengan sebutan GESTAPO
(Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka
pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto
mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif
sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan
Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI).
Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta
telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut.[10] Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan.
Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh
negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati
internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.[10] Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh.[11]Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun
meledak.[12]
Pembersihan politik
Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai
simpatisan PKI dicabut jabatannya.[3] Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno.
Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dibunuh pada saat
penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses persidangan pura-pura untuk
konsumsi HAM Internasional.[10]Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta.[10] Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar.[13][14]Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).[11] Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000
aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer
Pembantaian
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang
selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam
skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya,[15] terutama Sumatera. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur.[12][14] Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali.[12] Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal
6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November,
dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukmansegera sesudahnya.[13][16]
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan
darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian
ini.[17] Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan
secara jelas.[18] Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan
senjata kepada milisi-milisi lokal.[15] Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan
bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara
mengenakan sanksi kekerasan.[19][20]
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya
komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar
tokoh komunis dari kepala desa.[21] Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam
masyarakat.[22] Kedutaan BesarAmerika Serikat di Jakarta
menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata
Indonesia.[23][24]
Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan
pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan.[25][26]Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI"
diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
beraliran kiri.[27] Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang
hanya dituduh atau diduga komunis.[11]
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban.
Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah.[27] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas
bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000
warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara
mereka tewas dibantai.[18]
Metode pembantaian meliputi penembakan atau
pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga
pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri,Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka
lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke
sungai.[18][27] Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah
korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.[27]
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun
beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.[16][28][29]Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai
berakhirnya pembantaian.[29]
Ketika dua pria sedang
menanti kematiannya, seroang tentara di belakang mereka menusukkan bayonetnya
ke mayat-mayat di bawah kakinya.
Jawa
Di Jawa, banyak pembunuhan
dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santriJawa untuk mencari
anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa.[2] Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di
Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang
lainnya hanya dituduh[29] atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.[2][29] Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya
ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan
yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana.[11] Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para
pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.[30]
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara
partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI
berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.[11] Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa
pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan
tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatera.
Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan.[16][18] Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis
supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan.
Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948.[27] Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh
orang-orang komunis yang tertangkap.[29]
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada
bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur
pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat.
Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.[31] Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur
mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan
kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi
angkatan bersenjata Indonesia.[31]
Bali
Penangkapan salah
seorang simpatisan PKI.
Bercermin dari
melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an,
di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Jabatan
pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada
tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno.[32] Sengketa atas
tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian,
ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral". Setelah Soeharto berkuasa
di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya.
Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta
karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk
menghancurkan PKI.[33]
Sebagai satu-satunya
pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di
Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI.[2] Pendeta tinggi
Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat
pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial.[29] Pemimpin Hindu
Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat
Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga merupakan
musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai
akar-akarnya."[34]
Seperti halnya sebagian
Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika
orang-orang komunis berkumpul kembali.[27] Keseimbangan
kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika
Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di Bali
setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan militer Jawa mengizinkan skuat
Bali untuk membantai sampai dihentikan.[35][36] Berkebalikan
dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk
membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk membantai justru sangat
besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer
harus ikut campur untuk mencegah anarki.[37] Serangkaian
pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin
oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi
menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI.[27] Antara Desember
1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar
5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah
manapun di Indonesia.[38][39][40][41]
Sumatera
Tindakan PKI berupa
gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di
perkebunan-perkebunan di Sumatera memicu aksi balasan yang cepat terhadap
orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di
seluruh Sumatera.[10] Pemberontakan
kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatera karena
banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan
organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada
Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian
tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatera dipandang sebagai
"pendudukan suku Jawa".[10] Di Lampung, faktor lain dalam
pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa.[18]
Jumlah korban
Meskipun garis besar
peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya,[15] dan jumlah pasti
korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.[42] Hanya ada sedikit
wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata
merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan
pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.[43] Media di
Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi
Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966.[44] Karena
pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit
penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa
Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde
Lama".[45]
Dalam waktu 20 tahun
pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius
mengenai jumlah korban.[37] Sebelum
pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah
meninggal[46] sedangkan menurut
orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa.[37] Di kemudian hari,
angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1
juta orang.[31] Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada
1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.[37] Sebagian besar sejarawan
sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,[2][40][47][48] lebih banyak dari
peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[2] Suatu komando
keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa
dibantai.[29]
Para korban dibunuh
dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata
dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka",
tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.[49]
Penahanan
Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dijaga oleh para tentara dalam perjalanan mereka dengan truk bak terbuka
ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965.
Penangkapan dan
penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian.[2] Pada 1977,
laporan Amnesty Internationalmenyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang
dituduh terlibat dalam PKI ditahan.[50] Antara 1981 dan
1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan
tahanan ada di masyarakat.[51] Ada kemungkinan
bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses
peradilan.[16][31] Diperkirakan
sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya.[37][52][53] Orang-orang PKI
yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya
mencoba menyembunyikan masa lalu mereka.[2] Mereka yang
ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer , serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada
periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat kekurangan gizi
dan penganiayaan.[31] Ketika
orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah tanah, kadang
kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68.
Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani tahanan rumah dan secara
rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai
pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.[31]
Dampak
Tindakan Soekarno yang
ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom
telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dimusnahkan
oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada jalan
menuju kekuasaan.[1][2] Banyak Muslim
yang tak lagi memercayai Soekarno, dan pada awal 1966, Soeharto secara terbuka
mulai menentang Soekarno, sebuah tindakan yang sebelumnya berusaha dihindari
oleh para pemimpin militer. Soekarno berusaha untuk berpegang kepada kekuasaan
dan mengurangi pengaruh baru dari angkatan bersenjata, namun dia tidak dapat
membuat dirinya menyalahkan PKI atas usaha kudeta sesuai permintaan Soeharto.[54] Pada 1 Februari
1966, Soekarno menaikkan pangkat Soeharto menjadi Letnan Jenderal.[55] Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian besar kekuasaan Soekarno atas
parlemen dan angkatan bersenjata kepada Soeharto,[56] memungkinkan
Soeharto untuk melakukan apa saja untuk memulihkan ketertiban. Pada 12 Maret
1967 Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan
Soeharto menjabat sebagai Presiden Sementara.[57] Pada 21 Maret
1968, Majelis
Permusyawaratan Rakyat secara resmi
memilih Soeharto sebagai presiden.[58]
The Year of Living
Dangerously (1982), salah
satu film asing yang dicekal di Indonesia pada era Orde Baru.
Pembantaian ini hampir
tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh
sedikit perhatian dari rakyat Indonesia maupun warga internasional.[3][4][5] Akan tetapi,
setelah Soeharto mundur pada 1998, dan meninggal pada tahun 2008, fakta-fakta
mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam pembantaian ini mulai terbuka kepada
masyarakat dalam tahun-tahun berikutnya.[26][59][60] Pencarian makam
para korban oleh orang-orang yang selamat serta anggoa keluarga mulai dilakukan
setelah tahun 1998, meskipun hanya sedikit yang berhasil ditemukan. Lebih dari
tiga dekade kemudian, rasa kebencian tetap ada dalam masyarakat Indonesia atas
peristiwa tersebut.[26] Film AustraliaThe Year of Living
Dangerously, yang ceritanya
diadaptasi secara mirip dari novel berjudul sama yang didasarkan pada peristiwa berujung pada pembantaian ini,
dilarang diputar di Indonesia sampai tahun 1999, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Penjelasan memuaskan
untuk skala dan kekejaman dari pembantaian ini telah menarik minat para ahli dari
berbagai perspektif ideologis. Salah satu pendapat memandang kebencian komunal
di balik pembantaian sampai pemaksaan demokrasi parlementer ke dalam masyarakat
Indonesia, mengklaim bahwa perubahan semacam itu secara budaya tidak sesuai dan
sangat mengganggu pada masa 1950-an pasca-kemerekaan. Pendapat yang berlawanan
adalah ketika Soekarno dan angkatan bersenjata menggantikan proses demokrasi
dengan otoriterianisme, persaingan kepentingan-yaitu antara militer, Islam
politis, dan komunisme-tidak dapat secara terbuka diperdebatkan, melainkan
lebih ditekan dan hanya dapat ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan.[54] Metode
penyelesaian konflik telah gagal, dan kelompok-kelompok Muslim dan angkatan
bersenjata menganut prinsip "kita atau mereka", dan bahwa ketika
pembantaian sudah berakhir, banyak orang Indonesia menganggap bahwa orang-orang
komunis layak menerimanya.[54] Kemungkinan
adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik
"Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik.[18] Kewaspadaan
terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto.[61] Di Barat,
pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme
pada Perang Dingin.
Pemerintah dan
media-media Barat lebih menyukai Soeharto dan Orde baru daripada PKI dan Orde
Lama.[54][62] Pembantaian itu
oleh Time digambarkan
sebagai "Berita Barat Terbaik di Asia".[63] Kepala berita di US News and World Report tertulis: "Indonesia: Harapan... di mana dahulu pernah tidak
ada".[64] Kolomnis New York Times, James Reston menyebutnya sebagai "Secercah cahaya di Asia".[65] Perdana Menteri
Australia Harold Holt, yang sedang
mengunjungi Amerika Serikat, berkomentar di The New York Times, "Dengan 500.000 sampai satu juta simpatisan komunis telah
disingkirkan... Saya kira sudah aman untuk menganggap bahwa re-orientasi telah
terjadi."[66]
Keterlibatan Amerika Serikat
Dokumen rahasia yang
membeberkan pembantaian tahun 1965.
Joseph Lazarsky, wakil
kepala CIA di Jakarta, mengatakan bahwa
konfirmasi pembantaian datang langsung dari markas Soeharto. "Kami
memperoleh laporan yang jelas di Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus
ditangkap," kata Lazarsky. "Angkatan bersenjata memiliki 'daftar
tembak' yang berisi sekitar 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka tidak memiliki
cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang cukup
berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat dilumpuhkan.
Kami tahu apa yang mereka lakukan... Soeharto dan para penasehatnya mengatakan,
jika kamu membiarkan mereka hidup, kamu harus memberi mereka makan."[67][68]
Duta Besar Amerika di
Jakarta adalah Marshall Green, yang dikenal di
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai "ahli kudeta". Green
telah tiba di Jakarta hanya beberapa bulan sebelumnya, membawa serta reputasi
karena telah mendukung penggulingan diktator Korea Syngman Rhee, yang telah keluar bersama Amerika. Ketika pembantaian berlangsung di
Indonesia, manual mengenai pengorganisasian pelajar, yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Korea, disebarkan oleh
kedutaan Amerika Serikat ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).[69] Amerika Serikat
juga secara langsung mendanai mereka yang berpartisipasi dalam penindasan
terhadap orang-orang komunis. Pada tanggal 2 Desember 1965, Green mendukung
rencana untuk menyediakan lima puluh juta rupiah untuk apa yang
disebutnya sebagai "gerakan Kap-Gestapu," yang dia gambarkan sebagai
"kelompok aksi sipil tapi terilhami tentara" yang "membawa beban
upaya represif yang ditujukan kepada PKI, terutama di Jawa Tengah." [70] Green tidak
menyebutkan fakta bahwa "upaya represif saat ini" terhadap PKI di
Jawa Tengah meliputi, menurut Konsulat Amerika Serikat di Medan, usaha untuk
"membasmi semua orang PKI". Apakah dia menyadari fakta ini atau
tidak, agak diragukan, karena ia sendiri mencatat bahwa Kedutaan Besar Amerika
Serikat memiliki akses ke "laporan intelijen substansial" mengenai
kegiatan Kap-Gestapu, kegiatan yang ia yakinkan pada Departemen Luar Negeri
sebagai kegiatan yang "sepenuhnya sejalan dengan dan dikoordinasikan oleh
tentara" dan yang ia puji sebagai kegiatan yang "sangat sukses".[71]
Selain itu, Amerika
Serikat memasok peralatan logistik penting pada jenderal-jenderal Indonesia.
Para jenderal memintanya melalui penghubung yang ditunjuk di Bangkok,Thailand.[72] Dukungan itu
datang terutama dalam bentuk alat komunikasi taktis dengan tujuan menghubungkan Jakarta dengan pasukan
militer yang melaksanakan penindasan terhadap PKI di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi.[72] Amerika Serikat
juga menyediakan "senjata" yang berasal dari Amerika Serikat maupun
yang bukan dari Amerika Serikat, yang secara khusus merupakan permintaan untuk
"mempersenjatai pemuda Muslim dan Nasionalis di Jawa Tengah untuk
digunakan melawan PKI".[73][74] Kawat diplomatik
menunjukkan bahwa senjata-senjata ini adalah senjata ringan, digunakan untuk
membunuh dari jarak dekat.[75][76] Brad Simpson,
Asisten Profesor Sejarah dan Studi Internasional di Princeton University dan direktur Proyek Dokumentasi Indonesia/Timor Timur di George Washington University, menyatakan bahwa "Amerika Serikat terlibat langsung sejauh bahwa
mereka menyediakan bantuan kepada Angkatan Bersenjata Indonesia yang mereka
berikan untuk membantu memfasilitasi pembunuhan massal."[77]
Pada tanggal 5 Oktober
1965, Green mengirim telegram ke Washington mengenai
bagaimana Amerika Serikat dapat "membentuk perkembangan untuk keuntungan
kita". Rencananya adalah untuk memperburuk nama PKI dan
"pelindung"-nya, Soekarno. Propaganda ini harus didasarkan pada
"(penyebaran) kisah pengkhianatan, kesalahan, dan kebrutalan PKI".
Pada puncak pertumpahan darah, Green meyakinkan Jenderal Soeharto:
"Amerika Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sedang
dilakukan oleh angkatan bersenjata."[78] Adapun mengenai
jumlah korban, Howard Federspiel, ahli Indonesia di Biro Intelijen dan
Penelitian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun tahun 1965,
mengatakan, "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, mereka
harus dibantai. Tidak ada yang merasa perlu melakukan sesuatu mengenai hal
itu."[67]
Perkembangan kontemporer
Setelah Soeharto mundur bekat adanya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tapi itu ditangguhkan oleh
Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian diadakan di
Singapura pada tahun 2009.[49]
Pada bulan Mei 2009,
pada waktu yang berdekatan dengan Konferensi Singapura, penerbit di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang ditulis oleh Nathaniel Mehr,
berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika Serikat,
Britania Raya dan Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei
tingkat-pengantar mengenai pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto.
Pada 23 Juli 2012,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan
pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang
berat. Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil
pemeriksaan saksi menunjukkan adanya sembilan kejahatan yang masuk kategori
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesembilan pelanggaran HAM itu adalah
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara
sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Hasil penyelidikan
Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat
pada masa lalu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.[79]
Pada tahun 2012 dan
2014, dua film yang mengungkap bagaimana pembantaian massal dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, Sumatera Utara, diluncurkan. Film tersebut berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing) dan Senyap (judul versi
Inggris: The Look of Silence) masing-masing dengan fokus yang berbeda, Jagal
menelusuri bayangan, pandangan, dan pendapat para pelaku pembantaian massal
mengenai diri dan sejarah, sementara Senyap memotret pandangan keluarga korban
mengenai beban sejarah yang mereka tanggung, serta bagaimana satu orang dari
mereka meminta pertanggungjawaban para pelaku.[80][81]
Pembantaian ini telah banyak dihilangkan dari buku pelajaran sejarah
Indonesia. Dalam buku pelajaran sejarah, disebutkan bahwa pembantaian ini
adalah "kampanye patriotik" yang menghasilkan kurang dari 80.000
korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah dan mencantumkan
kejadian tersebut, tapi kurikulum baru ini ditinggalkan pada tahun 2006 karena
adanya protes dari kelompok militer dan Islam.[49] Buku-buku
pelajaran yang menyebutkan pembunuhan massal itu kemudian dibakar,[49] atas perintahJaksa Agung
Jagal
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk
penjagalan hewan, lihat Penyembelihan
hewan.
Jagal (bahasa Inggris: ''The Act of Killing'')
adalah film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer.[4]Dokumenter ini menyorot bagaimana
pelaku pembunuhan anti-PKI yang
terjadi pada tahun 1965-1966 memproyeksikan dirinya ke dalam
sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.
Film ini adalah hasil kerja sama Denmark-Britania Raya-Norwegia yang
dipersembahkan oleh Final Cut for Real di Denmark, diproduseri Signe Byrge
Sørensen, diko-sutradarai Anonim dan Christine Cynn, dan diproduseri eksekutif
oleh Werner Herzog, Errol Morris, Joram ten
Brink, dan Andre Singer. Ini adalah proyek Docwest dari Universitas
Westminster.
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk
penjagalan hewan, lihat Penyembelihan
hewan.
Jagal (bahasa Inggris: ''The Act of Killing'')
adalah film dokumenter karya sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer.[4]Dokumenter ini menyorot bagaimana
pelaku pembunuhan anti-PKI yang
terjadi pada tahun 1965-1966 memproyeksikan dirinya ke dalam
sejarah untuk menjustifikasi kekejamannya sebagai perbuatan heroik.
Film ini adalah hasil kerja sama Denmark-Britania Raya-Norwegia yang
dipersembahkan oleh Final Cut for Real di Denmark, diproduseri Signe Byrge
Sørensen, diko-sutradarai Anonim dan Christine Cynn, dan diproduseri eksekutif
oleh Werner Herzog, Errol Morris, Joram ten
Brink, dan Andre Singer. Ini adalah proyek Docwest dari Universitas
Westminster.
Latar belakang
Setelah PKI dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965,
Anwar dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut
karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara
membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan
intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam
pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah
membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.[5]
Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri
organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan
pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa
menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi
dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.[6]
Dalam Jagal,
para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang
mereka gunakan untuk membunuh. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau
Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh
sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan
dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan
menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan
pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah
sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika
seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di
acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian
dan keanggunan tap-dance.
Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan
menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop:
mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan
bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Pada tahun
1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan
pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan
kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film
Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan
kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka
secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola
mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka
merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana,
mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah
harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai
menjerat korban-korbannya dengan kawat.
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat
untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya
bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film
dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka
gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara
menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan
di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan
bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan
kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman
mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi,
musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga
memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah
alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai
apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa
pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka
sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat
bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian
dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat
berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai
“perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai
berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film
fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi
sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap
konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh
mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan
sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana
moral.[7]
Setelah PKI dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965,
Anwar dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut
karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara
membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan
intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam
pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah
membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.[5]
Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri
organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan
pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa
menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi
dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.[6]
Dalam Jagal,
para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang
mereka gunakan untuk membunuh. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau
Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh
sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan
dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan
menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan
pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah
sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika
seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di
acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian
dan keanggunan tap-dance.
Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan
menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop:
mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan
bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Pada tahun
1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan
pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan
kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film
Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan
kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka
secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola
mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka
merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana,
mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah
harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai
menjerat korban-korbannya dengan kawat.
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat
untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya
bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film
dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka
gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara
menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan
di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan
bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan
kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman
mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi,
musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga
memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah
alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai
apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa
pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka
sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat
bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian
dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat
berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai
“perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai
berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film
fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi
sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap
konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh
mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan
sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana
moral.[7]
Produksi
Film ini sebagian besar gambarnya diambil di
sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011.
Pada rentang waktu yang sama, awak film juga mengambil gambar untuk film Senyap yang
dirilis sebagai sekuel dua tahun setelah Jagal. Pengambilan gambar dan
wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman.
Diperlukan banyak editor dan waktu dua tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut
menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia. Sutradara Errol Morris dan Werner Herzog menjadi produser eksekutif film ini
setelah menonton sebagian footage dalam proses pengeditan.
Film ini di putar perdana secara internasional
di Toronto International Film Festival pada bulan September 2012.
Di Indonesia film ini diputar perdana di
Jakarta pada 1 November 2012. Film Jagal lewat pemutaran berbasis inisiatif
masyarakat, sampai bulan Agustus 2013, telah diputar pada lebih dari 1.000
pemutaran di 118 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sebagian besar pemutaran
diselenggarakan secara tertutup hanya untuk undangan terbatas, dan hanya 25
pemutaran diselenggarakan secara terbuka. Diperkirakan antara 15.000 sampai
25.000 orang Indonesia telah menontonnya. Di Indonesia film ini tidak
diperdagangkan sehingga setiap orang bisa mengadakan pemutaran tanpa harus
membayar biaya lisensi, royalti, ataupun biaya pemutaran (screening fee).
Mulai 30 September 2013, film Jagal dapat
diunduh gratis dari Indonesia lewat situs
resminya. Pada 16 Januari 2014, bersamaan dengan diumumkannya film
Jagal sebagai nomini piala Oscar (Academy Awards), pembuat film mengunggah filmnya
ke YouTube.
Film ini sebagian besar gambarnya diambil di
sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011.
Pada rentang waktu yang sama, awak film juga mengambil gambar untuk film Senyap yang
dirilis sebagai sekuel dua tahun setelah Jagal. Pengambilan gambar dan
wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman.
Diperlukan banyak editor dan waktu dua tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut
menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia. Sutradara Errol Morris dan Werner Herzog menjadi produser eksekutif film ini
setelah menonton sebagian footage dalam proses pengeditan.
Film ini di putar perdana secara internasional
di Toronto International Film Festival pada bulan September 2012.
Di Indonesia film ini diputar perdana di
Jakarta pada 1 November 2012. Film Jagal lewat pemutaran berbasis inisiatif
masyarakat, sampai bulan Agustus 2013, telah diputar pada lebih dari 1.000
pemutaran di 118 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sebagian besar pemutaran
diselenggarakan secara tertutup hanya untuk undangan terbatas, dan hanya 25
pemutaran diselenggarakan secara terbuka. Diperkirakan antara 15.000 sampai
25.000 orang Indonesia telah menontonnya. Di Indonesia film ini tidak
diperdagangkan sehingga setiap orang bisa mengadakan pemutaran tanpa harus
membayar biaya lisensi, royalti, ataupun biaya pemutaran (screening fee).
Mulai 30 September 2013, film Jagal dapat
diunduh gratis dari Indonesia lewat situs
resminya. Pada 16 Januari 2014, bersamaan dengan diumumkannya film
Jagal sebagai nomini piala Oscar (Academy Awards), pembuat film mengunggah filmnya
ke YouTube.
Tanggapan
The Act of Killing disambut pujian di seluruh dunia. Situs agregator
ulasan Rotten Tomatoes memberikan penilaian positif 97%
dengan nilai rata-rata 8.8/10 berdasarkan 104 ulasan. Konsensusnya adalah,
"Keras, mengerikan, dan sangat sulit untuk ditonton. The Act of Killing
adalah bukti menakutkan dari kekuatan film dokumenter yang mendidik dan
frontal."[8] Di Metacritic, film ini mendapatkan skor
rata-rata 88 dari 100 berdasarkan 19 ulasan yang artinya "pujian
universal".[9]
The Village Voice menyebut film ini
"mahakarya".[10] Jurnalis pemenang Pulitzer Prize Chris
Hedges menyebut film ini "eksplorasi penting terhadap psikologi para
pembunuh massal yang cukup rumit" dan "gambaran pembunuh massal yang
kejam tidak mengganggu kita. Justru sifat manusia itu sendiri yang mengganggu
kita
The Act of Killing disambut pujian di seluruh dunia. Situs agregator
ulasan Rotten Tomatoes memberikan penilaian positif 97%
dengan nilai rata-rata 8.8/10 berdasarkan 104 ulasan. Konsensusnya adalah,
"Keras, mengerikan, dan sangat sulit untuk ditonton. The Act of Killing
adalah bukti menakutkan dari kekuatan film dokumenter yang mendidik dan
frontal."[8] Di Metacritic, film ini mendapatkan skor
rata-rata 88 dari 100 berdasarkan 19 ulasan yang artinya "pujian
universal".[9]
The Village Voice menyebut film ini
"mahakarya".[10] Jurnalis pemenang Pulitzer Prize Chris
Hedges menyebut film ini "eksplorasi penting terhadap psikologi para
pembunuh massal yang cukup rumit" dan "gambaran pembunuh massal yang
kejam tidak mengganggu kita. Justru sifat manusia itu sendiri yang mengganggu
kita
Pasukan
Rakyat Kalimantan Utara
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau Paraku merupakan sayap bersenjata di bawah
naungan NKCP (North Kalimantan Communist Party), sebuah partai politik
komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia. NKCP dibentuk tanggal 19
September 1971 dibawah pimpinan Wen
Min Chyuan dari sebuah
organisasi bernama Organisasi
Komunis Sarawak. Ia pernah menjadi anggota partai Sarawak United People's Party pada tahun 1960-1964. Keanggotaan NKCP
didominasi oleh etnis China.
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau Paraku merupakan sayap bersenjata di bawah
naungan NKCP (North Kalimantan Communist Party), sebuah partai politik
komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia. NKCP dibentuk tanggal 19
September 1971 dibawah pimpinan Wen
Min Chyuan dari sebuah
organisasi bernama Organisasi
Komunis Sarawak. Ia pernah menjadi anggota partai Sarawak United People's Party pada tahun 1960-1964. Keanggotaan NKCP
didominasi oleh etnis China.
Sejarah
Latar belakang pembentukan[sunting | sunting sumber]
Terbentuknya Paraku-PGRS terkait dengan
peristiwa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga
1966. Pemerintah Indonesia menolak pembentukan Federasi Malaysia yang
didukung penuh oleh Inggris. Wilayah Kalimantan Utara yang juga merupakan
koloni Inggris, seperti halnya Semenanjung Malaya, dimasukkan ke dalam teritori
Federasi Malaysia oleh para penggagasnya tanpa terlebih dahulu meminta
persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara. Penolakan penduduk, khususnya
warga Tionghoa, didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu
Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara.[1]
Ide penggabungan wilayah-wilayah koloni Inggris
di Asia Tenggara dan Persekutuan Tanah Melayu (PTM) dimulai semenjak tahun
1960. Tanggal 27 Mei 1961, Perdana Menteri PTM Tunku Abdul Rahman mengungkapkan gagasan mengenai Negara Malaysia meliputi
PTM, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah di hadapan Foreign Correspondent Association di Singapura. Berdasarkan pertemuan
tanggal 13 Oktober 1961 di London, sebuah panitia penyelidikan Fact-Finding Comission yang diketuai Lord Cobbald dibentuk untuk mengumpulkan jajak
pendapat masyarakat mengenai rencana pembentukan tersebut. Hasil jajak pendapat
dari tanggal 19 Februari sampai 17 April 1962 mengungkapkan bahwa dua pertiga
masyarakat yang diwawancarai menyetujui penggabungan. Pertemuan di London pada
tanggal 18-31 Juli 1962 merencanakan pembentukan Malaysia pada
tanggal 31 Agustus 1963.[2]
Kelompok sayap kiri dan komunis berkembang
dengan pesat semenjak tahun 1950an di antara penduduk perkotaan Sarawak dari suku Iban dan
China. Mereka akhirnya menjadi inti pasukan Paraku dalam rangka gerakan Ganyang Malaysia (Dwikora) oleh presiden Indonesia saat
itu, yaitu Soekarno. Partai NKCP mempropagandakan penyatuan
seluruh wilayah Kalimantan yang berada di bawah kekuasaan Inggris untuk
membentuk negara merdeka Kalimantan
Utara. Ide tersebut awalnya diajukan oleh Azahari, ketuaPartai Rakyat Brunei,
yang memiliki hubungan dengan gerakan nasionalisme yang dicetuskan oleh Soekarno, bersama dengan Ahmad Zaidi di
Jawa pada tahun 1940an.[3][1]
Syekh A.M. Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei,
partai terbesar di Brunei, memproklamirkan berdirinya Negara Nasional
Kalimantan Utara (NNKU) yang meliputi Serawak,Brunei, dan Sabah pada tanggal 8 Desember 1962. Di
daerah lain, seperti di PTM, Singapura, dan Serawak, ada beberapa partai politik yang
juga tidak menyetujui pembentukan. Pemerintah Indonesia yang awalnya mendukung
pembentukan Federasi Malaysia, menjadi berbalik arah setelah Azahari
memproklamirkan pembentukan NNKU. Presiden Soekarno mengakui bahwa ia menerima pembentukan
Malaysia ketika gagasan tersebut diperkenalkan pada 1961, tetapi revolusi
anti-Malaysia di Brunei tahun
1962 tidak memberinya pilihan lain selain membantu Brunei, sebab Soekarno percaya
bahwa setiap rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri.[2]
Ide tersebut muncul sebagai sebuah alternatif
bagi penduduk setempat untuk melawan rencana Malaysia. Perlawanan penduduk
lokal berdasarkan perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antara
penduduk Kalimantan dengan Federasi Malaya, disamping juga mereka
menolak didominasi secara politik oleh federasi tersebut. Sebagai hasilPemberontakan
Brunei, diperkirakan sebanyak ribuan masyarakat China penganut paham
komunis lari meninggalkan Sarawak. Pasukan yang masih bertahan di
sana dikenal sebagai Pasukan
Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).
Terbentuknya Paraku-PGRS terkait dengan
peristiwa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga
1966. Pemerintah Indonesia menolak pembentukan Federasi Malaysia yang
didukung penuh oleh Inggris. Wilayah Kalimantan Utara yang juga merupakan
koloni Inggris, seperti halnya Semenanjung Malaya, dimasukkan ke dalam teritori
Federasi Malaysia oleh para penggagasnya tanpa terlebih dahulu meminta
persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara. Penolakan penduduk, khususnya
warga Tionghoa, didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu
Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara.[1]
Ide penggabungan wilayah-wilayah koloni Inggris
di Asia Tenggara dan Persekutuan Tanah Melayu (PTM) dimulai semenjak tahun
1960. Tanggal 27 Mei 1961, Perdana Menteri PTM Tunku Abdul Rahman mengungkapkan gagasan mengenai Negara Malaysia meliputi
PTM, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah di hadapan Foreign Correspondent Association di Singapura. Berdasarkan pertemuan
tanggal 13 Oktober 1961 di London, sebuah panitia penyelidikan Fact-Finding Comission yang diketuai Lord Cobbald dibentuk untuk mengumpulkan jajak
pendapat masyarakat mengenai rencana pembentukan tersebut. Hasil jajak pendapat
dari tanggal 19 Februari sampai 17 April 1962 mengungkapkan bahwa dua pertiga
masyarakat yang diwawancarai menyetujui penggabungan. Pertemuan di London pada
tanggal 18-31 Juli 1962 merencanakan pembentukan Malaysia pada
tanggal 31 Agustus 1963.[2]
Kelompok sayap kiri dan komunis berkembang
dengan pesat semenjak tahun 1950an di antara penduduk perkotaan Sarawak dari suku Iban dan
China. Mereka akhirnya menjadi inti pasukan Paraku dalam rangka gerakan Ganyang Malaysia (Dwikora) oleh presiden Indonesia saat
itu, yaitu Soekarno. Partai NKCP mempropagandakan penyatuan
seluruh wilayah Kalimantan yang berada di bawah kekuasaan Inggris untuk
membentuk negara merdeka Kalimantan
Utara. Ide tersebut awalnya diajukan oleh Azahari, ketuaPartai Rakyat Brunei,
yang memiliki hubungan dengan gerakan nasionalisme yang dicetuskan oleh Soekarno, bersama dengan Ahmad Zaidi di
Jawa pada tahun 1940an.[3][1]
Syekh A.M. Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei,
partai terbesar di Brunei, memproklamirkan berdirinya Negara Nasional
Kalimantan Utara (NNKU) yang meliputi Serawak,Brunei, dan Sabah pada tanggal 8 Desember 1962. Di
daerah lain, seperti di PTM, Singapura, dan Serawak, ada beberapa partai politik yang
juga tidak menyetujui pembentukan. Pemerintah Indonesia yang awalnya mendukung
pembentukan Federasi Malaysia, menjadi berbalik arah setelah Azahari
memproklamirkan pembentukan NNKU. Presiden Soekarno mengakui bahwa ia menerima pembentukan
Malaysia ketika gagasan tersebut diperkenalkan pada 1961, tetapi revolusi
anti-Malaysia di Brunei tahun
1962 tidak memberinya pilihan lain selain membantu Brunei, sebab Soekarno percaya
bahwa setiap rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri.[2]
Ide tersebut muncul sebagai sebuah alternatif
bagi penduduk setempat untuk melawan rencana Malaysia. Perlawanan penduduk
lokal berdasarkan perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antara
penduduk Kalimantan dengan Federasi Malaya, disamping juga mereka
menolak didominasi secara politik oleh federasi tersebut. Sebagai hasilPemberontakan
Brunei, diperkirakan sebanyak ribuan masyarakat China penganut paham
komunis lari meninggalkan Sarawak. Pasukan yang masih bertahan di
sana dikenal sebagai Pasukan
Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).
Dukungan Bung Karno
Bung Karno, Presiden Indonesia saat itu,
terkenal sangat anti imperialisme dan menganggap Federasi Malaysia tidak
lebih dari sekedar produk imperialis Inggris untuk
mempertahankan eksistensinya di Asia Tenggara serta mengganggu jalannya revolusi
Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan Bung Karno untuk menyerukan penghancuran ‘negara boneka’
Malaysia tersebut, dikenal dengan istilah Ganyang Malaysia. Pemerintahan Bung
Karno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak
pembentukan Federasi itu.[1]
Menurut buku sejarah Kodam XII/Tanjungpura, Tandjungpura Berdjuang, sikap
Indonesia yang menentang pembentukan Malaysia berhubungan dengan politik luar
negerinya yang anti kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya.
Indonesia menganggap pembentukan Malaysia hanya kedok dari Inggris dan
sekutunya untuk tetap berkuasa di Asia Tenggara dalam bentuk neo-kolonialisme,
dan kemudian mengepung Indonesia. Menurut M.C. Ricklefs, banyak pemimpin
Indonesia menganggap Malaya (PTM) tidak benar-benar merdeka karena tidak
terjadi suatu revolusi. Mereka merasa tidak senang dengan keberhasilan Malaya
di bidang ekonomi, merasa curiga dengan tetap hadirnya Inggris di sana dengan
pangkalan-pangkalan militernya, dan merasa tersinggung karena Malaya dan Singapura membantu
PRRI. Selain itu dapat pula ditambah alasan adanya keinginan agar Indonesia
memainkan peran yang lebih besar di dalam masalah-masalah Asia Tenggara. Hal
serupa dikemukakan Hilsman dalam bukunya To
Move a Nationseperti yang dikutip dari Cold
War Shadow:[2]
“Oposisi
Indonesia terhadap Malaysia merupakan bagian dari ekspresi 'nasionalisme baru'
mereka yaitu Jakarta ingin berdiri tinggi dalam permasalahan internasional,
terutama yang berkaitan dengan kekuatan kolonial sebelumnya... Sukarno,
terlebih lagi, menekankan bahwa Inggris tidak pernah benar-benar berbicara
dengan Indonesia mengenai rencana pembentukan federasi.”
Bung Karno menugaskan salah satu menterinya, Oei Tjoe Tat, untuk menggalang kekuatan
warga Tionghoa Kalimantan Utara yang anti-Malaysia untuk mendukung konfrontasi
melawan Malaysia dan Inggris. Pasukan tersebut membentuk Paraku-PGRS dan berada
dibawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni
Brigadir Jenderal Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Tempur IV Mandau.[1] Soebandrio bertemu dengan sekelompok pemimpin ,
hampir 900 orang Tionghoa Kalimantan Utara berkenan pindah ke daerah Kalimantan
Barat untuk diberi pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai olehmereka di Bogor,
dan Nasution mengirim tiga pelatih dari Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD)
Batalion 2 ke Nangabadan yang dekat dengan perbatasan Serawak.
Di sana terdapat sekitar 300 orang prajurit yang akan dilatih. Sekitar 3 bulan
kemudian, dua letnan dikirim ke sana.[4] Buku
Sejarah Tentara
Nasional Indonesia (TNI)
Jilid IV (1966-1983) mengakui bahwa Paraku-PGRS adalah pasukan yang dilatih dan
dipersenjatai oleh TNI. Buku itu juga menyebutkan, para anggota kedua pasukan
itu adalah orang-orang Tionghoa pro-komunis yang diandalkan oleh pemerintah
Indonesia untuk menghadapi Malaysia-Inggris. Namun, Paraku-PGRS juga
mengorganisir orang-orang dari suku Dayak dan Melayu untuk melakukan
serangkaian penyusupan ke wilayah Kalimantan Utara seperti Sarawak dan Brunei.[1]
Bung Karno, Presiden Indonesia saat itu,
terkenal sangat anti imperialisme dan menganggap Federasi Malaysia tidak
lebih dari sekedar produk imperialis Inggris untuk
mempertahankan eksistensinya di Asia Tenggara serta mengganggu jalannya revolusi
Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan Bung Karno untuk menyerukan penghancuran ‘negara boneka’
Malaysia tersebut, dikenal dengan istilah Ganyang Malaysia. Pemerintahan Bung
Karno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak
pembentukan Federasi itu.[1]
Menurut buku sejarah Kodam XII/Tanjungpura, Tandjungpura Berdjuang, sikap
Indonesia yang menentang pembentukan Malaysia berhubungan dengan politik luar
negerinya yang anti kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya.
Indonesia menganggap pembentukan Malaysia hanya kedok dari Inggris dan
sekutunya untuk tetap berkuasa di Asia Tenggara dalam bentuk neo-kolonialisme,
dan kemudian mengepung Indonesia. Menurut M.C. Ricklefs, banyak pemimpin
Indonesia menganggap Malaya (PTM) tidak benar-benar merdeka karena tidak
terjadi suatu revolusi. Mereka merasa tidak senang dengan keberhasilan Malaya
di bidang ekonomi, merasa curiga dengan tetap hadirnya Inggris di sana dengan
pangkalan-pangkalan militernya, dan merasa tersinggung karena Malaya dan Singapura membantu
PRRI. Selain itu dapat pula ditambah alasan adanya keinginan agar Indonesia
memainkan peran yang lebih besar di dalam masalah-masalah Asia Tenggara. Hal
serupa dikemukakan Hilsman dalam bukunya To
Move a Nationseperti yang dikutip dari Cold
War Shadow:[2]
“Oposisi
Indonesia terhadap Malaysia merupakan bagian dari ekspresi 'nasionalisme baru'
mereka yaitu Jakarta ingin berdiri tinggi dalam permasalahan internasional,
terutama yang berkaitan dengan kekuatan kolonial sebelumnya... Sukarno,
terlebih lagi, menekankan bahwa Inggris tidak pernah benar-benar berbicara
dengan Indonesia mengenai rencana pembentukan federasi.”
Bung Karno menugaskan salah satu menterinya, Oei Tjoe Tat, untuk menggalang kekuatan
warga Tionghoa Kalimantan Utara yang anti-Malaysia untuk mendukung konfrontasi
melawan Malaysia dan Inggris. Pasukan tersebut membentuk Paraku-PGRS dan berada
dibawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni
Brigadir Jenderal Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Tempur IV Mandau.[1] Soebandrio bertemu dengan sekelompok pemimpin ,
hampir 900 orang Tionghoa Kalimantan Utara berkenan pindah ke daerah Kalimantan
Barat untuk diberi pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai olehmereka di Bogor,
dan Nasution mengirim tiga pelatih dari Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD)
Batalion 2 ke Nangabadan yang dekat dengan perbatasan Serawak.
Di sana terdapat sekitar 300 orang prajurit yang akan dilatih. Sekitar 3 bulan
kemudian, dua letnan dikirim ke sana.[4] Buku
Sejarah Tentara
Nasional Indonesia (TNI)
Jilid IV (1966-1983) mengakui bahwa Paraku-PGRS adalah pasukan yang dilatih dan
dipersenjatai oleh TNI. Buku itu juga menyebutkan, para anggota kedua pasukan
itu adalah orang-orang Tionghoa pro-komunis yang diandalkan oleh pemerintah
Indonesia untuk menghadapi Malaysia-Inggris. Namun, Paraku-PGRS juga
mengorganisir orang-orang dari suku Dayak dan Melayu untuk melakukan
serangkaian penyusupan ke wilayah Kalimantan Utara seperti Sarawak dan Brunei.[1]
Pengaruh komunis
Reaksi Indonesia menentang pembentukan Malaysia
mendapat dukungan besar dari rakyat Indonesia. PKI mengecam rencana “Malaysia”
sebagai ”usaha neo-kolonialis untuk mencegah masyarakat dari koloni-koloni
Inggris untuk memperoleh kemerdekaan nasional yang sebenarnya dan kebebasan
dari imperialisme”. Angkatan
Darat mendukung sikap
Presiden Soekarno, tapi dalam kasus akan munculnya
bahaya komunisme yang lebih kuat. ”Pasukan khawatir berdasarkan populasi China
pada federasi tersebut, Malaysia akan menjadi batu loncatan bagi Komunis China
untuk masuk ke Indonesia melalui perbatasan Indonesia-Malaysia”.[2]
Indonesia juga mendapat dukungan dari Filipina.
Presiden Filipina, Diosdado Macapagal mengklaim Sabah sebagai bagian dari wilayah negaranya
atas dasar hubungan antara Filipina dan Sultan Sabah pada masa pra-kolonial.
Filipina juga takut bahwa federasi baru itu akan menjadi basis bagi tekanan
komunis dari populasi Cina-Malaysia dan elemen komunis Indonesia.[2]
Reaksi Indonesia menentang pembentukan Malaysia
mendapat dukungan besar dari rakyat Indonesia. PKI mengecam rencana “Malaysia”
sebagai ”usaha neo-kolonialis untuk mencegah masyarakat dari koloni-koloni
Inggris untuk memperoleh kemerdekaan nasional yang sebenarnya dan kebebasan
dari imperialisme”. Angkatan
Darat mendukung sikap
Presiden Soekarno, tapi dalam kasus akan munculnya
bahaya komunisme yang lebih kuat. ”Pasukan khawatir berdasarkan populasi China
pada federasi tersebut, Malaysia akan menjadi batu loncatan bagi Komunis China
untuk masuk ke Indonesia melalui perbatasan Indonesia-Malaysia”.[2]
Indonesia juga mendapat dukungan dari Filipina.
Presiden Filipina, Diosdado Macapagal mengklaim Sabah sebagai bagian dari wilayah negaranya
atas dasar hubungan antara Filipina dan Sultan Sabah pada masa pra-kolonial.
Filipina juga takut bahwa federasi baru itu akan menjadi basis bagi tekanan
komunis dari populasi Cina-Malaysia dan elemen komunis Indonesia.[2]
Pergerakan
Pada tanggal 8 Desember 1962, bersama dengan
berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara, Tentara Nasional Kalimantan Utara
dibentuk sebagai kekuatan pertahanan. Inggris mengerahkan tentara untuk melawan
NNKU sehingga membuat Azahari tidak
mampu mempertahankan pemerintahan pusat di Kalimantan Utara kemudian
memindahkannya ke Manila. Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia saat itu adalah
memberikan asylum politik kepada Perdana Menteri Azahari
dan Panglima Abang Kifli diJakarta.[2]
Berdirinya Negara Kalimantan Utara
mengakibatkan Partai Komunis Sarawak mendapat tekanan dari penguasa. Sejalan
dengan kebijaksanaan politik Indonesia masa itu, pemimpin-pemimpin komunis dari
Sarawak berpindah ke Kalimantan Barat. Sedangkan RRT (Republik Rakyat
Tiongkok), dalam rangka menyelamatkan Partai Komunis Sarawak,
mengirim Wen Min Tjuen dan Wong
Kee Chok ke Kalimantan Barat
pada awal tahun 1963. Kedua pemimpin Partai Komunis Tiongkok tersebut menemui Yap Chung Ho, Wong Ho, Liem Yen Hwa, dan Yacob dari Sarawak
Advance Youth Association (SAYA)
untuk membahas garis perjuangan dari Partai Komunis Sarawak. Azahari dan Abang
Kifli dengan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU)-nya kemudian berhubungan
dan bekerja sama dengan mereka. Tanggal 2 Desember 1963, Soebandrio, Wakil Menteri Pertama atau
Menteri Luar Negeri Indonesia, dan atas nama KOPERDASAN (Komando Pertahanan
Daerah Perbatasan), datang ke Kalimantan Barat dalam rangka kampanye
konfrontasi anti Malaysia dan memperkenalkan Azahari kepada khalayak ramai.[2]
Azahari (Brunei), Kelompok Yap Chung Ho
(Sarawak), dan Soebandrio (Indonesia) mengadakan pertemuan di Sintang dan
muncul gagasan untuk membentuk suatu pasukan bersenjata. Pertemuan kedua di
Bogor dihadiri Soebandrio, Njoto, Soeroto, Perdana Menteri NNKU Azahari, dan
kelompok Yap Chung Ho dari SUPP. Dalam pertemuan itu, diputuskan membentuk
pasukan bersenjata yang akan berkedudukan di perbatasan Kalimantan Barat
(Asuangsang di sebelah Utara Sambas). Soebandrio dengan BPI (Badan Pusat Intelijen)
Indonesia membantu melatih sepuluh orang anak buah Yap Chung Ho selama sebulan
di Bogor, kemudian dibawa ke Asuangsang untuk melatih 60 orang pasukan lagi.
Dengan basis pasukan ini, dibentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) sebagai bagian dari Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU).
Menurut Lie
Sau Fat atau X. F. Asali,
budayawan Tionghoa Kalimantan Barat dan saksi sejarah, ketika peristiwa
Dwikora, banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri
dari para pelarian dari Sarawak, yang umumnya etnis Tionghoa dan partisipan
komunis, juga sukarelawan dari Singkawang, Bengkayang, dan berbagai wilayah di
Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis seperti Melayu, Dayak, dan Tionghoa.
Kodam Tanjungpura pada Mei dan Juni 1964 memberikan latihan militer pada 28
orang sukarelawan dari SUPP (Sarawak United People Party) yang lari ke
Kalimantan Barat dan juga para sukarelawan yang dikirim dari Jakarta. Latihan
militer tersebut di lakukan di Dodiktif 18 – Tandjungpura, Bengkayang. Letnan
Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura,
mengungkapkan, “Saat itu, kita melatih PGRS/PARAKU untuk dipergunakan membantu
memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang.”[2]
Jumlah pasukan PGRS adalah sekitar 800 orang
yang berbasis di Batu Hitam, Kalimantan Barat, bersama dengan 120
pasukan dari Indonesia dan sedikit kader yang dilatih diRRT. Partai Komunis
Indonesia (PKI)
terbukti memiliki keterlibatan dan dipimpin oleh Syarif Ahmad Sofyan Al
Barakbah, seorang etnis Arab yang revolusioner. PGRS beberapa kali melakukan
perampokan di Serawak, tetapi lebih banyak lagi berusaha meningkatkan pendukung
mereka dari wilayah tersebut. Militer Indonesia tidak menyukai kecondongan PGRS
ke sayap kiri sehingga secara umum menghindari
mereka.[5]
Paraku-PGRS bahu-membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia menghadapi
pasukan Malaysia yang dibantu balatentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang
masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan
Utara menjadi garis depan pertempuran. Seorang peneliti Tionghoa, Benny
Subianto, mengungkapkan kehebatan gerilyawan Paraku-PGRS ketika melawan pasukan Gurkha Inggris.
Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha
Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi pada tanggal 28
September 1963. Buku A Face
Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo
1948-1971 karya JP Cross
mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta Paraku-PGRS yang menewaskan
beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border Scout. Dari fakta-fakta sejarah
tersebut, Paraku-PGRS tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era
konfrontasi.[1]
Kebijakan Pemerintah Indonesia, melalui BPI
(Badan Pusat Intelijen), membuat “kisah” PGRS/PARAKU tidak menjadi konsumsi
publik pada tahun 1963-1965 (sebelum G 30 S). Seperti yang diuraikan L.H.
Kadir, saksi sejarah, mantan Wakil Gubernur Kalbar 2003-2008, pada masa
konfrontasi bekerja sebagai pegawai negeri di Putusibau (1963-1965) dan
Mahasiswa APDN (1965-1968):[2]
“Sekitar
tahun 1963-1964 tidak ada pernyataan dukungan Indonesia terhadap PGRS/PARAKU.
Masyarakat hanya tahu bahwa ada pergolakan rakyat di perbatasan. Setahu saya
setelah peristiwa G 30 S baru ada di koran berita tentang PGRS/PARAKU. Sebelum
itu yang dikenal sukwan... Sewaktu masih di Putusibau, saya pernah mengantar
sukwan dari Putusibau untuk berlatih di perbatasan. Saya dengan speed ke Semitau diperintah Dandim
Hartono supaya mengantar. Orang-orang yang saya antar Cina semua waktu itu.
Mereka bawa senjata, ada pula amoi-amoi, banyak perempuan. Ada juga dokter dua
orang, mereka latihan di Badau.”
Pada tanggal 8 Desember 1962, bersama dengan
berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara, Tentara Nasional Kalimantan Utara
dibentuk sebagai kekuatan pertahanan. Inggris mengerahkan tentara untuk melawan
NNKU sehingga membuat Azahari tidak
mampu mempertahankan pemerintahan pusat di Kalimantan Utara kemudian
memindahkannya ke Manila. Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia saat itu adalah
memberikan asylum politik kepada Perdana Menteri Azahari
dan Panglima Abang Kifli diJakarta.[2]
Berdirinya Negara Kalimantan Utara
mengakibatkan Partai Komunis Sarawak mendapat tekanan dari penguasa. Sejalan
dengan kebijaksanaan politik Indonesia masa itu, pemimpin-pemimpin komunis dari
Sarawak berpindah ke Kalimantan Barat. Sedangkan RRT (Republik Rakyat
Tiongkok), dalam rangka menyelamatkan Partai Komunis Sarawak,
mengirim Wen Min Tjuen dan Wong
Kee Chok ke Kalimantan Barat
pada awal tahun 1963. Kedua pemimpin Partai Komunis Tiongkok tersebut menemui Yap Chung Ho, Wong Ho, Liem Yen Hwa, dan Yacob dari Sarawak
Advance Youth Association (SAYA)
untuk membahas garis perjuangan dari Partai Komunis Sarawak. Azahari dan Abang
Kifli dengan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU)-nya kemudian berhubungan
dan bekerja sama dengan mereka. Tanggal 2 Desember 1963, Soebandrio, Wakil Menteri Pertama atau
Menteri Luar Negeri Indonesia, dan atas nama KOPERDASAN (Komando Pertahanan
Daerah Perbatasan), datang ke Kalimantan Barat dalam rangka kampanye
konfrontasi anti Malaysia dan memperkenalkan Azahari kepada khalayak ramai.[2]
Azahari (Brunei), Kelompok Yap Chung Ho
(Sarawak), dan Soebandrio (Indonesia) mengadakan pertemuan di Sintang dan
muncul gagasan untuk membentuk suatu pasukan bersenjata. Pertemuan kedua di
Bogor dihadiri Soebandrio, Njoto, Soeroto, Perdana Menteri NNKU Azahari, dan
kelompok Yap Chung Ho dari SUPP. Dalam pertemuan itu, diputuskan membentuk
pasukan bersenjata yang akan berkedudukan di perbatasan Kalimantan Barat
(Asuangsang di sebelah Utara Sambas). Soebandrio dengan BPI (Badan Pusat Intelijen)
Indonesia membantu melatih sepuluh orang anak buah Yap Chung Ho selama sebulan
di Bogor, kemudian dibawa ke Asuangsang untuk melatih 60 orang pasukan lagi.
Dengan basis pasukan ini, dibentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) sebagai bagian dari Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU).
Menurut Lie
Sau Fat atau X. F. Asali,
budayawan Tionghoa Kalimantan Barat dan saksi sejarah, ketika peristiwa
Dwikora, banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri
dari para pelarian dari Sarawak, yang umumnya etnis Tionghoa dan partisipan
komunis, juga sukarelawan dari Singkawang, Bengkayang, dan berbagai wilayah di
Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis seperti Melayu, Dayak, dan Tionghoa.
Kodam Tanjungpura pada Mei dan Juni 1964 memberikan latihan militer pada 28
orang sukarelawan dari SUPP (Sarawak United People Party) yang lari ke
Kalimantan Barat dan juga para sukarelawan yang dikirim dari Jakarta. Latihan
militer tersebut di lakukan di Dodiktif 18 – Tandjungpura, Bengkayang. Letnan
Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura,
mengungkapkan, “Saat itu, kita melatih PGRS/PARAKU untuk dipergunakan membantu
memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang.”[2]
Jumlah pasukan PGRS adalah sekitar 800 orang
yang berbasis di Batu Hitam, Kalimantan Barat, bersama dengan 120
pasukan dari Indonesia dan sedikit kader yang dilatih diRRT. Partai Komunis
Indonesia (PKI)
terbukti memiliki keterlibatan dan dipimpin oleh Syarif Ahmad Sofyan Al
Barakbah, seorang etnis Arab yang revolusioner. PGRS beberapa kali melakukan
perampokan di Serawak, tetapi lebih banyak lagi berusaha meningkatkan pendukung
mereka dari wilayah tersebut. Militer Indonesia tidak menyukai kecondongan PGRS
ke sayap kiri sehingga secara umum menghindari
mereka.[5]
Paraku-PGRS bahu-membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia menghadapi
pasukan Malaysia yang dibantu balatentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang
masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan
Utara menjadi garis depan pertempuran. Seorang peneliti Tionghoa, Benny
Subianto, mengungkapkan kehebatan gerilyawan Paraku-PGRS ketika melawan pasukan Gurkha Inggris.
Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha
Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi pada tanggal 28
September 1963. Buku A Face
Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo
1948-1971 karya JP Cross
mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta Paraku-PGRS yang menewaskan
beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border Scout. Dari fakta-fakta sejarah
tersebut, Paraku-PGRS tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era
konfrontasi.[1]
Kebijakan Pemerintah Indonesia, melalui BPI
(Badan Pusat Intelijen), membuat “kisah” PGRS/PARAKU tidak menjadi konsumsi
publik pada tahun 1963-1965 (sebelum G 30 S). Seperti yang diuraikan L.H.
Kadir, saksi sejarah, mantan Wakil Gubernur Kalbar 2003-2008, pada masa
konfrontasi bekerja sebagai pegawai negeri di Putusibau (1963-1965) dan
Mahasiswa APDN (1965-1968):[2]
“Sekitar
tahun 1963-1964 tidak ada pernyataan dukungan Indonesia terhadap PGRS/PARAKU.
Masyarakat hanya tahu bahwa ada pergolakan rakyat di perbatasan. Setahu saya
setelah peristiwa G 30 S baru ada di koran berita tentang PGRS/PARAKU. Sebelum
itu yang dikenal sukwan... Sewaktu masih di Putusibau, saya pernah mengantar
sukwan dari Putusibau untuk berlatih di perbatasan. Saya dengan speed ke Semitau diperintah Dandim
Hartono supaya mengantar. Orang-orang yang saya antar Cina semua waktu itu.
Mereka bawa senjata, ada pula amoi-amoi, banyak perempuan. Ada juga dokter dua
orang, mereka latihan di Badau.”
Dampak bangkitnya Orde Baru
Pasca G 30 S, situasi belum mempengaruhi
PGRS/PARAKU karena pemerintah belum membubarkan PKI.
Situasi komando di Kalimantan Barat masih belum jelas. Satu-satunya komando
yang diberikan oleh Pangdam XII/Tanjungpura adalah tetap di pos masing-masing
dan mempertinggi kewaspadaan. Situasi itu dimanfaatkan PGRS/PARAKU untuk
mengonsolidasi kekuatan; banyak simpatisan PKI yang bergabung karena situasi politik
yang semakin menekan PKI. Mereka sama-sama memperoleh pelatihan militer dari
Tentara RI dan sama-sama diterjunkan di perbatasan. PKI memanfaatkan pengerahan
sukarelawan untuk melatih para kadernya, yang kebanyakan dari etnis Tionghoa,
sehingga akan sulit dibedakan yang mana PGRS/PARAKU, kader PKI, dan kelompok
yang tidak mengetahui tentang semua itu.[2]
Pemerintah Orde Baru dibawah
pimpinan Presiden Soeharto tidak
berniat untuk melanjutkan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggris.[1] Pada
29 Mei – 1 Juni 1966, diadakan perundingan antara Menteri Luar Negeri RI Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok atas
bantuan Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman. Puncak dari semua
perundingan adalah ditandatanganinya persetujuan Indonesia dan Malaysia untuk normalisasi
hubungan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan itu dikenal
dengan Jakarta Accord yang mengakui kedaulatan Malaysia. KOLAGA (Komando Mandala Siaga)
mengeluarkan instruksi dengan radiogram tanggal 10 Agustus 1966 No. TSR-26/1966
kepada semua Komando Bawahan untuk menghentikan kegiatan-kegiatan operasi.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh Komando Tempur (Kopur) IV/Mandau adalah
menyerukan agar PGRS/PARAKU mengadakan konsolidasi di tempat-tempat yang sudah
ditentukan. Ternyata yang mengikuti seruan tersebut hanya 99 orang, sedangkan
sejumlah 739 orang membangkang.[2] AM
Hendropriyono, prajurit Para Komando dengan kemampuan di bidang Sandi Yudha
pada 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan:
"Ini
kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya,
Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto
memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan
senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus
menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan."[6]
Tendensi politik anti-komunis serta keinginan
untuk berdamai dengan Malaysia-Inggris menempatkan Paraku-PGRS sebagai musuh
pemerintah Indonesia dan TNI.[1] Gerakan
PGRS / PARAKU yang memiliki dasar ideologi komunis merupakan sumber potensial
terhadap munculnya kerawanan sosial politik yang mengancam terhadap eksistensi
suatu negara.[7] TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris dalam
menumpas Paraku-PGRS, dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu Gerombolan Tjina Komunis (GTK)[1], sementara pihak Malaysia yang
sudah berdamai dengan Indonesia memberi cap ”CT” (Communist Terrorist).[6] Perang
antara TNI dengan gerilyawan Paraku-PGRS meletus, salah satunya yang terjadi di
Pangkalan Udara Sanggau Ledo,
Bengkayang, Kalimantan Barat. Memasuki tahun 1967,
operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah Orde Baru melalui Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III yang digelar
sejak April 1967 hingga Desember 1969 dibawah komando Brigadir Jenderal AJ
Witono.[1]
Pasca G 30 S, situasi belum mempengaruhi
PGRS/PARAKU karena pemerintah belum membubarkan PKI.
Situasi komando di Kalimantan Barat masih belum jelas. Satu-satunya komando
yang diberikan oleh Pangdam XII/Tanjungpura adalah tetap di pos masing-masing
dan mempertinggi kewaspadaan. Situasi itu dimanfaatkan PGRS/PARAKU untuk
mengonsolidasi kekuatan; banyak simpatisan PKI yang bergabung karena situasi politik
yang semakin menekan PKI. Mereka sama-sama memperoleh pelatihan militer dari
Tentara RI dan sama-sama diterjunkan di perbatasan. PKI memanfaatkan pengerahan
sukarelawan untuk melatih para kadernya, yang kebanyakan dari etnis Tionghoa,
sehingga akan sulit dibedakan yang mana PGRS/PARAKU, kader PKI, dan kelompok
yang tidak mengetahui tentang semua itu.[2]
Pemerintah Orde Baru dibawah
pimpinan Presiden Soeharto tidak
berniat untuk melanjutkan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggris.[1] Pada
29 Mei – 1 Juni 1966, diadakan perundingan antara Menteri Luar Negeri RI Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok atas
bantuan Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman. Puncak dari semua
perundingan adalah ditandatanganinya persetujuan Indonesia dan Malaysia untuk normalisasi
hubungan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan itu dikenal
dengan Jakarta Accord yang mengakui kedaulatan Malaysia. KOLAGA (Komando Mandala Siaga)
mengeluarkan instruksi dengan radiogram tanggal 10 Agustus 1966 No. TSR-26/1966
kepada semua Komando Bawahan untuk menghentikan kegiatan-kegiatan operasi.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh Komando Tempur (Kopur) IV/Mandau adalah
menyerukan agar PGRS/PARAKU mengadakan konsolidasi di tempat-tempat yang sudah
ditentukan. Ternyata yang mengikuti seruan tersebut hanya 99 orang, sedangkan
sejumlah 739 orang membangkang.[2] AM
Hendropriyono, prajurit Para Komando dengan kemampuan di bidang Sandi Yudha
pada 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan:
"Ini
kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya,
Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto
memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan
senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus
menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan."[6]
Tendensi politik anti-komunis serta keinginan
untuk berdamai dengan Malaysia-Inggris menempatkan Paraku-PGRS sebagai musuh
pemerintah Indonesia dan TNI.[1] Gerakan
PGRS / PARAKU yang memiliki dasar ideologi komunis merupakan sumber potensial
terhadap munculnya kerawanan sosial politik yang mengancam terhadap eksistensi
suatu negara.[7] TNI bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris dalam
menumpas Paraku-PGRS, dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu Gerombolan Tjina Komunis (GTK)[1], sementara pihak Malaysia yang
sudah berdamai dengan Indonesia memberi cap ”CT” (Communist Terrorist).[6] Perang
antara TNI dengan gerilyawan Paraku-PGRS meletus, salah satunya yang terjadi di
Pangkalan Udara Sanggau Ledo,
Bengkayang, Kalimantan Barat. Memasuki tahun 1967,
operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah Orde Baru melalui Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III yang digelar
sejak April 1967 hingga Desember 1969 dibawah komando Brigadir Jenderal AJ
Witono.[1]
Peristiwa Mangkok Merah
Pelaksanaan Operasi Saber I tidak memuaskan.
Faktor-faktor kegagalan disebabkan kurangnya tenaga tempur, dan pihak
PGRS/PARAKU lebih mengenal keadaan medan dan dapat menarik simpati kaum pribumi
yaitu suku Dayak setempat. PGRS/PARAKU juga mudah
memencar dan menyusup ke dalam masyarakat untuk menghilangkan diri dari pengejaran.
Hal itu disebabkan masyarakat dan kampung-kampung Tionghoa tersebar luas sampai
daerah pedalaman seluruh Kalimantan Barat.[2] Dalam Operasi Saber, terjadi
peristiwa Mangkok Merah pada bulan Oktober-November 1967.
Peristiwa Mangkok Merah dipicu oleh terjadinya penculikan dan
kekerasan yang dialami Temenggung Dayak di Sanggau Ledo.[1] Bulan
Maret 1967, seorang guru orang Dayak ditemukan dibunuh di Sungkung, Kecamatan
Siding, Kabupaten Bengkayang. Tanggal 3 September 1967 ada sembilan orang Dayak
diculik di Kampung Taum dan baru ditemukan tidak bernyawa oleh masyarakat dan
TNI pada tanggal 5 September 1967.[8] TNI mempropagandakan kekerasan itu
dilakukan oleh GTK alias Paraku-PGRS. Propaganda diperkuat penemuan sembilan
mayat oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)
yang diklaim sebagai mayat tokoh-tokoh Dayak.[1]
Gerakan pembasmian PGRS/PARAKU pada tanggal 14
Oktober 1967 dikenal dengan sebutan “Demonstrasi Suku Dayak”. Gerakan ini
kemudian menyebar luas menjadi luapan emosi etnis Dayak, hingga upacara mangkok merah diadakan. Gerakan ini menjadi sentimen
rasial dengan mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/PARAKU dan
menjadi korban gerakan demonstrasi. Gerakan ini mengakibatkan pengungsian
besar-besaran etnis Tionghoa menuju ke Kota Pontianak, menimbulkan masalah beban
pengungsi di kota-kota penampungan, derita psikis yang dialami keluarga korban
pembantaian, dan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Setelah gerakan Suku
Dayak, kegiatan-kegiatan PGRS/PARAKU mulai menurun. Tekanan-tekanan Pasukan
Indonesia menyebabkan PGRS/PARAKU semakin terjepit. Putusnya jalur logistik
dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa menyebabkan banyak anggota
PGRS/PARAKU yang menyerahkan diri.[2] Presiden Soeharto, dalam pidato kenegaraan tanggal
16 Agustus 1968 malam, secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Suku Dayak
di Kalbar yang telah membantu pemerintah menumpas tuntas sisa-sisa gerombolan
PGRS/PARAKU di Kalbar.[8]
Pelaksanaan Operasi Saber I tidak memuaskan.
Faktor-faktor kegagalan disebabkan kurangnya tenaga tempur, dan pihak
PGRS/PARAKU lebih mengenal keadaan medan dan dapat menarik simpati kaum pribumi
yaitu suku Dayak setempat. PGRS/PARAKU juga mudah
memencar dan menyusup ke dalam masyarakat untuk menghilangkan diri dari pengejaran.
Hal itu disebabkan masyarakat dan kampung-kampung Tionghoa tersebar luas sampai
daerah pedalaman seluruh Kalimantan Barat.[2] Dalam Operasi Saber, terjadi
peristiwa Mangkok Merah pada bulan Oktober-November 1967.
Peristiwa Mangkok Merah dipicu oleh terjadinya penculikan dan
kekerasan yang dialami Temenggung Dayak di Sanggau Ledo.[1] Bulan
Maret 1967, seorang guru orang Dayak ditemukan dibunuh di Sungkung, Kecamatan
Siding, Kabupaten Bengkayang. Tanggal 3 September 1967 ada sembilan orang Dayak
diculik di Kampung Taum dan baru ditemukan tidak bernyawa oleh masyarakat dan
TNI pada tanggal 5 September 1967.[8] TNI mempropagandakan kekerasan itu
dilakukan oleh GTK alias Paraku-PGRS. Propaganda diperkuat penemuan sembilan
mayat oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)
yang diklaim sebagai mayat tokoh-tokoh Dayak.[1]
Gerakan pembasmian PGRS/PARAKU pada tanggal 14
Oktober 1967 dikenal dengan sebutan “Demonstrasi Suku Dayak”. Gerakan ini
kemudian menyebar luas menjadi luapan emosi etnis Dayak, hingga upacara mangkok merah diadakan. Gerakan ini menjadi sentimen
rasial dengan mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/PARAKU dan
menjadi korban gerakan demonstrasi. Gerakan ini mengakibatkan pengungsian
besar-besaran etnis Tionghoa menuju ke Kota Pontianak, menimbulkan masalah beban
pengungsi di kota-kota penampungan, derita psikis yang dialami keluarga korban
pembantaian, dan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Setelah gerakan Suku
Dayak, kegiatan-kegiatan PGRS/PARAKU mulai menurun. Tekanan-tekanan Pasukan
Indonesia menyebabkan PGRS/PARAKU semakin terjepit. Putusnya jalur logistik
dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa menyebabkan banyak anggota
PGRS/PARAKU yang menyerahkan diri.[2] Presiden Soeharto, dalam pidato kenegaraan tanggal
16 Agustus 1968 malam, secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Suku Dayak
di Kalbar yang telah membantu pemerintah menumpas tuntas sisa-sisa gerombolan
PGRS/PARAKU di Kalbar.[8]
Status selanjutnya
Pada tahun 1974, pecahan fraksi yang dipimpin
oleh Bong Kee Chok menandatangani perjanjian damai dengan
pemerintah. Fraksi Bong Kee Chok lebih besar daripada sisanya yang dipimpin
oleh Wen Ming Chyuan.
NKCP menurun secara bertahap. Tahun 1989, CIA memperkirakan fraksi tersebut memiliki
sekitar 100 pasukan. Akhirnya, tanggal 17 Oktober 1990, NKCP menandatangani
perjanjian damai dengan pemerintah. Beberapa prajurit gerilya selanjutnya hidup
sebagai masyarakat biasa.
Pada tahun 1974, pecahan fraksi yang dipimpin
oleh Bong Kee Chok menandatangani perjanjian damai dengan
pemerintah. Fraksi Bong Kee Chok lebih besar daripada sisanya yang dipimpin
oleh Wen Ming Chyuan.
NKCP menurun secara bertahap. Tahun 1989, CIA memperkirakan fraksi tersebut memiliki
sekitar 100 pasukan. Akhirnya, tanggal 17 Oktober 1990, NKCP menandatangani
perjanjian damai dengan pemerintah. Beberapa prajurit gerilya selanjutnya hidup
sebagai masyarakat biasa.
Paraku dan pelanggaran HAM
Kasus Paraku/PGRS didokumentasikan sebagai
salah satu pelanggaran HAM di Indonesia. Beberapa pihak menengarai dalam
peristiwa ini juga terjadi pembersihan
etnisterhadap warga Tionghoa di pedalaman Kalimantan.[9] Dalam
buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang
mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di
antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak
Kasus Paraku/PGRS didokumentasikan sebagai
salah satu pelanggaran HAM di Indonesia. Beberapa pihak menengarai dalam
peristiwa ini juga terjadi pembersihan
etnisterhadap warga Tionghoa di pedalaman Kalimantan.[9] Dalam
buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang
mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di
antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak
Kisah Misteri – Lubang Buaya Menyimpan Kisah Mistis
Para Tentara
Kisah Misteri – Masih ingatkah anda cerita
pembantaian yang dilakukan oleh PKI pada 30 september tahun 1965? Kisah
tersbeut merupakan kisah pembantaian para jenderal dan letnan yang saat
ini telah menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia. Bada banyak cerita – cerita
mistis yang datang dari masyarakat setelah mendatangi lokasi yang kini jadi
musem nasional tersebut. lokasi lubang buaya merupakan lokasi dimana para
perwira milter, jenderal dan beberapa letnan dibunuh oleh para anggota PKI.
Dalam lubang buaya tersebut jasad – jasad para pembela tanah air tersebut
ditemukan dalam keadaan rusak akibat bekas tembakan yang dilayangkan pada tubuh
mereka.
Adalah Brigadir Jenderal Soetodjo
Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac Pandjaitan, Mayor Jenderal R.
Soeprapto, Mayor Jenderal MT Hardjono, Mayor Jenderal S. Parman , Letnan
Jenderal Ahmad Yani, dan Letnan Satu Piere Andries Tendean yang menjadi korban
kekejian dari para anggota PKI. Para petinggi militer Indonesia itu diculik dan
dibawa ke markas PKI di desa Lubang Buaya yang berada di Jakarta Timur.
Petinggi militer tersebut disiksa sampai dengan
tewasnya mereka lalu jasad – jasad mereka dimasukkan kedalam lubang buaya yang
tingkat kedalamannya mencapai 12 meter dalamnya dan ukuran diameternya pun tak
begitu besar. Karena anggota PKI menduga masih ada diantara petinggi militer
tersebut yang masih hidup maka setelah di lempar ke lubang buaya sejumlah
anggota PKI menembaki puluhan peluru kea rah lubang buaya hinga semua jenderal
tersebut tewas terkena tembakan.
Kisah tragis tersebut menimbulkan rasa takut
tersendiri bagi para masyarakat ketika berada di museum lubang buaya tersebut.
Ada beberapa pengakuan dari masyarakat saat bertandang ke lubang buaya, mereka
mengatakan mendengar teriakan – teriakan dari seorang yang suaranya seperti
seorang laki- laki meminta tolong dari dalam lubang buaya tersebut. bahkan
beberapa kali terlihat sebuah sosok penampakan dari seorang pria yang mukanya
rusak mengenakan baju seperti seorang tentara.
Selain itu sebuah ruangan yang tak jauh
letaknya dari sumur lubang buaya itu juga menambah seramnya cerita mistis dari
museum ini. Pasalnya dalam ruangan tersbeut terdapat patung – patung replica
dari tentara – tentara yang dibunuh pada waktu itu. Keitaka masuk dalam museum
tersebut sangat terasa sekali aura mistis didalamnya dan seolah –olah patung
tersebut terasa hidup. Bahkan menurut pengakuan seorang petugas penjaga loket
pintu masuk, ketika menjelang malam hari ia sering mendengar langkah kaki
seperti pasukan tentara akan berbaris padahal dalam museum tersebut tidak ada
seorangpun.
Fakta Terselubung Dibalik Kisah G30S PKI
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa
Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia
39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel
Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara
Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada
Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis
Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio
menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi.
Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat Mayor Jenderal Soeharto.Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan
Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September-Oktober. Kisah
pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas.
Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan
Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan
edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang
tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan
riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Potongannya seperti preman
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu
saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia
adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung
tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di
Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di
pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko,
seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo.
Wergoe adalah orang tua Suhardi.“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya
Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung,
memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung
kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter,
tapi badannya gempal.“Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka
praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata
Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah
tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho.
“Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke
arah Sriwedari.”Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion
Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di
daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis
Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan
Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.Clash yang terjadi pada 1948
antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri
terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian
balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu,
menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya
adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal
Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita
ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima
Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak
pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro
ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di
Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima
Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung
terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung
adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng
Raiders.Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di
hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di
bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan
pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat,
pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia
mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.“Kedua prestasi
inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata
Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan
Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa
pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi
anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.Anggota
Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat
Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi
Tjakrabirawa.Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah
mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti
Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan
tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku
tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus.
Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu
mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung
menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi,
tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra,
tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta
pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di
desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar.
“Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya
menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi.
“Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya,
Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia
pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan
Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap
mereka.Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer
Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan
Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di
gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi
Dewan Jenderal.Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya
informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan
Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden.
Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama
kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri
1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu
Dewan Jenderal,” kata Maulwi.Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan
kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan.
Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan
mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530
Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata
pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh,
pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh
pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada
aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu
ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu
kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan
Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal Dinihari, 1
Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh
jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang
dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu
Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara
berusaha menemui Soeharto.Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam
pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di
Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul
20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari
penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui
aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri.
Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana.
Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang
bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu
tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh
masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya
heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia
langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah
Abang. “Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng
Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang
semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan
Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang
sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah
menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya.
“Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung
dekat dengan PKI,” katanya.Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku
hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno.
“Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan
kepada mereka,” jawab Untung. Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur
Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan
Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan
tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara
tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung,
Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru
Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara
Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau
operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The
Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal
dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa
persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.“Itu tak
masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan
murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol
Untung,” katanya kepada Retnowati.Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa
dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak
pun masih percaya bakal diselamatkan.
Peristiwa G 30 S PKI
Terilhami dari tulisan Jarar Siahaan di BatakNews yang berjudul “Pantaskah
Soeharto Diampuni”, dan dari peringatan 9 tahun turunnya Rezim Soeharto,
berdasarkan fakta dari kejadian yang terjadi 42 tahun silam di Jakarta, tepatnya
tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Ada seorang ahli sejarah yang
sempat meneliti tentang kejadian yang menimpa bangsa kita di tahun 1965,
mengatakan bahwa di tahun 1965, di Indonesia hanya ada satu Jendral dan dia
adalah Mayjen TNI Soeharto. Menurut ahli sejarah itu juga termakan image yang
sengaja dibuat Soeharto bahwa dia adalah orang yang paling berjasa atas
dibubarkannya Partai yang kini dianggap sebagai partai terlarang di negeri
kita.
Soeharto adalah seorang prajurit TNI berpangkat cukup tinggi dan juga
memegang salah satu jabatan penting dalam jajaran TNI sebagai Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno,
Soeharto adalah seorang perwira tinggi yang tidak terlalu diperhitungkan. Itu
juga menjadi penyebab tidak terteranya nama Soeharto dalam daftar 7 jendral
yang menjadi target pembunuhan dalam pemberontakan PKI. 7 Jendral yang
menjadi target operasi PKI (Baris pertama kiri-kanan) Jendral TNI Anumerta
Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman,
Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Baris kedua Kiri-kanan) Mayjen TNI Anumerta
Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta
Pierre Tendean.
Apa mungkin Soekarno lupa pada jasa Soeharto yang menjadi arsitek Serangan
Umum 1 Maret atas Kota Yogya yang berhasil menguasai Kota Yogya selama 6 jam
yang kala itu dikuasai oleh Belanda? Ataukah Soekarno mengetahui fakta yang
sebenarnya terjadi.Pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965,
sebuah pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde Baru)
namun berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh seorang perwira tinggi
bernama Soeharto. “Resolusi Dewan Jendral” yang sempat beberapa kali
disebutkan dalam film tersebut, hal itu benar adanya. Resolusi Dewan Jendral
memang ada. Beberapa orang Jendral pada saat itu sedang merencanakan untuk
menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengambil alih kekuasaan.Para pemimpin PKI
kala itu cukup resah dengan adanya isu tentang resolusi Dewan Jendral. Mereka
khawatir jika para jendral berhasil, maka posisi mereka berada di ujung tanduk.
Untuk itu mereka harus bergerak cepat, berpacu dengan waktu untuk menumpas para
jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral, sebelum para jedral
mendahuluinya. Rakyat yang kala itu masih bodoh dicekoki dengan
pernyataan-pernyataan pedas tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya
sebuah pemberontakan. PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu
identik dengan kekejaman. Rakyat akan semakin terkepung dalam kesengsaraan.
Doktrin yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat itu pada akhirnya berhasil
membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung duka yang mendalam dan
berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian di sebuah negara yang
masih muda ini. Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat yang telah didoktrinnya
untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan
Jendral. PKI sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI
adalah pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat PKI
demi sebuah image bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki
pengaruh Amerika Serikat. Memang Sokarno lebih menyukai politik sosialis
demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala itu yaitu
pemerataan.
Karena PKI takut
kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya menumpas Dewan
Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno. Maka direncanakanlah
sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya para pemimpin PKI sepakat
tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah pada tanggal 30 September.Para
pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan. Sedikitpun
mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto kala itu bukan
siapa-siapa. Dia tidak lain hanyalah seorang prajurit TNI berpangkat tinggi
yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama sekali. Disisi lain,
Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan Jendral dan
mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk menumpasnya. Namun dia hanya
diam. Soeharto juga memiliki kepentingan jika PKI berhasil. Kepentingan
Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai dianggap penting dan kembali
diperhitungkan di kancah percaturan negeri ini sehingga dia bisa mendapat
jabatan yang lebih penting dari jabatan yang dia pegang saat itu. Dia biarkan
PKI melakukan aksinya dengan membunuh para perwira tinggi TNI yang memang
memegang jabatan penting di negara. Dengan demikian akan semakin berkurang
saingan bagi Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih penting
dari sekedar panglima Kostrad. Tanggal 30 September pukul 4 pagi,
diculiklah 7 jendral yang menjadi target operasi PKI. Mereka dibawa ke lubang
buaya dan diserahkan kepada masa pendukung PKI yang telah berkumpul di sana
sejak sore hari tanggal 29 September untuk diadili dengan cara mereka. Massa
dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan
menambah kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di lubang
buaya berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral
tersebut.
Fakta Di Balik Peristiwa G 30 S PKI
Pagi harinya, Soeharto yang telah mengetahui hal ini mendapat laporan dari
beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto hanya tersenyum dalam hati
karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi. Ambisinya untuk menguasai
negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia miliki hanya tinggal selangkah lagi.
Tahukah anda apa
sebenarnya yang telah direncanakan Soeharto sebelumnya yang disimpannya
baik-baik dalam benaknya? Dia biarkan PKI membunuh ketujuh Jendral tersebut,
lalu memfitnah PKI telah melakukan kudeta terhadap Soekarno sehingga
orang-orang PKI yang mengetahui fakta sejarah dapat dengan mudah disingkirkan
dengan cara difitnah. Doktrin yang dilontarkan Soeharto adalah bahwa PKI akan
melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Soekarno. Mungkinkah PKI akan
menggulingkan pendukung terkuatnya? Tidak masuk akal. Ingat PKI dan Soekarno
saling mendukung, apa mungkin PKI melakukan hal itu? Pagi harinya Soeharto
bergerak cepat dan melangkahi tugas beberapa orang jendral atasannya dengan
memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara tanpa meminta restu dari Presiden.
Di buku sejarahku waktu SD ditulis, “Mayjen TNI Soeharto dengan tangkas
memegang tampuk pimpinan TNI yang lowong sepeninggal A Yani.” Kalau bisa dan
boleh aku ingin mengedit tulisan di buku sejarahku dengan kata-kata, “dengan
lancang Soeharto memegang tampuk pimpinan TNI.” Masih banyak orang yang
harusnya dimintai restu oleh Soeharto atas inisiatifnya memegang tampuk
pimpinan TNI. Lalu dengan mudah Soeharto yang telah mengetahui semua seluk
beluk aksi PKI ini menumpas PKI. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, para
pelaku pemberontakan PKI ditangkap dan sebagian lagi kabarnya melarikan diri ke
luar negeri. Lalu Soeharto menyebarkan doktrin bahwa PKI telah melakukan kudeta
terhadap kepemimpinan Soekarno. Padahal PKI bermaksud menggagalkan kudeta yang
akan dilancarkan oleh para jendral tersebut. PKI dijadikan kambing hitam oleh
Soeharto atas apa yang memang diinginkannya. Satu langkah Soeharto untuk
menguasai negeri ini berhasil.
Penguasaan Kembali Gedung RRI Pusat
Dini hari tanggal 1
Oktober 1965 Gerakan Tiga Puluh September (G30S) PKI menculik dan membunuh 6
orang perwira tinggi Angkatan Darat yang yang dinilai sebagai penghalang utama
rencana mereka untuk merebut kekuasaan Negara. Pagi itu pula mereka berhasil
menguasai Gedung RRI dan Gedung Pusata Telekomunikasi. Di bawah todongan
pistol, seorang penyiar RRI dipaksa menyiarkan pengumuman yang menyatakan bahwa
G-30-S telah menyelamatkan Negara dari usaha kudeta “Dewan Jendral”. Tengah
hari mereka mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara dan pendemisioneran cabinet. Untuk
menghentikan pengumuman-pengumuman yang menyesatkan rakyat itu, Panglima
Komando Tindakan Strategi Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto yang telah
mengambil alih sementara pimpinan Angkatan Darat memerintahkan pasukan Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk membebaskan Gedung RRI Pusata dan
Gedung Telekomunikasi dari penguasaan G-30-S PKI. Operasi yang dimulai pukul
18.30, dengan mengerahkan kekuatan satu kompi dalam waktu hanya 20 menit, RPKAD
berhasil menguasai kembali gedung vital itu. Pukul 20.00 tanggal 1 Oktober 1965
RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato radio Mayjen Soeharto yang menjelaskan
adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh PKI melalui G-30-S.
Penangkapan D.N. Aidit ( 22 November 1965 )
Setelah G 30 S PKI
mengalami kegagalan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam ketua
CC PKI D.N. Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI.
Tanggal 2 Oktober 1965 ia berada di Yogyakarta, kemudian berpindah-pindah
tempat dari Yogyakarta ke Semarang. Selanjutnya ia ke Solo untuk menghindari
operasi pengejaran yang dilakukan oleh RPKAD. Tempat persembunyiannya yang
terakhir di sebuah rumah di kampung Sambeng Gede. Daerah ini merupakan basis
Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi massa yang bernaung dibawah PKI.
Melalui operasi intelijen, tempat persembunyian D.N. Aidit dapat diketahui oleh
ABRI. Tengah malam tanggal 22 November 1965 pukul 01.30 rumah tersebut digrebek
dan digledah oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa Perang (Pekuper) Surakarta.
Penangkapan hamper gagal ketika pemilik rumah mengatakan bahwa D.N. Aidit telah
meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul setelah anggota Pekuper menemukan
sandal yang masih baru, koper dan radio yang menandakan hadirnya seseorang yang
lain di dalam rumah itu. Penggeledahan dilanjutkan. Dua orang Pekuper menemukan
D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari. Ia langsung ditangkap dan kemudian
dibawa ke Markas Pekuper Surakarta di Loji Gandrung, Solo.
Supersemar
Suasana negara saat itu benar-benar memburuk. Negara yang masih muda ini
serasa berasa di titik paling bawah dari keterpurukannya. Perekonomian anjlok,
harga bahan pangan menjulang, bahan pangan susah didapat dimana-mana, kerusuhan
pecah di seluruh wilayah negeri ini. Beberapa elemen masyarakat melakukan aksi
yang berbuntut dengan dicetuskannya Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi Tritura
adalah:
1. Bubarkan PKI
2. Turunkan Harga
3. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S
PKI
Aksi beberapa elemen
masyarakat ini di awali dengan aksi yang digelar oleh mahasiswa yang menamakan
dirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Gerakan mahasiswa ini juga
diikuti oleh elemen masyarakat lain seperti Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI),
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan lain-lain.Aksi-aksi inilah
yang kemudian memicu pecahnya revolusi di negara ini. Semakin lama situasi
negara semakin memburuk. Situasi ini akhirnya yang memaksa tiga orang
Jendral yaitu Letjen (yang baru naik pangkatnya) Soeharto, Brigjen Amir Machmud
dan Brigjen M Yusuf untuk menemui presiden dan memaksa presiden agar segera
memenuhi tuntutan rakyat. Tritura harus dipenuhi jika presiden ingin
mengembalikan situasi negara ke arah yang kondusif. Soekarno menolak
memenuhi tuntutan rakyat. Soekarno tahu bahwa ini semua hanya kerjaan Soeharto
yang memfitnah PKI sebagai pemberontak. Soekarno tahu betul, tidak mungkin PKI
berkeinginan untuk menggulingkannya namun Soekarno tidak memiliki bukti yang
otentik atas pernyataannya tersebut. Soekarno tahu bahwa aksi yang dilakukan
oleh PKI dengan nama G 30 S PKI hanya bertujuan untuk menumpas rencana kudeta
militer yang akan dilakukan oleh sekelompok perwira tinggi yang menamakan
dirinya Dewan Jendral. Setelah gagal untuk memaksa presiden memenuhi
tuntutan rakyat, ketiga jendral tersebut berinisiatif membuat sebuah surat
perintah atas nama presiden. Isi surat perintah yang diberi nama Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) hingga kini hanya diketahui oleh hanya 4 orang,
ketiga jendral tersebut dan Soekarno, namun karena tiga diantaranya kini telah
meninggal dunia, maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi sejarah yaitu
Soeharto. Sayang, Soeharto pun tidak ingin rakyat Indonesia tahu apa isinya,
maka dia lenyapkan supersemar yang asli dan buat sebuah surat perintah yang
palsu seperti yang kita tahu belakangan ini. Teks Supersemar yang palsu,
sedangkan yang asli, hingga kini tidak ditemukan bangkainya Supersemar
yang telah rampung dibuat diserahkan kepada Soekarno untuk ditandatangani,
namun Soekarno menolak untuk menandatanganinya. Soekarno tidak mau membubarkan
PKI namun juga tidak mempunyai alasan yang kuat atas kehendaknya tidak ingin
membubarkan PKI. Sementara rakyat telah didoktrin oleh Soeharto bahwa PKI telah
melakukan pengkhiatan terhadap negara dan ingin menguasai negara ini dan
menjadikannya negara berfaham Komunis.Menurut pengakuan dari seorang kakek tua
tak lama setelah Soeharto lengser, bahwa dulu ia bekerja di Istana Merdeka.
Tugasnya adalah mengantarkan minuman buat presiden. Pada saat ketiga jenderal
itu sedang berada di ruang kerja presiden, sang kakek memasuki ruangan dengan
maksud ingin mengantarkan minuman bagi presiden dan ketiga tamunya. Terkejutlah
ia saat melihat presiden sedang menandatangani sebuah surat yang diyakininya
sebagai supersemar di bawah todongan Pistol. Pada saat sang kakek
mengungkapkan kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup, maka ia diwawancarai oleh
kru TV sehubungan dengan pernyataan sang kakek. Karena M Yusuf berada pada posisi
netral maka ia yang diwawancarai. Tapi sayang, saya sangat yakin bahwa fakta
yang diungkapkan sang kekek benar adanya, tapi demi menyelamatkan sejarah yang
sudah terputar balik dan tak mungkin diubah lagi, maka Jenderal M Yusuf
membantah bahwa presiden menandatangani supersemar di bawah todongan pistol.
Tapi saya yakin dan sangat percaya, Jendral M Yusuf yang kala itu sudah pensiun
membantah hal itu karena ia sadar, jika ia bongkar rahasia ini, maka
terbongkarlah semua fakta sejarah dan Indonesia kembali terombang ambing dalam
keraguan. Mana yang benar? Sejarah versi Soeharto atau M Yusuf. Akhirnya
supersemar ditandatangani oleh Soekarno, namun supersemar tidak ditujukan
kepada Soeharto. Hal ini membuat Soeharto panas, entah dengan cara apa,
Soeharto berhasil melenyapkan surat itu dan membuat pernyataan palsu dengan
mengatakan bahwa supersemar ditujukan kepadanya untuk memegang tampuk pimpinan
TNI untuk sementara dan mengembalikan stabilitas nasional. Dua langkah
Soeharto berhasil. Maka berpedoman pada surat perintah palsu yang dibuat oleh
Soeharto sendiri, ia mulai bergerak dan membubarkan PKI serta antek-anteknya.
Sebagian besar masa pendukung PKI, Gerwani dan berbagai organisasi massa lain
bentukan PKI dibantai secara masal, sebagian lagi dipenjara. Ini dilakukan
untuk menghilangkan jejak sejarah agar semua kebusukan yang dilakukan oleh
Soeharto tidak terungkap. PKI dijadikan kambing hitam karena memang PKI pernah
melakukan percobaan kudeta di tahun 1948. Ini dijadikan alasan bagi Soeharto
untuk semakin menjatuhkan PKI. Setelah PKI dibubarkan, dengan wewenang
palsunya Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah Partai terlarang di Indonesia
karena bertentangan dengan Pancasila yang merupakan ideologi bangsa
Indonesia. Pidato pertanggungjawaban Soekarno dalam Sidang Umum MPRS tahun
1968 ditolak oleh MPRS. Semua dipicu dari lambatnya Soekarno membubarkan PKI
dan menjawab Tritura. Setelah itu dipilihlah seorang penjabat presiden hingga
masa kepemimpinan Soekarno berakhir. Pada saat itu memang tak ada pilihan lain,
Soeharto menjadi satu-satunya orang yang paling pantas memegang jabatan itu.
Soekarno (mungkin dengan berat hati) menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
Soeharto. Sejak saat itu Soeharto resmi memegang jabatan sebagai Presiden RI
melaui TAP MPRS No XLIV/MPRS/1968 dan berkuasa selama 32 tahun hingga akhirnya
digulingkan juga dengan cara yang sama seperti ia berusaha menggulingkan
Soekarno pada tahun 1968.Soeharto ketika diambil sumpahnya pada pelantikan
dirinya sebagai presiden kedua RI
KARYA TULIS ILMIAH
PKI dan G 30/S PKI – ORBA
DISUSUN OLEH :
FAUZAN NURHAMIDIN
(134284064)
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH 2013FAKULTAS ILMU SOSIALUNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Mahakuasa yang telah memberikan limpahanrahmat, anugrah , dan
berkahnya sehingga makalah Bahasa Indonesia ini dapat terselesaikan.kendala
memang tak lepas dari proses pembuatan makalah ini, tapi dengan Karunia
TuhanYang Mahapemurah kendala tersebut bukan menjadi penghalang untuk
terciptanya makalahini.Dalam makalah ini akan dipaparkan secara lanjut tentang
apa dan siapa PKI tersebut,dan terlebih bagaimana pengaruhnya terhadap
Indonesia khususnya tentang hal yang berhubungan dengan 30/S PKI 1965 - Orba. Secara umum memang makalah ini tidak berbeda
jauh dengan makalah-makalah
dan artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan judul
makalah ini. Karena dalam pembuatan makalah ini juga diambil dari beberapa
sumber.Kendati demikian, makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
kritik, saran,dan masukan dari para pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan pembuatanmakalah kami berikutnya. Semoga nantinya makalah ini
akan bermanfaat untuk para pembaca.Surabaya, 18 November
2013Penyusun,Fauzan Nurhamidin
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia mengalami berbagai macam peristiwa dan diantaranya mempunyainilai
sejarah dan arti penting bagi Indonesia sendiri. Dan tidak sedikit
diantaranyasejarah itu menjadi sebuah peristiwa berdarah dan mencekam, terlebih
peristiwatersebut diwarnai oleh rakyat pribumi, penduduk Indonesia itu sendiri.
Peristiwatersebut mampu mengoyak hati, bahkan tidak sedikit tertanam rasa benci
dari parakeluarga korban, bahkan sejarawan.Melihat kenyataan tersebut bangsa Indonesia
tentu akan diingatkan oleh salahsatu peristiwa berdarah yang dialami oleh para
petinggi tentara Angkatan BersenjataRepublik Indonesia. G 30/S PKI 1965, sebuah
pembantaian beberapa anggota PerwiraIndonesia yang hanya dilakukan dalam
semalam. Peristiwa tersebut memperpanjangrantai kisah kelam Republik tercinta
ini.Tak ayal sejarah tersebut masih menjadi topik hangat untuk
dibicarakan, bahkan banyak spekulasi timbul dari peristiwa tersebut. Banyak pertanyaan timbulsiapa
dalang yang paling bertanggung jawab dari kejadian tersebut, dan apa motif
dariserangan tersebut.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa dan siapa PKI?2. Siapakah yang paling bertanggung jawab atas
kejadian G 30/S PKI?3. Bagaimana hubungan G 30/S PKI dengan ORBA?
I.3 Tujuan
1. Para pembaca agar mengetahui
secara menyeluruh tentang PKI.2. Para pembaca agar bisa menilai
kejadian G 30/S PKI secara obyektif.3. Mengetahui awal mula dan
kaitan antara G 30/S PKI dan ORBA.
II.5 Hubungan G 30/S 1965 dengan ORBA
Selain itu banyak yang
menilai sebuah gerakan yang terjadi pada 30September atau lebih tepatnya malam
1 Oktober itu secara Subjektif. Banyak yangmenilai Soekarno merupakan orang
yang paling bertanggung jawab atas peristiwatersebut dikarenakan pemikiran
NASAKOM yang di usung sehingga PKI menjadisebuah partai dengan ideologi komunis
terbesar setelah Uni Soviet dan China. Tapiada juga yang mengatakan peristiwa G
30/S 1965 merupakan sebuah rekayasa MayorJenderal Soeharto untuk menjatuhkan
serta merebut kekuasaan dari Soerkarno.Terlepas dari ragam pemikiran subjektif
itu semua, akibat yang ditimbulkandari sebuah peristiwa tersebut, terjadi titik
balik antara dua penguasa yang ada diIndonesia. Soerharto yang mendapat sebuah
mandat dari Soekarno sang proklamatoryang tertulis dalam Surat Perintah Sebelas
Maret (SUPERSEMAR) menugaskanuntuk membereskan semua kekacauan yang terjadi di
Indonesia. Jatuhnya kekuasaanSoekarno diiringi dengan munculnya kekuasaan baru
dibawah rezim Soeharto yangmampu melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun,
atau yang lebih dikenaldengan Orde Baru (ORBA).
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PKI, Apa dan Siapa..
Partai Komunis Indonesia
(PKI) adalah partai politikdi Indonesiayang berideologi komunis. Pada awalnya PKI
adalah gerakan yang berasimilasi ke dalamSarekat Islam. Keadaan yang semakin parah
dimana ada perselisihan antara paraanggotanya, terutama di Semarangdan Yogyakartamembuat Sarekat Islammelaksanakan disiplin
partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda dikancah perjuangan pergerakan
indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat paraanggota yang beraliran komunis kesal dan keluar
dari partai dan membentuk
partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang(Mei 1920), namaorganisasi ini
diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, Semaoendiangkatsebagai ketua
partai.PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagiandari Komunis Internasional. Henk Sneevlietmewakili partai ini
pada kongresnyakedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924nama partai ini sekali
lagidiubah, kali ini adalah menjadi
Partai Komunis Indonesia(PKI).
II.1.a PKI pada tahun 1950
–
1965
Demokrasi liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959
memberikan kesempatan kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi
walaupunsebelumnya partai komunis itu telah melakukan pemberontakan. Alimin
mengakifkankembali PKI pada 4 februari 1950. Akan tetapi, kepemimpinan Alimin
ini
tidak berjalan lama karena pada Juli 1950 D.N. Aidit yang melarikan diri ke luar negeriakibat
pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi ke indonesia bersama M.H Lukman.Tindakan
pertama D.N. Aidit adalah menyatukan kembali seluruh
potensial partai. Setengah tahun kemudian D.N. Aidit berhasil mengambil alih kepemimpinanPKI
dan mengintensifkan propaganda untuk merehabilitasi nama PKI yang
telahtercoreng akibat pemberontakan di Madiun.Tahun 1953 D.N. Aidit kembali ke
Indonesia dari Moskow. Ia muncul dengan
konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”.
Dengan berdasarkan alanisis mengenal situasi kondisi Indonesia sendiri, PKI di bawah pimpinan D.N.Aidit menyusun program partai untuk mencapai tujuannya, yaitumengkomuniskan
Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah sebagai berikut.
Membina front persatuan nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan
kaumatani.
Membangun PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyai karakter
massayang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan
idiologi, politik, danorganisasi.
Dalam membangun PKI D.N.Aidit mengatakan “ Kalau kita mau menang dalam
revolusi, kalau kita mau mengubah wajah masyarakat yang setengah jajahan
menjadiIndonesia yang merdeka penuh, kalau kita mau ambil bagian dalam mengubah
wajahdunia, maka kita harus mempunyai partai model partai komunis Uni Sofiet
dan model
partai komunis Cina”
Jadi, jelas disini bahwa titik tolak strategi dan taktik PKI pada
masakepemimpinan D.N.Aidit ialah dengan memakai model partai komunis Uni soviet
danmodel partai komunis Cina sekaligus, disesuaikan dengan kondisi nyata di
Indonesia.
II.1.b PKI = NASAKOM
Almarhum Presiden
Soekarno ketika mencita-citakan berdirinya Indonesiamerdeka adalah dibangun
atas konsepsi dasar Nasional, Agama dan Komunis(Nasakom).
Yaitu menggabungkan ketiga aliran besar ini sebagai pondasi
kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia yang satu. Nasionalisme mengemukakan pada pemikiran senasib dan sepenanggungan atas kemerosotan moril dan ekonomi akibat penjajahan. Karenanya kolonialisme harus enyah dari bumi Indonesia. Bukti konkritdari
penjabaran dari perjuangan ini adalah dibentuknya Partai Nasional
Indonesia(PNI) yang dipimpin Soekarno.Sedangkan faham agama, terutama Islam
adalah mendasari perjuangannyakepada pembentukan sebuah negara islam seperti
jaman Nabi Muhammad s.a.w. yangdidasarkan pada Alqur'an dan Hadists. Dalam konteks kolonial Belandadikategorikan
sebagai bukan pemimpin umat. Malah lebih kepada memerangi orangkafir.
Organisasi yang terkenal adalah Sarekat Islam pimpinan HOS
Tjokroaminoto.Faham komunis mendapatkan bentuk perjuangannya dalam Partai
KomunisIndonesia yang dipimpin oleh Muso. dan pada tahun 1927 partai komunis
melakukan pemberontakan yang ditumpas oleh Belanda. Komunis menekankan kepada faktor-faktor
produksi dimiliki oleh bersama/negara, ia tidak mengakui
kepemilikan perorangan. Karenanya, semua perencanaan dan pelaksanaan dari ekonomi dan politik
dipusatkan pada satu sentral biro yang memerintah negara.
II.2 Perkembangan Komunis dan PKI di Indonesia
Paham komunis sendiri sebenarnya bukan hal baru di Indonesia,
bahkan paham komunis sudah aja sejak zaman sebelum kemerdekaan. Tapi hanya sajakonteks
pemikiran mereka berbeda seiring dengan pasca kemerdekaan. Mereka yanggencar
melakukan pemberontakan pada zaman penjajah terhadap masa kolonial belanda berimbas juga setelah Indonesia merdeka. Pada masa kolonial partai yang beraliran komunis ini menginginkan sebuah kebebasan, setelah bebas (merdeka)mereka
menginginkan kesepahaman ideologi dengan mereka.
II.2.a
Pemberontakan Terhadap Kolonial (1926)
Pada November 1926PKI memimpin
pemberontakan melawan pemerintahankolonial di Jawa Baratdan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknyasebuah republik. Pemberontakan ini
dihancurkan dengan brutal oleh penguasakolonial. Ribuan orang dibunuh dan
sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308orang, umumnya kader-kader partai,
dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp
tahanandi Papua. Beberapa orang meninggal
di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran
pemerintahan kolonial, dengan alasan
menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927PKI dinyatakan
terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di
bawah tanah.Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni
di
dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh TanMalaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama
diSumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malakadi cap sebagai pengikut LeonTrotskyyang juga sebagai tokoh
sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau
begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawaterjadi.Semisal Pemberontakan Silungkangdi Sumatra. Pada masa awal
pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri,terutama karena
banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpinPKI Moeso
kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menatakembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso
hanya tinggalsebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front,
sepertimisalnya Gerindodan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak diantara
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasinasionalis, Perhimpoenan Indonesia, yang tak lama kemudian berada di dalamkontrol PKI
II.2.b Pemberontakan Madiun
Pada 8 Desember 1947sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesiadan pendudukan Belandamelakukan perundingan
yang dikenal sebagai PerundinganRenville. Hasil kesepakatan
perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI
menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempitwilayah yang dimiliki.Oleh
karena itu, kabinet Amir Syarifuddindiaggap
merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkanmandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddinmembentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai
oposisiterhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan
PartaiKomunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.Beberapa
aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan
melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan,menculik
dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhandibeberapa
tempat.Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejaklama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan AmirSyarifuddin untuk menentang
pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih
pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror,mengadu
domba kesatuan-kesatuan TNIdan menjelek-jelekan
kepemimpinanSoekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI
pada 18September 1948di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalahmeruntuhkan negara RI dan menggantinya
dengan negara komunis. Dalam aksi
ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yangdianggap
musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyatmarah dan
mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedangmenghadapi
Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. PanglimaBesar Soedirmanmemerintahkan Kolonel Gatot Subrotodi Jawa TengahdanKolonel Sungkonodi Jawa Timur untuk
menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September1948, Madiun dapat diduduki kembali olehTNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan
AmirSyarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
II.3 G 30/S PKI
Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu
upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup
d„etat terhadap Presiden Sukarno“.
Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan
politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S,
makin agresif. Meski pun tidak langsungmenyerang Bung
Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya pelaksanaan UUPokok Agraria
yang tidak menepati waktunya sehingg
a melahirkan "Aksi Sepihak“dan istilah "7 setan desa“, serta
serangan
-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya
dan mengabaikan "demokrasi“-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa
superioritas PKI,
sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik,
PKI merasa telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih darisatu ilusi.Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik
dikendalikan oleh sebuahDewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan
wakilnya Kamaruzzaman(Syam), bermarkas di rumah sersan Suyatno di komplek
perumahan AURI, diPangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh
kolonel A. Latiefsebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di
Pangkalan UdaraHalim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS
(Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional).Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung
Samsuri.Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer
PKImengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang
dianggapsah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak
bahwagerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya
tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yangdikerjakan
ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aiditdengan
bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dantak bisa
ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai
gerakanselanjutnya.Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik
penafsiran dankontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan
PKI, klaimkebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan
sebaliknya,sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang
masanya jauhsesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi
sejak awal segerasetelah terjadinya peristiwa.Di tingkat internasional, Kantor
Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,memberikan versi bahwa Peristiwa 30
September 1965 adalah masalah internalAngkatan Darat Indonesia yang kemudian
diprovokasikan oleh dinas intelijen Baratsebagai upaya percobaan kudeta oleh
PKI.Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI
tidakterlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah
tokoh partaiyang terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan
tindakan-tindakan, dan karenaitu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian,
pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD padatengah
malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segeraditerima
secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman
buruk bersama PKI
dalam kehidupan sosial dan
politik pada tahun-tahunterakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah
perwira penerangan telahmenambahkan atau melebih-lebihkan terhadap kekejaman,
melebihi peristiwasesungguhnya. Penculikan dan kemudian pembunuhan para
jenderal menurut faktamemang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan
yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga
tiada taranyadalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatanuntuk menelaah
bagian-bagian sejarah – khususnya mengenai Peristiwa 30 September1965
dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran.Kesempatan
itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh parasejarawan dalam
batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernahterlibat
dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisanversi
penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandungunsur
manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan
muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk
memberi posisi barudalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata.
Pendulum sejarah kaliini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.Terdapat sejumlah nuansa berbeda
yang harus bisa dipisahkan satu sama laindengan cermat dan arif, dalam
menghadapi masalah keterlibatan PKI pada
peristiwa- peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalamGerakan
30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965
– suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama
Angkatan Daratdiculik dan dibunuh
– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada
usahamerebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkansejumlah
pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata,
adadokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka
pertarungankekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang
perlu lebihdiperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk
lebih mendekatikebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh
dihentikan. Bahwadalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik
politik maupun konfliksosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom
1959-1965, terjadimalapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif
pembalasan dengananggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan
fakta sejarah. Eksestelah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
II.4 Ragam Pendapat Tentang G 30/S PKI
Ada berbagai versi tentang G-30-S, pertama adalah versi Orde Baru
yangdipimpin oleh Soeharto. Menurut versi ini, PKI adalah dalang sekaligus
pelaku G-30-S. Oleh karena itu maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan
G-30-S/PKI. Versi
Orde Baru ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan
G-30-S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI, yang
menyiksa danmembantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua organisasi/kelompok
yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada
di bawah pengaruh PKI.John Roosa, di dalam bukunya yang berjudul, “Dalih
Pembunuhan Massal,Gerakan 30 September”, mengatakan bahwa Pusat Penerangan
Angkatan telah
mempublikasikan tiga jilid buku, dari bulan Oktober sampai Desember 1965,
dengan tujuan untuk membuktikan bahwa PKI secara organisasional adalah dalang
G-30-S.Bukti utama yang diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung,
yangditangkap di Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap
tanggal 11Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan
interogasiterhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief
mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam G-30-S yang merupakan kesukarelaan, danuntuk
kepentingan PKI, adalah disampaikan dalam kondisi setengah sadar, dansedang
mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam
sidang-sidang Mahmilub, keduanya, baik Untung maupun Latief, menyangkal laporan-laporan
interogasi mereka, dan menyatakan bahwa G-30-S berada di bawahkepemimpinan
mereka, sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuansaja
(Roosa, 2008 : 94-95).Versi kedua mengenai G-30-S adalah berasal dari “analisa
awal” Bennedict
Anderson, dan Ruth Mc
Vey. Di dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam berita-berita
pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang lebih
masukakal adalah menjelaskan G-30-S sebagai suatu konflik internal Angkatan
Darat(Roosa, 2008 : 95-96).Ben Anderson dan Ruth McVey berpendapat bahwa,
G-30-S adalah
sebuah pemberontakan dalam Angkatan Darat dari perwira-perwira muda yang berasal dariJawa
Tengah. Alasan pemberontakan adalah karena jijik terhadap kemerosotan
gayahidup, dan garis politik pro-Barat dari para Jenderal SUAD (Staf Umum
AngkatanDarat) di Jakarta. G-30-S adalah sebuah usaha untuk mengubah Angkatan
Daratmenjadi lebih merakyat. Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson
danMcVey, bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal
yangkorup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno
untukmenjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103).Versi ketiga
adalah versi Harold Crouch. Menurut Crouch, G-30-S, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda dengan PKI. Inisiatif awal G-30-S adalah berasal dari perwira-perwira muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagaikelompok
inti yang merencanakan dan mengeksekusi. Versi ini sama dengan versiSudisman
(anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaituAidit,
Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI).
Sudisman berpendapat bahwa G-30-S adalah peristiwa internal Angkatan Darat. Ia mengakui bahwa
beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai
institusi tidak terlibat(Roosa, 2008 : 106).Versi kelima adalah pendapat
W.F Wertheim. Menurutnya, G-30-S adalahkonspirasi antara Soeharto dengan
teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung(tim inti G-30-S). (Roosa, 2008 :
112). Beberapa pimpinan PKI terlibat G-30-S,karena mereka ditipu oleh Sjam, dan
komplotan perwira anti-PKI yang inginmenghancurkan PKI dan menggulingkan
Soekarno (Roosa, 2008 : 116).
II.5 Hubungan G 30/S 1965 dengan ORBA
Selain itu banyak yang
menilai sebuah gerakan yang terjadi pada 30September atau lebih tepatnya malam
1 Oktober itu secara Subjektif. Banyak yangmenilai Soekarno merupakan orang
yang paling bertanggung jawab atas peristiwatersebut dikarenakan pemikiran
NASAKOM yang di usung sehingga PKI menjadisebuah partai dengan ideologi komunis
terbesar setelah Uni Soviet dan China. Tapiada juga yang mengatakan peristiwa G
30/S 1965 merupakan sebuah rekayasa MayorJenderal Soeharto untuk menjatuhkan
serta merebut kekuasaan dari Soerkarno.Terlepas dari ragam pemikiran subjektif
itu semua, akibat yang ditimbulkandari sebuah peristiwa tersebut, terjadi titik
balik antara dua penguasa yang ada diIndonesia. Soerharto yang mendapat sebuah
mandat dari Soekarno sang proklamatoryang tertulis dalam Surat Perintah Sebelas
Maret (SUPERSEMAR) menugaskanuntuk membereskan semua kekacauan yang terjadi di
Indonesia. Jatuhnya kekuasaanSoekarno diiringi dengan munculnya kekuasaan baru
dibawah rezim Soeharto yangmampu melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun,
atau yang lebih dikenaldengan Orde Baru (ORBA).
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
PKI merupakan sebuah aliran komunis yang ada di Indonesia yang bisa
dikatakan jugasebagai konsepsi dasar dalam pembangunan Indonesia merdeka. PKI
sendiri juga merupakansebuah partai komunis terbesar didunia setelah Uni Soviet
dan China. Dalam perkembangannya
PKI di Indonesia juga diwarnai dengan berbagai macam pemberontakan,terhadap
kolonial maupun Indonesia sendiri.Akan tetapi kejadian G 30/S 1965 membuat
pandangan rakyat Indonesia berubah
terhadap partai komunis terbesar setelah Uni Soviet dan China ini. Terlebih setelah berita dan yang begitu dilebih-lebihkan pemerintah saat itu membuat kebencian rakyat Indonesia semakinmenjadi.
Kebanyakan dari mereka bahkan menyalahkan Soekarno atas
kejadian G 30/S 1965yang terkesan melindungi PKI dengan dalil
NASAKOM.Seiring dengan waktu kebenaran-kebenaran mulai terkuak, dan sejarahpun
mulai berbicarafakta.Akibat dari peristiwa tersebut terjadi titik-balik antara
dua penguasa di Negeri ini.Kekuasaan Soekarno diambil alih oleh Soeharto, yang
akan menjadi salah satu rezim
yang paling diktator dalam sejarah dunia khususnya Indonesia, atau yang biasa dikenal denganOrde
Baru (ORBA)
III.2 Saran
Dengan Menilik sebuah
sejarah hendaknya kita berpikir secara objektif pada suatu perisitiwatersebut.
Terlebih apabila dalam perisitiwa tersebut terlibat dua penguasa. Indonesia
sendiri juga sudah sepantasnya menghargai setiap jasa pahlawan, dan
menghargai juga setiap sejarahyang ada, khususnya di Indonesia. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai
jasa pahlawannya, dalam artian sejarah. Dan sebagai warga yang terlibat dalam sejarahnya kita juga diharuskan untuk mengungkapkan sebuah fakta. Agar setiap cerita maupun tulisantersampaikan
pada generasi penerus dalam sebuah peristiwa yang berdasarkan
kenyataan, bukan manipulasi sejarah.
Daftar Rujukan
Dwi Aria Yuliantri, Rhoma & M Dahlan, Muhidin. 2008.
Lekra Tak Membakar Buku
Suwanto,dkk.1997.
Sejarah Nasional dan Umum
.Semarang:Aneka Ilmu.Warman Adam, Asvi.
Membongkar Manipulasi Sejarah
.Tim Buku Tempo. 2010.
Aidit : Dua Wajah Dipa Nusantara.
Kasenda, Peter. 2013.
Soeharto
Marx, K & Engels, F. 1964.
Manifes Partai Komunis
. (Terjemahan Indonesia),Diterjemahkan Oleh Depagitprop CC PKI, Jajasan
Pembaruan. Jakarta.Roosa, John, 2008. Dalih
Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto
.Hasta Mitra. Jakarta.
Kisah Misteri – Masih ingatkah anda cerita
pembantaian yang dilakukan oleh PKI pada 30 september tahun 1965? Kisah
tersbeut merupakan kisah pembantaian para jenderal dan letnan yang saat
ini telah menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia. Bada banyak cerita – cerita
mistis yang datang dari masyarakat setelah mendatangi lokasi yang kini jadi
musem nasional tersebut. lokasi lubang buaya merupakan lokasi dimana para
perwira milter, jenderal dan beberapa letnan dibunuh oleh para anggota PKI.
Dalam lubang buaya tersebut jasad – jasad para pembela tanah air tersebut
ditemukan dalam keadaan rusak akibat bekas tembakan yang dilayangkan pada tubuh
mereka.
Adalah Brigadir Jenderal Soetodjo
Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac Pandjaitan, Mayor Jenderal R.
Soeprapto, Mayor Jenderal MT Hardjono, Mayor Jenderal S. Parman , Letnan
Jenderal Ahmad Yani, dan Letnan Satu Piere Andries Tendean yang menjadi korban
kekejian dari para anggota PKI. Para petinggi militer Indonesia itu diculik dan
dibawa ke markas PKI di desa Lubang Buaya yang berada di Jakarta Timur.
Petinggi militer tersebut disiksa sampai dengan
tewasnya mereka lalu jasad – jasad mereka dimasukkan kedalam lubang buaya yang
tingkat kedalamannya mencapai 12 meter dalamnya dan ukuran diameternya pun tak
begitu besar. Karena anggota PKI menduga masih ada diantara petinggi militer
tersebut yang masih hidup maka setelah di lempar ke lubang buaya sejumlah
anggota PKI menembaki puluhan peluru kea rah lubang buaya hinga semua jenderal
tersebut tewas terkena tembakan.
Kisah tragis tersebut menimbulkan rasa takut
tersendiri bagi para masyarakat ketika berada di museum lubang buaya tersebut.
Ada beberapa pengakuan dari masyarakat saat bertandang ke lubang buaya, mereka
mengatakan mendengar teriakan – teriakan dari seorang yang suaranya seperti
seorang laki- laki meminta tolong dari dalam lubang buaya tersebut. bahkan
beberapa kali terlihat sebuah sosok penampakan dari seorang pria yang mukanya
rusak mengenakan baju seperti seorang tentara.
Selain itu sebuah ruangan yang tak jauh
letaknya dari sumur lubang buaya itu juga menambah seramnya cerita mistis dari
museum ini. Pasalnya dalam ruangan tersbeut terdapat patung – patung replica
dari tentara – tentara yang dibunuh pada waktu itu. Keitaka masuk dalam museum
tersebut sangat terasa sekali aura mistis didalamnya dan seolah –olah patung
tersebut terasa hidup. Bahkan menurut pengakuan seorang petugas penjaga loket
pintu masuk, ketika menjelang malam hari ia sering mendengar langkah kaki
seperti pasukan tentara akan berbaris padahal dalam museum tersebut tidak ada
seorangpun.
Fakta Terselubung Dibalik Kisah G30S PKI
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa
Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia
39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel
Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara
Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada
Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis
Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio
menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi.
Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat Mayor Jenderal Soeharto.Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan
Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September-Oktober. Kisah
pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas.
Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan
Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan
edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang
tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan
riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Potongannya seperti preman
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu
saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia
adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung
tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di
Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di
pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko,
seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo.
Wergoe adalah orang tua Suhardi.“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya
Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung,
memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung
kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter,
tapi badannya gempal.“Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka
praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata
Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah
tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho.
“Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke
arah Sriwedari.”Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion
Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di
daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis
Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan
Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.Clash yang terjadi pada 1948
antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri
terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian
balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu,
menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya
adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal
Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita
ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima
Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak
pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro
ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di
Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima
Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung
terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung
adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng
Raiders.Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di
hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di
bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan
pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat,
pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia
mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.“Kedua prestasi
inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata
Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan
Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa
pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi
anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.Anggota
Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat
Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi
Tjakrabirawa.Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah
mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti
Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan
tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku
tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus.
Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu
mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung
menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi,
tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra,
tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta
pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di
desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar.
“Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya
menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi.
“Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya,
Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia
pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan
Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap
mereka.Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer
Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan
Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di
gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi
Dewan Jenderal.Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya
informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan
Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden.
Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama
kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri
1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu
Dewan Jenderal,” kata Maulwi.Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan
kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan.
Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan
mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530
Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata
pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh,
pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh
pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada
aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu
ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu
kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan
Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal Dinihari, 1
Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh
jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang
dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu
Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara
berusaha menemui Soeharto.Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam
pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di
Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul
20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari
penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui
aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri.
Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana.
Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang
bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu
tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh
masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya
heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia
langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah
Abang. “Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng
Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang
semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan
Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang
sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah
menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya.
“Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung
dekat dengan PKI,” katanya.Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku
hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno.
“Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan
kepada mereka,” jawab Untung. Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur
Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan
Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan
tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara
tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung,
Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru
Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara
Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau
operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The
Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal
dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa
persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.“Itu tak
masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan
murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol
Untung,” katanya kepada Retnowati.Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa
dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak
pun masih percaya bakal diselamatkan.
Peristiwa G 30 S PKI
Terilhami dari tulisan Jarar Siahaan di BatakNews yang berjudul “Pantaskah
Soeharto Diampuni”, dan dari peringatan 9 tahun turunnya Rezim Soeharto,
berdasarkan fakta dari kejadian yang terjadi 42 tahun silam di Jakarta, tepatnya
tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Ada seorang ahli sejarah yang
sempat meneliti tentang kejadian yang menimpa bangsa kita di tahun 1965,
mengatakan bahwa di tahun 1965, di Indonesia hanya ada satu Jendral dan dia
adalah Mayjen TNI Soeharto. Menurut ahli sejarah itu juga termakan image yang
sengaja dibuat Soeharto bahwa dia adalah orang yang paling berjasa atas
dibubarkannya Partai yang kini dianggap sebagai partai terlarang di negeri
kita.
Soeharto adalah seorang prajurit TNI berpangkat cukup tinggi dan juga
memegang salah satu jabatan penting dalam jajaran TNI sebagai Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno,
Soeharto adalah seorang perwira tinggi yang tidak terlalu diperhitungkan. Itu
juga menjadi penyebab tidak terteranya nama Soeharto dalam daftar 7 jendral
yang menjadi target pembunuhan dalam pemberontakan PKI. 7 Jendral yang
menjadi target operasi PKI (Baris pertama kiri-kanan) Jendral TNI Anumerta
Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman,
Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Baris kedua Kiri-kanan) Mayjen TNI Anumerta
Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta
Pierre Tendean.
Apa mungkin Soekarno lupa pada jasa Soeharto yang menjadi arsitek Serangan
Umum 1 Maret atas Kota Yogya yang berhasil menguasai Kota Yogya selama 6 jam
yang kala itu dikuasai oleh Belanda? Ataukah Soekarno mengetahui fakta yang
sebenarnya terjadi.Pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965,
sebuah pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde Baru)
namun berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh seorang perwira tinggi
bernama Soeharto. “Resolusi Dewan Jendral” yang sempat beberapa kali
disebutkan dalam film tersebut, hal itu benar adanya. Resolusi Dewan Jendral
memang ada. Beberapa orang Jendral pada saat itu sedang merencanakan untuk
menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengambil alih kekuasaan.Para pemimpin PKI
kala itu cukup resah dengan adanya isu tentang resolusi Dewan Jendral. Mereka
khawatir jika para jendral berhasil, maka posisi mereka berada di ujung tanduk.
Untuk itu mereka harus bergerak cepat, berpacu dengan waktu untuk menumpas para
jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral, sebelum para jedral
mendahuluinya. Rakyat yang kala itu masih bodoh dicekoki dengan
pernyataan-pernyataan pedas tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya
sebuah pemberontakan. PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu
identik dengan kekejaman. Rakyat akan semakin terkepung dalam kesengsaraan.
Doktrin yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat itu pada akhirnya berhasil
membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung duka yang mendalam dan
berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian di sebuah negara yang
masih muda ini. Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat yang telah didoktrinnya
untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan
Jendral. PKI sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI
adalah pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat PKI
demi sebuah image bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki
pengaruh Amerika Serikat. Memang Sokarno lebih menyukai politik sosialis
demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala itu yaitu
pemerataan.
Karena PKI takut
kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya menumpas Dewan
Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno. Maka direncanakanlah
sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya para pemimpin PKI sepakat
tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah pada tanggal 30 September.Para
pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan. Sedikitpun
mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto kala itu bukan
siapa-siapa. Dia tidak lain hanyalah seorang prajurit TNI berpangkat tinggi
yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama sekali. Disisi lain,
Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan Jendral dan
mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk menumpasnya. Namun dia hanya
diam. Soeharto juga memiliki kepentingan jika PKI berhasil. Kepentingan
Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai dianggap penting dan kembali
diperhitungkan di kancah percaturan negeri ini sehingga dia bisa mendapat
jabatan yang lebih penting dari jabatan yang dia pegang saat itu. Dia biarkan
PKI melakukan aksinya dengan membunuh para perwira tinggi TNI yang memang
memegang jabatan penting di negara. Dengan demikian akan semakin berkurang
saingan bagi Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih penting
dari sekedar panglima Kostrad. Tanggal 30 September pukul 4 pagi,
diculiklah 7 jendral yang menjadi target operasi PKI. Mereka dibawa ke lubang
buaya dan diserahkan kepada masa pendukung PKI yang telah berkumpul di sana
sejak sore hari tanggal 29 September untuk diadili dengan cara mereka. Massa
dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan
menambah kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di lubang
buaya berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral
tersebut.
Fakta Di Balik Peristiwa G 30 S PKI
Pagi harinya, Soeharto yang telah mengetahui hal ini mendapat laporan dari
beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto hanya tersenyum dalam hati
karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi. Ambisinya untuk menguasai
negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia miliki hanya tinggal selangkah lagi.
Tahukah anda apa
sebenarnya yang telah direncanakan Soeharto sebelumnya yang disimpannya
baik-baik dalam benaknya? Dia biarkan PKI membunuh ketujuh Jendral tersebut,
lalu memfitnah PKI telah melakukan kudeta terhadap Soekarno sehingga
orang-orang PKI yang mengetahui fakta sejarah dapat dengan mudah disingkirkan
dengan cara difitnah. Doktrin yang dilontarkan Soeharto adalah bahwa PKI akan
melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Soekarno. Mungkinkah PKI akan
menggulingkan pendukung terkuatnya? Tidak masuk akal. Ingat PKI dan Soekarno
saling mendukung, apa mungkin PKI melakukan hal itu? Pagi harinya Soeharto
bergerak cepat dan melangkahi tugas beberapa orang jendral atasannya dengan
memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara tanpa meminta restu dari Presiden.
Di buku sejarahku waktu SD ditulis, “Mayjen TNI Soeharto dengan tangkas
memegang tampuk pimpinan TNI yang lowong sepeninggal A Yani.” Kalau bisa dan
boleh aku ingin mengedit tulisan di buku sejarahku dengan kata-kata, “dengan
lancang Soeharto memegang tampuk pimpinan TNI.” Masih banyak orang yang
harusnya dimintai restu oleh Soeharto atas inisiatifnya memegang tampuk
pimpinan TNI. Lalu dengan mudah Soeharto yang telah mengetahui semua seluk
beluk aksi PKI ini menumpas PKI. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, para
pelaku pemberontakan PKI ditangkap dan sebagian lagi kabarnya melarikan diri ke
luar negeri. Lalu Soeharto menyebarkan doktrin bahwa PKI telah melakukan kudeta
terhadap kepemimpinan Soekarno. Padahal PKI bermaksud menggagalkan kudeta yang
akan dilancarkan oleh para jendral tersebut. PKI dijadikan kambing hitam oleh
Soeharto atas apa yang memang diinginkannya. Satu langkah Soeharto untuk
menguasai negeri ini berhasil.
Penguasaan Kembali Gedung RRI Pusat
Dini hari tanggal 1
Oktober 1965 Gerakan Tiga Puluh September (G30S) PKI menculik dan membunuh 6
orang perwira tinggi Angkatan Darat yang yang dinilai sebagai penghalang utama
rencana mereka untuk merebut kekuasaan Negara. Pagi itu pula mereka berhasil
menguasai Gedung RRI dan Gedung Pusata Telekomunikasi. Di bawah todongan
pistol, seorang penyiar RRI dipaksa menyiarkan pengumuman yang menyatakan bahwa
G-30-S telah menyelamatkan Negara dari usaha kudeta “Dewan Jendral”. Tengah
hari mereka mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara dan pendemisioneran cabinet. Untuk
menghentikan pengumuman-pengumuman yang menyesatkan rakyat itu, Panglima
Komando Tindakan Strategi Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto yang telah
mengambil alih sementara pimpinan Angkatan Darat memerintahkan pasukan Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk membebaskan Gedung RRI Pusata dan
Gedung Telekomunikasi dari penguasaan G-30-S PKI. Operasi yang dimulai pukul
18.30, dengan mengerahkan kekuatan satu kompi dalam waktu hanya 20 menit, RPKAD
berhasil menguasai kembali gedung vital itu. Pukul 20.00 tanggal 1 Oktober 1965
RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato radio Mayjen Soeharto yang menjelaskan
adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh PKI melalui G-30-S.
Penangkapan D.N. Aidit ( 22 November 1965 )
Setelah G 30 S PKI
mengalami kegagalan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam ketua
CC PKI D.N. Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI.
Tanggal 2 Oktober 1965 ia berada di Yogyakarta, kemudian berpindah-pindah
tempat dari Yogyakarta ke Semarang. Selanjutnya ia ke Solo untuk menghindari
operasi pengejaran yang dilakukan oleh RPKAD. Tempat persembunyiannya yang
terakhir di sebuah rumah di kampung Sambeng Gede. Daerah ini merupakan basis
Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi massa yang bernaung dibawah PKI.
Melalui operasi intelijen, tempat persembunyian D.N. Aidit dapat diketahui oleh
ABRI. Tengah malam tanggal 22 November 1965 pukul 01.30 rumah tersebut digrebek
dan digledah oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa Perang (Pekuper) Surakarta.
Penangkapan hamper gagal ketika pemilik rumah mengatakan bahwa D.N. Aidit telah
meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul setelah anggota Pekuper menemukan
sandal yang masih baru, koper dan radio yang menandakan hadirnya seseorang yang
lain di dalam rumah itu. Penggeledahan dilanjutkan. Dua orang Pekuper menemukan
D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari. Ia langsung ditangkap dan kemudian
dibawa ke Markas Pekuper Surakarta di Loji Gandrung, Solo.
Supersemar
Suasana negara saat itu benar-benar memburuk. Negara yang masih muda ini
serasa berasa di titik paling bawah dari keterpurukannya. Perekonomian anjlok,
harga bahan pangan menjulang, bahan pangan susah didapat dimana-mana, kerusuhan
pecah di seluruh wilayah negeri ini. Beberapa elemen masyarakat melakukan aksi
yang berbuntut dengan dicetuskannya Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi Tritura
adalah:
1. Bubarkan PKI
2. Turunkan Harga
3. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S
PKI
Aksi beberapa elemen
masyarakat ini di awali dengan aksi yang digelar oleh mahasiswa yang menamakan
dirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Gerakan mahasiswa ini juga
diikuti oleh elemen masyarakat lain seperti Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI),
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan lain-lain.Aksi-aksi inilah
yang kemudian memicu pecahnya revolusi di negara ini. Semakin lama situasi
negara semakin memburuk. Situasi ini akhirnya yang memaksa tiga orang
Jendral yaitu Letjen (yang baru naik pangkatnya) Soeharto, Brigjen Amir Machmud
dan Brigjen M Yusuf untuk menemui presiden dan memaksa presiden agar segera
memenuhi tuntutan rakyat. Tritura harus dipenuhi jika presiden ingin
mengembalikan situasi negara ke arah yang kondusif. Soekarno menolak
memenuhi tuntutan rakyat. Soekarno tahu bahwa ini semua hanya kerjaan Soeharto
yang memfitnah PKI sebagai pemberontak. Soekarno tahu betul, tidak mungkin PKI
berkeinginan untuk menggulingkannya namun Soekarno tidak memiliki bukti yang
otentik atas pernyataannya tersebut. Soekarno tahu bahwa aksi yang dilakukan
oleh PKI dengan nama G 30 S PKI hanya bertujuan untuk menumpas rencana kudeta
militer yang akan dilakukan oleh sekelompok perwira tinggi yang menamakan
dirinya Dewan Jendral. Setelah gagal untuk memaksa presiden memenuhi
tuntutan rakyat, ketiga jendral tersebut berinisiatif membuat sebuah surat
perintah atas nama presiden. Isi surat perintah yang diberi nama Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) hingga kini hanya diketahui oleh hanya 4 orang,
ketiga jendral tersebut dan Soekarno, namun karena tiga diantaranya kini telah
meninggal dunia, maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi sejarah yaitu
Soeharto. Sayang, Soeharto pun tidak ingin rakyat Indonesia tahu apa isinya,
maka dia lenyapkan supersemar yang asli dan buat sebuah surat perintah yang
palsu seperti yang kita tahu belakangan ini. Teks Supersemar yang palsu,
sedangkan yang asli, hingga kini tidak ditemukan bangkainya Supersemar
yang telah rampung dibuat diserahkan kepada Soekarno untuk ditandatangani,
namun Soekarno menolak untuk menandatanganinya. Soekarno tidak mau membubarkan
PKI namun juga tidak mempunyai alasan yang kuat atas kehendaknya tidak ingin
membubarkan PKI. Sementara rakyat telah didoktrin oleh Soeharto bahwa PKI telah
melakukan pengkhiatan terhadap negara dan ingin menguasai negara ini dan
menjadikannya negara berfaham Komunis.Menurut pengakuan dari seorang kakek tua
tak lama setelah Soeharto lengser, bahwa dulu ia bekerja di Istana Merdeka.
Tugasnya adalah mengantarkan minuman buat presiden. Pada saat ketiga jenderal
itu sedang berada di ruang kerja presiden, sang kakek memasuki ruangan dengan
maksud ingin mengantarkan minuman bagi presiden dan ketiga tamunya. Terkejutlah
ia saat melihat presiden sedang menandatangani sebuah surat yang diyakininya
sebagai supersemar di bawah todongan Pistol. Pada saat sang kakek
mengungkapkan kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup, maka ia diwawancarai oleh
kru TV sehubungan dengan pernyataan sang kakek. Karena M Yusuf berada pada posisi
netral maka ia yang diwawancarai. Tapi sayang, saya sangat yakin bahwa fakta
yang diungkapkan sang kekek benar adanya, tapi demi menyelamatkan sejarah yang
sudah terputar balik dan tak mungkin diubah lagi, maka Jenderal M Yusuf
membantah bahwa presiden menandatangani supersemar di bawah todongan pistol.
Tapi saya yakin dan sangat percaya, Jendral M Yusuf yang kala itu sudah pensiun
membantah hal itu karena ia sadar, jika ia bongkar rahasia ini, maka
terbongkarlah semua fakta sejarah dan Indonesia kembali terombang ambing dalam
keraguan. Mana yang benar? Sejarah versi Soeharto atau M Yusuf. Akhirnya
supersemar ditandatangani oleh Soekarno, namun supersemar tidak ditujukan
kepada Soeharto. Hal ini membuat Soeharto panas, entah dengan cara apa,
Soeharto berhasil melenyapkan surat itu dan membuat pernyataan palsu dengan
mengatakan bahwa supersemar ditujukan kepadanya untuk memegang tampuk pimpinan
TNI untuk sementara dan mengembalikan stabilitas nasional. Dua langkah
Soeharto berhasil. Maka berpedoman pada surat perintah palsu yang dibuat oleh
Soeharto sendiri, ia mulai bergerak dan membubarkan PKI serta antek-anteknya.
Sebagian besar masa pendukung PKI, Gerwani dan berbagai organisasi massa lain
bentukan PKI dibantai secara masal, sebagian lagi dipenjara. Ini dilakukan
untuk menghilangkan jejak sejarah agar semua kebusukan yang dilakukan oleh
Soeharto tidak terungkap. PKI dijadikan kambing hitam karena memang PKI pernah
melakukan percobaan kudeta di tahun 1948. Ini dijadikan alasan bagi Soeharto
untuk semakin menjatuhkan PKI. Setelah PKI dibubarkan, dengan wewenang
palsunya Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah Partai terlarang di Indonesia
karena bertentangan dengan Pancasila yang merupakan ideologi bangsa
Indonesia. Pidato pertanggungjawaban Soekarno dalam Sidang Umum MPRS tahun
1968 ditolak oleh MPRS. Semua dipicu dari lambatnya Soekarno membubarkan PKI
dan menjawab Tritura. Setelah itu dipilihlah seorang penjabat presiden hingga
masa kepemimpinan Soekarno berakhir. Pada saat itu memang tak ada pilihan lain,
Soeharto menjadi satu-satunya orang yang paling pantas memegang jabatan itu.
Soekarno (mungkin dengan berat hati) menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
Soeharto. Sejak saat itu Soeharto resmi memegang jabatan sebagai Presiden RI
melaui TAP MPRS No XLIV/MPRS/1968 dan berkuasa selama 32 tahun hingga akhirnya
digulingkan juga dengan cara yang sama seperti ia berusaha menggulingkan
Soekarno pada tahun 1968.Soeharto ketika diambil sumpahnya pada pelantikan
dirinya sebagai presiden kedua RI
KARYA TULIS ILMIAH
PKI dan G 30/S PKI – ORBA
DISUSUN OLEH :
FAUZAN NURHAMIDIN
(134284064)
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH 2013FAKULTAS ILMU SOSIALUNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Mahakuasa yang telah memberikan limpahanrahmat, anugrah , dan
berkahnya sehingga makalah Bahasa Indonesia ini dapat terselesaikan.kendala
memang tak lepas dari proses pembuatan makalah ini, tapi dengan Karunia
TuhanYang Mahapemurah kendala tersebut bukan menjadi penghalang untuk
terciptanya makalahini.Dalam makalah ini akan dipaparkan secara lanjut tentang
apa dan siapa PKI tersebut,dan terlebih bagaimana pengaruhnya terhadap
Indonesia khususnya tentang hal yang berhubungan dengan 30/S PKI 1965 - Orba. Secara umum memang makalah ini tidak berbeda
jauh dengan makalah-makalah
dan artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan judul
makalah ini. Karena dalam pembuatan makalah ini juga diambil dari beberapa
sumber.Kendati demikian, makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
kritik, saran,dan masukan dari para pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan pembuatanmakalah kami berikutnya. Semoga nantinya makalah ini
akan bermanfaat untuk para pembaca.Surabaya, 18 November
2013Penyusun,Fauzan Nurhamidin
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia mengalami berbagai macam peristiwa dan diantaranya mempunyainilai
sejarah dan arti penting bagi Indonesia sendiri. Dan tidak sedikit
diantaranyasejarah itu menjadi sebuah peristiwa berdarah dan mencekam, terlebih
peristiwatersebut diwarnai oleh rakyat pribumi, penduduk Indonesia itu sendiri.
Peristiwatersebut mampu mengoyak hati, bahkan tidak sedikit tertanam rasa benci
dari parakeluarga korban, bahkan sejarawan.Melihat kenyataan tersebut bangsa Indonesia
tentu akan diingatkan oleh salahsatu peristiwa berdarah yang dialami oleh para
petinggi tentara Angkatan BersenjataRepublik Indonesia. G 30/S PKI 1965, sebuah
pembantaian beberapa anggota PerwiraIndonesia yang hanya dilakukan dalam
semalam. Peristiwa tersebut memperpanjangrantai kisah kelam Republik tercinta
ini.Tak ayal sejarah tersebut masih menjadi topik hangat untuk
dibicarakan, bahkan banyak spekulasi timbul dari peristiwa tersebut. Banyak pertanyaan timbulsiapa
dalang yang paling bertanggung jawab dari kejadian tersebut, dan apa motif
dariserangan tersebut.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa dan siapa PKI?2. Siapakah yang paling bertanggung jawab atas
kejadian G 30/S PKI?3. Bagaimana hubungan G 30/S PKI dengan ORBA?
I.3 Tujuan
1. Para pembaca agar mengetahui
secara menyeluruh tentang PKI.2. Para pembaca agar bisa menilai
kejadian G 30/S PKI secara obyektif.3. Mengetahui awal mula dan
kaitan antara G 30/S PKI dan ORBA.
II.5 Hubungan G 30/S 1965 dengan ORBA
Selain itu banyak yang
menilai sebuah gerakan yang terjadi pada 30September atau lebih tepatnya malam
1 Oktober itu secara Subjektif. Banyak yangmenilai Soekarno merupakan orang
yang paling bertanggung jawab atas peristiwatersebut dikarenakan pemikiran
NASAKOM yang di usung sehingga PKI menjadisebuah partai dengan ideologi komunis
terbesar setelah Uni Soviet dan China. Tapiada juga yang mengatakan peristiwa G
30/S 1965 merupakan sebuah rekayasa MayorJenderal Soeharto untuk menjatuhkan
serta merebut kekuasaan dari Soerkarno.Terlepas dari ragam pemikiran subjektif
itu semua, akibat yang ditimbulkandari sebuah peristiwa tersebut, terjadi titik
balik antara dua penguasa yang ada diIndonesia. Soerharto yang mendapat sebuah
mandat dari Soekarno sang proklamatoryang tertulis dalam Surat Perintah Sebelas
Maret (SUPERSEMAR) menugaskanuntuk membereskan semua kekacauan yang terjadi di
Indonesia. Jatuhnya kekuasaanSoekarno diiringi dengan munculnya kekuasaan baru
dibawah rezim Soeharto yangmampu melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun,
atau yang lebih dikenaldengan Orde Baru (ORBA).
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PKI, Apa dan Siapa..
Partai Komunis Indonesia
(PKI) adalah partai politikdi Indonesiayang berideologi komunis. Pada awalnya PKI
adalah gerakan yang berasimilasi ke dalamSarekat Islam. Keadaan yang semakin parah
dimana ada perselisihan antara paraanggotanya, terutama di Semarangdan Yogyakartamembuat Sarekat Islammelaksanakan disiplin
partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda dikancah perjuangan pergerakan
indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat paraanggota yang beraliran komunis kesal dan keluar
dari partai dan membentuk
partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang(Mei 1920), namaorganisasi ini
diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia, Semaoendiangkatsebagai ketua
partai.PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagiandari Komunis Internasional. Henk Sneevlietmewakili partai ini
pada kongresnyakedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924nama partai ini sekali
lagidiubah, kali ini adalah menjadi
Partai Komunis Indonesia(PKI).
II.1.a PKI pada tahun 1950
–
1965
Demokrasi liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959
memberikan kesempatan kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi
walaupunsebelumnya partai komunis itu telah melakukan pemberontakan. Alimin
mengakifkankembali PKI pada 4 februari 1950. Akan tetapi, kepemimpinan Alimin
ini
tidak berjalan lama karena pada Juli 1950 D.N. Aidit yang melarikan diri ke luar negeriakibat
pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi ke indonesia bersama M.H Lukman.Tindakan
pertama D.N. Aidit adalah menyatukan kembali seluruh
potensial partai. Setengah tahun kemudian D.N. Aidit berhasil mengambil alih kepemimpinanPKI
dan mengintensifkan propaganda untuk merehabilitasi nama PKI yang
telahtercoreng akibat pemberontakan di Madiun.Tahun 1953 D.N. Aidit kembali ke
Indonesia dari Moskow. Ia muncul dengan
konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”.
Dengan berdasarkan alanisis mengenal situasi kondisi Indonesia sendiri, PKI di bawah pimpinan D.N.Aidit menyusun program partai untuk mencapai tujuannya, yaitumengkomuniskan
Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah sebagai berikut.
Membina front persatuan nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan
kaumatani.
Membangun PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyai karakter
massayang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan
idiologi, politik, danorganisasi.
Dalam membangun PKI D.N.Aidit mengatakan “ Kalau kita mau menang dalam
revolusi, kalau kita mau mengubah wajah masyarakat yang setengah jajahan
menjadiIndonesia yang merdeka penuh, kalau kita mau ambil bagian dalam mengubah
wajahdunia, maka kita harus mempunyai partai model partai komunis Uni Sofiet
dan model
partai komunis Cina”
Jadi, jelas disini bahwa titik tolak strategi dan taktik PKI pada
masakepemimpinan D.N.Aidit ialah dengan memakai model partai komunis Uni soviet
danmodel partai komunis Cina sekaligus, disesuaikan dengan kondisi nyata di
Indonesia.
II.1.b PKI = NASAKOM
Almarhum Presiden
Soekarno ketika mencita-citakan berdirinya Indonesiamerdeka adalah dibangun
atas konsepsi dasar Nasional, Agama dan Komunis(Nasakom).
Yaitu menggabungkan ketiga aliran besar ini sebagai pondasi
kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia yang satu. Nasionalisme mengemukakan pada pemikiran senasib dan sepenanggungan atas kemerosotan moril dan ekonomi akibat penjajahan. Karenanya kolonialisme harus enyah dari bumi Indonesia. Bukti konkritdari
penjabaran dari perjuangan ini adalah dibentuknya Partai Nasional
Indonesia(PNI) yang dipimpin Soekarno.Sedangkan faham agama, terutama Islam
adalah mendasari perjuangannyakepada pembentukan sebuah negara islam seperti
jaman Nabi Muhammad s.a.w. yangdidasarkan pada Alqur'an dan Hadists. Dalam konteks kolonial Belandadikategorikan
sebagai bukan pemimpin umat. Malah lebih kepada memerangi orangkafir.
Organisasi yang terkenal adalah Sarekat Islam pimpinan HOS
Tjokroaminoto.Faham komunis mendapatkan bentuk perjuangannya dalam Partai
KomunisIndonesia yang dipimpin oleh Muso. dan pada tahun 1927 partai komunis
melakukan pemberontakan yang ditumpas oleh Belanda. Komunis menekankan kepada faktor-faktor
produksi dimiliki oleh bersama/negara, ia tidak mengakui
kepemilikan perorangan. Karenanya, semua perencanaan dan pelaksanaan dari ekonomi dan politik
dipusatkan pada satu sentral biro yang memerintah negara.
II.2 Perkembangan Komunis dan PKI di Indonesia
Paham komunis sendiri sebenarnya bukan hal baru di Indonesia,
bahkan paham komunis sudah aja sejak zaman sebelum kemerdekaan. Tapi hanya sajakonteks
pemikiran mereka berbeda seiring dengan pasca kemerdekaan. Mereka yanggencar
melakukan pemberontakan pada zaman penjajah terhadap masa kolonial belanda berimbas juga setelah Indonesia merdeka. Pada masa kolonial partai yang beraliran komunis ini menginginkan sebuah kebebasan, setelah bebas (merdeka)mereka
menginginkan kesepahaman ideologi dengan mereka.
II.2.a
Pemberontakan Terhadap Kolonial (1926)
Pada November 1926PKI memimpin
pemberontakan melawan pemerintahankolonial di Jawa Baratdan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknyasebuah republik. Pemberontakan ini
dihancurkan dengan brutal oleh penguasakolonial. Ribuan orang dibunuh dan
sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308orang, umumnya kader-kader partai,
dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp
tahanandi Papua. Beberapa orang meninggal
di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran
pemerintahan kolonial, dengan alasan
menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927PKI dinyatakan
terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di
bawah tanah.Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni
di
dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh TanMalaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama
diSumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malakadi cap sebagai pengikut LeonTrotskyyang juga sebagai tokoh
sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau
begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawaterjadi.Semisal Pemberontakan Silungkangdi Sumatra. Pada masa awal
pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri,terutama karena
banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpinPKI Moeso
kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menatakembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso
hanya tinggalsebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front,
sepertimisalnya Gerindodan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak diantara
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasinasionalis, Perhimpoenan Indonesia, yang tak lama kemudian berada di dalamkontrol PKI
II.2.b Pemberontakan Madiun
Pada 8 Desember 1947sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesiadan pendudukan Belandamelakukan perundingan
yang dikenal sebagai PerundinganRenville. Hasil kesepakatan
perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI
menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempitwilayah yang dimiliki.Oleh
karena itu, kabinet Amir Syarifuddindiaggap
merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkanmandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddinmembentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai
oposisiterhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan
PartaiKomunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.Beberapa
aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan
melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan,menculik
dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhandibeberapa
tempat.Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejaklama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan AmirSyarifuddin untuk menentang
pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih
pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror,mengadu
domba kesatuan-kesatuan TNIdan menjelek-jelekan
kepemimpinanSoekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI
pada 18September 1948di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalahmeruntuhkan negara RI dan menggantinya
dengan negara komunis. Dalam aksi
ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yangdianggap
musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyatmarah dan
mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedangmenghadapi
Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. PanglimaBesar Soedirmanmemerintahkan Kolonel Gatot Subrotodi Jawa TengahdanKolonel Sungkonodi Jawa Timur untuk
menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September1948, Madiun dapat diduduki kembali olehTNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan
AmirSyarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
II.3 G 30/S PKI
Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu
upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup
d„etat terhadap Presiden Sukarno“.
Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan
politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S,
makin agresif. Meski pun tidak langsungmenyerang Bung
Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya pelaksanaan UUPokok Agraria
yang tidak menepati waktunya sehingg
a melahirkan "Aksi Sepihak“dan istilah "7 setan desa“, serta
serangan
-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya
dan mengabaikan "demokrasi“-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa
superioritas PKI,
sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik,
PKI merasa telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih darisatu ilusi.Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik
dikendalikan oleh sebuahDewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan
wakilnya Kamaruzzaman(Syam), bermarkas di rumah sersan Suyatno di komplek
perumahan AURI, diPangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh
kolonel A. Latiefsebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di
Pangkalan UdaraHalim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS
(Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional).Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung
Samsuri.Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer
PKImengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang
dianggapsah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak
bahwagerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya
tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yangdikerjakan
ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aiditdengan
bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dantak bisa
ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai
gerakanselanjutnya.Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik
penafsiran dankontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan
PKI, klaimkebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan
sebaliknya,sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang
masanya jauhsesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi
sejak awal segerasetelah terjadinya peristiwa.Di tingkat internasional, Kantor
Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,memberikan versi bahwa Peristiwa 30
September 1965 adalah masalah internalAngkatan Darat Indonesia yang kemudian
diprovokasikan oleh dinas intelijen Baratsebagai upaya percobaan kudeta oleh
PKI.Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI
tidakterlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah
tokoh partaiyang terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan
tindakan-tindakan, dan karenaitu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian,
pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD padatengah
malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segeraditerima
secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman
buruk bersama PKI
dalam kehidupan sosial dan
politik pada tahun-tahunterakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah
perwira penerangan telahmenambahkan atau melebih-lebihkan terhadap kekejaman,
melebihi peristiwasesungguhnya. Penculikan dan kemudian pembunuhan para
jenderal menurut faktamemang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan
yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga
tiada taranyadalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatanuntuk menelaah
bagian-bagian sejarah – khususnya mengenai Peristiwa 30 September1965
dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran.Kesempatan
itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh parasejarawan dalam
batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernahterlibat
dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisanversi
penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandungunsur
manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan
muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk
memberi posisi barudalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata.
Pendulum sejarah kaliini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.Terdapat sejumlah nuansa berbeda
yang harus bisa dipisahkan satu sama laindengan cermat dan arif, dalam
menghadapi masalah keterlibatan PKI pada
peristiwa- peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalamGerakan
30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965
– suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama
Angkatan Daratdiculik dan dibunuh
– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada
usahamerebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkansejumlah
pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata,
adadokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka
pertarungankekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang
perlu lebihdiperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk
lebih mendekatikebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh
dihentikan. Bahwadalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik
politik maupun konfliksosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom
1959-1965, terjadimalapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif
pembalasan dengananggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan
fakta sejarah. Eksestelah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
II.4 Ragam Pendapat Tentang G 30/S PKI
Ada berbagai versi tentang G-30-S, pertama adalah versi Orde Baru
yangdipimpin oleh Soeharto. Menurut versi ini, PKI adalah dalang sekaligus
pelaku G-30-S. Oleh karena itu maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan
G-30-S/PKI. Versi
Orde Baru ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan
G-30-S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI, yang
menyiksa danmembantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua organisasi/kelompok
yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada
di bawah pengaruh PKI.John Roosa, di dalam bukunya yang berjudul, “Dalih
Pembunuhan Massal,Gerakan 30 September”, mengatakan bahwa Pusat Penerangan
Angkatan telah
mempublikasikan tiga jilid buku, dari bulan Oktober sampai Desember 1965,
dengan tujuan untuk membuktikan bahwa PKI secara organisasional adalah dalang
G-30-S.Bukti utama yang diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung,
yangditangkap di Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap
tanggal 11Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan
interogasiterhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief
mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam G-30-S yang merupakan kesukarelaan, danuntuk
kepentingan PKI, adalah disampaikan dalam kondisi setengah sadar, dansedang
mengalami infeksi luka akibat tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam
sidang-sidang Mahmilub, keduanya, baik Untung maupun Latief, menyangkal laporan-laporan
interogasi mereka, dan menyatakan bahwa G-30-S berada di bawahkepemimpinan
mereka, sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuansaja
(Roosa, 2008 : 94-95).Versi kedua mengenai G-30-S adalah berasal dari “analisa
awal” Bennedict
Anderson, dan Ruth Mc
Vey. Di dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam berita-berita
pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang lebih
masukakal adalah menjelaskan G-30-S sebagai suatu konflik internal Angkatan
Darat(Roosa, 2008 : 95-96).Ben Anderson dan Ruth McVey berpendapat bahwa,
G-30-S adalah
sebuah pemberontakan dalam Angkatan Darat dari perwira-perwira muda yang berasal dariJawa
Tengah. Alasan pemberontakan adalah karena jijik terhadap kemerosotan
gayahidup, dan garis politik pro-Barat dari para Jenderal SUAD (Staf Umum
AngkatanDarat) di Jakarta. G-30-S adalah sebuah usaha untuk mengubah Angkatan
Daratmenjadi lebih merakyat. Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson
danMcVey, bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal
yangkorup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno
untukmenjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103).Versi ketiga
adalah versi Harold Crouch. Menurut Crouch, G-30-S, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda dengan PKI. Inisiatif awal G-30-S adalah berasal dari perwira-perwira muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagaikelompok
inti yang merencanakan dan mengeksekusi. Versi ini sama dengan versiSudisman
(anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaituAidit,
Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI).
Sudisman berpendapat bahwa G-30-S adalah peristiwa internal Angkatan Darat. Ia mengakui bahwa
beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai
institusi tidak terlibat(Roosa, 2008 : 106).Versi kelima adalah pendapat
W.F Wertheim. Menurutnya, G-30-S adalahkonspirasi antara Soeharto dengan
teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung(tim inti G-30-S). (Roosa, 2008 :
112). Beberapa pimpinan PKI terlibat G-30-S,karena mereka ditipu oleh Sjam, dan
komplotan perwira anti-PKI yang inginmenghancurkan PKI dan menggulingkan
Soekarno (Roosa, 2008 : 116).
II.5 Hubungan G 30/S 1965 dengan ORBA
Selain itu banyak yang
menilai sebuah gerakan yang terjadi pada 30September atau lebih tepatnya malam
1 Oktober itu secara Subjektif. Banyak yangmenilai Soekarno merupakan orang
yang paling bertanggung jawab atas peristiwatersebut dikarenakan pemikiran
NASAKOM yang di usung sehingga PKI menjadisebuah partai dengan ideologi komunis
terbesar setelah Uni Soviet dan China. Tapiada juga yang mengatakan peristiwa G
30/S 1965 merupakan sebuah rekayasa MayorJenderal Soeharto untuk menjatuhkan
serta merebut kekuasaan dari Soerkarno.Terlepas dari ragam pemikiran subjektif
itu semua, akibat yang ditimbulkandari sebuah peristiwa tersebut, terjadi titik
balik antara dua penguasa yang ada diIndonesia. Soerharto yang mendapat sebuah
mandat dari Soekarno sang proklamatoryang tertulis dalam Surat Perintah Sebelas
Maret (SUPERSEMAR) menugaskanuntuk membereskan semua kekacauan yang terjadi di
Indonesia. Jatuhnya kekuasaanSoekarno diiringi dengan munculnya kekuasaan baru
dibawah rezim Soeharto yangmampu melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun,
atau yang lebih dikenaldengan Orde Baru (ORBA).
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
PKI merupakan sebuah aliran komunis yang ada di Indonesia yang bisa
dikatakan jugasebagai konsepsi dasar dalam pembangunan Indonesia merdeka. PKI
sendiri juga merupakansebuah partai komunis terbesar didunia setelah Uni Soviet
dan China. Dalam perkembangannya
PKI di Indonesia juga diwarnai dengan berbagai macam pemberontakan,terhadap
kolonial maupun Indonesia sendiri.Akan tetapi kejadian G 30/S 1965 membuat
pandangan rakyat Indonesia berubah
terhadap partai komunis terbesar setelah Uni Soviet dan China ini. Terlebih setelah berita dan yang begitu dilebih-lebihkan pemerintah saat itu membuat kebencian rakyat Indonesia semakinmenjadi.
Kebanyakan dari mereka bahkan menyalahkan Soekarno atas
kejadian G 30/S 1965yang terkesan melindungi PKI dengan dalil
NASAKOM.Seiring dengan waktu kebenaran-kebenaran mulai terkuak, dan sejarahpun
mulai berbicarafakta.Akibat dari peristiwa tersebut terjadi titik-balik antara
dua penguasa di Negeri ini.Kekuasaan Soekarno diambil alih oleh Soeharto, yang
akan menjadi salah satu rezim
yang paling diktator dalam sejarah dunia khususnya Indonesia, atau yang biasa dikenal denganOrde
Baru (ORBA)
III.2 Saran
Dengan Menilik sebuah
sejarah hendaknya kita berpikir secara objektif pada suatu perisitiwatersebut.
Terlebih apabila dalam perisitiwa tersebut terlibat dua penguasa. Indonesia
sendiri juga sudah sepantasnya menghargai setiap jasa pahlawan, dan
menghargai juga setiap sejarahyang ada, khususnya di Indonesia. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai
jasa pahlawannya, dalam artian sejarah. Dan sebagai warga yang terlibat dalam sejarahnya kita juga diharuskan untuk mengungkapkan sebuah fakta. Agar setiap cerita maupun tulisantersampaikan
pada generasi penerus dalam sebuah peristiwa yang berdasarkan
kenyataan, bukan manipulasi sejarah.
Daftar Rujukan
Dwi Aria Yuliantri, Rhoma & M Dahlan, Muhidin. 2008.
Lekra Tak Membakar Buku
Suwanto,dkk.1997.
Sejarah Nasional dan Umum
.Semarang:Aneka Ilmu.Warman Adam, Asvi.
Membongkar Manipulasi Sejarah
.Tim Buku Tempo. 2010.
Aidit : Dua Wajah Dipa Nusantara.
Kasenda, Peter. 2013.
Soeharto
Marx, K & Engels, F. 1964.
Manifes Partai Komunis
. (Terjemahan Indonesia),Diterjemahkan Oleh Depagitprop CC PKI, Jajasan
Pembaruan. Jakarta.Roosa, John, 2008. Dalih
Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto
.Hasta Mitra. Jakarta.
Kisah Soeharto marah saat
pembuatan film G 30 S/PKI
Merdeka.com - Meski film G 30 S/PKI adalah film proyek pemerintah,
namun dalam penggarapannya begitu serius. Bahkan dari para pemeran yang bermain
dalam film itu terdapat tokoh intelektual yang ikut serta di dalamnya.
Sebut saja Umar Kayam yang memerankan tokoh Soekarno dan Syubah Asa yang berperan sebagai
Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia.
Penulis buku 'Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema
Indonesia', Budi Irawanto mengatakan, penggarapan film digarap dengan serius
dengan sumber manusia terbaik di zamannya dan dengan dukungan media,
bentuk-bentuk visual yang detail dan penjelasan guru-guru di sekolah kepada
siswa.
"Dengan adanya dukungan semua itu, film itu semakin cepat dipahami
penonton, seolah-olah itulah kejadian otentik dalam kasus 1965,' kata Budi saat
dihubungi merdeka.com pada Kamis (27/9) sore kemarin.
Dari pengamatan Budi dalam karya Arifin C Noer, film Serangan Fajar (1981) dan film
Penghianatan G 30 S/PKI (1984), dia menemukan dua hal yang berbeda. Menurut
Budi, dalam film Serangan Fajar, yang mengisahkan perjuangan Indonesia dalam
meraih kemerdekaannya.
"Dalam film itu Arifin masih bisa bernegosiasi dengan idealismenya dengan
memasukkan tokoh mitos rekaannya seperti tokoh Temon," ujar Budi lebih
lanjut.
Sedangkan dalam film Penghianatan G 30 S/PKI, menurut Budi, Arifin dalam film
itu mungkin di bawah tekanan. Dia memprediksi Arifin menggarap film hanya mementingkan
unsur sinematografis. Meski sudah zaman reformasi, menurut Budi, banyak
kalangan yang masih menilai film itu bagus secara sinematografis, terlepas dari
isi yang bertolak belakang dengan sejarah.
Hal ini bisa dilihat bagaimana riset yang terkait dengan musik, latar, pakaian
dalam film dilakukan dengan riset yang serius agar film itu seolah-olah nyata.
Bahkan, saking seriusnya penggarapannya, Presiden soeharto/">Soeharto sempat marah dalam proses pembuatan
film tersebut.
Kisah itu diceritakan Jajang C Noer kepada Budi Irawanto tahun lalu di Jakarta.
Menurut Budi, saat penggarapan film, Jajang C Noer ikut serta untuk riset
kostum yang akan digunakan pemeran soeharto/">Soeharto dalam film itu. Maka mau tidak mau,
Jajang harus bertanya langsung kepada Soeharto.
Keinginan untuk sempurna itu membuat Jajang harus bertanya detail kepada Soeharto.
Mulai dari warna semua pakaian dinas hingga jenis kain yang digunakan saat
bertugas. Bahkan, aksesori lainnya juga ditanyakan sebagai masukan dalam film.
Namun, hal itu membuatSoeharto marah.
"Kenapa harus menanyakan hal-hal yang detail dan tidak perlu," ujar
Budi menirukan ungkapan marah Soeharto kepada Jajang.
Padahal hal-hal yang dianggap yang tidak perlu itu semuanya bermula. Hal ikhwal
yang tidak terkait langsung dengan peristiwa sebenarnya, mulai dari baju,
lencana, latar musik, dan perlengkapan lainnya, membuat film itu begitu
meyakinkan sebagai film paling mencekam dalam sejarah Indonesia.
Budi berharap, pemerintah mestinya mendukung pembuatan film tandingan. Membalas
film dengan film, bukan sebagai bentuk balas dendam. Namun film yang mengambil
sudut pandang korban yang dibantai yang dituduh Partai Komunis Indonesia.
Menurutnya film-film tandingan serupa sudah banyak yang bermunculan dalam
festival-festival film dokumenter di Yogyakarta. "Film tandingannya berupa
film dokumenter dan beredar di kalangan tertentu, padahal dari segi kualitas
dan dukungan pemerintah masih jauh dari film Penghianatan G 30 S/PKI,"
ujar mantan Direktur Jogja-Netpac Asian Film Festival 2011
Merdeka.com - Meski film G 30 S/PKI adalah film proyek pemerintah, namun dalam penggarapannya begitu serius. Bahkan dari para pemeran yang bermain dalam film itu terdapat tokoh intelektual yang ikut serta di dalamnya.
Sebut saja Umar Kayam yang memerankan tokoh Soekarno dan Syubah Asa yang berperan sebagai Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia.
Penulis buku 'Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia', Budi Irawanto mengatakan, penggarapan film digarap dengan serius dengan sumber manusia terbaik di zamannya dan dengan dukungan media, bentuk-bentuk visual yang detail dan penjelasan guru-guru di sekolah kepada siswa.
"Dengan adanya dukungan semua itu, film itu semakin cepat dipahami penonton, seolah-olah itulah kejadian otentik dalam kasus 1965,' kata Budi saat dihubungi merdeka.com pada Kamis (27/9) sore kemarin.
Dari pengamatan Budi dalam karya Arifin C Noer, film Serangan Fajar (1981) dan film Penghianatan G 30 S/PKI (1984), dia menemukan dua hal yang berbeda. Menurut Budi, dalam film Serangan Fajar, yang mengisahkan perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaannya.
"Dalam film itu Arifin masih bisa bernegosiasi dengan idealismenya dengan memasukkan tokoh mitos rekaannya seperti tokoh Temon," ujar Budi lebih lanjut.
Sedangkan dalam film Penghianatan G 30 S/PKI, menurut Budi, Arifin dalam film itu mungkin di bawah tekanan. Dia memprediksi Arifin menggarap film hanya mementingkan unsur sinematografis. Meski sudah zaman reformasi, menurut Budi, banyak kalangan yang masih menilai film itu bagus secara sinematografis, terlepas dari isi yang bertolak belakang dengan sejarah.
Hal ini bisa dilihat bagaimana riset yang terkait dengan musik, latar, pakaian dalam film dilakukan dengan riset yang serius agar film itu seolah-olah nyata. Bahkan, saking seriusnya penggarapannya, Presiden soeharto/">Soeharto sempat marah dalam proses pembuatan film tersebut.
Kisah itu diceritakan Jajang C Noer kepada Budi Irawanto tahun lalu di Jakarta. Menurut Budi, saat penggarapan film, Jajang C Noer ikut serta untuk riset kostum yang akan digunakan pemeran soeharto/">Soeharto dalam film itu. Maka mau tidak mau, Jajang harus bertanya langsung kepada Soeharto.
Keinginan untuk sempurna itu membuat Jajang harus bertanya detail kepada Soeharto. Mulai dari warna semua pakaian dinas hingga jenis kain yang digunakan saat bertugas. Bahkan, aksesori lainnya juga ditanyakan sebagai masukan dalam film. Namun, hal itu membuatSoeharto marah.
"Kenapa harus menanyakan hal-hal yang detail dan tidak perlu," ujar Budi menirukan ungkapan marah Soeharto kepada Jajang.
Padahal hal-hal yang dianggap yang tidak perlu itu semuanya bermula. Hal ikhwal yang tidak terkait langsung dengan peristiwa sebenarnya, mulai dari baju, lencana, latar musik, dan perlengkapan lainnya, membuat film itu begitu meyakinkan sebagai film paling mencekam dalam sejarah Indonesia.
Budi berharap, pemerintah mestinya mendukung pembuatan film tandingan. Membalas film dengan film, bukan sebagai bentuk balas dendam. Namun film yang mengambil sudut pandang korban yang dibantai yang dituduh Partai Komunis Indonesia.
Menurutnya film-film tandingan serupa sudah banyak yang bermunculan dalam festival-festival film dokumenter di Yogyakarta. "Film tandingannya berupa film dokumenter dan beredar di kalangan tertentu, padahal dari segi kualitas dan dukungan pemerintah masih jauh dari film Penghianatan G 30 S/PKI," ujar mantan Direktur Jogja-Netpac Asian Film Festival 2011
Kejahatan PKI Terhadap Umat Islam
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah…..
Memasuki tahun 1960-an merupakan masa gegap gempitanya politik. PKI
menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia yang memiliki kesempatan untuk
berkuasa. PKI sadar, untuk mencapai tujuannya itu harus memanfaatkan figur
Presiden Soekarno. Itu sebabnya, PKI berusaha mendukung semua kebijakan
Presiden Soekarno.
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah
usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang
dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam tindak-tindak kekerasan yang
dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat pemerintah
dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang mereka
golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah negara maupun tanah
milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Sejumlah aksi massa PKI yang dimulai pada pertengahan 1961 itu
adalah peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa
Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit
(15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di
kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai peristiwa pembunuhan KH
Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan, Madura (28 Juli 1965)
Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada
akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang bukan PKI.
Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi
massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan
organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh
PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi
bersangkutan kecuali dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki
tahun 1964—dalam hal ini KH M Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng Jombang
tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser).
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di antara perlawanan yang pernah dilakukan
oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi massa sepihak PKI adalah peristiwa Nongkorejo,
Kencong, Kediri di mana pihak PKI didukung oleh oknum aparat seperti Jaini
(Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan Koramil setempat. Dalam kasus
itu, PKI telah mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur
kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi (PKI)
dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur darah.
Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik
Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah klobot,
padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI menanam kacang dan
ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir.
Karena merasa tidak berdaya, maka Haji Amir meminta bantuan kepada
Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor dari Lirboyo bersenjata clurit
dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan Pemuda Rakyat pecah pula di Malang.
Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang dan dalam pidatonya
mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus diganyang. Mendengar
pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung naik ke podium dan langsung
menyerang Karim. Para anggota Pemuda Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik.
Pemuda Rakyat banyak yang luka.
Kelahiran Banser
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat
meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI
melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh
setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat,
tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat
(LSIK, 1988:72). Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan
desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi massa sepihak yang
dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja
mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas
pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan, sekolah-sekolah
negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Hal ini terutama terjadi di Blitar. Dengan aksi itu, baik perangkat
desa maupun guru-guru yang ingin terus bekerja harus menjadi anggota PKI.
Atas dasar aksi sepihak PKI itulah kemudian pengurus Ansor
kabupaten Blitar membentuk sebuah barisan khusus yang bertugas menghadapi aksi
sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh pengurus GP Ansor seperti
Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali Muksin, H. Badjuri, Atim,
Abdurrohim Sidik, diputuskanlah nama Barisan Ansor Serbaguna disingkat Banser.
Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang diterima aklamasi.
“Karena Banser adalah suatu kekuatan paramiliter serba guna yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di masa genting maupun aman, maka lambang
yang disepakati dewasa itu berkaitan dengan keberadaan Banser,” tutur Agus
Sunyonto, penulis masalah gerakan Islam, dalam tulisan “Mengenang Partisipasi
Politik Banser pada 1965 : Lahir dalam Tekanan PKI.”
Lambang awal Banser mencakup tiga gambar yakni cangkul, senapan dan
buku. Menurut Romdhon, tiga gambar itu memiliki makna bahwa seorang anggota
Banser siap melakukan pekerjaan membantu masyarakat yang membutuhkan (simbol
cangkul), siap pula membela agama, bangsa dan negara (senapan) dan siap pula
belajar (buku).
Dalam tempo singkat, setelah Banser Blitar terbentuk, secara
berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah. Dan pada 24 April 1964, Banser
dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional. Mula-mula, Banser dilatih
oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih pula oleh RPKAD, Raiders dan
batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh pihak militer, Banser
secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat dengan berbagai ilmu
kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal sebagai pembina
spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim (Tulungagung), KH
Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki
(Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH Djawahiri
(Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Siddiq (Jember).
Hasil kongkret dari pembentukan Banser, perlawanan terhadap aksi
sepihak PKI makin meningkat. Kordinasi-kordinasi yang dilakukan anggota Banser
untuk memobilisasi kekuatan berlangsung sangat cepat dan rapi. Dalam keadaan
seperti itu, mulai sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser
dengan PKI. Bahkan pada gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan
anggota Banser terhadap aksi-aksi massa maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah
berbagai bentrokan fisik antara Banser dengan PKI di berbagai tempat seperti:
Peristiwa Kanigoro.
Pada 13 Januari 1965 tepat pukul 04.30 WIB, sekitar 10.000 orang
Pemuda Rakyat dan BTI melakukan penyerbuan terhadap pondok pesantren Kanigoro,
Kras, Kediri. Alasan mereka melakukan penyerbuan, karena di pesantren itu
sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar Indonesia (PII). Pimpinan
penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono. Massa Pemuda Rakyat dan BTI itu
menyerbu dengan bersenjatakan golok, pedang, kelewang, arit, dan pentungan
sambil berteriak histeris: – “Ganyang santri…!”, “Ganyang Serban…!”, “Ganyang Kapitalis..!”,
“Ganyang Masyumi…!”.
Para anggota PR dan BTI yang sudah beringas itu kemudian
mengumpulkan kitab-kitab pelajaran agama dan Al-Qur’an. Kemudian semua
dimasukkan ke dalam karung dan diinjak-injak sambil memaki- maki. Pimpinan
pondok, Haji Said Koenan, dan pengasuh pesantren KH Djauhari, ditangkap dan
dianiaya. Para pengurus PII digiring dalam arak-arakan menuju Polsek setempat.
Para anggota PR dan BTI menyatakan, bahwa PII adalah anak organisasi Masyumi
yang sudah dilarang. Jadi PII, menurut PKI, berusaha melakukan tindak makar
dengan mengadakan training-training politik.
Peristiwa penyerangan PR dan BTI terhadap pesantren Kanigoro, dalam
tempo singkat menyulut kemarahan Banser Kediri. Gus Maksum “putera KH Djauhari”
segera melakukan konsolidasi. Siang itu, 13 Januari 1965, delapan truk berisi
Banser dari Kediri datang ke Kanigoro. Markas dan rumah-rumah anggota PKI
digrebek. Suryadi dan Harmono, pimpinan PR dan BTI, ditangkap dan diserahkan ke
Polsek.
Banser Versus Lekra
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga
sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh) dalam
sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal
dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti
hati umat Islam yakni : “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Pada saat ludruk sedang ramai, tiba- tiba Banser melakukan serangan
mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain dihajar. Bahkan salah seorang pemain
yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian
raja. Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit kabupaten Malang. Ceritanya,
di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan
lakon “Malaikat Kawin“. Banser datang dari berbagai desa sekitar. Pada saat
ludruk dipentaskan para anggota Banser yang menonton di bawah panggung segera
melompat ke atas panggung. Kemudian dengan pisau terhunus, satu demi satu para
pemain itu dicengkeram tubuhnya. (Sumber: Duta Masyarakat)
Pengakuan Mantan Anggota PKI: “Masa Orde Baru,
Masa Tersuram Hidup Saya”
Apa yang terkenang
dalam benak kita jika mendengar kata PKI? Barangkali ingatan akan melayang pada
palu dan arit dan darah yang berceceran, yang terlukis dari film G30S/ PKI yang
kerap diputar pada saat peringatan peristiwa mencekam yang terjadi pada tanggal
30 September 1965 lampau.
Kekejaman PKI begitu lekat dalam ingatan. Film, buku,
serta pelajaran di sekolah memberikan andil dalam benak anak bangsa tentang
‘betapa kejamnya PKI’. Membunuh, merusak, membakar, serta segudang tindakan
anarkis lain yang telah membuat pemerintah mengeluarkan maklumat partai
terlarang dan bahkan kejadian beberapa waktu yang lalu, pemerintah membakar
buku-buku pelajaran Sejarah yang terbit hanya karena tidak mencantumkan kata
PKI setelah G30S.
Sebagai anak bangsa yang pernah mengonsumsi pelajaran Sejarah di sekolah,
saya tak luput dari imej itu. Hingga, di satu siang yang cukup terik, saat saya
berkesempatan berbincang dengan salah satu anggota PKI di masa lalu, saya
terkejut sendiri dengan kalimat yang ia beberkan : ‘anggota PKI pun menjadi
korban atas peristiwa 1965,’ menjelaskan kalimatnya yang cukup mengejutkan di
siang bolong, Pak Bedjo Untung (62), seorang ayah dari dua anak, pun berkisah.
Pa Bedjo
“Memang sulit mengubah imej bahwa PKI itu jahat,
hingga banyak orang yang kaget apabila mengatakan bahwa anggota PKI adalah
korban dari peristiwa 1965,” tuturnya. Pada saat peristiwa itu terjadi di tahun
1965, ia berusia 17 tahun.
Menurut Bedjo, hidupnya sebelum peristiwa suram itu
terjadi berjalan dengan normal. Anggota PKI hidup berdampingan dengan anggota
masyarakat lain sebagaimana layaknya anggota partai satu bertetangga dengan
anggota partai lain.
Terlahir dari keluarga yang cukup berpendidikan, Bedjo
mengenyam masa kecil yang lumayan menyenangkan di kota kecil kelahirannya,
Pekalongan. Ayahnya seorang haji yang cukup disegani dan sering menjadi imam
sholat di lingkungannya.
“Jadi tidak benar jika dikatakan anggota PKI tidak
beragama. Buktinya kehidupan keluarga saya sangat religius. PKI memberikan
kebebasan kepada para anggota untuk menjalankan ibadah sesuai dengan yang
diyakini, termasuk memberikan kebebasan untuk tidak beragama sekalipun,”
tuturnya.
Tertangkapnya beberapa jenderal yang disinyalir akibat
dari perbuatan PKI telah memberikan dampak dahsyat dalam hidup Bedjo. Seketika
hidupnya berubah 180 derajat! Ayahnya langsung ditangkap dan dipenjara di Pulau
Buru. Sementara Bedjo yang pada saat itu masih tercatat sebagai siswa SPG
(Sekolah Pendidikan Guru) kelas 3 terpaksa harus melarikan diri dari rumah dan
bersembunyi di hutan-hutan selama lima tahun.
“Itu masa tersuram dalam hidup saya. semua yang ada
kaitannya dengan PKI dibunuh, diculik, dan disiksa. Bahkan di Boyolali,
tindakannya lebih sadis lagi, dipotong lehernya lalu kepalanya ditancepkan di
bambu runcing, dan itu ditancapkan dipingggir jalan. Masa yang bersimbah darah,
rumah-rumah dikepung masa,” kenangnya pahit. Namun, akhirnya pada tahun 1970,
ia pun tertangkap dan masuk penjara selama sembilan tahun.
Pada masa itu, ada yang dinamakan dengan operasi
kalong. Dan sudah menjadi rahasia umum jika yang tertangkap di operasi kalong
tentunya akan mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi, bahkan tidak
sedikit yang hilang.
“Saya pernah tertangkap kalong. Di Kalong penuh
ratusan orang, ternyata banyak disana yang bahkan mereka bukan orang-orang PKI.
Petani, anak muda pelajar seperti saya, dan lain-lain,” kenangnya. Ia satu
tahun di Kalong, mengisi sebuah sel yang berkapasitas dua orang namun diisi
oleh sepuluh orang. Lalu pindah ke Rutan Salemba yang penuh dengan ribuan
tahanan politik.
Masa itu tak luput dari penderitaan. Makan hanya
diberikan alakadarnya. “Ngga lebih dari lima sendok paling nasinya, terus nasi
yang campur pasir. Jadi kalo mau dimakan itu harus diayak dulu untuk
menghilangkan pasirnya,” kenang ayah dari Baja Suseno (26) dan Adi Wijaya (22)
ini. Nasi alakadarnya itu hanya berlauk secuil tempe. “Paling ukuran tempenya
Cuma sekuku,” senyumnya.
Dari Salemba ia pindah ke kamp konsentrasi kerja paksa
di Tangerang. Ditempat yang disebut sebut sebagai tempat instalasi rehabilitasi
ini ia mengalami kerja paksa.
“Makanan lebih menyedihkan lagi, kalo tidak ada lauk
bisa makan tikus, ular, bekicot, itu makanan yang paling istimewa,” ujar Bedjo.
Masa tahanan Bedjo akhirnya berakhir pada tahun 1979.
Pada saat itu ia menuturkan bahwa ada tekanan dari dunia internasional terutama
IMF dan IGGI untuk Indonesia agar melepaskan tahanan politik, jika ada tahanan
politik mereka tidak akan mau bantu.
Namun, tentu saja hidup tidak dapat memberikan banyak
peluang karena embel-embel eks tapol melekat dalam KTP-nya. Hingga akhirnya Bedjo
pun dapat menafkahi hidupnya dengan mengajar privat bahasa Inggris dan music
yang dipelajarinya secara otodidak di penjara.
Kini ia mengetuai
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) yang didirikan pada tahun 1999
lalu. Bedjo berharap, dengan kiprahnya di YPKP, peristiwa sebenarnya yang
terjadi pada tahun 1965 dapat tersaji pada masyarakat luas. (tr)
PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), Organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana tujuh pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Berikut ini adalah para korban yang kemudian disebut sebagai TUPAREV, Tujuh Pahlawan Revolusi
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah…..
Memasuki tahun 1960-an merupakan masa gegap gempitanya politik. PKI
menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia yang memiliki kesempatan untuk
berkuasa. PKI sadar, untuk mencapai tujuannya itu harus memanfaatkan figur
Presiden Soekarno. Itu sebabnya, PKI berusaha mendukung semua kebijakan
Presiden Soekarno.
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah
usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak kekerasan yang
dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam tindak-tindak kekerasan yang
dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat pemerintah
dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang mereka
golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah negara maupun tanah
milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Sejumlah aksi massa PKI yang dimulai pada pertengahan 1961 itu
adalah peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa
Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit
(15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di
kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai peristiwa pembunuhan KH
Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan, Madura (28 Juli 1965)
Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada
akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat yang bukan PKI.
Dikatakan meresahkan karena pada umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi
massa sepihak tersebut adalah anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan
organisasi Muhammadiyah. Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh
PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi
bersangkutan kecuali dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki
tahun 1964—dalam hal ini KH M Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng Jombang
tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser).
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri tidak selalu dilatari oleh
persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan dengan aksi-aksi massa
sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan perlindungan dari warga
PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di antara perlawanan yang pernah dilakukan
oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi massa sepihak PKI adalah peristiwa Nongkorejo,
Kencong, Kediri di mana pihak PKI didukung oleh oknum aparat seperti Jaini
(Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan Koramil setempat. Dalam kasus
itu, PKI telah mengkapling dan menanami lahan milik Haji Samur. Haji Samur
kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok fisik antara Sukemi (PKI)
dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh berlumur darah.
Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol, Kediri. Ceritanya, tanah milik
Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI diklaim sebagai tanah klobot,
padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu, PKI dan BTI menanam kacang dan
ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji Amir.
Karena merasa tidak berdaya, maka Haji Amir meminta bantuan kepada
Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor dari Lirboyo bersenjata clurit
dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan Pemuda Rakyat pecah pula di Malang.
Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota Malang dan dalam pidatonya
mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang harus diganyang. Mendengar
pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung naik ke podium dan langsung
menyerang Karim. Para anggota Pemuda Rakyat membela. Terjadi bentrok fisik.
Pemuda Rakyat banyak yang luka.
Kelahiran Banser
Aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI pada kenyataannya sangat
meresahkan masyarakat terutama umat Islam. Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI
melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh
setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat,
tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat
(LSIK, 1988:72). Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan
desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi massa sepihak yang
dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja
mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah melainkan merampas
pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan, sekolah-sekolah
negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Hal ini terutama terjadi di Blitar. Dengan aksi itu, baik perangkat
desa maupun guru-guru yang ingin terus bekerja harus menjadi anggota PKI.
Atas dasar aksi sepihak PKI itulah kemudian pengurus Ansor
kabupaten Blitar membentuk sebuah barisan khusus yang bertugas menghadapi aksi
sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh pengurus GP Ansor seperti
Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali Muksin, H. Badjuri, Atim,
Abdurrohim Sidik, diputuskanlah nama Barisan Ansor Serbaguna disingkat Banser.
Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang diterima aklamasi.
“Karena Banser adalah suatu kekuatan paramiliter serba guna yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di masa genting maupun aman, maka lambang
yang disepakati dewasa itu berkaitan dengan keberadaan Banser,” tutur Agus
Sunyonto, penulis masalah gerakan Islam, dalam tulisan “Mengenang Partisipasi
Politik Banser pada 1965 : Lahir dalam Tekanan PKI.”
Lambang awal Banser mencakup tiga gambar yakni cangkul, senapan dan
buku. Menurut Romdhon, tiga gambar itu memiliki makna bahwa seorang anggota
Banser siap melakukan pekerjaan membantu masyarakat yang membutuhkan (simbol
cangkul), siap pula membela agama, bangsa dan negara (senapan) dan siap pula
belajar (buku).
Dalam tempo singkat, setelah Banser Blitar terbentuk, secara
berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah. Dan pada 24 April 1964, Banser
dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional. Mula-mula, Banser dilatih
oleh anggota Brimob. Kemudian dilatih pula oleh RPKAD, Raiders dan
batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh pihak militer, Banser
secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat dengan berbagai ilmu
kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal sebagai pembina
spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim (Tulungagung), KH
Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki
(Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH Djawahiri
(Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Siddiq (Jember).
Hasil kongkret dari pembentukan Banser, perlawanan terhadap aksi
sepihak PKI makin meningkat. Kordinasi-kordinasi yang dilakukan anggota Banser
untuk memobilisasi kekuatan berlangsung sangat cepat dan rapi. Dalam keadaan
seperti itu, mulai sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser
dengan PKI. Bahkan pada gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan
anggota Banser terhadap aksi-aksi massa maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah
berbagai bentrokan fisik antara Banser dengan PKI di berbagai tempat seperti:
Peristiwa Kanigoro.
Pada 13 Januari 1965 tepat pukul 04.30 WIB, sekitar 10.000 orang
Pemuda Rakyat dan BTI melakukan penyerbuan terhadap pondok pesantren Kanigoro,
Kras, Kediri. Alasan mereka melakukan penyerbuan, karena di pesantren itu
sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar Indonesia (PII). Pimpinan
penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono. Massa Pemuda Rakyat dan BTI itu
menyerbu dengan bersenjatakan golok, pedang, kelewang, arit, dan pentungan
sambil berteriak histeris: – “Ganyang santri…!”, “Ganyang Serban…!”, “Ganyang Kapitalis..!”,
“Ganyang Masyumi…!”.
Para anggota PR dan BTI yang sudah beringas itu kemudian
mengumpulkan kitab-kitab pelajaran agama dan Al-Qur’an. Kemudian semua
dimasukkan ke dalam karung dan diinjak-injak sambil memaki- maki. Pimpinan
pondok, Haji Said Koenan, dan pengasuh pesantren KH Djauhari, ditangkap dan
dianiaya. Para pengurus PII digiring dalam arak-arakan menuju Polsek setempat.
Para anggota PR dan BTI menyatakan, bahwa PII adalah anak organisasi Masyumi
yang sudah dilarang. Jadi PII, menurut PKI, berusaha melakukan tindak makar
dengan mengadakan training-training politik.
Peristiwa penyerangan PR dan BTI terhadap pesantren Kanigoro, dalam
tempo singkat menyulut kemarahan Banser Kediri. Gus Maksum “putera KH Djauhari”
segera melakukan konsolidasi. Siang itu, 13 Januari 1965, delapan truk berisi
Banser dari Kediri datang ke Kanigoro. Markas dan rumah-rumah anggota PKI
digrebek. Suryadi dan Harmono, pimpinan PR dan BTI, ditangkap dan diserahkan ke
Polsek.
Banser Versus Lekra
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga
sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh) dalam
sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal
dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti
hati umat Islam yakni : “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Pada saat ludruk sedang ramai, tiba- tiba Banser melakukan serangan
mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain dihajar. Bahkan salah seorang pemain
yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian
raja. Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit kabupaten Malang. Ceritanya,
di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan
lakon “Malaikat Kawin“. Banser datang dari berbagai desa sekitar. Pada saat
ludruk dipentaskan para anggota Banser yang menonton di bawah panggung segera
melompat ke atas panggung. Kemudian dengan pisau terhunus, satu demi satu para
pemain itu dicengkeram tubuhnya. (Sumber: Duta Masyarakat)
Pengakuan Mantan Anggota PKI: “Masa Orde Baru,
Masa Tersuram Hidup Saya”
Apa yang terkenang
dalam benak kita jika mendengar kata PKI? Barangkali ingatan akan melayang pada
palu dan arit dan darah yang berceceran, yang terlukis dari film G30S/ PKI yang
kerap diputar pada saat peringatan peristiwa mencekam yang terjadi pada tanggal
30 September 1965 lampau.
Kekejaman PKI begitu lekat dalam ingatan. Film, buku,
serta pelajaran di sekolah memberikan andil dalam benak anak bangsa tentang
‘betapa kejamnya PKI’. Membunuh, merusak, membakar, serta segudang tindakan
anarkis lain yang telah membuat pemerintah mengeluarkan maklumat partai
terlarang dan bahkan kejadian beberapa waktu yang lalu, pemerintah membakar
buku-buku pelajaran Sejarah yang terbit hanya karena tidak mencantumkan kata
PKI setelah G30S.
Sebagai anak bangsa yang pernah mengonsumsi pelajaran Sejarah di sekolah,
saya tak luput dari imej itu. Hingga, di satu siang yang cukup terik, saat saya
berkesempatan berbincang dengan salah satu anggota PKI di masa lalu, saya
terkejut sendiri dengan kalimat yang ia beberkan : ‘anggota PKI pun menjadi
korban atas peristiwa 1965,’ menjelaskan kalimatnya yang cukup mengejutkan di
siang bolong, Pak Bedjo Untung (62), seorang ayah dari dua anak, pun berkisah.
Pa Bedjo
“Memang sulit mengubah imej bahwa PKI itu jahat,
hingga banyak orang yang kaget apabila mengatakan bahwa anggota PKI adalah
korban dari peristiwa 1965,” tuturnya. Pada saat peristiwa itu terjadi di tahun
1965, ia berusia 17 tahun.
Menurut Bedjo, hidupnya sebelum peristiwa suram itu
terjadi berjalan dengan normal. Anggota PKI hidup berdampingan dengan anggota
masyarakat lain sebagaimana layaknya anggota partai satu bertetangga dengan
anggota partai lain.
Terlahir dari keluarga yang cukup berpendidikan, Bedjo
mengenyam masa kecil yang lumayan menyenangkan di kota kecil kelahirannya,
Pekalongan. Ayahnya seorang haji yang cukup disegani dan sering menjadi imam
sholat di lingkungannya.
“Jadi tidak benar jika dikatakan anggota PKI tidak
beragama. Buktinya kehidupan keluarga saya sangat religius. PKI memberikan
kebebasan kepada para anggota untuk menjalankan ibadah sesuai dengan yang
diyakini, termasuk memberikan kebebasan untuk tidak beragama sekalipun,”
tuturnya.
Tertangkapnya beberapa jenderal yang disinyalir akibat
dari perbuatan PKI telah memberikan dampak dahsyat dalam hidup Bedjo. Seketika
hidupnya berubah 180 derajat! Ayahnya langsung ditangkap dan dipenjara di Pulau
Buru. Sementara Bedjo yang pada saat itu masih tercatat sebagai siswa SPG
(Sekolah Pendidikan Guru) kelas 3 terpaksa harus melarikan diri dari rumah dan
bersembunyi di hutan-hutan selama lima tahun.
“Itu masa tersuram dalam hidup saya. semua yang ada
kaitannya dengan PKI dibunuh, diculik, dan disiksa. Bahkan di Boyolali,
tindakannya lebih sadis lagi, dipotong lehernya lalu kepalanya ditancepkan di
bambu runcing, dan itu ditancapkan dipingggir jalan. Masa yang bersimbah darah,
rumah-rumah dikepung masa,” kenangnya pahit. Namun, akhirnya pada tahun 1970,
ia pun tertangkap dan masuk penjara selama sembilan tahun.
Pada masa itu, ada yang dinamakan dengan operasi
kalong. Dan sudah menjadi rahasia umum jika yang tertangkap di operasi kalong
tentunya akan mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi, bahkan tidak
sedikit yang hilang.
“Saya pernah tertangkap kalong. Di Kalong penuh
ratusan orang, ternyata banyak disana yang bahkan mereka bukan orang-orang PKI.
Petani, anak muda pelajar seperti saya, dan lain-lain,” kenangnya. Ia satu
tahun di Kalong, mengisi sebuah sel yang berkapasitas dua orang namun diisi
oleh sepuluh orang. Lalu pindah ke Rutan Salemba yang penuh dengan ribuan
tahanan politik.
Masa itu tak luput dari penderitaan. Makan hanya
diberikan alakadarnya. “Ngga lebih dari lima sendok paling nasinya, terus nasi
yang campur pasir. Jadi kalo mau dimakan itu harus diayak dulu untuk
menghilangkan pasirnya,” kenang ayah dari Baja Suseno (26) dan Adi Wijaya (22)
ini. Nasi alakadarnya itu hanya berlauk secuil tempe. “Paling ukuran tempenya
Cuma sekuku,” senyumnya.
Dari Salemba ia pindah ke kamp konsentrasi kerja paksa
di Tangerang. Ditempat yang disebut sebut sebagai tempat instalasi rehabilitasi
ini ia mengalami kerja paksa.
“Makanan lebih menyedihkan lagi, kalo tidak ada lauk
bisa makan tikus, ular, bekicot, itu makanan yang paling istimewa,” ujar Bedjo.
Masa tahanan Bedjo akhirnya berakhir pada tahun 1979.
Pada saat itu ia menuturkan bahwa ada tekanan dari dunia internasional terutama
IMF dan IGGI untuk Indonesia agar melepaskan tahanan politik, jika ada tahanan
politik mereka tidak akan mau bantu.
Namun, tentu saja hidup tidak dapat memberikan banyak
peluang karena embel-embel eks tapol melekat dalam KTP-nya. Hingga akhirnya Bedjo
pun dapat menafkahi hidupnya dengan mengajar privat bahasa Inggris dan music
yang dipelajarinya secara otodidak di penjara.
Kini ia mengetuai
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) yang didirikan pada tahun 1999
lalu. Bedjo berharap, dengan kiprahnya di YPKP, peristiwa sebenarnya yang
terjadi pada tahun 1965 dapat tersaji pada masyarakat luas. (tr)
PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), Organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana tujuh pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Berikut ini adalah para korban yang kemudian disebut sebagai TUPAREV, Tujuh Pahlawan Revolusi
00.18 Diposkan oleh Pondok Multazam
Cerita Dari Lubang Buaya
(FULL VERSION)
Saya iseng mau tahu sejarah "lobang buaya" kebetulan saya pun tinggal
tak jauh dari Lobang buaya ya setidaknya saya juga tinggal tak jauh dari TMII
(Taman Mini Indonesia Indah), Memang penuh sejarah tempat yang saya dimana saya
tinggal. Setidaknya penuh cerita dari orang-orang tua yang suka duduk dan
berbincang-bincang di warung kopi yang sering kami bercanda dan berbagi cerita
semua kehidupan disini.
"Dasyat" memang cerita dari orang tua (sesepuh)
disini tentang lobang buaya dan sejarah tentang TMII (Taman Mini Indonesia
Indah). Saya pun tak sangka "abang jawara kapung" itu dulunya adalah
mantan anggota PKI. Dimana dia sering dicari tentara waktu itu, untung saja dia
berhasil sembunyi hingga sampe akhirnya sampe saat ini dia masih hidup. Sejarah
memang sangat "Romatis". Dan saya pun tak sangka ternyata dia adalah
mantan suami salah satu anggota DPR saat ini. Kisah hidup yang sangat panjang.
Banyak pelajaran yang saya petik dari kumpul-kumpul bersama bapak-bapak yang
suka duduk di warung kopi sebelah yang hanya menghabiskan malam-malam yang
dingin.
Banyak yang konon katanya bla..bla..bla dan sebagainya. Saya pun penasaran saya
mau tahu sejarah "misteri lobang buaya" untung saya hidup di zaman
yang penuh tenologi, sehingga saya mudah mendapat informasi. Yang penting ada
koneksi internet dan semuapun berjalan lancar (he.2). Banyak infomarsi tentang
sejarah lobang buaya. Tapi setidaknya saya masih memegang sejarah dari
"sesepuh" disini tentang lobang buaya. Sudah saya bilang sejarah
memang "sangat romantis" walaupun penuh duka, tetap saja bagi saya
sejarah itu "romantis". JAS MERAH - bung karno.
Misteri Lubang Buaya
OLEH INDARWATI
AMINUDDIN dan AGUS SOPIAN
HUJAN turun deras. Datuk Banjir menutup kepalanya dengan kain sarung. Begitu
juga kedua temannya. Dalam gelap, getek yang mereka naiki dibiarkan melaju
sendiri mengikuti riak air. Di sebuah tempat, getek tiba-tiba berhenti. Datuk
mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air untuk mendapatkan gerak
maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam. Dicobanya lagi, masih tak
berhasil. Datuk mengira, di sana ada lubang tempat persembunyian buaya.
Ketika air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja, di situ terdapat
sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang Buaya.
Legenda Lubang Buaya
berkembang dari mulut ke mulut. Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H.
Yusuf, pria asal Cirebon, yang mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka yang
percaya, mendatangi sumur itu setiap menjelang musim hujan, sekira bulan
Oktober. Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon keselamatan dari
ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir yang diyakini menguasai
tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat. Tradisi ruwatan meluas ke
permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur, warga juga meminta limpahan rejeki
dan jodoh buat anak-anak gadisnya.
Sumur Lubang Buaya terletak di Desa Lubang Buaya
, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Di
sebelah selatannya terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia Cilangkap,
sebelah utara Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, sebelah timur Pasar Pondok
Gede, dan barat Taman Mini Indonesia Indah.
Tanah di seputaran bibir sumur berwarna merah kecoklatan dan kering. Bagian
terdekat diberi terali besi bercat merah putih. Lantai marmer putih kilap
mengelilingi sumur berdiameter 75 centimeter itu. Sebuah cungkup, bangunan
seperti pendopo, memayunginya. Langit-langit bangunan ini diukir.
Tepat di atas lubang, sebuah cermin bergantung. Lewat cermin inilah orang bisa
menatap dasar sumur yang diberi pelita. Kecuali nyala api tadi, tak ada apa-apa
lagi di sana. Jangankan air, rumput pun tak tumbuh di sumur berkedalaman 12
meter itu.
Kalau Lubang Buaya ditata, itu bukan dimaksudkan untuk mengendapkan cerita
rakyat tentang Datuk Banjir. Ada cerita lain yang punya dimensi politik,
sekaligus jadi bagian sejarah Indonesia dengan segala kontraversinya. Di
sanalah jasad tujuh perwira militer, enam jenderal dan seorang letnan,
ditemukan dalam keadaan rusak. Peristiwa traumatik ini, terutama bagi militer
Indonesia, dikenal dengan nama G-30-S PKI, kependekkan dari “Gerakan 30 September
1965 Partai Komunis Indonesia”.
Pembunuhan atas para perwira itu jadi antiklimaks ofensif PKI terhadap
seteru-seteru politiknya. Militer memburu mereka yang dianggap bertanggung
jawab. Kekuatan massa PKI habis dalam tempo cepat, menyusul pembantaian besar-besaran
atas mereka di berbagai daerah oleh militer dan massa pro-militer. Sebagian di
antaranya dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke pulau-pulau terpencil.
Kilas balik ofensif PKI, yang ditandai oleh pembentukan milisi dan sayap
militer, sekurang-kurangnya dapat ditelusuri ke tanggal 23 Mei 1965. Saat itu,
PKI menggelar peringatan ulang tahun. Dalam even ini, D.N. Aidit, ideolog PKI,
menyeru kader-kadernya untuk meningkatkan sikap revolusioner.
Perayaan yang mirip ‘parade kekuatan rakyat’ itu semarak dengan poster-poster
berisikan slogan-slogan PKI, termasuk propaganda pembentukan “Angkatan V”. Ini
merujuk kepada kekuatan buruh dan tani untuk dipersenjatai dan dilatih
kemiliteran. Empat angkatan yang telah terbentuk sebelumnya adalah militer angkatan
darat, laut, udara dan kepolisian.
Ledakan kebringasan massa hanya tinggal tunggu waktu. Dan benar, seruan Aidit
diikuti oleh terjunnya para eksponen PKI ke desa-desa membawa slogan “Desa
Mengepung Kota”, tak ubahnya slogan Mao Tse Tung ketika mengobarkan revolusi
komunisme di China.
Dalam aksinya, mereka meneriakkan kebencian terhadap unsur-unsur masyarakat
yang dianggap jadi lawan-lawan politiknya. PKI mengekspresikannya dalam slogan
“Tujuh Setan Desa”. Mereka adalah tuan tanah, tengkulak, bandit desa, tukang
ijon, lintah darat, birokrat desa, dan amil zakat. Keadaan memanas, massa PKI
melakukan serangkaian pembantaian dan pembunuhan sistematis terhadap
“setan-setan” itu.
Aksi brutal PKI meresahkan rival-rivalnya. PNI (Partai Nasional Indonesia), NU
(Nahdlatul Ulama), Parkindo (Partai Kebangkitan Indonesia), Partai Katolik,
PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), hingga IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia), siaga menghadapi berbagai kemungkinan seraya
melontarkan berbagai kecaman. PKI di satu pihak dan lawan politiknya di pihak
lain, berhadap-hadapan untuk suatu konfrontasi terbuka.
Pimpinan PKI di Jakarta, yang tergabung dalam Politbiro, lembaga kekuasaan
tertinggi partai berlambang paru dan arit itu, menyambut reaksi
seteru-seterunya dengan mempercepat pembentukan milisi. Juli 1965, kader-kader
PKI berdatangan ke Lubang Buaya.
Di sana, mereka dilatih oleh sejumlah instruktur militer di bawah pimpinan
Mayor Udara Sujono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim. Tak hanya kaum
pria, kader-kader PKI perempuan pun ikut serta. Kebanyakan dari mereka berasal
dari organisasi yang sangat solid pada masa itu: Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia).
Di akhir latihan, mereka mendiskusikan berbagai persoalan politik, terutama
sepak-terjang sejumlah jenderal yang dianggap korup dan dekaden hingga
Indonesia dilanda krisisis. Saat itu, laju inflasi memang sudah mencapai dua
digit. Antrean bahan makanan pokok berlangsung di mana-mana. Banyak rakyat yang
kelaparan.
Massa PKI berang. Mereka berteriak-teriak meminta para jenderal itu dihadirkan
ke hadapan mereka.
Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal kepresidenan,
memerintahkan Letnan Satu Dul Arief untuk menjemput dan membawa
jenderal-jenderal yang telah didata. Pasukan Pasopati yang dipimpinnya segera
bergerak dari Lubang Buaya sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka menyebar ke sasaran
masing-masing secara serentak.
Brigadir Jenderal Soetodjo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac
Pandjaitan, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal MT Hardjono, Letnan
Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto dan Letnan Satu Piere Andries
Tendean, mereka bawa ke Lubang Buaya untuk diinterogasi. Massa yang sedang
kalap menganiaya mereka hingga tewas. Jenazah para korban lantas dibenamkan ke
dalam sumur itu. [Versi lain mengatakan sebagian di antara mereka masih hidup
ketika dijatuhkan ke sumur.]
Kisah-kisah menyeramkan pun segera mengalir. Soeharto, salah seorang jenderal
yang selamat, mengkampanyekan kekejian massa PKI lewat dua koran milik militer:
Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Disebutkan, sebelum dibunuh, para perwira
itu disiksa dan dijadikan bagian pesta mesum Gerwani. Sejumlah perwira
disayat-sayat kemaluannya dan matanya dicungkil.
Sebelum dibunuh, mereka dikelilingi kader Gerwani sambil menari-nari dan
menyanyikan lagu-lagu rakyat yang sedang populer masa itu, seperti Ganyang
Kabir atau Ganyang Tiga Setan Kota ciptaan Soebroto K Atmodjo, komponis Lembaga
Kebudayaan Rakyat, organisasi underbouw PKI. Genjer-genjer, lagu pop yang sedang
hit waktu itu, ikut menyemarakkan. Mereka yang sudah trance kemudian
menusuk-nusukkan pisau ke sejumlah anggota tubuh para korban.
Koran-koran pun memberitakan, dalam suasana yang semakin panas, beberapa wanita
menanggalkan busananya, dan tenggelam dalam ritual pesta “Harum Bunga”. Pesta
ini sekaligus memuncaki pesta sebelumnya sebagai suatu rangkaian penanda
berakhirnya latihan militer mereka. Ada berita lain yang menyebutkan, bahwa
dalam pesta itu mereka melakukan hubungan seks liar. Seorang dokter diisukan
memberikan pil-pil perangsang syahwat.
“Jelaslah bagi kita,” kata Soeharto, “betapa kejamnya aniaya yang telah
dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30
September.”
Mendapat dukungan massa, Soeharto mengambil-alih tongkat komando militer
Indonesia. Ia memimpin upacara pengangkatan jenazah dari dalam sumur,
mempertontonkannya kepada massa, dan mempublikasi data-data forensik tentang
kerusakan jenazah dan penyebabnya. Kebencian akan PKI menyebar ke seantero negeri
dan melahirkan perburuan besar-besaran pada tokoh-tokoh serta anggota partai
tersebut.
Sudomo, bekas menteri Koordinator Politik dan Keamanan, mengatakan, ada sejuta
massa PKI yang terbunuh. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan peneliti
masalah ini, yang menaksir antara dua sampai tiga juta orang.
Mereka yang selamat dari pembunuhan dipenjarakan dan diasingkan ke berbagai
tempat, mulai Pulau Nusakambangan [wilayah selatan Indonesia] hingga Pulau Buru
[wilayah timur Indonesia]. Hampir semua tahanan politik PKI, yang jumlahnya
ribuan, dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Bahkan surat penahanan pun mereka
terima setelah bertahun-tahun berada di balik jeruji besi.
Soeharto sendiri, lewat secarik kertas bernama Super Semar—kependekkan dari
Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diteken Presiden Soekarno—akhirnya
memegang komando militer dengan kekuasaan penuh. Bahkan, dengan kekuasaannya
itu, ia mengasingkan Soekarno ke Istana Bogor dengan alasan pengamanan.
Soeharto kemudian menanda-tangani surat keputusan No.1/3/1966 untuk membubarkan
PKI. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyaratan
Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25/1966.
Sejak itu, selain PKI dinyatakan partai terlarang, setiap kegiatan penyebaran
atau pengembangan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme, dianggal
illegal. Seluruh eks PKI dan sanak-familinya tak diperkenankan masuk ke dalam
jajaran pemerintahan dan militer. Di kemudian hari, mereka pun tak bisa jadi
pegawai swasta karena swasta takut memperkerjakan mereka.
Bandul perubahan politik berjalan dengan cepat. Soeharto, yang sebelumnya sama
sekali tak populer di mata rakyat, makin dielu-elukan sebagai penyelamat
negara. Tahun 1967, ia diangkat jadi presiden kedua Indonesia oleh MPRS, yang
diketuai Jenderal A.H. Nasution. Era Orde Baru dimulai.
Pada tahun itu juga, Soeharto langsung memerintahkan aparatnya untuk
membebaskan kawasan Lubang Buaya dari hunian penduduk dalam radius 14 hektar.
Mereka yang terusir kebanyakan memilih kampung Rawabinong dan Bambu Apus,
beberapa kilometer dari Lubang Buaya, sebagai daerah tujuan.
Tahun 1973, kawasan itu diresmikan sebagai jadi Monumen Pancasila Sakti.
Upacara kenegaraan 1 Oktober untuk mengenang peristiwa G-30-S PKI, segera
mengubur upacara rakyat ruwatan Oktober untuk menyeru Datuk Banjir.
Ketujuh perwira militer yang terbunuh diabadikan dalam tugu, patung dan relief
yang berada sekitar 45 meter sebelah utara cungkup sumur Lubang Buaya.
Patung-patung mereka dibangun setinggi kurang lebih 17 meter dengan instalasi
patung Burung Garuda di belakangnya. Dinding berbentuk trapesium, berdiri kokoh
di atas landasan berukuran 17 x 17 meter bujur sangkar dengan tinggi 7 anak
tangga.
Mereka berdiri dalam formasi setelah lingkaran, mulai Soetodjo Siswomiharjo, DI
Pandjaitan, S. Parman, Ahmad Yani, R. Soeprapto, MT Hardjono dan AP Tendean.
Salah satu patung di monumen tersebut, perwujudan A. Yani, yang di masa lalu
jadi saingan Soeharto dalam karir kemiliteran, menunjukkan tangannya ke arah
sumur Lubang Buaya—seolah hendak mengatakan, “Di sanalah kami mati.” Mati
fisik, mati politik.
Untuk masuk ke dalam monumen, orang harus berjalan sepanjang satu kilometer
dari Jalan Raya Pondok Gede. Ucapan “Selamat Datang” terukir di di atas batu
besar berwarna hitam. Kembang kertas berada di sepanjang jalan masuk.
Sekeliling monumen dibuatkan tembok tinggi dari muka hingga belakang.
Di areal monumen, terdapat museum. Di sini, pengunjung bisa mendengarkan
riwayat singkat para jenderal yang terbunuh itu, dengan memasukan koin dan menggenggam
gagang telepon di bawah foto mereka. Bagi yang ingin menonton film G-30-S PKI
disediakan tempat khusus. Mereka yang ingin membaca, disediakan perpustakaan.
Beberapa bangunan bekas orang-orang PKI menjalankan aktivitasnya bertebaran di
sana. Di sebelah kiri sumur, misalnya, terdapat bangunan berukuran sekitar 8 m
x 15,5 m yang dijadikan tempat penyiksaan para perwira itu. Bangunan ini
terbuat dari ayaman bambu dan bilah-bilah papan yang dicat coklat dengan
jendela kaca hitam. Sebelum G-30-S meletus, bangunan tersebut dulunya Sekolah
Rakyat.
Di dalam ruangan, terdapat 18 patung. Sebagian di antaranya, patung perwira
militer yang sedang disiksa. Di depan mereka, berdiri empat patung perempuan
aktivis Gerwani. Salah satunya mengenakan busana tradisional kebaya putih
berbunga-bunga kecil, sarung batik, dengan rambut panjang terurai. Ia memegang
pentungan dalam sorot mata bengis.
Untuk melihat patung-patung itu, tersedia tiga jendela yang terbuka lebar.
Penerangannya jelek. Debu-debu yang menempel di patung-patung tersebut memberi
kesan kurang perawatan.
Tak jauh dari sana, berdiri sebuah bangunan bekas dapur umum, yang kabarnya
menyimpan suara-suara aneh tanpa wujud. “Tertawa cekikikan dan bahkan
melenguh,” kata Yasan Suryana, seorang penjaga yang sudah 17 tahun bertugas
sebagai pegawai honorer.
Terlihat, genteng rumah itu pernah direnovasi. Dindingnya terbuat dari anyaman
bambu bercat putih, dengan beberapa bagian dicat hijau. Menurut cerita warga di
sana, rumah itu dulunya milik Ibu Amroh, seorang pedagang Cingkau (pakaian
keliling). Tak ada yang tahu, di mana Ibu Amroh atau keturunannya berada kini.
Sekitar dua puluh meter dari dapur umum, terdapat rumah Haji Sueb, seorang
penjahit. Ada beberapa bilik di dalamnya, dengan tiga lampu petromaks yang berdebu,
mesin jahit di ruang tengah dan lemari pakaian dengan kaca besar di pintunya.
Rumah Haji Sueb dianggap sebagai pos komando PKI. Letnan Kolonel Untung,
mengatur rencana penculikan terhadap perwira militer dari sana. Haji Sueb
sendiri telah lama meninggal, setelah mengalami penahanan panjang di Pulau
Buru. Keluarganya trauma dan tak pernah yakin Haji Sueb terlibat dengan gerakan
itu. Suara-suara aneh pun sering terdengar di sini. Sejumlah penjaga, konon
pernah mendengar suara tangis.
Kisah mistis masih bisa diperpanjang. Elizabeth [tanpa nama referensi kedua],
pegawai museum, yang dianggap punya indera keenam oleh teman-temannya, sering
melihat sosok perempuan yang tertawa-tawa saat berlangsung apel petugas jaga,
yang kesemuanya berjumlah enam orang. Perempuan itu duduk di bawah air mancur
yang menghadap Lapangan Saptamarga, tak jauh dari sumur.
Cerita-cerita mistis barangkali sama absurd-nya dengan cerita-cerita perlakuan
kader-kader PKI terhadap para perwira militer yang dibunuh, termasuk penyayatan
atas kemaluannya. Tahun 1987, dalam jurnal Indonesia terbitan Universitas
Cornell, Ben Anderson, seorang ahli sejarah tentang Indonesia, mengungkapkan
laporan dokter yang membuat visum et repertum atas jenazah para korban.
Dalam resume penelitian tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono
Kertapati itu, tertulis bahwa tak ada kemaluan korban yang disayat. Hal ini
sekaligus mengukuhkan ucapan Presiden Soekarno, yang sebelumnya sempat
mengatakan, bahwa 100 silet yang dibagikan kepada massa untuk menyayat-nyayat
tubuh korban tak masuk akal.
Saskia Eleonora Wieringa—seorang sarjana Belanda penulis The Politicization of
Gender Relations in Indonesia—menilai penjelasan resmi Orde Baru atas
pembunuhan Lubang Buaya sebagai fantasi aneh. Dia mengatakan, penguasa militer
dan golongan konservatif khawatir melihat kekuatan perempuan di zaman Soekarno,
yang boleh jadi akan mengebiri kekuatan politik mereka. Dari sinilah mengalir
fantasi aneh tentang pengebirian para perwira di Lubang Buaya itu.
“Semua pemberitaan mengenai Gerwani adalah fitnah yang dimulai oleh Soeharto
sendiri,” kata Sulami, 74 tahun, tokoh Gerwani. Ia, yang kini ketua Yayasan
Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, pernah melakukan identifikasi terhadap
mereka yang dibunuh ketika itu, mulai tempat, cara, hingga siapa saja yang
membunuh.
Keberadaan sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya itu pun masih penuh kabut.
Beberapa peneliti justru tak melihat tindakan mereka sebagai usaha persiapan
kudeta, melainkan dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap proyek politik
Soekarno dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Mereka adalah bagian dari 20
juta relawan yang hendak memenuhi ajakan Soekarno.
Sejumlah studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa
ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam sebuah
pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19 Februari 1966,
pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer telah merancang
rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan “Dewan Jenderal”. Untuk
mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan Revolusi”.
Perihal Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci,
lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan
lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak semua
jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40
Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan
Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu Jenderal Nasution,
A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.”
Untuk mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir,
menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September 1965 di
Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Suparman dan
Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan
waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5
Oktober 1965.
Komposisi kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana
Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri
Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono (Menteri
Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa Agung).
Apapun, suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI
dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula hasil
penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar kekejaman
orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya itu. Penolakan
sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor 25/1966, ikut melestarikan
cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya referensi sejarah sekitar peristiwa
G-30-S PKI.
Ide penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan masyarakat
awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat membicarakannya secara
terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini, termasuk dari Nahdlatul Ulama,
sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpinnya.
Mengikuti pembicaraannya, Wahid bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama
rakyat terhadap orang-orang PKI yang selama puluhan tahun ditindas oleh negara
di bawah pemerintahan Orde Baru.
Megawati Sukarnaputri, pengganti Wahid, tak pernah bertindak seperti itu. Tapi,
di tahun 2002, ia tak hadir pada upacara 1 Oktober di Lubang Buaya. Apakah ini
bentuk penolakan Megawati atas sejarah versi Orde Baru itu, tak pernah jelas.
Tapi, sejatinya, ketidakhadiran Presiden dimungkinkan oleh protokoler negara
sejak lahirnya Keputusan Presiden tentang perubahan nama peringatan: dari “Hari
Kesaktian Pancasila” menjadi “Hari Mengenang Tragedi Nasional Akibat
Pengkhianatan G-30-S PKI terhadap Pancasila”.
00.18 Diposkan oleh Pondok Multazam
Cerita Dari Lubang Buaya
(FULL VERSION)
Saya iseng mau tahu sejarah "lobang buaya" kebetulan saya pun tinggal tak jauh dari Lobang buaya ya setidaknya saya juga tinggal tak jauh dari TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Memang penuh sejarah tempat yang saya dimana saya tinggal. Setidaknya penuh cerita dari orang-orang tua yang suka duduk dan berbincang-bincang di warung kopi yang sering kami bercanda dan berbagi cerita semua kehidupan disini.
Saya iseng mau tahu sejarah "lobang buaya" kebetulan saya pun tinggal tak jauh dari Lobang buaya ya setidaknya saya juga tinggal tak jauh dari TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Memang penuh sejarah tempat yang saya dimana saya tinggal. Setidaknya penuh cerita dari orang-orang tua yang suka duduk dan berbincang-bincang di warung kopi yang sering kami bercanda dan berbagi cerita semua kehidupan disini.
"Dasyat" memang cerita dari orang tua (sesepuh)
disini tentang lobang buaya dan sejarah tentang TMII (Taman Mini Indonesia
Indah). Saya pun tak sangka "abang jawara kapung" itu dulunya adalah
mantan anggota PKI. Dimana dia sering dicari tentara waktu itu, untung saja dia
berhasil sembunyi hingga sampe akhirnya sampe saat ini dia masih hidup. Sejarah
memang sangat "Romatis". Dan saya pun tak sangka ternyata dia adalah
mantan suami salah satu anggota DPR saat ini. Kisah hidup yang sangat panjang.
Banyak pelajaran yang saya petik dari kumpul-kumpul bersama bapak-bapak yang
suka duduk di warung kopi sebelah yang hanya menghabiskan malam-malam yang
dingin.
Banyak yang konon katanya bla..bla..bla dan sebagainya. Saya pun penasaran saya mau tahu sejarah "misteri lobang buaya" untung saya hidup di zaman yang penuh tenologi, sehingga saya mudah mendapat informasi. Yang penting ada koneksi internet dan semuapun berjalan lancar (he.2). Banyak infomarsi tentang sejarah lobang buaya. Tapi setidaknya saya masih memegang sejarah dari "sesepuh" disini tentang lobang buaya. Sudah saya bilang sejarah memang "sangat romantis" walaupun penuh duka, tetap saja bagi saya sejarah itu "romantis". JAS MERAH - bung karno.
Misteri Lubang Buaya
Banyak yang konon katanya bla..bla..bla dan sebagainya. Saya pun penasaran saya mau tahu sejarah "misteri lobang buaya" untung saya hidup di zaman yang penuh tenologi, sehingga saya mudah mendapat informasi. Yang penting ada koneksi internet dan semuapun berjalan lancar (he.2). Banyak infomarsi tentang sejarah lobang buaya. Tapi setidaknya saya masih memegang sejarah dari "sesepuh" disini tentang lobang buaya. Sudah saya bilang sejarah memang "sangat romantis" walaupun penuh duka, tetap saja bagi saya sejarah itu "romantis". JAS MERAH - bung karno.
Misteri Lubang Buaya
OLEH INDARWATI AMINUDDIN dan AGUS SOPIAN
HUJAN turun deras. Datuk Banjir menutup kepalanya dengan kain sarung. Begitu juga kedua temannya. Dalam gelap, getek yang mereka naiki dibiarkan melaju sendiri mengikuti riak air. Di sebuah tempat, getek tiba-tiba berhenti. Datuk mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air untuk mendapatkan gerak maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam. Dicobanya lagi, masih tak berhasil. Datuk mengira, di sana ada lubang tempat persembunyian buaya.
Ketika air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja, di situ terdapat sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang Buaya.
Legenda Lubang Buaya
berkembang dari mulut ke mulut. Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H. Yusuf, pria asal Cirebon, yang mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka yang percaya, mendatangi sumur itu setiap menjelang musim hujan, sekira bulan Oktober. Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon keselamatan dari ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir yang diyakini menguasai tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat. Tradisi ruwatan meluas ke permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur, warga juga meminta limpahan rejeki dan jodoh buat anak-anak gadisnya.
Sumur Lubang Buaya terletak di Desa Lubang Buaya
, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Di sebelah selatannya terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia Cilangkap, sebelah utara Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, sebelah timur Pasar Pondok Gede, dan barat Taman Mini Indonesia Indah.
Tanah di seputaran bibir sumur berwarna merah kecoklatan dan kering. Bagian terdekat diberi terali besi bercat merah putih. Lantai marmer putih kilap mengelilingi sumur berdiameter 75 centimeter itu. Sebuah cungkup, bangunan seperti pendopo, memayunginya. Langit-langit bangunan ini diukir.
Tepat di atas lubang, sebuah cermin bergantung. Lewat cermin inilah orang bisa menatap dasar sumur yang diberi pelita. Kecuali nyala api tadi, tak ada apa-apa lagi di sana. Jangankan air, rumput pun tak tumbuh di sumur berkedalaman 12 meter itu.
Kalau Lubang Buaya ditata, itu bukan dimaksudkan untuk mengendapkan cerita rakyat tentang Datuk Banjir. Ada cerita lain yang punya dimensi politik, sekaligus jadi bagian sejarah Indonesia dengan segala kontraversinya. Di sanalah jasad tujuh perwira militer, enam jenderal dan seorang letnan, ditemukan dalam keadaan rusak. Peristiwa traumatik ini, terutama bagi militer Indonesia, dikenal dengan nama G-30-S PKI, kependekkan dari “Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia”.
Pembunuhan atas para perwira itu jadi antiklimaks ofensif PKI terhadap seteru-seteru politiknya. Militer memburu mereka yang dianggap bertanggung jawab. Kekuatan massa PKI habis dalam tempo cepat, menyusul pembantaian besar-besaran atas mereka di berbagai daerah oleh militer dan massa pro-militer. Sebagian di antaranya dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke pulau-pulau terpencil.
Kilas balik ofensif PKI, yang ditandai oleh pembentukan milisi dan sayap militer, sekurang-kurangnya dapat ditelusuri ke tanggal 23 Mei 1965. Saat itu, PKI menggelar peringatan ulang tahun. Dalam even ini, D.N. Aidit, ideolog PKI, menyeru kader-kadernya untuk meningkatkan sikap revolusioner.
Perayaan yang mirip ‘parade kekuatan rakyat’ itu semarak dengan poster-poster berisikan slogan-slogan PKI, termasuk propaganda pembentukan “Angkatan V”. Ini merujuk kepada kekuatan buruh dan tani untuk dipersenjatai dan dilatih kemiliteran. Empat angkatan yang telah terbentuk sebelumnya adalah militer angkatan darat, laut, udara dan kepolisian.
Ledakan kebringasan massa hanya tinggal tunggu waktu. Dan benar, seruan Aidit diikuti oleh terjunnya para eksponen PKI ke desa-desa membawa slogan “Desa Mengepung Kota”, tak ubahnya slogan Mao Tse Tung ketika mengobarkan revolusi komunisme di China.
Dalam aksinya, mereka meneriakkan kebencian terhadap unsur-unsur masyarakat yang dianggap jadi lawan-lawan politiknya. PKI mengekspresikannya dalam slogan “Tujuh Setan Desa”. Mereka adalah tuan tanah, tengkulak, bandit desa, tukang ijon, lintah darat, birokrat desa, dan amil zakat. Keadaan memanas, massa PKI melakukan serangkaian pembantaian dan pembunuhan sistematis terhadap “setan-setan” itu.
Aksi brutal PKI meresahkan rival-rivalnya. PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Parkindo (Partai Kebangkitan Indonesia), Partai Katolik, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), hingga IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), siaga menghadapi berbagai kemungkinan seraya melontarkan berbagai kecaman. PKI di satu pihak dan lawan politiknya di pihak lain, berhadap-hadapan untuk suatu konfrontasi terbuka.
Pimpinan PKI di Jakarta, yang tergabung dalam Politbiro, lembaga kekuasaan tertinggi partai berlambang paru dan arit itu, menyambut reaksi seteru-seterunya dengan mempercepat pembentukan milisi. Juli 1965, kader-kader PKI berdatangan ke Lubang Buaya.
Di sana, mereka dilatih oleh sejumlah instruktur militer di bawah pimpinan Mayor Udara Sujono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim. Tak hanya kaum pria, kader-kader PKI perempuan pun ikut serta. Kebanyakan dari mereka berasal dari organisasi yang sangat solid pada masa itu: Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Di akhir latihan, mereka mendiskusikan berbagai persoalan politik, terutama sepak-terjang sejumlah jenderal yang dianggap korup dan dekaden hingga Indonesia dilanda krisisis. Saat itu, laju inflasi memang sudah mencapai dua digit. Antrean bahan makanan pokok berlangsung di mana-mana. Banyak rakyat yang kelaparan.
Massa PKI berang. Mereka berteriak-teriak meminta para jenderal itu dihadirkan ke hadapan mereka.
Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal kepresidenan, memerintahkan Letnan Satu Dul Arief untuk menjemput dan membawa jenderal-jenderal yang telah didata. Pasukan Pasopati yang dipimpinnya segera bergerak dari Lubang Buaya sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka menyebar ke sasaran masing-masing secara serentak.
Brigadir Jenderal Soetodjo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac Pandjaitan, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal MT Hardjono, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto dan Letnan Satu Piere Andries Tendean, mereka bawa ke Lubang Buaya untuk diinterogasi. Massa yang sedang kalap menganiaya mereka hingga tewas. Jenazah para korban lantas dibenamkan ke dalam sumur itu. [Versi lain mengatakan sebagian di antara mereka masih hidup ketika dijatuhkan ke sumur.]
Kisah-kisah menyeramkan pun segera mengalir. Soeharto, salah seorang jenderal yang selamat, mengkampanyekan kekejian massa PKI lewat dua koran milik militer: Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Disebutkan, sebelum dibunuh, para perwira itu disiksa dan dijadikan bagian pesta mesum Gerwani. Sejumlah perwira disayat-sayat kemaluannya dan matanya dicungkil.
Sebelum dibunuh, mereka dikelilingi kader Gerwani sambil menari-nari dan menyanyikan lagu-lagu rakyat yang sedang populer masa itu, seperti Ganyang Kabir atau Ganyang Tiga Setan Kota ciptaan Soebroto K Atmodjo, komponis Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi underbouw PKI. Genjer-genjer, lagu pop yang sedang hit waktu itu, ikut menyemarakkan. Mereka yang sudah trance kemudian menusuk-nusukkan pisau ke sejumlah anggota tubuh para korban.
Koran-koran pun memberitakan, dalam suasana yang semakin panas, beberapa wanita menanggalkan busananya, dan tenggelam dalam ritual pesta “Harum Bunga”. Pesta ini sekaligus memuncaki pesta sebelumnya sebagai suatu rangkaian penanda berakhirnya latihan militer mereka. Ada berita lain yang menyebutkan, bahwa dalam pesta itu mereka melakukan hubungan seks liar. Seorang dokter diisukan memberikan pil-pil perangsang syahwat.
“Jelaslah bagi kita,” kata Soeharto, “betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”
Mendapat dukungan massa, Soeharto mengambil-alih tongkat komando militer Indonesia. Ia memimpin upacara pengangkatan jenazah dari dalam sumur, mempertontonkannya kepada massa, dan mempublikasi data-data forensik tentang kerusakan jenazah dan penyebabnya. Kebencian akan PKI menyebar ke seantero negeri dan melahirkan perburuan besar-besaran pada tokoh-tokoh serta anggota partai tersebut.
Sudomo, bekas menteri Koordinator Politik dan Keamanan, mengatakan, ada sejuta massa PKI yang terbunuh. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan peneliti masalah ini, yang menaksir antara dua sampai tiga juta orang.
Mereka yang selamat dari pembunuhan dipenjarakan dan diasingkan ke berbagai tempat, mulai Pulau Nusakambangan [wilayah selatan Indonesia] hingga Pulau Buru [wilayah timur Indonesia]. Hampir semua tahanan politik PKI, yang jumlahnya ribuan, dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Bahkan surat penahanan pun mereka terima setelah bertahun-tahun berada di balik jeruji besi.
Soeharto sendiri, lewat secarik kertas bernama Super Semar—kependekkan dari Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diteken Presiden Soekarno—akhirnya memegang komando militer dengan kekuasaan penuh. Bahkan, dengan kekuasaannya itu, ia mengasingkan Soekarno ke Istana Bogor dengan alasan pengamanan.
Soeharto kemudian menanda-tangani surat keputusan No.1/3/1966 untuk membubarkan PKI. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25/1966.
Sejak itu, selain PKI dinyatakan partai terlarang, setiap kegiatan penyebaran atau pengembangan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme, dianggal illegal. Seluruh eks PKI dan sanak-familinya tak diperkenankan masuk ke dalam jajaran pemerintahan dan militer. Di kemudian hari, mereka pun tak bisa jadi pegawai swasta karena swasta takut memperkerjakan mereka.
Bandul perubahan politik berjalan dengan cepat. Soeharto, yang sebelumnya sama sekali tak populer di mata rakyat, makin dielu-elukan sebagai penyelamat negara. Tahun 1967, ia diangkat jadi presiden kedua Indonesia oleh MPRS, yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Era Orde Baru dimulai.
Pada tahun itu juga, Soeharto langsung memerintahkan aparatnya untuk membebaskan kawasan Lubang Buaya dari hunian penduduk dalam radius 14 hektar. Mereka yang terusir kebanyakan memilih kampung Rawabinong dan Bambu Apus, beberapa kilometer dari Lubang Buaya, sebagai daerah tujuan.
Tahun 1973, kawasan itu diresmikan sebagai jadi Monumen Pancasila Sakti. Upacara kenegaraan 1 Oktober untuk mengenang peristiwa G-30-S PKI, segera mengubur upacara rakyat ruwatan Oktober untuk menyeru Datuk Banjir.
Ketujuh perwira militer yang terbunuh diabadikan dalam tugu, patung dan relief yang berada sekitar 45 meter sebelah utara cungkup sumur Lubang Buaya. Patung-patung mereka dibangun setinggi kurang lebih 17 meter dengan instalasi patung Burung Garuda di belakangnya. Dinding berbentuk trapesium, berdiri kokoh di atas landasan berukuran 17 x 17 meter bujur sangkar dengan tinggi 7 anak tangga.
Mereka berdiri dalam formasi setelah lingkaran, mulai Soetodjo Siswomiharjo, DI Pandjaitan, S. Parman, Ahmad Yani, R. Soeprapto, MT Hardjono dan AP Tendean. Salah satu patung di monumen tersebut, perwujudan A. Yani, yang di masa lalu jadi saingan Soeharto dalam karir kemiliteran, menunjukkan tangannya ke arah sumur Lubang Buaya—seolah hendak mengatakan, “Di sanalah kami mati.” Mati fisik, mati politik.
Untuk masuk ke dalam monumen, orang harus berjalan sepanjang satu kilometer dari Jalan Raya Pondok Gede. Ucapan “Selamat Datang” terukir di di atas batu besar berwarna hitam. Kembang kertas berada di sepanjang jalan masuk. Sekeliling monumen dibuatkan tembok tinggi dari muka hingga belakang.
Di areal monumen, terdapat museum. Di sini, pengunjung bisa mendengarkan riwayat singkat para jenderal yang terbunuh itu, dengan memasukan koin dan menggenggam gagang telepon di bawah foto mereka. Bagi yang ingin menonton film G-30-S PKI disediakan tempat khusus. Mereka yang ingin membaca, disediakan perpustakaan.
Beberapa bangunan bekas orang-orang PKI menjalankan aktivitasnya bertebaran di sana. Di sebelah kiri sumur, misalnya, terdapat bangunan berukuran sekitar 8 m x 15,5 m yang dijadikan tempat penyiksaan para perwira itu. Bangunan ini terbuat dari ayaman bambu dan bilah-bilah papan yang dicat coklat dengan jendela kaca hitam. Sebelum G-30-S meletus, bangunan tersebut dulunya Sekolah Rakyat.
Di dalam ruangan, terdapat 18 patung. Sebagian di antaranya, patung perwira militer yang sedang disiksa. Di depan mereka, berdiri empat patung perempuan aktivis Gerwani. Salah satunya mengenakan busana tradisional kebaya putih berbunga-bunga kecil, sarung batik, dengan rambut panjang terurai. Ia memegang pentungan dalam sorot mata bengis.
Untuk melihat patung-patung itu, tersedia tiga jendela yang terbuka lebar. Penerangannya jelek. Debu-debu yang menempel di patung-patung tersebut memberi kesan kurang perawatan.
Tak jauh dari sana, berdiri sebuah bangunan bekas dapur umum, yang kabarnya menyimpan suara-suara aneh tanpa wujud. “Tertawa cekikikan dan bahkan melenguh,” kata Yasan Suryana, seorang penjaga yang sudah 17 tahun bertugas sebagai pegawai honorer.
Terlihat, genteng rumah itu pernah direnovasi. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu bercat putih, dengan beberapa bagian dicat hijau. Menurut cerita warga di sana, rumah itu dulunya milik Ibu Amroh, seorang pedagang Cingkau (pakaian keliling). Tak ada yang tahu, di mana Ibu Amroh atau keturunannya berada kini.
Sekitar dua puluh meter dari dapur umum, terdapat rumah Haji Sueb, seorang penjahit. Ada beberapa bilik di dalamnya, dengan tiga lampu petromaks yang berdebu, mesin jahit di ruang tengah dan lemari pakaian dengan kaca besar di pintunya.
Rumah Haji Sueb dianggap sebagai pos komando PKI. Letnan Kolonel Untung, mengatur rencana penculikan terhadap perwira militer dari sana. Haji Sueb sendiri telah lama meninggal, setelah mengalami penahanan panjang di Pulau Buru. Keluarganya trauma dan tak pernah yakin Haji Sueb terlibat dengan gerakan itu. Suara-suara aneh pun sering terdengar di sini. Sejumlah penjaga, konon pernah mendengar suara tangis.
Kisah mistis masih bisa diperpanjang. Elizabeth [tanpa nama referensi kedua], pegawai museum, yang dianggap punya indera keenam oleh teman-temannya, sering melihat sosok perempuan yang tertawa-tawa saat berlangsung apel petugas jaga, yang kesemuanya berjumlah enam orang. Perempuan itu duduk di bawah air mancur yang menghadap Lapangan Saptamarga, tak jauh dari sumur.
Cerita-cerita mistis barangkali sama absurd-nya dengan cerita-cerita perlakuan kader-kader PKI terhadap para perwira militer yang dibunuh, termasuk penyayatan atas kemaluannya. Tahun 1987, dalam jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell, Ben Anderson, seorang ahli sejarah tentang Indonesia, mengungkapkan laporan dokter yang membuat visum et repertum atas jenazah para korban.
Dalam resume penelitian tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati itu, tertulis bahwa tak ada kemaluan korban yang disayat. Hal ini sekaligus mengukuhkan ucapan Presiden Soekarno, yang sebelumnya sempat mengatakan, bahwa 100 silet yang dibagikan kepada massa untuk menyayat-nyayat tubuh korban tak masuk akal.
Saskia Eleonora Wieringa—seorang sarjana Belanda penulis The Politicization of Gender Relations in Indonesia—menilai penjelasan resmi Orde Baru atas pembunuhan Lubang Buaya sebagai fantasi aneh. Dia mengatakan, penguasa militer dan golongan konservatif khawatir melihat kekuatan perempuan di zaman Soekarno, yang boleh jadi akan mengebiri kekuatan politik mereka. Dari sinilah mengalir fantasi aneh tentang pengebirian para perwira di Lubang Buaya itu.
“Semua pemberitaan mengenai Gerwani adalah fitnah yang dimulai oleh Soeharto sendiri,” kata Sulami, 74 tahun, tokoh Gerwani. Ia, yang kini ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, pernah melakukan identifikasi terhadap mereka yang dibunuh ketika itu, mulai tempat, cara, hingga siapa saja yang membunuh.
Keberadaan sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya itu pun masih penuh kabut. Beberapa peneliti justru tak melihat tindakan mereka sebagai usaha persiapan kudeta, melainkan dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap proyek politik Soekarno dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Mereka adalah bagian dari 20 juta relawan yang hendak memenuhi ajakan Soekarno.
Sejumlah studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam sebuah pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19 Februari 1966, pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer telah merancang rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan “Dewan Jenderal”. Untuk mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan Revolusi”.
Perihal Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci, lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu Jenderal Nasution, A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.”
Untuk mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir, menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September 1965 di Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Suparman dan Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.
Komposisi kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono (Menteri Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa Agung).
Apapun, suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula hasil penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar kekejaman orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya itu. Penolakan sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor 25/1966, ikut melestarikan cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya referensi sejarah sekitar peristiwa G-30-S PKI.
Ide penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan masyarakat awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat membicarakannya secara terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini, termasuk dari Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpinnya. Mengikuti pembicaraannya, Wahid bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama rakyat terhadap orang-orang PKI yang selama puluhan tahun ditindas oleh negara di bawah pemerintahan Orde Baru.
Megawati Sukarnaputri, pengganti Wahid, tak pernah bertindak seperti itu. Tapi, di tahun 2002, ia tak hadir pada upacara 1 Oktober di Lubang Buaya. Apakah ini bentuk penolakan Megawati atas sejarah versi Orde Baru itu, tak pernah jelas. Tapi, sejatinya, ketidakhadiran Presiden dimungkinkan oleh protokoler negara sejak lahirnya Keputusan Presiden tentang perubahan nama peringatan: dari “Hari Kesaktian Pancasila” menjadi “Hari Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan G-30-S PKI terhadap Pancasila”.
g30s/pki
dalam tiga versi kisah sejarah
Januari
1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta mere-bak
di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran.
Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan
kupon pemerintah deng-an minyak goring, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan
lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilai-nya .
Begitulah
setidaknya gambaran ibukota di awal-awal tahun 1965. Keadaan ekonomi negara dan
rakyat semakin buruk tiap tahunnya, setidaknya sampai tahun 1968. Tahun yang
membuat seluruh bangsa terperangah, sampai pada perubahan sistem politik dan
rezim yang berkuasa. Mendung yang menandakan bahwa tahun itu adalah tahun yang
“terkutuk”, terku-tuk karena tahun itulah terjadinya apa yang kita kenal dengan
Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Peristiwa
pemberontakan G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan bangsa dalam
perjalanan sejarah. Peristiwa yang merenggut setidaknya tujuh orang perwira
Angkatan Darat yang selanjutnya disebut Dewan Revolusi. Bahkan pada waktu-waktu
berikutnya ada 500.000 – 1.000.000 jiwa manusia yang diambil untuk membayar
peristiwa tersebut. Secara politik peristiwa tersebut terpaksa menyeret Bung
Karno dari tampuk kekuasaanya.
Sampai
sekarangpun sesungguhnya peristiwa G30S/PKI tersebut masih menimbulkan
pertanyaan banyak pihak. Walaupun pemerintah pada tahun 1996 telah menerbitkan
secara resmi mengenai peristiwa tersebut dalam satu buku. Tetapi hal itu tetap
tidak cukup dipercaya oleh sebagian besar kalangan, karena masih terdapat
banyak kejanggalan. Sehingga banyak buku-buku lain yang terbit yang
menceritakan sisi lain dari peristiwa tragis tersebut.
Oleh
karena itu dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa versi yang menyangkut
peristiwa G30S/PKI tersebut. Baik yang bersumber resmi dari pemerintah, maupun
dari kete-rangan saksi dan pelaku yang dituduh terlibat dalam gerakan tersebut,
juga dari tulisan repor-tase dari beberapa wartawan.
Versi Buku Putih
Pada
tahun 1994 Sekretariat Negara (Setneg) menetbitkan satu buku yang mencerita-kan
kronologi sampai pada penumpasan G30S/PKI secara sistematis. Buku itu menjadi
satu-satunya sumber sejarah resmi yang diterbitkan negara menyangkut G30S, yang
dikenal deng-an sebutan buku putih. Buku yang konseptor dan editor utamanya
adalah presiden yang ber-kuasa saat itu Soeharto.
Awalnya
menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap
sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Isu Dewan Jenderal
diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membentuk
citra buruk terhadap pimpinan AD di mata masyarakat. Dikatakan bahwa “Dewan
Jenderal” terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution,
Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap
anti PKI.
Pada
sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mere-but
kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari
daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada
tanggal 5 Oktober 1965. Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist,
Gilchrist sendiri merupakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas
1963 – 1966.
Dokumen
itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya
memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu
dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen
itu diberikan kepada Bung Karno (BK), sehingga pada 27 Mei 1965 BK mengumpulkan
seluruh panglima angkatan di Istana Bogor utnuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi
terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani
membantahnya.
Menurut
buku putih tersebut sejak bulan Juli – September 1965, pelatihan pasukan
su-karelawan dilakukan secara intensif dan massif dengan alasan untuk
memperkuat pasukan Dwikora atas instruksi Men/Pangau Omar Dani. Penyelenggaraan
pelatihan tersebut dipusat-kan di Lubang Buaya, Pondok Gede, dengan pimpinan
pelatihan yaitu Mayor Udara Sujono sebagai komandan. Keterlibatan TNI-AU sangat
besar dalam kegiatan ini, karena peralatan pelatihanpun diusahakan dari gudang
TNI-AU.
Selanjutnya
pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965, Biro Khusus Central PKI
secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan
kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator
di da-lam Kabinet Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan
kesiapan gerakan pemberontakan, terutama kesiapan secara militer.
Secara
struktural sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI bahwa pimpinan tertinggi
gerakan di tingkat pusat berada di tangan D.N. Aidit, karena memang selain di
Jakarta gerakan yang sama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Sementara
untuk komando di lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung
sendiri merupakan Dan Yon Pengawal Presiden. Di lapangan gerakan tersebut
terbagi dalam tiga pasukan yaitu Pasukan Gatotkaca, Pasukan Pasopati, dan
Pasukan Bimasakti.
Pada
tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus Central PKI mela-por
kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J tanggal 30 September pukul
04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution,
Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman,
Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo S.
Perintah
untuk gerakan ini jelas yaitu menangkap perwira-perwira di atas hidup atau
mati. Di lapangan sesungguhnya gerakan ini telah gagal dengan kurangnya
koordinasi yang baik, koordinasi antar pasukan ataupun koordinasi antara
pasukan dan pimpinan. Walaupun secara umum sasaran gerakan tercapai kecuali
Jend. Nasution, tetapi itu telah dibayar oleh nyawa putrid Nasution Ade Irma
Suryani dan ajudannya Lettu. Pierre Tandean.
Diceriterakan
betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa
jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani,
Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa
habisa-habisan da-hulu sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen
Soeprapto, Mayjen Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban
penculikan di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan
Pasukan Gatotkaca Lettu. Dul Arief.
Pada
paginya tersiarlah kabar bahwa pimpinan-pimpinan teras AD diculik oleh suatu
gerakan pemberontak. Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berusaha
meng-kudeta Presiden Soekarno, gerakan yang dicurigai dikendalikan oleh Partai
Komunis Indone-sia (PKI). Dalam proses pencarian korban penculikan,
pengendalian keamanan ibukota, sam-pai pada proses penumpasan inilah terlihat
jelas betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad.
Mayjen
Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa gerakan tersebut
merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari
Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang selanjutnya oleh Soeharto gerakan
ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor
RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul
19.00.
Mayjen
Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen
Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan
langsung terhadap G30S sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul
14.00 pasukan pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke
daerah Pondok Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi
selanjutnya dilan-jutkan untuk mencari para korban penculikan. Hingga akhirnya
atas perintah Pangkostrad di-lakukan penggalian atas timbunan tanah di atas
sumur tua, pada tanggal 3 Oktober pukl 17.00 yang dicurigai tempat pembuangan
mayat korban penculikan, dan benar.
Versi Wartawan
Di
bagian ini akan diceriterakan peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis
In-donesia (G30S/PKI) oleh seorang wartawan Kompas bernama Maruli Tobing
(2001), yang dimuat dalam buku Dialog Dengan Sejarah. Dalam tulisannya bahwa
G30S bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seper-ti yang
dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang trebukti terlibat
di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut
Tobing G30S merupakan desainan Amerikan Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan
PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh
AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto,
dengan yang pro-Soekarno seperti Letjen Yani. Walaupun memang ketiga-tiganya
membenci kehadi-ran PKI di kancah politik, tetapi untuk tingkat loyalitasnya
terhadap BK tidak sama.
Sebelum
tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba melakukan kudeta ter-hadap
BK dengan berbagai cara. Seperti memberikan bantuan dana satu juta dollar AS
untuk partai yang anti-PKI dan anti-Soekarno, yang ditransfer melalui Hong Kong
untuk membia-yai kampanye tahun 1995. Selain itu Peristiwa Cikini juga
merupakan salah satu upaya men-jatuhkan BK dengan cara pembunuhan, yang
didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil.
Dalam
kasus G30S, Tobing menilai bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan
beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu
telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington
tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari
itu, dalam pertemuan itu salah satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya
rencana pengambilalihan kekuasaan jika Bung Karno berhalangan.
Kapan
rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik yang sedang
di-bangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan
menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B. Johnson Library dengan
nomor control 16687 itu menyebut, beberapa perwira tinggi lain yang hadir malah
menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno
berhalangan,
Dalam
tulisannya Tobing lebih menekankan bahwa sesungguhnya persamaan persepsi antara
pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya berbenturan pada loyalitas tergadap
Bung Karno. Yang oleh sebagian jenderal BK terlalu lunak dan selalu melindungi
PKI yang dapat merusaka persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga
jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah
lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI.
Versi Saksi dan Pelaku
Versi
ini merupakan hasil wawancara dan intisari dari otobiografi para saksi dan
pe-laku G30S, yang terangkum dalam buku yang berjudul Saksi Dan Pelaku Gestapu
(2005). Pada bagian ini para saksi dan pelaku G30S yang pernah diadili di
Mahmilub dan menekan di penjara selama puluhan tahun, lebih menekankan pada
pengaruh Soeharto.
Bahwa
hampir se-luruh saksi dan pelaku menyatakan bahwa Pangkostrad saat itu
sesungguhnya sudah menge-tahui akan adanya gerakan pemberontkan. Bahkan
Pangkostrad Mayjen Soeharto disebut se-bagai konseptor gerakan tersebut.
Beberapa saksi dan pelaku di dalam buku tersebut yang dimuat petikan wawancara
dan kutipan otobiografinya yaitu, May-jen Soeharto, Seka Bungkus, Letkol Heru
Atmodjo, Kolonel Latief, Laksdya Omar Dani, Mayjen Pranoto Reksosamodra, dan Jend.
A.H. Nasution.
Seperti
yang diceriterakan Kolonel Latief yang saat itu menjabat sebagai Komandan
Brigif I Jayasakti, dan di Buku Putih disebutkan bahwa ia merupakan wakil dari
pimpinan ge-rakan Letkol. Untung. Pada persidangan di Mahmilub ia divonis penjara
seumur hidup, se- telah pledoinya ditolak. Setelah runtuhnya Orde Baru, Kol.
Latief akhirnya dibebaskan bu- lan April 1999 dari Rutan Salemba selama 33
tahun 5 bulan dipenjara.
Bahwa
dua malam berturut-turut sebelum meletusnya G30S, ia telah melapor ke
Pangkostrad Mayjen Soeharto, tentang adanya rencana menghadapkan tujuh
jen-deral kepada presiden.
Pada
28 September malam ia mendatangi Pak Harto di rumahnya, untuk menanyakan isu
Dewan Jenderal. Dan ternyata Pak Harto telah mengetahuinya melalui anak buahnya
dari Yogya, Bagio. Menurut informasi yang didapatnya bahwa Dewan Jenderal akan
melakukan kup terhadap BK. Sementara tanggal 29 malamnya melapor ke Soeharto di
RSPAD Gatot Subroto, bahwa besok aka nada tujuh orang jenderal AD yang akan
dihadapkan ke presiden. Dan reaksinya Pak Harto hanya manggut-manggut, dan
selesai.
Ini
setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya Mayjen Soeharto sudah mengetahui bahwa
aka nada rencana kudeta terhadap Bung Karno oleh Dewan Jenderal. Dan rencana
me-nghadapkan tujuh orang jenderal AD ke BK. Tetapi Mayjen Soeharto sebagai
Pangkostrad tidak mengambil tindakan apapun.
Mana Yang Benar?
Dari
ketiga versi di atas penulis merasa versi wartawan lah yang paling dapat
diperca-ya. Karena memang tidak mungkin semudah yang dibayangkan untuk
menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sementara masih banyak
rakyat yang mencintainya. Apalagi di dalam tubuh AD sendiri terdapat dua faksi
yang anti dan pro terhadap Soekarno, sehingga cukup sulit jika AD melaksanakan
sendirian kudeta tersebut.
Akhirnya
faksi yang anti-Soekarno mau tidak mau harus mencari bantuan asing yang dirasa
berkepentingan yang sama dengan AD, dan itu tidak lain Amerika Serikat. Dan
kebe- tulan karena ada gerakan pemberontak dari orang-orang yang mencintai
Soekarno dengan sepenuh hati yang berusaha “membuang” jenderal-jenderal AD yang
tidak loyal. Ditambah mereka berasal dan dibawah kendali D.N. Aidit yang
notabene merupakan Ketua Politbiro CC PKI, maka jadilah PKI sebagai kambing
hitamnya.
Referensi
-Lesmana,
Surya, 2005, Saksi Dan Pelaku Gestapu,
-Media
Pressindo: Yogyakarta. Oetama, Jakob, et al, 2001,
-Dialog
Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun,
-Kompas
Media Nusantara: Jakarta. 1994,
-Gerakan
30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
-Sekretariat
Negara RI: Jakarta. Ekamara Ananami Putra
Januari
1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta mere-bak
di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran.
Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan
kupon pemerintah deng-an minyak goring, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan
lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilai-nya .
Begitulah
setidaknya gambaran ibukota di awal-awal tahun 1965. Keadaan ekonomi negara dan
rakyat semakin buruk tiap tahunnya, setidaknya sampai tahun 1968. Tahun yang
membuat seluruh bangsa terperangah, sampai pada perubahan sistem politik dan
rezim yang berkuasa. Mendung yang menandakan bahwa tahun itu adalah tahun yang
“terkutuk”, terku-tuk karena tahun itulah terjadinya apa yang kita kenal dengan
Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Peristiwa
pemberontakan G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan bangsa dalam
perjalanan sejarah. Peristiwa yang merenggut setidaknya tujuh orang perwira
Angkatan Darat yang selanjutnya disebut Dewan Revolusi. Bahkan pada waktu-waktu
berikutnya ada 500.000 – 1.000.000 jiwa manusia yang diambil untuk membayar
peristiwa tersebut. Secara politik peristiwa tersebut terpaksa menyeret Bung
Karno dari tampuk kekuasaanya.
Sampai
sekarangpun sesungguhnya peristiwa G30S/PKI tersebut masih menimbulkan
pertanyaan banyak pihak. Walaupun pemerintah pada tahun 1996 telah menerbitkan
secara resmi mengenai peristiwa tersebut dalam satu buku. Tetapi hal itu tetap
tidak cukup dipercaya oleh sebagian besar kalangan, karena masih terdapat
banyak kejanggalan. Sehingga banyak buku-buku lain yang terbit yang
menceritakan sisi lain dari peristiwa tragis tersebut.
Oleh
karena itu dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa versi yang menyangkut
peristiwa G30S/PKI tersebut. Baik yang bersumber resmi dari pemerintah, maupun
dari kete-rangan saksi dan pelaku yang dituduh terlibat dalam gerakan tersebut,
juga dari tulisan repor-tase dari beberapa wartawan.
Versi Buku Putih
Pada
tahun 1994 Sekretariat Negara (Setneg) menetbitkan satu buku yang mencerita-kan
kronologi sampai pada penumpasan G30S/PKI secara sistematis. Buku itu menjadi
satu-satunya sumber sejarah resmi yang diterbitkan negara menyangkut G30S, yang
dikenal deng-an sebutan buku putih. Buku yang konseptor dan editor utamanya
adalah presiden yang ber-kuasa saat itu Soeharto.
Awalnya
menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap
sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Isu Dewan Jenderal
diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membentuk
citra buruk terhadap pimpinan AD di mata masyarakat. Dikatakan bahwa “Dewan
Jenderal” terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution,
Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap
anti PKI.
Pada
sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mere-but
kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari
daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada
tanggal 5 Oktober 1965. Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist,
Gilchrist sendiri merupakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas
1963 – 1966.
Dokumen
itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya
memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu
dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen
itu diberikan kepada Bung Karno (BK), sehingga pada 27 Mei 1965 BK mengumpulkan
seluruh panglima angkatan di Istana Bogor utnuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi
terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani
membantahnya.
Menurut
buku putih tersebut sejak bulan Juli – September 1965, pelatihan pasukan
su-karelawan dilakukan secara intensif dan massif dengan alasan untuk
memperkuat pasukan Dwikora atas instruksi Men/Pangau Omar Dani. Penyelenggaraan
pelatihan tersebut dipusat-kan di Lubang Buaya, Pondok Gede, dengan pimpinan
pelatihan yaitu Mayor Udara Sujono sebagai komandan. Keterlibatan TNI-AU sangat
besar dalam kegiatan ini, karena peralatan pelatihanpun diusahakan dari gudang
TNI-AU.
Selanjutnya
pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965, Biro Khusus Central PKI
secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan
kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator
di da-lam Kabinet Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan
kesiapan gerakan pemberontakan, terutama kesiapan secara militer.
Secara
struktural sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI bahwa pimpinan tertinggi
gerakan di tingkat pusat berada di tangan D.N. Aidit, karena memang selain di
Jakarta gerakan yang sama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Sementara
untuk komando di lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung
sendiri merupakan Dan Yon Pengawal Presiden. Di lapangan gerakan tersebut
terbagi dalam tiga pasukan yaitu Pasukan Gatotkaca, Pasukan Pasopati, dan
Pasukan Bimasakti.
Pada
tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus Central PKI mela-por
kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J tanggal 30 September pukul
04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution,
Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman,
Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo S.
Perintah
untuk gerakan ini jelas yaitu menangkap perwira-perwira di atas hidup atau
mati. Di lapangan sesungguhnya gerakan ini telah gagal dengan kurangnya
koordinasi yang baik, koordinasi antar pasukan ataupun koordinasi antara
pasukan dan pimpinan. Walaupun secara umum sasaran gerakan tercapai kecuali
Jend. Nasution, tetapi itu telah dibayar oleh nyawa putrid Nasution Ade Irma
Suryani dan ajudannya Lettu. Pierre Tandean.
Diceriterakan
betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa
jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani,
Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa
habisa-habisan da-hulu sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen
Soeprapto, Mayjen Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban
penculikan di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan
Pasukan Gatotkaca Lettu. Dul Arief.
Pada
paginya tersiarlah kabar bahwa pimpinan-pimpinan teras AD diculik oleh suatu
gerakan pemberontak. Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berusaha
meng-kudeta Presiden Soekarno, gerakan yang dicurigai dikendalikan oleh Partai
Komunis Indone-sia (PKI). Dalam proses pencarian korban penculikan,
pengendalian keamanan ibukota, sam-pai pada proses penumpasan inilah terlihat
jelas betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad.
Mayjen
Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa gerakan tersebut
merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari
Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang selanjutnya oleh Soeharto gerakan
ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor
RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul
19.00.
Mayjen
Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen
Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan
langsung terhadap G30S sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul
14.00 pasukan pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke
daerah Pondok Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi
selanjutnya dilan-jutkan untuk mencari para korban penculikan. Hingga akhirnya
atas perintah Pangkostrad di-lakukan penggalian atas timbunan tanah di atas
sumur tua, pada tanggal 3 Oktober pukl 17.00 yang dicurigai tempat pembuangan
mayat korban penculikan, dan benar.
Versi Wartawan
Di
bagian ini akan diceriterakan peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis
In-donesia (G30S/PKI) oleh seorang wartawan Kompas bernama Maruli Tobing
(2001), yang dimuat dalam buku Dialog Dengan Sejarah. Dalam tulisannya bahwa
G30S bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seper-ti yang
dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang trebukti terlibat
di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut
Tobing G30S merupakan desainan Amerikan Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan
PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh
AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto,
dengan yang pro-Soekarno seperti Letjen Yani. Walaupun memang ketiga-tiganya
membenci kehadi-ran PKI di kancah politik, tetapi untuk tingkat loyalitasnya
terhadap BK tidak sama.
Sebelum
tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba melakukan kudeta ter-hadap
BK dengan berbagai cara. Seperti memberikan bantuan dana satu juta dollar AS
untuk partai yang anti-PKI dan anti-Soekarno, yang ditransfer melalui Hong Kong
untuk membia-yai kampanye tahun 1995. Selain itu Peristiwa Cikini juga
merupakan salah satu upaya men-jatuhkan BK dengan cara pembunuhan, yang
didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil.
Dalam
kasus G30S, Tobing menilai bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan
beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu
telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington
tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari
itu, dalam pertemuan itu salah satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya
rencana pengambilalihan kekuasaan jika Bung Karno berhalangan.
Kapan
rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik yang sedang
di-bangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan
menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B. Johnson Library dengan
nomor control 16687 itu menyebut, beberapa perwira tinggi lain yang hadir malah
menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno
berhalangan,
Dalam
tulisannya Tobing lebih menekankan bahwa sesungguhnya persamaan persepsi antara
pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya berbenturan pada loyalitas tergadap
Bung Karno. Yang oleh sebagian jenderal BK terlalu lunak dan selalu melindungi
PKI yang dapat merusaka persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga
jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah
lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI.
Versi Saksi dan Pelaku
Versi
ini merupakan hasil wawancara dan intisari dari otobiografi para saksi dan
pe-laku G30S, yang terangkum dalam buku yang berjudul Saksi Dan Pelaku Gestapu
(2005). Pada bagian ini para saksi dan pelaku G30S yang pernah diadili di
Mahmilub dan menekan di penjara selama puluhan tahun, lebih menekankan pada
pengaruh Soeharto.
Bahwa
hampir se-luruh saksi dan pelaku menyatakan bahwa Pangkostrad saat itu
sesungguhnya sudah menge-tahui akan adanya gerakan pemberontkan. Bahkan
Pangkostrad Mayjen Soeharto disebut se-bagai konseptor gerakan tersebut.
Beberapa saksi dan pelaku di dalam buku tersebut yang dimuat petikan wawancara
dan kutipan otobiografinya yaitu, May-jen Soeharto, Seka Bungkus, Letkol Heru
Atmodjo, Kolonel Latief, Laksdya Omar Dani, Mayjen Pranoto Reksosamodra, dan Jend.
A.H. Nasution.
Seperti
yang diceriterakan Kolonel Latief yang saat itu menjabat sebagai Komandan
Brigif I Jayasakti, dan di Buku Putih disebutkan bahwa ia merupakan wakil dari
pimpinan ge-rakan Letkol. Untung. Pada persidangan di Mahmilub ia divonis penjara
seumur hidup, se- telah pledoinya ditolak. Setelah runtuhnya Orde Baru, Kol.
Latief akhirnya dibebaskan bu- lan April 1999 dari Rutan Salemba selama 33
tahun 5 bulan dipenjara.
Bahwa
dua malam berturut-turut sebelum meletusnya G30S, ia telah melapor ke
Pangkostrad Mayjen Soeharto, tentang adanya rencana menghadapkan tujuh
jen-deral kepada presiden.
Pada
28 September malam ia mendatangi Pak Harto di rumahnya, untuk menanyakan isu
Dewan Jenderal. Dan ternyata Pak Harto telah mengetahuinya melalui anak buahnya
dari Yogya, Bagio. Menurut informasi yang didapatnya bahwa Dewan Jenderal akan
melakukan kup terhadap BK. Sementara tanggal 29 malamnya melapor ke Soeharto di
RSPAD Gatot Subroto, bahwa besok aka nada tujuh orang jenderal AD yang akan
dihadapkan ke presiden. Dan reaksinya Pak Harto hanya manggut-manggut, dan
selesai.
Ini
setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya Mayjen Soeharto sudah mengetahui bahwa
aka nada rencana kudeta terhadap Bung Karno oleh Dewan Jenderal. Dan rencana
me-nghadapkan tujuh orang jenderal AD ke BK. Tetapi Mayjen Soeharto sebagai
Pangkostrad tidak mengambil tindakan apapun.
Mana Yang Benar?
Dari
ketiga versi di atas penulis merasa versi wartawan lah yang paling dapat
diperca-ya. Karena memang tidak mungkin semudah yang dibayangkan untuk
menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sementara masih banyak
rakyat yang mencintainya. Apalagi di dalam tubuh AD sendiri terdapat dua faksi
yang anti dan pro terhadap Soekarno, sehingga cukup sulit jika AD melaksanakan
sendirian kudeta tersebut.
Akhirnya
faksi yang anti-Soekarno mau tidak mau harus mencari bantuan asing yang dirasa
berkepentingan yang sama dengan AD, dan itu tidak lain Amerika Serikat. Dan
kebe- tulan karena ada gerakan pemberontak dari orang-orang yang mencintai
Soekarno dengan sepenuh hati yang berusaha “membuang” jenderal-jenderal AD yang
tidak loyal. Ditambah mereka berasal dan dibawah kendali D.N. Aidit yang
notabene merupakan Ketua Politbiro CC PKI, maka jadilah PKI sebagai kambing
hitamnya.
Referensi
-Lesmana,
Surya, 2005, Saksi Dan Pelaku Gestapu,
-Media
Pressindo: Yogyakarta. Oetama, Jakob, et al, 2001,
-Dialog
Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun,
-Kompas
Media Nusantara: Jakarta. 1994,
-Gerakan
30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
-Sekretariat
Negara RI: Jakarta. Ekamara Ananami Putra
Ini Kisah Ketua Gerwani Kabupaten Blitar
Putmainah
(Foto: Solichan Arif/Koran SINDO)
Selain bergegas menyelamatkan diri, ingatan Putmainah, 83 belum bisa
melupakan bagaimana dirinya membawa semua anaknya menyingkir jauh-jauh dari
rumah. Ia gendong si bungsu Komara (Komunis Marhaenis dan Agama) yang
saat itu belum genap berusia setahun, sekaligus menjelaskan apa yang
terjadi kepada si sulung Dinana Amin Handayani yang masih berusia 13 tahun.
Dengan keterbatasan fisik seorang perempuan, Putmainah mengungsikan 7
anaknya ke rumah orang tuanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten
Blitar. Ia mendengar kabar bahwa paska G 30 S/PKI 1965 meletus di Jakarta,
sekelompok massa yang berasal dari ormas Islam telah bergerak.
Gerakan itu tidak hanya mengepung ibukota, tapi juga merembes ke daerah. Dari
Jakarta, gelombang “serangan” menerjang sejumlah daerah di Jawa Tengah.
Kemudian Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara. Dengan didampingi barisan
militer angkatan darat (AD), massa menyerbu semua rumah yang diidentifikasi
sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejumlah litetarur sejarah menyebut sekitar 1 juta nyawa melayang
dan sekitar 1,6 juta orang lagi di tahan tanpa proses
pengadilan.
“Sementara saya sendiri adalah Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
Kabupaten Blitar yang juga anggota Fraksi PKI. Tentunya saya juga menjadi
sasaran kemarahan berikutnya, “tutur Putmainah mengenang masa suram itu. Tidak
ada tarikan nafas dalam.
Begitupun tidak terlihat secuilpun paras kesedihan. Perempuan dengan
rambut yang seluruhnya memutih, kulit yang mengeriput, serta bola mata
yang tidak jernih lagi karena usia itu, terlihat begitu tegar.
Bahkan suaranya masih terdengar bersemangat. Lantang dan berapi-api.
“Memang inilah sejarah perjalanan hidup saya, “katanya tegas tanpa ada nada
menyesal. Putmainah duduk di salah satu kursi ruang tamunya. Sejak
bebas dari kurungan penjara orde baru, ia hidup sendiri di tanah kelahiranya
Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Di belakang kursi yang
didudukinya, tampak ilustrasi Bung Karno yang terbingkai rapi di tembok.
Sebuah sketsa strimin yang tersusun dari rajutan benang bol warna
warni. Sementara lurus di hadapannya, tampak foto KH Abdurahman Wahid (Gus
Dur). Foto cucu pendiri ormas Islam Nahdatul Ulama KH Hasyim Asy’ari
itu dibuat pada saat Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden RI
yang keempat. Sedangkan di tembok sebelah kiri, tepat diatas pesawat televisi
21 inchi, terpajang lukisan berukuran besar. Seorang lelaki tua dengan
kumis tebal melintang serta udeng (ikat kepala) di kepalanya. Dialah KH
Abdurrahman, kakek Putmainah.
Kisah yang ia ketahui, Abdurahman merupakan laskar Pangeran Diponegoro. Ia lari
ke arah timur (Jawa Timur) setelah Belanda berhasil mengalahkan
pasukanya. “Kakek saya adalah seorang Haji yang juga pejuang dari Mataraman,
“cetusnya dengan nada bangga. Ayah Putmainah adalah Haji Mansyur, putra
KH Abdurahman. Mansyur seorang tokoh (Ketua) Sarikat Islam Merah
Kabupaten Blitar yang juga seorang hafal Al Qur’an (Hafidz).
SI Merah merupakan pecahan Sarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto (Juni 1916)
yang pada akhirnya berganti nama menjadi Sarikat Rakyat (SR). Dari ayahnya yang
terbunuh dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 itulah, Putmainah yang
aktif di organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mengenal dasar-dasar
ajaran komunis.
Bagaimana berbagi dengan sesama dan bagaimana bertindak ketika dalam kondisi
terjepit. Bahwa tidak ada malam tanpa pagi. Seingat Putmainah, paska G30
S/PKI 1965, selain sepotong kebaya dan jarik yang melekat di badan, tak ada
secuilpun harta benda yang dibawanya.
“Karena suasana sudah demikian gentingnya. Saya harus pergi dengan segera,
“terangnya. Saat itu (1965), Subandi suaminya masih berada di Jakarta. Ketua
PKI Kota Blitar yang juga Ketua Front Nasional Blitar serta Ketua DPRGR
(Sekarang DPRD) Kota Blitar itu tengah menghadiri Kongres PKI.
Kabupaten dan Kota Blitar merupakan basis massa PKI. Dari sebanyak 45 kursi di
DPRGR, 25 diantaranya milik PKI. Sedangkan sisanya dibagi rata partai
Islam (NU dan Masyumi), PNI serta partai lainya. Informasi yang diterima
Putmainah dari para “kamerad” yang selamat, Subandi dalam perjalanan pulang ke
Blitar.
Kendati demikian sejak itu (1965), ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan
pria yang pertama kali dijumpainya di organisasi Pesindo tersebut.
“Secara pasti saya tidak tahu nasib suami saya. Namun kalau masih hidup
tentunya sekarang ini kami sudah bertemu lagi, “terangnya secara tidak langsung
lebih meyakini Subandi telah meninggal dunia.
Dorongan ingin selamat membuatnya tidak berfikir panjang. Rumah beserta isinya
ia tinggalkan begitu saja. Tempat tinggal pribadi itu berada di Jalan Sultan
Agung, Kota Blitar, bersebelahan dengan Istana Gebang -nama lain rumah
mendiang Ny Soekarmini Wardojo (Kakak Kandung Bung Karno).
“Saya tidak takut mati. Karena saya yakin apa yang saya lakukan untuk rakyat
adalah sesuatu benar. Saya hanya ingin selamat untuk meneruskan perjuangan
selanjutnya, “paparnya. Setelah para petinggi PKI dieksekusi, seperti Njoto
ditembak pada 6 November, kemudian Dipa Nusantara Aidit pada 22 November
serta Wakil Ketua PKI M.H Lukman sesudahnya, giliran para petinggi PKI di
daerah diserbu. Siapapun yang teridentifikasi dalam barisan wanita
(Gerwani), buruh (SOBSI), Pemuda (Pemuda Rakyat), petani (BTI) dan
kebudayaan (Lekra) “dibersihkan”. Penghuni rumah dibawa paksa untuk dieksekusi.
Jika tidak ditemukan, isi rumah dijarah, bahkan tidak jarang langsung
diobrak-abrik. “Tempat tinggal saya juga dirusak, “terang Putmainah yang sampai
hari ini tidak mampu mendapatkan kembali haknya atas rumah di
lingkungan Istana Gebang tersebut.
Selama tiga tahun, tokoh komunis Blitar ini hidup di hutan belantara sebagai
pelarian politik. Harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat di raga.
Untuk menghindari kejaran tentara angkatan darat (AD) dan massa ormas Islam,
Putmainah memilih bersembunyi di dalam Gua Gayas, gua yang menghadap pantai
selatan di wilayah perbukitan kapur Blitar Selatan.
Lubang dalam tanah itu begitu sempit dan pengap. Ditambah banyaknya orang yang
bersembunyi membuat persediaan oksigen di dalamnya semakin terbatas.
“Berdiri saja harus berhimpitan.
Saya keluar pada malam hari, untuk mencari makan. Kalau siang bertahan di
dalam gua, “kenangnya. Untuk mengusir rasa lapar, Putmainah memilih
bergantung dari “lezatnya” dedaunan hutan. Ia selalu memulai dengan
menggigit kecil pada bagian pinggir daun. Cara itu untuk menguji apakah
daun tersebut layak makan atau tidak. “Kalau gatal tidak saya teruskan. Berarti
beracun. Karenanya saya cari yang lain, “paparnya.
Untuk menghilangkan dahaga, para pelarian politik ini bergantung pada
tetesan air di dalam gua. Kondisinya yang serba tandus itu justru menjadikan
Blitar selatan sebagai wilayah pertahanan paling aman bagi pengikut PKI paska
gestapu meletus.
Sebab sebagian besar warga yang bertempat tinggal di perbukitan kapur tersebut
memiliki tradisi Gerakan Tutup Mulut (GTM) yang kuat. Warga memilih
menggelengkan kepala sebagai ungkapan tidak tahu ketika para serdadu bertanya
tentang ada tidaknya tokoh komunis yang bersembunyi di daerah mereka. “Bahkan
anak kecil pun bisa menjadi kurir pengantar surat dalam gerakan kami,
“terangnya.
Namun, bagaimanapun hebatnya pertahanan orang-orang PKI, jumlah tentara
lebih banyak. Apalagi mereka mendapat sokongan penuh dari ormas Islam. Satu
persatu pengikut komunis mulai tidak tahan. Tekanan fisik dan mental serta rasa
lapar dan dahaga yang tak terhingga mendorong mereka untuk keluar dari
lobang-lobang persembunyian. Sebab selain gua gayas, masih banyak gua lain di
Blitar selatan yang menjadi lokasi “tiarap” para gerilyawan PKI.
Putmainah sendiri mengaku tidak bersedia keluar, ketika “kawanya” yang bernama
Murjani, tokoh PKI asal Tulungagung mengajaknya keluar, istri Subandi itu
memutuskan bertahan di dalam gua.
“Karena saat itu kondisi saya sudah sangat lemah. Saya lapar dan tidak bisa
berjalan lagi, “papar Putmainah. Ia berhasil ditangkap setelah salah seorang
pengikut PKI memberitahu tentara bahwa masih ada seorang perempuan yang
bertahan di dalam gua.
“Ini orangnya yang memberitahukan saya ada di dalam gua, “terang Putmainah yang
menunjuk seorang laki-laki dalam sebuah foto hitam putih. Kedua tangan
laki-laki yang berperawakan kurus itu tampak terikat. Putmainah duduk
jongkok di sebelahnya dengan kedua tangan terikat. Sementara sejumlah tentara
angkatan darat yang berdiri di belakang dan di sampingnya tampak
bahagia. Semuanya memperlihatkan senyum kemenangan.
“Mungkin mereka semua itu (tentara) merasa bangga telah berhasil menangkap
saya. Sebab saya dianggap tokoh PKI di Blitar, “pungkasnya.
Dari Plantungan, Korea dan Mahasiswa
Hari pertama penangkapan, Putmainah langsung di tahan di koramil daerah Lodoyo,
Kabupaten Blitar. Seperti biasa, interogasi tentang sejauh mana keterlibatan
dalam G30 S/PKI menjadi sarapan sehari-harinya. “Soal itu (G 30 S PKI) saya
tidak tahu apa-apa. Kami tidak pernah memberontak.
Jika memberontak tentu persiapan itu sudah ada di daerah. Namun kenyataanya
semua itu (persiapan pemberontakan) tidak ada, “ujar Putmainah.
Dari tahanan militer Lodoyo, Putmainah dilayar (dipindah) ke Kediri.
Tidak lama dari sana, ia dipindah lagi ke penjara militer Madiun dan akhirnya
dibuang ke penjara Plantungan, Kabupaten Kendal, sebelah selatan Kota Semarang.
Penjara plantungan merupakan bekas rumah sakit penderita kusta. Bagi
orang-orang eks tapol (PKI), Plantungan merupakan pulau burunya Gerwani. “Sebab
semua penghuninya adalah perempuan, “terangnya.
Selama 10 tahun lamanya Putmaniah hidup di sana. Selain bercocok tanam,
aktivitas sehari-harinya adalah membuat kerajinan tangan termasuk bermain
kesenian. Selama di Plantungan, ia juga mendapat kunjungan anak sulungnya
yang diantar eyangnya. “Penjaga disana baik-baik.
Meskipun ada interogasi tetapi tidak ada penyiksaan, “kenangnya. Keluar dari
“pengasingan”, Putmainah langsung pulang ke kampung halamanya di Desa
Pakisrejo, Kecamatan Srengat. Bermodalkan dari menjual harta warisan mendiang
suaminya, ia berdagang sayuran dan sembako.
Ia besarkan anak-anaknya seorang diri. Kecuali si sulung, seluruh anak
Putmainah mengenyam bangku perguruan tinggi. Bahkan beberapa diantaranya
lulusan universitas negeri terkemuka di Surabaya. Putmainah sendiri hanya
lulusan sekolah Taman Siswa di Tulungagung (setingkat SMP) “Hanya anak
sulung saya yang hanya lulusan sekolah dasar. Sejarah hitam yang
membuatnya kehilangan masa depan pendidikanya, “tuturnya.
Selain merawat rumah yang ditempatinya seorang diri, kegiatan hidup
Putmainah sehari-hari adalah membaca buku dan melihat berita di televisi. Baru
pada tahun 2003 lalu, setempel eks tapol terhapus dari identitasnya (KTP)
dan dia tidak lagi melakukan absen rutin di Koramil Srengat. Di
luar semua kegiatan itu, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat
kerap mengundangnya sebagai pelaku sekaligus korban sejarah 1965. Sekitar
tahun 2009 lalu, Putmainah dibawa ke Korea Selatan untuk menceritakan kisah,
seperti apakah sesungguhnya peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Apakah
memang PKI menyiapkan pemberontakan? Atau itu semua merupakan skenario Amerika
untuk menggulingkan Bung Karno?. Di luar itu, Putmainah sering menghadiri
undangan di acara seminar atau dialog yang menyangkut persitiwa 1965.
Sejumlah mahasiswa tidak sedikit yang datang ke rumahnya hanya untuk
menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang terkait dengan peristiwa 1965. “Saya
di negerinya kapitalis (Korea Selatan) selama 10 hari. Terakhir pada tahun 2011
ini saya juga diajak ke Blitar selatan untuk menunjukkan langsung gua yang dulu
menjadi tempat persembunyian. Saya suka dengan anak muda yang tertarik dengan
sejarah, “paparnya.
Dendamkah dengan negara yang telah menorehkan sejarah pahit ini? Putmainah
mengatakan tidak merasa dendam. Kendati demikian ia tidak bisa melupakan
hal itu.
Menurutnya, mereka yang menghabisi orang-orang PKI juga sebagai korban yang
tidak mengetahui politik. “Yang saya harapkan saat ini adalah kepada anak muda,
khususnya mahasiswa untuk bisa mengambil peran yang baik untuk perubahan negara
yang lebih baik, “pungkasnya
PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948,
AWALNYA KONFLIK SESAMA GOLONGAN KIRI YANG ANTI IMPERIALIS ?
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di
Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan
keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman
Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya
keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira
ria.
Tapi dibelakang tabir poltik berjalan
pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain
anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR
(Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain).
Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya
antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara
pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR
dan Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat
kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya).
Tertanda Barisan Banteng.
Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr
Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa
Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa
pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan
kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara
lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan
barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang).
Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan.
Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara
simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang
muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?,
Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika Madiun meletus (September
1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas dan tegas. PKI
Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka
merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman,
Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid.
Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso
dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus
karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet
pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi
Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan.
Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika
Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR
makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin
adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”.
Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat
sabar menahan kekalah politiknya didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik
gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan
pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi.
Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk
melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum
kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan
kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam.
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19
September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara.
Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara
digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan
Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan
segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari
belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga
rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan.
Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan
dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur
Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan
diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera
pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan
untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke
Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak
ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak
ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam
itu.
Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi
serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua
dengan sedih dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru :
“Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”.
Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah
mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada
tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para
pemberontak banyak yang tertangkap.
Sejumlah pengacau langsung dapat diadili
ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati,
Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas.
Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya
mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika
hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah
memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari
TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara.
(diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949.
yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan
Desember 1949).
Putmainah
(Foto: Solichan Arif/Koran SINDO)
Selain bergegas menyelamatkan diri, ingatan Putmainah, 83 belum bisa
melupakan bagaimana dirinya membawa semua anaknya menyingkir jauh-jauh dari
rumah. Ia gendong si bungsu Komara (Komunis Marhaenis dan Agama) yang
saat itu belum genap berusia setahun, sekaligus menjelaskan apa yang
terjadi kepada si sulung Dinana Amin Handayani yang masih berusia 13 tahun.
Dengan keterbatasan fisik seorang perempuan, Putmainah mengungsikan 7 anaknya ke rumah orang tuanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Ia mendengar kabar bahwa paska G 30 S/PKI 1965 meletus di Jakarta, sekelompok massa yang berasal dari ormas Islam telah bergerak.
Gerakan itu tidak hanya mengepung ibukota, tapi juga merembes ke daerah. Dari Jakarta, gelombang “serangan” menerjang sejumlah daerah di Jawa Tengah. Kemudian Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara. Dengan didampingi barisan militer angkatan darat (AD), massa menyerbu semua rumah yang diidentifikasi sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejumlah litetarur sejarah menyebut sekitar 1 juta nyawa melayang dan sekitar 1,6 juta orang lagi di tahan tanpa proses pengadilan.
“Sementara saya sendiri adalah Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Kabupaten Blitar yang juga anggota Fraksi PKI. Tentunya saya juga menjadi sasaran kemarahan berikutnya, “tutur Putmainah mengenang masa suram itu. Tidak ada tarikan nafas dalam.
Begitupun tidak terlihat secuilpun paras kesedihan. Perempuan dengan rambut yang seluruhnya memutih, kulit yang mengeriput, serta bola mata yang tidak jernih lagi karena usia itu, terlihat begitu tegar. Bahkan suaranya masih terdengar bersemangat. Lantang dan berapi-api.
“Memang inilah sejarah perjalanan hidup saya, “katanya tegas tanpa ada nada menyesal. Putmainah duduk di salah satu kursi ruang tamunya. Sejak bebas dari kurungan penjara orde baru, ia hidup sendiri di tanah kelahiranya Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Di belakang kursi yang didudukinya, tampak ilustrasi Bung Karno yang terbingkai rapi di tembok.
Sebuah sketsa strimin yang tersusun dari rajutan benang bol warna warni. Sementara lurus di hadapannya, tampak foto KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Foto cucu pendiri ormas Islam Nahdatul Ulama KH Hasyim Asy’ari itu dibuat pada saat Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden RI yang keempat. Sedangkan di tembok sebelah kiri, tepat diatas pesawat televisi 21 inchi, terpajang lukisan berukuran besar. Seorang lelaki tua dengan kumis tebal melintang serta udeng (ikat kepala) di kepalanya. Dialah KH Abdurrahman, kakek Putmainah.
Kisah yang ia ketahui, Abdurahman merupakan laskar Pangeran Diponegoro. Ia lari ke arah timur (Jawa Timur) setelah Belanda berhasil mengalahkan pasukanya. “Kakek saya adalah seorang Haji yang juga pejuang dari Mataraman, “cetusnya dengan nada bangga. Ayah Putmainah adalah Haji Mansyur, putra KH Abdurahman. Mansyur seorang tokoh (Ketua) Sarikat Islam Merah Kabupaten Blitar yang juga seorang hafal Al Qur’an (Hafidz).
SI Merah merupakan pecahan Sarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto (Juni 1916) yang pada akhirnya berganti nama menjadi Sarikat Rakyat (SR). Dari ayahnya yang terbunuh dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 itulah, Putmainah yang aktif di organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mengenal dasar-dasar ajaran komunis.
Bagaimana berbagi dengan sesama dan bagaimana bertindak ketika dalam kondisi terjepit. Bahwa tidak ada malam tanpa pagi. Seingat Putmainah, paska G30 S/PKI 1965, selain sepotong kebaya dan jarik yang melekat di badan, tak ada secuilpun harta benda yang dibawanya.
“Karena suasana sudah demikian gentingnya. Saya harus pergi dengan segera, “terangnya. Saat itu (1965), Subandi suaminya masih berada di Jakarta. Ketua PKI Kota Blitar yang juga Ketua Front Nasional Blitar serta Ketua DPRGR (Sekarang DPRD) Kota Blitar itu tengah menghadiri Kongres PKI.
Kabupaten dan Kota Blitar merupakan basis massa PKI. Dari sebanyak 45 kursi di DPRGR, 25 diantaranya milik PKI. Sedangkan sisanya dibagi rata partai Islam (NU dan Masyumi), PNI serta partai lainya. Informasi yang diterima Putmainah dari para “kamerad” yang selamat, Subandi dalam perjalanan pulang ke Blitar.
Kendati demikian sejak itu (1965), ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pria yang pertama kali dijumpainya di organisasi Pesindo tersebut. “Secara pasti saya tidak tahu nasib suami saya. Namun kalau masih hidup tentunya sekarang ini kami sudah bertemu lagi, “terangnya secara tidak langsung lebih meyakini Subandi telah meninggal dunia.
Dorongan ingin selamat membuatnya tidak berfikir panjang. Rumah beserta isinya ia tinggalkan begitu saja. Tempat tinggal pribadi itu berada di Jalan Sultan Agung, Kota Blitar, bersebelahan dengan Istana Gebang -nama lain rumah mendiang Ny Soekarmini Wardojo (Kakak Kandung Bung Karno).
“Saya tidak takut mati. Karena saya yakin apa yang saya lakukan untuk rakyat adalah sesuatu benar. Saya hanya ingin selamat untuk meneruskan perjuangan selanjutnya, “paparnya. Setelah para petinggi PKI dieksekusi, seperti Njoto ditembak pada 6 November, kemudian Dipa Nusantara Aidit pada 22 November serta Wakil Ketua PKI M.H Lukman sesudahnya, giliran para petinggi PKI di daerah diserbu. Siapapun yang teridentifikasi dalam barisan wanita (Gerwani), buruh (SOBSI), Pemuda (Pemuda Rakyat), petani (BTI) dan kebudayaan (Lekra) “dibersihkan”. Penghuni rumah dibawa paksa untuk dieksekusi.
Jika tidak ditemukan, isi rumah dijarah, bahkan tidak jarang langsung diobrak-abrik. “Tempat tinggal saya juga dirusak, “terang Putmainah yang sampai hari ini tidak mampu mendapatkan kembali haknya atas rumah di lingkungan Istana Gebang tersebut.
Selama tiga tahun, tokoh komunis Blitar ini hidup di hutan belantara sebagai pelarian politik. Harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat di raga. Untuk menghindari kejaran tentara angkatan darat (AD) dan massa ormas Islam, Putmainah memilih bersembunyi di dalam Gua Gayas, gua yang menghadap pantai selatan di wilayah perbukitan kapur Blitar Selatan.
Lubang dalam tanah itu begitu sempit dan pengap. Ditambah banyaknya orang yang bersembunyi membuat persediaan oksigen di dalamnya semakin terbatas. “Berdiri saja harus berhimpitan.
Saya keluar pada malam hari, untuk mencari makan. Kalau siang bertahan di dalam gua, “kenangnya. Untuk mengusir rasa lapar, Putmainah memilih bergantung dari “lezatnya” dedaunan hutan. Ia selalu memulai dengan menggigit kecil pada bagian pinggir daun. Cara itu untuk menguji apakah daun tersebut layak makan atau tidak. “Kalau gatal tidak saya teruskan. Berarti beracun. Karenanya saya cari yang lain, “paparnya.
Untuk menghilangkan dahaga, para pelarian politik ini bergantung pada tetesan air di dalam gua. Kondisinya yang serba tandus itu justru menjadikan Blitar selatan sebagai wilayah pertahanan paling aman bagi pengikut PKI paska gestapu meletus.
Sebab sebagian besar warga yang bertempat tinggal di perbukitan kapur tersebut memiliki tradisi Gerakan Tutup Mulut (GTM) yang kuat. Warga memilih menggelengkan kepala sebagai ungkapan tidak tahu ketika para serdadu bertanya tentang ada tidaknya tokoh komunis yang bersembunyi di daerah mereka. “Bahkan anak kecil pun bisa menjadi kurir pengantar surat dalam gerakan kami, “terangnya.
Namun, bagaimanapun hebatnya pertahanan orang-orang PKI, jumlah tentara lebih banyak. Apalagi mereka mendapat sokongan penuh dari ormas Islam. Satu persatu pengikut komunis mulai tidak tahan. Tekanan fisik dan mental serta rasa lapar dan dahaga yang tak terhingga mendorong mereka untuk keluar dari lobang-lobang persembunyian. Sebab selain gua gayas, masih banyak gua lain di Blitar selatan yang menjadi lokasi “tiarap” para gerilyawan PKI.
Putmainah sendiri mengaku tidak bersedia keluar, ketika “kawanya” yang bernama Murjani, tokoh PKI asal Tulungagung mengajaknya keluar, istri Subandi itu memutuskan bertahan di dalam gua.
“Karena saat itu kondisi saya sudah sangat lemah. Saya lapar dan tidak bisa berjalan lagi, “papar Putmainah. Ia berhasil ditangkap setelah salah seorang pengikut PKI memberitahu tentara bahwa masih ada seorang perempuan yang bertahan di dalam gua.
“Ini orangnya yang memberitahukan saya ada di dalam gua, “terang Putmainah yang menunjuk seorang laki-laki dalam sebuah foto hitam putih. Kedua tangan laki-laki yang berperawakan kurus itu tampak terikat. Putmainah duduk jongkok di sebelahnya dengan kedua tangan terikat. Sementara sejumlah tentara angkatan darat yang berdiri di belakang dan di sampingnya tampak bahagia. Semuanya memperlihatkan senyum kemenangan.
“Mungkin mereka semua itu (tentara) merasa bangga telah berhasil menangkap saya. Sebab saya dianggap tokoh PKI di Blitar, “pungkasnya.
Dari Plantungan, Korea dan Mahasiswa
Hari pertama penangkapan, Putmainah langsung di tahan di koramil daerah Lodoyo, Kabupaten Blitar. Seperti biasa, interogasi tentang sejauh mana keterlibatan dalam G30 S/PKI menjadi sarapan sehari-harinya. “Soal itu (G 30 S PKI) saya tidak tahu apa-apa. Kami tidak pernah memberontak.
Jika memberontak tentu persiapan itu sudah ada di daerah. Namun kenyataanya semua itu (persiapan pemberontakan) tidak ada, “ujar Putmainah. Dari tahanan militer Lodoyo, Putmainah dilayar (dipindah) ke Kediri. Tidak lama dari sana, ia dipindah lagi ke penjara militer Madiun dan akhirnya dibuang ke penjara Plantungan, Kabupaten Kendal, sebelah selatan Kota Semarang. Penjara plantungan merupakan bekas rumah sakit penderita kusta. Bagi orang-orang eks tapol (PKI), Plantungan merupakan pulau burunya Gerwani. “Sebab semua penghuninya adalah perempuan, “terangnya.
Selama 10 tahun lamanya Putmaniah hidup di sana. Selain bercocok tanam, aktivitas sehari-harinya adalah membuat kerajinan tangan termasuk bermain kesenian. Selama di Plantungan, ia juga mendapat kunjungan anak sulungnya yang diantar eyangnya. “Penjaga disana baik-baik.
Meskipun ada interogasi tetapi tidak ada penyiksaan, “kenangnya. Keluar dari “pengasingan”, Putmainah langsung pulang ke kampung halamanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat. Bermodalkan dari menjual harta warisan mendiang suaminya, ia berdagang sayuran dan sembako.
Ia besarkan anak-anaknya seorang diri. Kecuali si sulung, seluruh anak Putmainah mengenyam bangku perguruan tinggi. Bahkan beberapa diantaranya lulusan universitas negeri terkemuka di Surabaya. Putmainah sendiri hanya lulusan sekolah Taman Siswa di Tulungagung (setingkat SMP) “Hanya anak sulung saya yang hanya lulusan sekolah dasar. Sejarah hitam yang membuatnya kehilangan masa depan pendidikanya, “tuturnya.
Selain merawat rumah yang ditempatinya seorang diri, kegiatan hidup Putmainah sehari-hari adalah membaca buku dan melihat berita di televisi. Baru pada tahun 2003 lalu, setempel eks tapol terhapus dari identitasnya (KTP) dan dia tidak lagi melakukan absen rutin di Koramil Srengat. Di luar semua kegiatan itu, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat kerap mengundangnya sebagai pelaku sekaligus korban sejarah 1965. Sekitar tahun 2009 lalu, Putmainah dibawa ke Korea Selatan untuk menceritakan kisah, seperti apakah sesungguhnya peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Apakah memang PKI menyiapkan pemberontakan? Atau itu semua merupakan skenario Amerika untuk menggulingkan Bung Karno?. Di luar itu, Putmainah sering menghadiri undangan di acara seminar atau dialog yang menyangkut persitiwa 1965.
Sejumlah mahasiswa tidak sedikit yang datang ke rumahnya hanya untuk menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang terkait dengan peristiwa 1965. “Saya di negerinya kapitalis (Korea Selatan) selama 10 hari. Terakhir pada tahun 2011 ini saya juga diajak ke Blitar selatan untuk menunjukkan langsung gua yang dulu menjadi tempat persembunyian. Saya suka dengan anak muda yang tertarik dengan sejarah, “paparnya.
Dendamkah dengan negara yang telah menorehkan sejarah pahit ini? Putmainah mengatakan tidak merasa dendam. Kendati demikian ia tidak bisa melupakan hal itu.
Menurutnya, mereka yang menghabisi orang-orang PKI juga sebagai korban yang tidak mengetahui politik. “Yang saya harapkan saat ini adalah kepada anak muda, khususnya mahasiswa untuk bisa mengambil peran yang baik untuk perubahan negara yang lebih baik, “pungkasnya
Dengan keterbatasan fisik seorang perempuan, Putmainah mengungsikan 7 anaknya ke rumah orang tuanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Ia mendengar kabar bahwa paska G 30 S/PKI 1965 meletus di Jakarta, sekelompok massa yang berasal dari ormas Islam telah bergerak.
Gerakan itu tidak hanya mengepung ibukota, tapi juga merembes ke daerah. Dari Jakarta, gelombang “serangan” menerjang sejumlah daerah di Jawa Tengah. Kemudian Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara. Dengan didampingi barisan militer angkatan darat (AD), massa menyerbu semua rumah yang diidentifikasi sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejumlah litetarur sejarah menyebut sekitar 1 juta nyawa melayang dan sekitar 1,6 juta orang lagi di tahan tanpa proses pengadilan.
“Sementara saya sendiri adalah Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Kabupaten Blitar yang juga anggota Fraksi PKI. Tentunya saya juga menjadi sasaran kemarahan berikutnya, “tutur Putmainah mengenang masa suram itu. Tidak ada tarikan nafas dalam.
Begitupun tidak terlihat secuilpun paras kesedihan. Perempuan dengan rambut yang seluruhnya memutih, kulit yang mengeriput, serta bola mata yang tidak jernih lagi karena usia itu, terlihat begitu tegar. Bahkan suaranya masih terdengar bersemangat. Lantang dan berapi-api.
“Memang inilah sejarah perjalanan hidup saya, “katanya tegas tanpa ada nada menyesal. Putmainah duduk di salah satu kursi ruang tamunya. Sejak bebas dari kurungan penjara orde baru, ia hidup sendiri di tanah kelahiranya Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Di belakang kursi yang didudukinya, tampak ilustrasi Bung Karno yang terbingkai rapi di tembok.
Sebuah sketsa strimin yang tersusun dari rajutan benang bol warna warni. Sementara lurus di hadapannya, tampak foto KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Foto cucu pendiri ormas Islam Nahdatul Ulama KH Hasyim Asy’ari itu dibuat pada saat Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden RI yang keempat. Sedangkan di tembok sebelah kiri, tepat diatas pesawat televisi 21 inchi, terpajang lukisan berukuran besar. Seorang lelaki tua dengan kumis tebal melintang serta udeng (ikat kepala) di kepalanya. Dialah KH Abdurrahman, kakek Putmainah.
Kisah yang ia ketahui, Abdurahman merupakan laskar Pangeran Diponegoro. Ia lari ke arah timur (Jawa Timur) setelah Belanda berhasil mengalahkan pasukanya. “Kakek saya adalah seorang Haji yang juga pejuang dari Mataraman, “cetusnya dengan nada bangga. Ayah Putmainah adalah Haji Mansyur, putra KH Abdurahman. Mansyur seorang tokoh (Ketua) Sarikat Islam Merah Kabupaten Blitar yang juga seorang hafal Al Qur’an (Hafidz).
SI Merah merupakan pecahan Sarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto (Juni 1916) yang pada akhirnya berganti nama menjadi Sarikat Rakyat (SR). Dari ayahnya yang terbunuh dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 itulah, Putmainah yang aktif di organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mengenal dasar-dasar ajaran komunis.
Bagaimana berbagi dengan sesama dan bagaimana bertindak ketika dalam kondisi terjepit. Bahwa tidak ada malam tanpa pagi. Seingat Putmainah, paska G30 S/PKI 1965, selain sepotong kebaya dan jarik yang melekat di badan, tak ada secuilpun harta benda yang dibawanya.
“Karena suasana sudah demikian gentingnya. Saya harus pergi dengan segera, “terangnya. Saat itu (1965), Subandi suaminya masih berada di Jakarta. Ketua PKI Kota Blitar yang juga Ketua Front Nasional Blitar serta Ketua DPRGR (Sekarang DPRD) Kota Blitar itu tengah menghadiri Kongres PKI.
Kabupaten dan Kota Blitar merupakan basis massa PKI. Dari sebanyak 45 kursi di DPRGR, 25 diantaranya milik PKI. Sedangkan sisanya dibagi rata partai Islam (NU dan Masyumi), PNI serta partai lainya. Informasi yang diterima Putmainah dari para “kamerad” yang selamat, Subandi dalam perjalanan pulang ke Blitar.
Kendati demikian sejak itu (1965), ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pria yang pertama kali dijumpainya di organisasi Pesindo tersebut. “Secara pasti saya tidak tahu nasib suami saya. Namun kalau masih hidup tentunya sekarang ini kami sudah bertemu lagi, “terangnya secara tidak langsung lebih meyakini Subandi telah meninggal dunia.
Dorongan ingin selamat membuatnya tidak berfikir panjang. Rumah beserta isinya ia tinggalkan begitu saja. Tempat tinggal pribadi itu berada di Jalan Sultan Agung, Kota Blitar, bersebelahan dengan Istana Gebang -nama lain rumah mendiang Ny Soekarmini Wardojo (Kakak Kandung Bung Karno).
“Saya tidak takut mati. Karena saya yakin apa yang saya lakukan untuk rakyat adalah sesuatu benar. Saya hanya ingin selamat untuk meneruskan perjuangan selanjutnya, “paparnya. Setelah para petinggi PKI dieksekusi, seperti Njoto ditembak pada 6 November, kemudian Dipa Nusantara Aidit pada 22 November serta Wakil Ketua PKI M.H Lukman sesudahnya, giliran para petinggi PKI di daerah diserbu. Siapapun yang teridentifikasi dalam barisan wanita (Gerwani), buruh (SOBSI), Pemuda (Pemuda Rakyat), petani (BTI) dan kebudayaan (Lekra) “dibersihkan”. Penghuni rumah dibawa paksa untuk dieksekusi.
Jika tidak ditemukan, isi rumah dijarah, bahkan tidak jarang langsung diobrak-abrik. “Tempat tinggal saya juga dirusak, “terang Putmainah yang sampai hari ini tidak mampu mendapatkan kembali haknya atas rumah di lingkungan Istana Gebang tersebut.
Selama tiga tahun, tokoh komunis Blitar ini hidup di hutan belantara sebagai pelarian politik. Harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat di raga. Untuk menghindari kejaran tentara angkatan darat (AD) dan massa ormas Islam, Putmainah memilih bersembunyi di dalam Gua Gayas, gua yang menghadap pantai selatan di wilayah perbukitan kapur Blitar Selatan.
Lubang dalam tanah itu begitu sempit dan pengap. Ditambah banyaknya orang yang bersembunyi membuat persediaan oksigen di dalamnya semakin terbatas. “Berdiri saja harus berhimpitan.
Saya keluar pada malam hari, untuk mencari makan. Kalau siang bertahan di dalam gua, “kenangnya. Untuk mengusir rasa lapar, Putmainah memilih bergantung dari “lezatnya” dedaunan hutan. Ia selalu memulai dengan menggigit kecil pada bagian pinggir daun. Cara itu untuk menguji apakah daun tersebut layak makan atau tidak. “Kalau gatal tidak saya teruskan. Berarti beracun. Karenanya saya cari yang lain, “paparnya.
Untuk menghilangkan dahaga, para pelarian politik ini bergantung pada tetesan air di dalam gua. Kondisinya yang serba tandus itu justru menjadikan Blitar selatan sebagai wilayah pertahanan paling aman bagi pengikut PKI paska gestapu meletus.
Sebab sebagian besar warga yang bertempat tinggal di perbukitan kapur tersebut memiliki tradisi Gerakan Tutup Mulut (GTM) yang kuat. Warga memilih menggelengkan kepala sebagai ungkapan tidak tahu ketika para serdadu bertanya tentang ada tidaknya tokoh komunis yang bersembunyi di daerah mereka. “Bahkan anak kecil pun bisa menjadi kurir pengantar surat dalam gerakan kami, “terangnya.
Namun, bagaimanapun hebatnya pertahanan orang-orang PKI, jumlah tentara lebih banyak. Apalagi mereka mendapat sokongan penuh dari ormas Islam. Satu persatu pengikut komunis mulai tidak tahan. Tekanan fisik dan mental serta rasa lapar dan dahaga yang tak terhingga mendorong mereka untuk keluar dari lobang-lobang persembunyian. Sebab selain gua gayas, masih banyak gua lain di Blitar selatan yang menjadi lokasi “tiarap” para gerilyawan PKI.
Putmainah sendiri mengaku tidak bersedia keluar, ketika “kawanya” yang bernama Murjani, tokoh PKI asal Tulungagung mengajaknya keluar, istri Subandi itu memutuskan bertahan di dalam gua.
“Karena saat itu kondisi saya sudah sangat lemah. Saya lapar dan tidak bisa berjalan lagi, “papar Putmainah. Ia berhasil ditangkap setelah salah seorang pengikut PKI memberitahu tentara bahwa masih ada seorang perempuan yang bertahan di dalam gua.
“Ini orangnya yang memberitahukan saya ada di dalam gua, “terang Putmainah yang menunjuk seorang laki-laki dalam sebuah foto hitam putih. Kedua tangan laki-laki yang berperawakan kurus itu tampak terikat. Putmainah duduk jongkok di sebelahnya dengan kedua tangan terikat. Sementara sejumlah tentara angkatan darat yang berdiri di belakang dan di sampingnya tampak bahagia. Semuanya memperlihatkan senyum kemenangan.
“Mungkin mereka semua itu (tentara) merasa bangga telah berhasil menangkap saya. Sebab saya dianggap tokoh PKI di Blitar, “pungkasnya.
Dari Plantungan, Korea dan Mahasiswa
Hari pertama penangkapan, Putmainah langsung di tahan di koramil daerah Lodoyo, Kabupaten Blitar. Seperti biasa, interogasi tentang sejauh mana keterlibatan dalam G30 S/PKI menjadi sarapan sehari-harinya. “Soal itu (G 30 S PKI) saya tidak tahu apa-apa. Kami tidak pernah memberontak.
Jika memberontak tentu persiapan itu sudah ada di daerah. Namun kenyataanya semua itu (persiapan pemberontakan) tidak ada, “ujar Putmainah. Dari tahanan militer Lodoyo, Putmainah dilayar (dipindah) ke Kediri. Tidak lama dari sana, ia dipindah lagi ke penjara militer Madiun dan akhirnya dibuang ke penjara Plantungan, Kabupaten Kendal, sebelah selatan Kota Semarang. Penjara plantungan merupakan bekas rumah sakit penderita kusta. Bagi orang-orang eks tapol (PKI), Plantungan merupakan pulau burunya Gerwani. “Sebab semua penghuninya adalah perempuan, “terangnya.
Selama 10 tahun lamanya Putmaniah hidup di sana. Selain bercocok tanam, aktivitas sehari-harinya adalah membuat kerajinan tangan termasuk bermain kesenian. Selama di Plantungan, ia juga mendapat kunjungan anak sulungnya yang diantar eyangnya. “Penjaga disana baik-baik.
Meskipun ada interogasi tetapi tidak ada penyiksaan, “kenangnya. Keluar dari “pengasingan”, Putmainah langsung pulang ke kampung halamanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat. Bermodalkan dari menjual harta warisan mendiang suaminya, ia berdagang sayuran dan sembako.
Ia besarkan anak-anaknya seorang diri. Kecuali si sulung, seluruh anak Putmainah mengenyam bangku perguruan tinggi. Bahkan beberapa diantaranya lulusan universitas negeri terkemuka di Surabaya. Putmainah sendiri hanya lulusan sekolah Taman Siswa di Tulungagung (setingkat SMP) “Hanya anak sulung saya yang hanya lulusan sekolah dasar. Sejarah hitam yang membuatnya kehilangan masa depan pendidikanya, “tuturnya.
Selain merawat rumah yang ditempatinya seorang diri, kegiatan hidup Putmainah sehari-hari adalah membaca buku dan melihat berita di televisi. Baru pada tahun 2003 lalu, setempel eks tapol terhapus dari identitasnya (KTP) dan dia tidak lagi melakukan absen rutin di Koramil Srengat. Di luar semua kegiatan itu, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat kerap mengundangnya sebagai pelaku sekaligus korban sejarah 1965. Sekitar tahun 2009 lalu, Putmainah dibawa ke Korea Selatan untuk menceritakan kisah, seperti apakah sesungguhnya peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Apakah memang PKI menyiapkan pemberontakan? Atau itu semua merupakan skenario Amerika untuk menggulingkan Bung Karno?. Di luar itu, Putmainah sering menghadiri undangan di acara seminar atau dialog yang menyangkut persitiwa 1965.
Sejumlah mahasiswa tidak sedikit yang datang ke rumahnya hanya untuk menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang terkait dengan peristiwa 1965. “Saya di negerinya kapitalis (Korea Selatan) selama 10 hari. Terakhir pada tahun 2011 ini saya juga diajak ke Blitar selatan untuk menunjukkan langsung gua yang dulu menjadi tempat persembunyian. Saya suka dengan anak muda yang tertarik dengan sejarah, “paparnya.
Dendamkah dengan negara yang telah menorehkan sejarah pahit ini? Putmainah mengatakan tidak merasa dendam. Kendati demikian ia tidak bisa melupakan hal itu.
Menurutnya, mereka yang menghabisi orang-orang PKI juga sebagai korban yang tidak mengetahui politik. “Yang saya harapkan saat ini adalah kepada anak muda, khususnya mahasiswa untuk bisa mengambil peran yang baik untuk perubahan negara yang lebih baik, “pungkasnya
PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948,
AWALNYA KONFLIK SESAMA GOLONGAN KIRI YANG ANTI IMPERIALIS ?
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria.
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria.
Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng.
Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan.
Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid.
Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”.
Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam.
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan.
Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu.
Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap.
Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan Desember 1949).
Sketsa Banjir Darah ala PKI (Partai Komunis
Indonesia)
Serigala
Berbulu Domba
(Sketsa Banjir Darah ala Partai Komunis Indonesia)
Penulis:
Penulis:
Bakarudin
“Sejak awal Kemerdekaan, PKI telah melakukan
serangkaian pembantaian di banyak wilayah RI. Mereka tidak segan membunuh untuk
merebut kekuasaan. Bukti-bukti otentik kekejaman PKI sesungguhnya sudah tidak
terbantahkan. Inilah sejarah kelam Komunisme di Indonesia”
Jakarta, Desember 2012
Sekapur Sirih
Perjalanan
sejarah ideologi Komunis di dunia telah membuktikan selalu melakukan
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ideologi yang dikembangak Karl Mark, Lenin,
Stalin, Mao, telah membanjiri jagat raya dengan darah. Buku Katastrofi
Mendunia, Marxisma, Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba yang ditulis Taufiq
Ismail, menyebutkan setidaknya 100 juta orang lebih dibantai termasuk di
Indonesia oleh rejim Komunis dan orang-orang Partai Komunis di Dunia. Ideologi
Komunis selalu pada intinya anti Hak Asasi Manusia, anti Demokrasi, dan anti
Tuhan. Sebab itu, menjadi ironi apabila masih banyak ”orang dan kelompok
masyarakat” masih menginginkan paham Komunis berkembang di Indonesia.
Partai Komunis
Indonesia (PKI) memang sudah dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966, namun
benarkah PKI sudah mati? Pada masa reformasi pada kenyataannya, para kader PKI
dan para simpatisannya berusaha keras memutar-balikan fakta atas segala
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah dilakukan sepanjang sejarahnya di
Indonesia. Dengan dalih ”meluruskan sejarah” mereka membanjiri toko-tokoh buku
dengan berbagai jenis buku untuk memutarbalikkan fakta sejarah. Tidak hanya
itu, para penggiat Komunisme melakukan provokasi melalui media massa cetak,
stasiun televisi, internet, film, musik, diskusi-diskusi, tuntutan hukum,
politik, dan selebaran-selebaran—yang pada intinya menempatkan orang-orang PKI
dan organisasi sayapnya seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, LEKRA, CGMNI, BTI, SOBSI,
dan lain-lain, sebagai korban. Padahal, sangat jelas sejak berdiri di
Indonesia, Partai Komunis Indonesia telah ”membokong” perjuangan Bangsa
Indonesia dalam menegakkan Kemerdekaan, Kedaulatan, Kesejahteraan, dan Keadilan
Sosial di Republik Indonesia.
Berkat
perlindungan Tuhan Yang Esa dan landasan idiil Pancasila serta UUD 1945, paham
Komunis beserta Partai Komunis Indonesia telah gagal total dalam
mencengkeramkan kekuasaannya. Tetapi, pada kenyataanya pula perjuangan
orang-orang Komunis dan kini beserta kader-kader mudanya, terus-menerus
menggerogoti kedamaian Bangsa Indonesia—mengadu-domba, memutarbalikkan fakta
sejarah, melakukan instabilitas sosial—dengan berlindung di balik perjuangan
Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Padahal, paham Komunis adalah anti Hak Asasi
Manusia, anti Demokrasi, dan anti Tuhan. Mereka selalu berdusta, manipulatif
dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Tulisan ini
berjudul Serigala Berbulu Domba (Sketsa Banjir Darah ala Partai
Komunis Indonesia) ini, memang tidak menulis secara panjang lebar
mengenai sejarah dan kekejaman komunis di Indonesia. Buku ini hanya menuliskan
secara singkat adanya fakta-fakta sejarah atraksi berdarah orang-orang Komunis
beserta PKI dalam mencapai tujuan: Kekuasaan. Dengan demikian, kita Bangsa
Indonesia yang mengenal adanya Tuhan dan menjadikan Pancasila sebagai pandangan
hidup dan UUD 1945 sebagai dasar Negara, sudah selayaknya tidak menerima paham
Komunis dalam segala bentuknya dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Nah, semoga
tulisan ini bermanfaat untuk kepentingan Bangsa dan Negara yang kita cintai
ini: Republik Indonesia.
Serigala
Berbulu Domba
(Sketsa
Banjir Darah ala Partai Komunis Indonesia)
Kata-kata
Mutiara
”Kalau ada
orang Komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang Islam mengaku
dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya”
(Mohammad Hatta, mantan Perdana Menteri RI yang juga mendalami
Marxisme bersama Soekarno)
***********************
”Kalau anak
muda baca Manifesto Komunis, belajar Marxisme-Leninisme, lantas tak tertarik,
maka dia anak muda yang bebal. Tapi, kalau sudah mendalami Marxisme-Leninisme,
sampai tua masih tetap komunis, maka dia sangat bebal”
(Sajuti Melik, Suami SK Trimurti yang juga mempelajari Marxisme)
*************************************
”Saya tak
bisa menjadi anggota PKI (lagi). Saya tidak dapat menerima
keseluruhannya, khususnya pandangan falsafahnya yang didasarkan atas
paham materialisme”
(SK Trimurti, mantan anggota PKI dan Menteri pada masa Orde Lama)
****************************************
”Persoalan
ideologi Komunis juga tidak semata-mata persoalan politik dan hukum, tetapi
juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Karena, ideologi Komunis tidak mengakui adanya Tuhan, maka ajaran
Komunis dalam segala bentuknya tidak pantas hidup di Indonesia. Siapa pun dan
generasi muda hendaknya jangan sampai terjerat oleh bujuk rayu orang-orang
Komunis.”
(H. Sukitman, polisi penemu Lubang Buaya dan saksi kebiadaban orang-orang
PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat dalam membantai para Jenderal di Lubang Buaya)
Serigala
Berbulu Domba
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965/PKI merupakan tragedi politik dan kemanusiaan di
Indonesia. Dan, perjalanan sejarah telah membuktikan, ideologi Komunis yang
diusung oleh Partai Komunis Indonesia, selalu menghalalkan segala cara untuk
meraih kekuasaan. Mereka tidak akan berhenti melakukan kekacauan sebelum puncak
kekuasaan direbut. Sebab itu, setiap komponen Bangsa dan generasi muda harus
selalu mengingat pergerakan Komunis tidak akan sirna dari Indonesia.
Pada saat
krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia, di mana kondisi
perekonomian masyarakat melorot dan pengangguran meningkat, Komunis akan
berusaha keras mencengkeramkan pengaruhnya—dengan dalih kesejahteraan dan
keadilan sosial—dan mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkisme.
Seluruh
saluran komunikasi sosial, seperti media massa, seni-budaya, sastra, film,
musik, buku-buku, dialog-dialog, dan lain-lain, dimanfaatkan oleh para juru
kampanye Komunis Gaya Baru, untuk mendapat simpati seluas-luasnya. Mereka
menuduh Soeharto dan perpecahan di tubuh TNI AD yang berada di balik G. 30 S
PKI. Sungguh, kampanye tersebut merupakan pengingkaran terhadap fakta sejarah.
Pada saat ini,
dengan dalih demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) para kader PKI dan
simpatisannya tengah berusaha keras memperjuangkan hak-hak perdatanya kepada
pemerintah. Dengan tujuan utama, agar mereka ditempatkan sebagai korban bukan
sebagai pelaku kejahatan politik. Dengan cara memutarbalikkan fakta dan membuat
versi-versi baru berdasarkan rekayasa sebagai korban dan saksi sejarah. Selain
mengacaukan fakta sejarah yang sesungguhnya, cara-cara demikian dimaksudkan
untuk mendapatkan simpati publik sekaligus mengubah paradigma kesesatan
Komunisme menjadi kebenaran Komunisme. Fakta kekejaman PKI disulap menjadi
kekejaman TNI dan orang-orang Islam. Mereka secara intensif
mensosialisosialisasikan kampanye hitam tersebut melalui media massa cetak,
internet, buku-buku, dan selebaran-selebaran yang memprovokasi masyarakat.
Pada saat
ini, upaya menyembunyikan fakta sejarah, menyangkut kekejaman PKI terutama
pemberontakan Madiun 1948 dan G 30 S PKI terus dilakukan. Sebut saja, misalnya,
tempat penguburan hidup-hidup Lubang Buaya dibantah. G 30 S PKI adalah akibat
konflik internal TNA AD. Mereka juga gencar mensosialisasikan Soeharto sebagai
dalang di balik G 30 S PKI dan dalang pembantaian massal. Sungguh hal tersebut
sebagai sebuah fitnah yang keji. Karena, dalang pembantaian tersebut adalah PKI
yang memang sudah berhasil menyusupkan kader-kadernya di berbagai bidang
pemerintahan, baik di tubuh militer, instansi-instansi pemerintah dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Para kader
Komunis memang tidak segan-segan melakukan sosialisasi dengan individu dan
kelompok masyarakat yang belum dapat menggapai kesejahteraan dalam
kehidupannya. Mereka seolah memperjuangkan hak-hak rakyat, buruh, tani, nelayan
dan mempengaruhi mahasiswa bahkan pelajar untuk melakukan demonstrasi. Padahal
di balik ”perjuangan kemanusiaan” itu, para kader Komunis melakukan ”cuci otak”
dengan mengajarkan Komunisme. Tanpa terasa indoktrinasi ideologi Komunis
ditanamkan. Bagi mereka yang tidak menyadari, kemudian ”keblinger” dan
ikut-ikut menjadi corong berkumandangnya Komunisme di Indonesia.
Para kader
Komunis memang bagai ”serigala berbulu domba”. Mereka seolah-oleh menjadi
teman, saudara, satu nasib dan satu perjuangan, namun dibalik itu semua mereka
akan menerkam setiap orang: baik teman maupun lawan untuk satu kepentingan :
Kekuasaan dengan Ideologi Komunis.
Penyusupan
Menjadi Pola Perjuangan
Komunis
mulai dikenal di Indonesia diawali dengan terbentuknya Indische Social Democratische
Vereniging (ISDV) atau
Perserikatan Sosial Demokrat Hindia. Organisasi ini didirikan pada 9 Mei 1914
di Surabaya oleh Hendrickus Josephus Franciscus Marie Sneevliet alias Maring
dan dibantu Adolf Baars. Sebagai penganut paham Komunis, Maring paham betul
bagaimana mengembangkan dengan cara melakukan infiltrasi terhadap organisasi
yang didirikan pribumi. Salah satunya infeltrasi ke Sarekat Islam (SI).
Adalah
Semaoen yang menjadi kaki tangan ISDV dan melakukan penyusupan. Akibatnya SI
kemudian terbelah menjadi SI ”Merah” pimpinan Semaoen dan SI ”Putih” pimpinan
HOS Tjokroaminoto. Tanggal 23 Mei 1920, Semaoen mengumumkan manifesto
berdirinya Perserikatan Komunsi Hindia di kantor SI Semarang. Organisasi inilah
yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI pun bergabung
dengan partai Komintern (Komunis Internasional). Garis politik yang dianut
berdasarkan ajaran Lenin. Yakni : Harus menggunakanpetty bourgeoisie dan Menggunakan aspirasi
nasional rakyat terjajah (Fadlizon dan H. Alwan Aliuddin dalam Kesaksian Korban Kekejaman
PKI 1948, halaman 6)
Sebagai
kepanjangan tangan ISDV, PKI disetujui bekerja di dalam kalangan SI, yang
disebut sebagai organisasi proletar berbaju Islam. Dijelaskan pula, revolusi
Asia berdasarkan ”borjuis demokratik” dengan aksi landreform yang mencita-citakan tanah untuk
petani penggarap tanah. Artinya, tanah-tanah yang dikuasai para ”tuan tanah”
harus direbut secara paksa.
Yang
menarik—dan kini digembar-gemborkan oleh kader-kader Komunis, bahwa PKI juga
pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda 1926-1927. Pemberontakan di Jawa
(Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri dan Banten) dan Sumatera
(Padang, Silungkang dan Padang Panjang), pada kenyataan justru menimbulkan
korban pada rakyat. Pemberontakan ini dapat dengan mudah diluluhlantakkan
Belanda. Akibatnya, 9 orang digantung, 13.000 orang ditahan dan kemudian
sebagian diasingkan di Tanah Merah, Digul.
Pada tahun
1927, PKI Sumatera Barat terlambat memberontak. PKI sendiri memprovokasi kaum
tani yang muslimin. Mereka memang menjadi korban kekejaman Belanda karena harus
membayar pajak yang terlampau tinggi. Dari pemberontakan, PKI memang melakukan
tipu-muslihat dengan mengeksploitir penderitaan para petani. Sesungguhnya PKI
hanya mengumpankan kepada Belanda. Orang-orang PKI mengatakan, apabila
memberontak, akan datang kapal terbang Angkatan Udara Turki ditugaskan oleh
Kemal Ataturk membantu pemberontakan (Brackman, seperti dikutip
Taufiq Ismail dalam Katastrofi Mendunia…., halaman xxvi).
Fakta
sejarah itulah yang menjadi catatan penting dalam kancah sejarah Indonesia
sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamasikan. Ketika banyak organisasi
dan para pejuang kemerdekaan mulai mengumandangkan perang dan upaya
mempersatukan perlawanan terhadap Belanda, PKI tidak ikut serta di dalamnya.
Jadi, tidak alasan dan fakta sejarah, yang bisa menempatkan PKI sebagai
organisasi dan kader-kader pada jajaran heroisme perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Tetapi,
setelah Kemerdekaan mendapat dukungan rakyat, beberapa kader PKI dari luar
negeri kembali. Sebut saja Sardjono dari Australia dan Alimin dari Cina. Mereka
kemudian melakukan penyusupan ke Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh.
Mereka pun membangun organisasi dan mendidik kader-kadernya sebagai kader yang
memiliki militansi tinggi.
Pengkhiatan
demi pengkhiatan pun dilakukan. PKI tidak peduli dengan perjuangan Bangsa
Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Kekejaman PKI terukir dengan nyata,
ketika ”membokong” Kemerdekaan RI dengan melakukan pemberontakan PKI/FDR di
Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang disertai dengan pembunuhan
keji ini dipimpin Muso, yang baru kembali dari Moskow. FDR didirikan oleh Amir
Syarifuddin, yang beroposisi dari Kabinet Mohammad Hatta. Kabinet Amir
Syarifuddin jatuh setelah adanya Perjanjian Renville. Seperti diketahui Kabinet
Hatta adalah kabinet anti Komunis dan berhasil mencegah penyusupan kader-kader
PKI di tubuh militer dengan cara melakukan reorganisasi Angkatan Perang
Republik Indonesia.
Penyusupan
memang menjadi pola gerakan PKI. Setelah melakukan penyusupan dan memiliki
kader yang handal, PKI pun melakukan pemberontakan berdarah. Itulah sebabnya,
mengapai ada tokoh-tokoh PKI dari kalangan Islam, militer, guru, buruh, tani,
nelayan, mahasiswa, dan lain-lain. Para seniman, sastrawan, dan budayawan
dengan alasan kebebasan berkreasi dicekoki ajaran Komunis.
Kekuasaan
Komunis Membantai Lebih Dari 120 Juta Jiwa Manusia
Kekerasan
menjadi ciri khas dalam pelaksanaan rejim Komunis di dunia. Rejim Komunis yang
anti Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya.
Simak saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883), bila waktu tiba kita tidak
akan menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami
tidak meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba, kami tidak
mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror. Cuma ada satu cara untuk
memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu, dan cara itu adalah teror
revolusioner.
Tidak kalah
ketinggalan dengan Karl Marx, Vladimir Ilich Ullyan Lenin tahun 1870-1924 yang
mengatakan, saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah-tengah
revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan
keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan tidak jadi soal bila ¾ penduduk
dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme,
kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.
Copy paste
ajaran Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Komunisme yang gemar memainkan peran
sebagai algojo, diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di Indonesia.
Gubernur Jawa Timur, Soerjo, yang memiliki peran penting di dalam kancah perang
Kemerdekaan di Surabaya, dibantai habis. Kekejaman PKI yang berhasil direkam
oleh Maksum, Sunyoto, Agus dan Zainuddin A dalam buku Lubang-lubang Pembantaian
Petualangan PKI di Madiun, mengungkapkan, dubur warga Desa Pati dan
Wirosari ditusuk bambu runcing dan mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah
sawah hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Salah
seorang diantaranya wanita—ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga
ditancamkan di tengah sawah. Algojo PKI merentangkan tangga membelintang sumur,
kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika telentang terikat itu,
algojo menggergaji badannya sampai putus dua, langsung dijatuhkan ke dalam
sumur.
Lubang-lubang
pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya
adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak
tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.
Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean),
dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan
bergembiraria melihat para Jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya
di Jakarta Timur.
Lubang-lubang
lain di banyak daerah di Jawa juga sudah disiapkan oleh para kader PKI. Daftar
nama lawan-lawan politik sudah disusun untuk segera dieksekusi, karena tidak
satu paham dengan aliran politik PKI. Namun, kegagalan Pemberontakan G 30 S
1965/PKI menyebabkan Dewan Revolusi tidak bisa menindaklanjuti aksi berdarah
yang sudah dilakukan di Jakarta.
Kini, para
anggota PKI, anggota-anggota organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan
diri dengan pengakuan-pengakuan palsu : seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan Korban Tragedi
’65” yang ditulis Ita
F. Nadia dan diterbitkan Galang Press—sebuah penerbit di Yogyakarta. Padahal,
bau anyir darah begitu melekat dalam aksi-aksi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh PKI. Para penulis asing pun ikut hiruk-pikuk mencuci ”piring
kotor” PKI dengan memanfaatkan bahan-bahan dan pengakuan-pengakuan sepihak dari
orang-orang PKI. Apakah mereka telah terbeli oleh organisasi Komunis
Internasional atau telah menjadi kaki tangan kekuatan asing yang ingin
menghancurkan kembali Republik Indonesia?
Inilah
pembantaian yang sudah ditorehkan oleh penguasa Komunis di belahan dunia lain.
Setidaknya terdapat 100 juta lebih nyawa yang dibantai. Sebuah jumlah yang
melebihi jumlah korban Perang Dunia I dan II. Banjir darah dan banjir darah
menjadi ciri khas kekuasaan Komunis di dunia.
500.000
rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923)
6.000.000
petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929)
40.000.000
dibantai Stalin (1925-1953)
50.000.000
penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tsetung (1974-1976)
2.500.000
rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979)
1.000.000
rakyat Eropa Timur diberbagai Negara dibantai rejim Komunis setempat dibantu
Rusia Soviet (1950-1980)
150.000
rakyat Amerika Latin dibantai rejim Komunis di sana.
1.700.000
rakyat berbagai Negara di Afrika dibantai rejim Komunis.
1.500.000
rakyat Afganistan dibantai Najibullah (1978-1987)
(DIKUTIP
DARI BUKU KATASTROFI MENDUNIA KARYA TAUFIQ ISMAIL, TAHUN 2004)
Akankah
Komunisme dibiarkan melakukan penyusupan dalam sendi-sendi kehidupan sosial
kemasyarakatan? Ingat, Partai Komunis Indonesia dibubarkan pada tanggal 12
Maret 1966. Melalui Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 ajaran Marxisme, Leninisme,
dan Komunisme dilarang di Indonesia. Kemudian Undang-undang No 27 Tahun 1999
tentang Keamanan Negara mengukuhkan larangan bagi siapa pun untuk menyebarkan
Komunisme dalam segala bentuknya dengan sanksi pidana seberat-beratnya 12 tahun
kurungan penjara. Sesungguhnya sanksi hukum tersebut terbilang ringan. Di AS para
pemberantok tidak hanya dikurung di dalam penjara, bahkan harus diasingkan dari
kehidupan sosial kemasyarakatan.
Menurut
Prof. Dr. Moh. Noor Syam, guru besar Universitas Negeri Malang, gerakan
menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Komunisme bisa digolongkan
sebagai bentuk separatisme. Sehingga, hukum harus ditegakkan kepada mereka
dengan hukuman yang setimpal. Artinya, penegak hukum, pemerintah dan
Negara harus tegas menjaga Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia.
Tragedi-tragedi
Berdarah Itu…
Sudah
menjadi ideologi, paham Komunis selalu menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuan. Pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa yang dilarang oleh agama
apa pun di dunia, justru menjadi pola perjuangan orang-orang Komunis di dunia
termasuk di Indonesia. Inilah bukti aksi berdarah yang dilakukan Komunis di
Indonesia.
Peristiwa
Tiga Daerah
Peristiwa
ini setidaknya terjadi dari tanggal 8 Oktober – 9 November 1945.
Peristiwa ini terjadi di tengah upaya Bangsa Indonesia mempertahankan
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat, kelompok Komunis bawah tanah
mulai berubah menjadi organisasi massa dan pemuda. Sebut saja Angkatan Pemuda
Indonesia (API) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Mereka mulai
melakukan aksi penggantian pejabat pemerintah di tiga (3) kabupaten :
Karisidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan Pemalang.
Pada tanggal
8 Oktober 1945, AMRI Slawi di bawah pimpinan Sakirman dan AMRI Talang dipimpin
Kutil melakukan teror dengan menangkapi dan membunuh pejabat pemerintah. Aksi
sepihak dilanjutkan pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI menyerbu kota
Tegal—yakni kantor kabupaten dan Markas TKR. Aksi ini gagal. Namun, tokoh-tokoh
Komunis membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk perebutan
kekuasaan di Karisidenan Pekalongan.
Aksi
Gerombolan Ce’Mamat di Banten
Tokoh
Komunis ini bernama Ce’Mamat. Dia terpilih menjadi Ketua Komite Nasional
Indonesia (KNI). Ce’Mamat merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet.
Dibentuklah Dewan Pemerintahan Rakyat Serang (DPRS) pada tanggal 17 Oktober
1945. Selanjutnya merebut pemerintahan Karisidenan Banten. Dengan menggunakan
kekuatan laskar-laskarnya, teror pun dilakukan. Gerombolan Ce’Mamat berhasil
menculik dan membunuh Bupati Lebak R. Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak
pada tanggal 9 Desember 1945.
Pasukan
Ubel-ubel Membunuh Oto Iskandar Dinata
Satu lagi
bukti kekejaman Komunis di Indonesia. Peristiwa ini bermula pada tanggal 18
Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin Ahmad Khairun
didampingi tokoh-tokoh bawah tanah Komunis, mengambil alih kekuasaan Pemerintah
Republik Indonesia di Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Tidak hanya
sampai di situ. Dewan ini pun membentuk laskar-laskar dengan nama Ubel-ubel.
Aksi kekerasan dan teror dilakukan. Puncaknya pada tanggal 12 Desember 1945,
Laskar Hitam dibawah pimpinan Usman di daerah Mauk, membunuh tokoh nasional Oto
Iskandar Dinata.
Pemberontakan
PKI di Cirebon
PKI di bawah
pimpinan Mr. Yoesoef dan Mr. Soeprapto mengadakan konferensi Laskar Merah.
Sekitar 3000 anggota Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur hadir di
Cirebon pada tanggal 12 Februari 1946. Rupanya konferensi hanyalah kedok untuk
merebut kekuasaan. Karena, pada kenyataannya Laskar Merah justru melucuti TRI,
menguasai gedung-gedung vital seperti stasiun radio dan pelabuhan. Namun, pada
tanggal 14 Februari 1946, aksi sepihak Laskar Merah tersebut berhasil
digagalkan kembali oleh TRI. Kota Cirebon pun berhasil dikuasai kembali oleh
TRI.
Revolusi
Sosial di Langkat
Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945 ternyata tidak sepenuhnya bisa diterima oleh sejumlah
kerajaan di Sumatera Timur. Kondisi tersebut dimanfaat oleh PKI untuk melakukan
aksi sepihak. Inilah yang menimpa Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung
Pura. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadi Revolusi Sosial yang dilakukan PKI di
Langkat. Secara paksa PKI merebut kekuasaan para pemerintahan kerajaan bahkan
membunuh raja-raja dan keluarganya. Tidak hanya membunuh, PKI pun merampas
harta benda milik kerajaan. Pada tanggal 9 Maret 1946, PKI dibawah pimpinan
Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di
Tanjung Pura.
Pemogokan
Buruh SARBUPRI di Delanggu, Klaten
Menggerogoti
wibawa pemerintah yang sah adalah sebuah sistem pergerakan yang selalu
dilakukan PKI. Sekitar 1.500 pekerja pabrik karung goni dari tujuh perusahaan
perkebunan miliki Pemerintah di Delanggu, Klaten melakukan pemogokan pada
tanggal 23 Juni 1948. Mereka yang tergabung di dalam Serikat Buruh Perkebunan
Republik Indonesia (SARBUPRI)—organisasi buruh PKI—menuntut kenaikan upah.
Tuntutan yang sangat tidak masuk akal, mengingat Republik Indonesia baru saja
berdiri. Sementara Belanda masih terus-menerus merongrong Kemerdekaan RI dengan
kekuatan senjata maupun diplomasi Internasionalnya. Aksi ini akhirnya berakhir
pada tanggal 18 Juli 1948 setelah partai-partai politik mengeluarkan pernyataan
menyetujui Progam Nasional.
Kekacauan
Surakarta
Tampaknya
sejak awal Kemerdekaan, PKI memang hendak merebut kekuasaan terhadap
pemerintahan yang sah. Berbagai aksi adu-domba dilakukan PKI di wilayah
Surakarta, Jawa Tengah. Pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI
ke-3, yang diwarnai dengan pasar malam di Sriwedari, tiba-tiba PKI membakar
ruang pameran jawatan pertambangan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 19
Agustus 1948 tersebut kemudian terbongkar, sebagai kamuflase/kedok dari recana
makar yang dilakukan PKI dalam pemberontakan Madiun tanggal 18 September 1948.
Aksi pembakaran di Sriwedari tersebut sebagai “pemanasan” untuk pembantaian di
Madiun.
Pemberontakan
PKI di Madiun
Inilah
pengkhiatan PKI terhadap kedaulatan RI pada masa pasca Kemerdekaan RI.
Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 sampai saat ini
berusaha ditutupi oleh orang-orang PKI. Padahal, fakta sejarah sudah
membuktikan—di tengah upaya Republik Indonesia mempertahankan Kemerdekaan—PKI
justru “membokong” dan mengkhianati perjuangan yang telah dilakukan. Dengan
dalih kecewa atas perjanjian Renville, Amir Syarifuddin yang tersingkir posisi
dari pemerintahan Presiden Soekarno kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR). Seperti diketahui, Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh
Kabinet Hatta yang memang antikomunis. FDR ini beranggotakan Partai Sosialis,
PESINDO, Partai Buruh, PKI dan SOBSI.
Di Madiun
PKI membantai ulama dan kyai yang antikomunis. Tujuan tujuan memproklamasikan
Soviet Republik Indonesia, Madiun sempat jatuh di tangan PKI.
Dipimpin
Kolonel Djokosujono dan Sumarsono tanggal 18 September 1948, PKI
memproklamirkan Soviet Republik Indonesia. Sehari kemudian atau tanggal 19
September 1948, Muso membentuk pemerintahan baru, Pemerintah Front Nasional.
Muso sejak kedatangannya dari Moskow memang berhasil mempengaruhi
anggota-anggota TNI untuk bergabung. Disamping itu, Muso dengan liciknya
mengadu-domba antar kesatuan di TNI.
Atas
pemberontakan tersebut kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pada
tanggal 19 September 1948 dengan menyatakan : “Kemarin pagi PKI Muso mengadakan
coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di sana satu
Pemerintahan Soviet, di bawah pimpinan Muso. Bagimu pilih diantara dua. Iku
Muso dengan PKInya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka,
atau ikut Soekarno-Hatta, yang Isya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin
Negara Republik Indonesia kita, Indonesia yang merdeka, tidak dijajah Negara
mana pun jua.” Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyerukan : “Secepat
mungkin menghancurkan kaum pemberontak.” Selain itu, Menteri Agama KH Masjkur
yang juga tokoh Partai Masyumi menyatakan :”Perebutan kekuasaan oleh Muso di
Madiun adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin
dijalankan oleh musuh Republik.”
Pemberontakan
PKI Madiun ini berhasil dipadamkan. Madiun pun direbut kembali. Muso berhasil
ditembak mati pada tanggal 30 Oktober 1948 jam 11.00 di Semanding Timur
Ponorogo. Kemudian Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo dan gerombolannya
ditangkap. Amir Sjarifuddin dan Suripno berhasil ditangkap dan dihukum mati.
Wajar
apabila akhirnya gembong-gembong PKI dihukum mati. Selain melawan pada saat
diminta menyerah, mereka pun telah melakukan kekejaman terhadap masyarakat.
Sebagai contoh di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, KH Soelaiman
Zuhdi Affandi digelandang PKI secara keji. Sebelumnya di Pabrik Gula Gorang
Gareng puluhan orang tawanan PKI dibunuh secara keji. Selanjutnya, bersama
ratusan tawanan lain dibantai. Bahkan, KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur
hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Soco pada saat mengambil air wudlu. Pada
sumur tersebut ditemukan 108 kerangka jenazah. Kini korban keganasan PKI
tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kota Madiun. Begitulah kalau PKI
ingin berkuasa. Karena tidak mengenal Tuhan, maka pembantaian, mengubur manusia
hidup-hidup dianggap sebagai cara yang halal.
Tapi, dengan
segala kelicikannya, kemudian PKI mengatakan Pemberontakan Madiun karena
diprovokasi Hatta. Sungguh ini pemutar-balikkan fakta terhadap tragedi berdarah
yang sudah dilakukan. Persoalan kemudian Presiden Soekarno mengampuni tindakan
makar dan tindakan separatis yang dilakukan PKI. Sehingga pada Pemilu pertama
tahun 1955, PKI berhasil muncul sebagai kekuatan politik nomor 4 bersama PNI,
Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Aksi
Berdarah di Blora
Pasukan PKI
menyerang Markas Kepolisian Distrik Ngawen, Kabupaten Blora pada 18 September
1948. Setidaknya 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada tujuh polisi yang
masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari
Komandan Pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 September 1948.
Sementara tujuh polisi muda dieksekusi dengan cara keji. Ditelanjangi kemudian
leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah, tujuh polisi
dibuang ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian
ditembak mati.
Membantai
di Dungus
Setelah
Madiun direbut kembali oleh TNI, kemudian PKI pada tanggal 30 September 1948
melarikan diri ke Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Dungus. Sebenarnya
wilayah tersebut memang dipersiapkan sebagai basis pertahanan PKI. Dalam
kondisi terdesak PKI akhirnya membantai hampir semua tawanannya dengan cara
keji. Para korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Diantara
para korban ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan ulama.
Rangkaian pembunuhan oleh PKI masih dilanjutkan.
Pembantaian
Massal di Tirtomoyo
Ini tragedi
berdarah di Wonogiri, Jawa Tengah. Aksi yang dilakukan adalah dengan menculik
lawan-lawan politiknya. Pejabat pemerintahan, TNI, polisi, dan wedana menjadi
santapan empuk PKI. Di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di
Tirtomoyo, PKI menyekap sedikitnya 212 orang—terdiri dari para pejabat dan
masyarakat yang melawan partai berideologi Komunis tersebut. Aksi pembantaian
dilakukan sejak tanggal 4 Oktober 1948. Satu-persatu dan juga bersama-sama,
akhirnya 212 tawanan dibantai dengan keji.
Aksi
PKI di Tanjung Priok
Pasca
pemberontakan PKI Madiun dipadamkan, tidak serta merta kehidupan PKI berakhir
di Indonesia. PKI masih tetap tumbuh dan menyelusup di seluruh pelosok Negeri.
Wajar pemerintah tidak bisa membasmi habis PKI sampai ke akar-akarnya. Ini
sebabkan, pemerintah RI dan TNI juga sedang berhadapan langsung dengan Kolonial
Belanda yang tetap ingin menguasai Republik Indonesia.
Terbukti
aksi kekerasan masih terus dilakukan. Pada tanggal 6 Agustus 1951 malam,
Gerobolan Eteh (PKI) dengan kekuatan puluhan orang menggunakan senjata tajam
dan senjata api melakukan aksi di Tanung Priok. Mereka menyerang Asrama Mobile
Brigade Polisi dengan tujuan merebut senjata. Awal mulanya, seorang anggota
Gerombolan Eteh seolah-olah ingin menjenguk rekannya di Markas. Namun, secara
tiba-tiba anggota yang lain menyerang pos jaga asrama. Dalam aksi tersebut
Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 senjata bren, 7 karaben, dan 2 pistol.
Aksi
Barisan Tani Indonesia (BTI) di Tanjung Morawa
Tindakan
brutal dilakukan BTI dengan memprovokasi para petani di perkebunan tembakau di
desa Perdamaian, Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953. BTI adalah salah
satu underbouw PKI yang memang menggarap petani sebagai pendudukung kekuatan
massanya. Pada saat itu, Pemerintahan RI Karisedenan Sumatera Timur
merencanakan membuat sawah percontohan, namun ditentang oleh para penggarap
liar. Dengan dikawal pasukan polisi, lahan perkebunan tersebut terpaksa
dibuldozer. Menentang rencana tersebut BTI mengerahkan massa untuk melakukan
perlawanan kepada polisi dan aparat pemerintah.
DN
Aidit Membangkitkan Kembali PKI
Di bawah
tokoh-tokoh muda seperti DN Aidir, sejak tahun 1950 PKI melakukan konsolidasi kekuatan.
PKI pun berhasil menyatukan kembali kekuatannya yang telah berserakan setelah
Pemberontakan Madiun. Aksi yang terus dilakukan adalah menyebarkan pengaruhnya
di berbagai kalangan dan institusi. Untuk menyusun kekuasaan politik, PKI
menyusun metode perjuangan yang disebut dengan Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP)
Metode ini
merupakan rumusan yang dilakukan pada Kongres Nasional V PKI pada tanggal 14
Maret 1954. Metode tersebut meliputi : Perjuangan Gerilya di Desa, Bekerja
Intensif di Kalangan ABRI. Metode ini dilakukan secara tertutup. Sedangkan
untuk menyusup ke ABRI dilakukan oleh Biro Khusus PKI.
Kisah
tentang DN Aidit pun berlanjut. Sekretaris Jenderal Polit Biro CC PKI
mengeluarkan Statemen Polit Biro CC PKI, yang intinya meminta agar
Pemberontakan Madiun di peringati secara intern pada tanggal 13 September 1953.
Dalam pernyataannya, secara licik PKI membantah Pemberontakan Madiun bukan
dilakukan oleh PKI, tetapi akibat provokasi Pemerintah Hatta. Tindakan tegas
pemerintah dilakukan kepada DN Aidit dengan mengadilinya pada 25 November 1954.
Kemudian vonis dijatuhkan pada tanggal 25 Februari 1955 dan DN Aidit dinyatakan
bersalah.
LEKRA
Memberangus Lawan Seni dan Budayanya
PKI tidak
hanya memfokuskan diri pada bidang politik untuk membangun kekuatannya. Para
sastrawan, seniman dan budayawan juga direkrut. Lembaga Kebudayaan Rakyat
(LEKRA) memasukkan komunisme ke dalam seni dan sastra. Mempolitikkan budayawan
dan mendiskreditkan lawan. Pada tanggal 22 sampai 25 Maret 1963, LEKRA menyelenggarakan
Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia di Medan. Konferensi tidak hanya
membahas masuknya Komunisme di bidang sastra, juga menuntut dibentuknya Kabinet
Gotong Royong yang memungkinkan masuknya tokoh-tokoh PKI di dalamnya.
Salah satu
petinggi Lekra adalah Pramudya Ananta Toer. Pram juga dikenal sebagai Pemimpin
Redaksi Lembar Kebudayaan Lentera dari koran Bintang Timur. Koran inilah yang
menuding Hamka sebagai plagiator dengan berjudul Tenggelamnya Kapal Van der
Wijk. Tekanan politik terhadap karya-karya non Komunis dilakukan oleh Lekra.
Menghadapi gerakan Lekra para sastrawan seperti HB Jassin, Taufiq Ismail,
Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasoit, Goenawan Mohammad, Bur
Rasuanto, A Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Ras Siregar, D.S.
Moeljanto, Sjahwil, dam Djufri Tanissan merumuskan Manifes Kebudayaan untuk
melawan Manifes Politik yang dikeluarkan Lekra. Tetapi, dengan kekuatan politik
di tangan Presiden Soekarno pada saat itu (8 Mei 1964), Manifes Kebudayaan akhirnya
dilarang melakukan aktivitas.
Hujatan-hujatan
terhadap sastrawan Manifes Kebudayaan terus dilakukan. Penyair Chairil Anwar
(pelopor Angkatan 45) juga digugat. Seperti dikatakan Sitor Situmorang, Chairil
Anwar dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Chairil disebut sadar tidak sadar
telah masuk ke dalam jaringan kontra revolusioner. Bahkan buku-buku karya
sastra karya sastrawan di Manifes Kebudayaan dibakar oleh Lekra.
Serangan
terhadap Pelajar Islam Indonesia di Kanigoro
PKI melalui
Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) memang sungguh-sungguh
tidak beradap. Training Pelajar Islam Indonesia di kecamatan Kras, Kediri
tanggal 13 Januari 1965 diserang oleh PR dan BTN. Massa Komunis ini tidak hanya
menyiksa, melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar Islam perempuan.
Tidak hanya sampai di situ, massa PKI pun menginjak-injak Al-Quran. PKI memang
tidak mengenal Tuhan. Mereka pun memiliki pertunjukan Ludruk dengan lakon
”Matinya Gusti Allah”.
Tragedi
Bandar Betsi, Pematang Siantar
Sejarah ini
menunjukkan PKI memang brutal. Mereka pada tanggal 14 Mei 1965 melakukan aksi
sepihak yakni dengan menguasai secara tidak sah tanah-tanah miliki Negara.
Pemuda Rakyat, BTI, dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melakukan penanaman
secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX
Bandar Betsi. Sekitar 200 massa ikut serta dalam aksi tersebut. Pelda Sudjono
yang sedang ditugaskan di perkebunan secara kebetulan menyaksikan perilaku
anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan.
Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono.
Akibatnya Sudjono tewas dengan kondisi yang amat menyedihkan.
Kini salah
seorang putra pembunuh Sudjono bernama Muchtar Pakpahan aktif di organisasi
buruh SBSI dan kemudian mendirikan Partai Buruh dan mengikuti Pemilu 2009.
Pemberontakan
PKI 30 September 1965
Sejarah
berdarah kembali ditorehkan oleh PKI di Indonesia. Dengan menamakan diri
Gerakan 30 September 1965, mereka menghabisi tujuh orang Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.
Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean.
Jenderal A.H. Nasution yang sudah masuk dalam daftar pembantaian ternyata bisa
meloloskan diri. Hanya Ade Irma Nasution menjadi korban aksi keji pasukan PKI.
Menjadi fakta sejarah, para korban keganasan PKI tersebut dilemparkan ke dalam
sumur di Lubang Buaya. Sementara Mayjen Soeharto sebagai Pangkstrad tidak
diperhitungkan oleh PKI, sehingga tidak ikut dihabisi.
Instruksi
Letkol Untung (Komandan Gerakan 30 September 1965/PKI), pembantaian yang
diawali dengan penculikan dilakukan oleh tiga kelompok pasukan yang diberi nama
Pasukan Pasopati (dipimpin Lettu Dul Arief), Pringgondani (dipimpin Mayor Udara
Sujono) dan Bima Sakti (dipimpin Kapten Suradi).
ABRI/TNI
memang menjadi sasaran utama penyusupan PKI. Melalui Biro Khusus Central,
PKI mempengaruhi anggota TNI agar berpihak kepada mereka. Biro Khusus ini di
bawah kendali langsung DN Aidit. Oleh PKI, para anggota ABRI yang berhasil
dijaring disebut sebagai “perwira-perwira yang berpikiran maju.” Mereka yang
tercatat sebagai pendukung PKI antara lain : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro,
Brigjen TNI Soepardjo, Kolonel Inf. A Latief, Letnan Kolonel Untung, Mayor KKO
Pramuko Sudarmo, Letkol Laut Ranu Sunardi, Komodor Laut Soenardi, Letkol Udara
Heru Atmodjo, Mayor Udara Sujono, Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani, Brigjen
Pol. Soetarto, Komisaris Besar Polisi Imam Supoyo, Ajun Komisaris Besar Polisi
Anwas Tanuamidjaja, dan lain-lain
Pembantaian
terhadap petinggi militer yang oleh PKI dimaksudkan untuk merebut kekuasaan
dari Presiden Soekarno yang dikabarkan tengah menderita sakit. Namun, gerakan
ini mengalami kegagalan total, karena tidak mendapat dukungan dari rakyat.
Dalam bukuSoekarno File (karya
Antonie Dake) dan Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi tentang Konspirasi(karya
Victor M Fic) menyebutkan adanya dorongan dari Mao Tse Tung (Ketua Partai
Komunis Cina) yang bertemu dengan DN Aidit tanggal 5 Agustus 1965, agar
dilakukan pembunuhan terhadap Pimpinan TNI AD, karena Mao khawatir apabila
Presiden Soekarno meninggal, maka kekuasaan akan beralih kepada TNI Angkatan
Darat yang kontra terhadap PKI. Bahkan, kedua buku tersebut menyebutkan keterlibatan
Presiden Soekarno dalam pemberontakan G 30 S PKI.
Sebelum G 30
S 65/PKI meletus, aksi teror dan kekerasan sudah mewarnai politik di Indonesia.
PKI secara langsung dan organisasi-organisasi pendukungnya merasa di atas
angin, sehingga mengebiri hak-hak hidup organisasi massa lain. PKI bahkan
mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar HMI dibubarkan. PKI juga mengusulkan
dibentuknya angkatan ke-5—yakni mempersenjatai Barisan Tani Nelayan dan Pemuda
Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.
Situasi
politik memang semakin memanas. Di depan apel kesiagaan Dwikora pada tanggal 2
April 1965, DN Aidit mengatakan, “Manipol harus dibela dengan senjata, Manipol tidak bisa dibela
hanya dengan tangan kosong. Oleh sebab itu, latihan militer penting bagi orang-orang
revolusioner manipolis dengan tujuan membela Manipol dengan senjata.”
Pada saat
HUT PKI-45 tanggal 23 Mei 1965 di Stadion Utama Senayan, DN Aidit menyerukan
massa PKI meningkatkan ofensif revolusioner sampai ke puncak. Seruan ini
dirangkai pula dengan seruan pada tanggal 9 September 1965, “kita berjuang untuk sesuatu yang akan lahir. Kita kaum
revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi
lahir, dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi
cepat besar.” Seruan-seruan
DN Aidit tentu saja menjadi pemompa bagi kader-kader PKI di banyak daerah untuk
melakukan aksi sepihak.
Struktur
Pimpinan PKI, September 1965
Ketua
Comite Central : DN Aidit
Dewan
Harian Politbiro (Lima Anggota) : DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea
Politbiro
:
Dua
belas anggota penuh: DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea, Sakirman,
Njono, Mohammad Munir, Ruslan Wijayasastra, Jusuf Ajitorop, Asmu, Rewang,
Empat
calon anggota : Peris Pardede, A. Sanusi, Sucipto
Munandar, F. Runturambi
Panitera : Iskandar Subekti
Comite
Central : 85 anggota
(Dikutip dari buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September
dan Kudeta Suharto halaman 209 karya John Roosa)
Sejarah G 30
S 1965/PKI sebenarnya sangat terang bagi Indonesia. Tetapi, setelah pada masa
Reformasi terhitung sejak tahun 1998, anggota-anggota PKI yang sudah menghirup
udara bebas setelah menjalani hukuman penjara, melakukan ofensif
memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka juga melakukan pengkaderan dan
menyusupkan kader-kadernya di banyak sektor pemerintahan. Selain itu, dibentuk
pula organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan dan menuntut hak-hak
politik dan perdatanya.
Melalui
buku-buku, film, tulisan-tulisan lepas di internet dan media massa cetak,
pemutarbalikkan fakta sejarah dengan menempatkan diri sebagai ”korban”
dilakukan. Tidak cuma itu, tuntutan melalui ranah hukum dan politik dilakukan.
Namun, langkah-langkah tersebut selalu menemu kegagalan. Tetapi, mereka tidak
pernah berhenti menyebarkan virus Komunisme untuk mempengaruhi Bangsa
Indonesia.
PKI memang
telah dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966. Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi
ketetapan hukum untuk melarang ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme di
Indonesia. Pada masa Reformasi telah disahkan pula Undang Undang No 27/1999
tentang Keamanan Negara yang memberikan sanksi pidana sampai hukuman 12 tahun
penjara bagi orang dan organisasi massa yang berniat menggantikan ideologi
Pancasila melalui segala macam bentuk kegiatannya.
Namun demikian
disinyalir masih banyak yang berusaha menghidupkan idiologi terlarang itu dan
oleh karenanya harus diwaspadai.
PENUTUP
Rangkaian
perjalanan sejarah PKI sejak sebelum Kemerdekaan, setelah Kemerdekaan dan
Reformasi tetap konsisten mengusung ideologi kekerasan. Ajaran dedengkot
Komunis Internasional memang sudah dicangkokkan sebagai inspirasi para kader
Komunis untuk merebut kekuasaan di mana pun mereka bisa tumbuh. Indonesia yang
dikenal memiliki nilai-nilai keagamaan yang kukuh tentu saja tidak bisa menerima
kehadiran paham Komunis dalam segala bentuknya. Itulah mengapa, Pancasila
kemudian menjadi pilihan Negara dan Bangsa Indonesia, sebagai sebuah paham yang
menjadi inspirasi dalam pembangunan Nasional—baik pembangunan spiritual maupun
material.
Patut
disayangkan memang, anak-anak Bangsa yang seharusnya bisa ikut berperan aktif
dalam membangun karakter Bangsa, justru keblinger terhadap ajaran Marxisme,
Leninisme, Maoisme, dengan menggunakan topeng kepalsuan, mengatakan
memperjuangkan nasib rakyat. Padahal, sejarah Komunisme di dunia telah mencatat
lebih dari 100.000.000 nyawa manusia hilang sia-sia, hanya demi perbedaan paham
dan untuk mempertahankan kekuasaan.
Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia tidak mengenal adanya pembantaian terhadap nyawa manusia.
Namun, untuk menyokong agar ideologinya bisa diterima masyarakat, para kader
Komunis di mana pun bersedia melepas baju kekejamannya dan tampil sebagai
seorang humanis sejati. Artinya, sebelum cita-cita merebut kekuasaan berhasil,
Partai Komunis akan menggunakan atribut apa pun untuk melakukan penyamaran.
Dan, kini
para kader Komunis sedang gencar-gencarnya mengubah sejarah kekejaman mereka
menjadi sejarah penindasan terhadap diri mereka. Inilah upaya yang dilakukan
untuk menarik simpati dengan menampilkan wajah humanisme. Padahal, telah
menjadi fakta sejarah, PKI adalah pelaku kejahatan terhadap Bangsa Indonesia
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sungguh-sungguh licik. Padahal,
tokoh-tokoh elit PKI sendiri sudah mengakui, kalau PKI-lah yang berada di balik
Gerakan 30 September 1965 sehingga menyebabkan pertumpahan darah anak-anak
bangsa. Upaya menghapus jejak kekejaman PKI antara lain dilakukan dengan
menghapuskan Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan menghilangkan kata PKI
dari Gerakan 30 September 1965 di dalam buku pelajaran IPS/Sejarah Kurikulum 2004 dari tingkat SD sampai dengan
SMA. Tetapi, cara licik kader Komunis terbongkar dan akhirnya
Kejaksaan Agung pada bulan Mei 2007 melarang buku-buku tanpa menyebut PKI
digunakan di sekolah dan harus dimusnahkan.
Mohammad
Hatta sudah mengingatkan ”kalau ada orang Komunis yang mengatakan ia percaya
pada Tuhan, atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak
beres padanya.” Nah!!!!
Bahan
Bacaan
Dipodisastro,
Soemarno, 2007, Kesaksian Sukitman Penemu Lubang Buaya, Jakarta :
Yayasan Sukitman
Hartisekar,
Markonina dan Akrin Abadi. 2001, Mewaspadai Kuda Troyo Komunisme di Era Reformasi,
Jakarta : Pustaka Sarana Kajian
Ismail,
Taufiq, 2004, Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba,
Jakarta : Yayasan Titik Infinitum
Moeljanto DS
dan Taufiq Ismail, 1994, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk,
Jakarta : Mizan dan Harian Umum Republika
Mansur
Abubakar, 2008, Bunga Rampai Ex PKI, Komunis Gaya Baru-Ex PRD-PAPERNAS Memutar
Balikkan Fakta Sejarah, Kediri : Gerakan Nasional Patriot
Panduan
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya Jakarta, Pusat Sejarah TNI
Roosa, John,
2008, Dalih
Pembunuhan Massal, Jakarta : Hasta Mitra
Zon, Fadli
dan M Halwan Aliuddin, 2005, Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, Jakarta : Komite
Waspada Komunisme
“Sejak awal Kemerdekaan, PKI telah melakukan
serangkaian pembantaian di banyak wilayah RI. Mereka tidak segan membunuh untuk
merebut kekuasaan. Bukti-bukti otentik kekejaman PKI sesungguhnya sudah tidak
terbantahkan. Inilah sejarah kelam Komunisme di Indonesia”
Jakarta, Desember 2012
Sekapur Sirih
Perjalanan
sejarah ideologi Komunis di dunia telah membuktikan selalu melakukan
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ideologi yang dikembangak Karl Mark, Lenin,
Stalin, Mao, telah membanjiri jagat raya dengan darah. Buku Katastrofi
Mendunia, Marxisma, Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba yang ditulis Taufiq
Ismail, menyebutkan setidaknya 100 juta orang lebih dibantai termasuk di
Indonesia oleh rejim Komunis dan orang-orang Partai Komunis di Dunia. Ideologi
Komunis selalu pada intinya anti Hak Asasi Manusia, anti Demokrasi, dan anti
Tuhan. Sebab itu, menjadi ironi apabila masih banyak ”orang dan kelompok
masyarakat” masih menginginkan paham Komunis berkembang di Indonesia.
Partai Komunis
Indonesia (PKI) memang sudah dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966, namun
benarkah PKI sudah mati? Pada masa reformasi pada kenyataannya, para kader PKI
dan para simpatisannya berusaha keras memutar-balikan fakta atas segala
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah dilakukan sepanjang sejarahnya di
Indonesia. Dengan dalih ”meluruskan sejarah” mereka membanjiri toko-tokoh buku
dengan berbagai jenis buku untuk memutarbalikkan fakta sejarah. Tidak hanya
itu, para penggiat Komunisme melakukan provokasi melalui media massa cetak,
stasiun televisi, internet, film, musik, diskusi-diskusi, tuntutan hukum,
politik, dan selebaran-selebaran—yang pada intinya menempatkan orang-orang PKI
dan organisasi sayapnya seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, LEKRA, CGMNI, BTI, SOBSI,
dan lain-lain, sebagai korban. Padahal, sangat jelas sejak berdiri di
Indonesia, Partai Komunis Indonesia telah ”membokong” perjuangan Bangsa
Indonesia dalam menegakkan Kemerdekaan, Kedaulatan, Kesejahteraan, dan Keadilan
Sosial di Republik Indonesia.
Berkat
perlindungan Tuhan Yang Esa dan landasan idiil Pancasila serta UUD 1945, paham
Komunis beserta Partai Komunis Indonesia telah gagal total dalam
mencengkeramkan kekuasaannya. Tetapi, pada kenyataanya pula perjuangan
orang-orang Komunis dan kini beserta kader-kader mudanya, terus-menerus
menggerogoti kedamaian Bangsa Indonesia—mengadu-domba, memutarbalikkan fakta
sejarah, melakukan instabilitas sosial—dengan berlindung di balik perjuangan
Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Padahal, paham Komunis adalah anti Hak Asasi
Manusia, anti Demokrasi, dan anti Tuhan. Mereka selalu berdusta, manipulatif
dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Tulisan ini
berjudul Serigala Berbulu Domba (Sketsa Banjir Darah ala Partai
Komunis Indonesia) ini, memang tidak menulis secara panjang lebar
mengenai sejarah dan kekejaman komunis di Indonesia. Buku ini hanya menuliskan
secara singkat adanya fakta-fakta sejarah atraksi berdarah orang-orang Komunis
beserta PKI dalam mencapai tujuan: Kekuasaan. Dengan demikian, kita Bangsa
Indonesia yang mengenal adanya Tuhan dan menjadikan Pancasila sebagai pandangan
hidup dan UUD 1945 sebagai dasar Negara, sudah selayaknya tidak menerima paham
Komunis dalam segala bentuknya dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Nah, semoga
tulisan ini bermanfaat untuk kepentingan Bangsa dan Negara yang kita cintai
ini: Republik Indonesia.
Serigala
Berbulu Domba
(Sketsa
Banjir Darah ala Partai Komunis Indonesia)
Kata-kata
Mutiara
”Kalau ada
orang Komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang Islam mengaku
dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya”
(Mohammad Hatta, mantan Perdana Menteri RI yang juga mendalami
Marxisme bersama Soekarno)
***********************
”Kalau anak
muda baca Manifesto Komunis, belajar Marxisme-Leninisme, lantas tak tertarik,
maka dia anak muda yang bebal. Tapi, kalau sudah mendalami Marxisme-Leninisme,
sampai tua masih tetap komunis, maka dia sangat bebal”
(Sajuti Melik, Suami SK Trimurti yang juga mempelajari Marxisme)
*************************************
”Saya tak
bisa menjadi anggota PKI (lagi). Saya tidak dapat menerima
keseluruhannya, khususnya pandangan falsafahnya yang didasarkan atas
paham materialisme”
(SK Trimurti, mantan anggota PKI dan Menteri pada masa Orde Lama)
****************************************
”Persoalan
ideologi Komunis juga tidak semata-mata persoalan politik dan hukum, tetapi
juga menyangkut hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Karena, ideologi Komunis tidak mengakui adanya Tuhan, maka ajaran
Komunis dalam segala bentuknya tidak pantas hidup di Indonesia. Siapa pun dan
generasi muda hendaknya jangan sampai terjerat oleh bujuk rayu orang-orang
Komunis.”
(H. Sukitman, polisi penemu Lubang Buaya dan saksi kebiadaban orang-orang
PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat dalam membantai para Jenderal di Lubang Buaya)
Serigala
Berbulu Domba
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965/PKI merupakan tragedi politik dan kemanusiaan di
Indonesia. Dan, perjalanan sejarah telah membuktikan, ideologi Komunis yang
diusung oleh Partai Komunis Indonesia, selalu menghalalkan segala cara untuk
meraih kekuasaan. Mereka tidak akan berhenti melakukan kekacauan sebelum puncak
kekuasaan direbut. Sebab itu, setiap komponen Bangsa dan generasi muda harus
selalu mengingat pergerakan Komunis tidak akan sirna dari Indonesia.
Pada saat
krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia, di mana kondisi
perekonomian masyarakat melorot dan pengangguran meningkat, Komunis akan
berusaha keras mencengkeramkan pengaruhnya—dengan dalih kesejahteraan dan
keadilan sosial—dan mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan anarkisme.
Seluruh
saluran komunikasi sosial, seperti media massa, seni-budaya, sastra, film,
musik, buku-buku, dialog-dialog, dan lain-lain, dimanfaatkan oleh para juru
kampanye Komunis Gaya Baru, untuk mendapat simpati seluas-luasnya. Mereka
menuduh Soeharto dan perpecahan di tubuh TNI AD yang berada di balik G. 30 S
PKI. Sungguh, kampanye tersebut merupakan pengingkaran terhadap fakta sejarah.
Pada saat ini,
dengan dalih demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) para kader PKI dan
simpatisannya tengah berusaha keras memperjuangkan hak-hak perdatanya kepada
pemerintah. Dengan tujuan utama, agar mereka ditempatkan sebagai korban bukan
sebagai pelaku kejahatan politik. Dengan cara memutarbalikkan fakta dan membuat
versi-versi baru berdasarkan rekayasa sebagai korban dan saksi sejarah. Selain
mengacaukan fakta sejarah yang sesungguhnya, cara-cara demikian dimaksudkan
untuk mendapatkan simpati publik sekaligus mengubah paradigma kesesatan
Komunisme menjadi kebenaran Komunisme. Fakta kekejaman PKI disulap menjadi
kekejaman TNI dan orang-orang Islam. Mereka secara intensif
mensosialisosialisasikan kampanye hitam tersebut melalui media massa cetak,
internet, buku-buku, dan selebaran-selebaran yang memprovokasi masyarakat.
Pada saat
ini, upaya menyembunyikan fakta sejarah, menyangkut kekejaman PKI terutama
pemberontakan Madiun 1948 dan G 30 S PKI terus dilakukan. Sebut saja, misalnya,
tempat penguburan hidup-hidup Lubang Buaya dibantah. G 30 S PKI adalah akibat
konflik internal TNA AD. Mereka juga gencar mensosialisasikan Soeharto sebagai
dalang di balik G 30 S PKI dan dalang pembantaian massal. Sungguh hal tersebut
sebagai sebuah fitnah yang keji. Karena, dalang pembantaian tersebut adalah PKI
yang memang sudah berhasil menyusupkan kader-kadernya di berbagai bidang
pemerintahan, baik di tubuh militer, instansi-instansi pemerintah dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Para kader
Komunis memang tidak segan-segan melakukan sosialisasi dengan individu dan
kelompok masyarakat yang belum dapat menggapai kesejahteraan dalam
kehidupannya. Mereka seolah memperjuangkan hak-hak rakyat, buruh, tani, nelayan
dan mempengaruhi mahasiswa bahkan pelajar untuk melakukan demonstrasi. Padahal
di balik ”perjuangan kemanusiaan” itu, para kader Komunis melakukan ”cuci otak”
dengan mengajarkan Komunisme. Tanpa terasa indoktrinasi ideologi Komunis
ditanamkan. Bagi mereka yang tidak menyadari, kemudian ”keblinger” dan
ikut-ikut menjadi corong berkumandangnya Komunisme di Indonesia.
Para kader
Komunis memang bagai ”serigala berbulu domba”. Mereka seolah-oleh menjadi
teman, saudara, satu nasib dan satu perjuangan, namun dibalik itu semua mereka
akan menerkam setiap orang: baik teman maupun lawan untuk satu kepentingan :
Kekuasaan dengan Ideologi Komunis.
Penyusupan
Menjadi Pola Perjuangan
Komunis
mulai dikenal di Indonesia diawali dengan terbentuknya Indische Social Democratische
Vereniging (ISDV) atau
Perserikatan Sosial Demokrat Hindia. Organisasi ini didirikan pada 9 Mei 1914
di Surabaya oleh Hendrickus Josephus Franciscus Marie Sneevliet alias Maring
dan dibantu Adolf Baars. Sebagai penganut paham Komunis, Maring paham betul
bagaimana mengembangkan dengan cara melakukan infiltrasi terhadap organisasi
yang didirikan pribumi. Salah satunya infeltrasi ke Sarekat Islam (SI).
Adalah
Semaoen yang menjadi kaki tangan ISDV dan melakukan penyusupan. Akibatnya SI
kemudian terbelah menjadi SI ”Merah” pimpinan Semaoen dan SI ”Putih” pimpinan
HOS Tjokroaminoto. Tanggal 23 Mei 1920, Semaoen mengumumkan manifesto
berdirinya Perserikatan Komunsi Hindia di kantor SI Semarang. Organisasi inilah
yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI pun bergabung
dengan partai Komintern (Komunis Internasional). Garis politik yang dianut
berdasarkan ajaran Lenin. Yakni : Harus menggunakanpetty bourgeoisie dan Menggunakan aspirasi
nasional rakyat terjajah (Fadlizon dan H. Alwan Aliuddin dalam Kesaksian Korban Kekejaman
PKI 1948, halaman 6)
Sebagai
kepanjangan tangan ISDV, PKI disetujui bekerja di dalam kalangan SI, yang
disebut sebagai organisasi proletar berbaju Islam. Dijelaskan pula, revolusi
Asia berdasarkan ”borjuis demokratik” dengan aksi landreform yang mencita-citakan tanah untuk
petani penggarap tanah. Artinya, tanah-tanah yang dikuasai para ”tuan tanah”
harus direbut secara paksa.
Yang
menarik—dan kini digembar-gemborkan oleh kader-kader Komunis, bahwa PKI juga
pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda 1926-1927. Pemberontakan di Jawa
(Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri dan Banten) dan Sumatera
(Padang, Silungkang dan Padang Panjang), pada kenyataan justru menimbulkan
korban pada rakyat. Pemberontakan ini dapat dengan mudah diluluhlantakkan
Belanda. Akibatnya, 9 orang digantung, 13.000 orang ditahan dan kemudian
sebagian diasingkan di Tanah Merah, Digul.
Pada tahun
1927, PKI Sumatera Barat terlambat memberontak. PKI sendiri memprovokasi kaum
tani yang muslimin. Mereka memang menjadi korban kekejaman Belanda karena harus
membayar pajak yang terlampau tinggi. Dari pemberontakan, PKI memang melakukan
tipu-muslihat dengan mengeksploitir penderitaan para petani. Sesungguhnya PKI
hanya mengumpankan kepada Belanda. Orang-orang PKI mengatakan, apabila
memberontak, akan datang kapal terbang Angkatan Udara Turki ditugaskan oleh
Kemal Ataturk membantu pemberontakan (Brackman, seperti dikutip
Taufiq Ismail dalam Katastrofi Mendunia…., halaman xxvi).
Fakta
sejarah itulah yang menjadi catatan penting dalam kancah sejarah Indonesia
sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamasikan. Ketika banyak organisasi
dan para pejuang kemerdekaan mulai mengumandangkan perang dan upaya
mempersatukan perlawanan terhadap Belanda, PKI tidak ikut serta di dalamnya.
Jadi, tidak alasan dan fakta sejarah, yang bisa menempatkan PKI sebagai
organisasi dan kader-kader pada jajaran heroisme perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Tetapi,
setelah Kemerdekaan mendapat dukungan rakyat, beberapa kader PKI dari luar
negeri kembali. Sebut saja Sardjono dari Australia dan Alimin dari Cina. Mereka
kemudian melakukan penyusupan ke Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh.
Mereka pun membangun organisasi dan mendidik kader-kadernya sebagai kader yang
memiliki militansi tinggi.
Pengkhiatan
demi pengkhiatan pun dilakukan. PKI tidak peduli dengan perjuangan Bangsa
Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Kekejaman PKI terukir dengan nyata,
ketika ”membokong” Kemerdekaan RI dengan melakukan pemberontakan PKI/FDR di
Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang disertai dengan pembunuhan
keji ini dipimpin Muso, yang baru kembali dari Moskow. FDR didirikan oleh Amir
Syarifuddin, yang beroposisi dari Kabinet Mohammad Hatta. Kabinet Amir
Syarifuddin jatuh setelah adanya Perjanjian Renville. Seperti diketahui Kabinet
Hatta adalah kabinet anti Komunis dan berhasil mencegah penyusupan kader-kader
PKI di tubuh militer dengan cara melakukan reorganisasi Angkatan Perang
Republik Indonesia.
Penyusupan
memang menjadi pola gerakan PKI. Setelah melakukan penyusupan dan memiliki
kader yang handal, PKI pun melakukan pemberontakan berdarah. Itulah sebabnya,
mengapai ada tokoh-tokoh PKI dari kalangan Islam, militer, guru, buruh, tani,
nelayan, mahasiswa, dan lain-lain. Para seniman, sastrawan, dan budayawan
dengan alasan kebebasan berkreasi dicekoki ajaran Komunis.
Kekuasaan
Komunis Membantai Lebih Dari 120 Juta Jiwa Manusia
Kekerasan
menjadi ciri khas dalam pelaksanaan rejim Komunis di dunia. Rejim Komunis yang
anti Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya.
Simak saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883), bila waktu tiba kita tidak
akan menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami
tidak meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba, kami tidak
mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror. Cuma ada satu cara untuk
memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu, dan cara itu adalah teror
revolusioner.
Tidak kalah
ketinggalan dengan Karl Marx, Vladimir Ilich Ullyan Lenin tahun 1870-1924 yang
mengatakan, saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah-tengah
revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan
keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan tidak jadi soal bila ¾ penduduk
dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme,
kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.
Copy paste
ajaran Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Komunisme yang gemar memainkan peran
sebagai algojo, diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di Indonesia.
Gubernur Jawa Timur, Soerjo, yang memiliki peran penting di dalam kancah perang
Kemerdekaan di Surabaya, dibantai habis. Kekejaman PKI yang berhasil direkam
oleh Maksum, Sunyoto, Agus dan Zainuddin A dalam buku Lubang-lubang Pembantaian
Petualangan PKI di Madiun, mengungkapkan, dubur warga Desa Pati dan
Wirosari ditusuk bambu runcing dan mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah
sawah hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Salah
seorang diantaranya wanita—ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga
ditancamkan di tengah sawah. Algojo PKI merentangkan tangga membelintang sumur,
kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika telentang terikat itu,
algojo menggergaji badannya sampai putus dua, langsung dijatuhkan ke dalam
sumur.
Lubang-lubang
pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya
adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak
tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.
Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean),
dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan
bergembiraria melihat para Jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya
di Jakarta Timur.
Lubang-lubang
lain di banyak daerah di Jawa juga sudah disiapkan oleh para kader PKI. Daftar
nama lawan-lawan politik sudah disusun untuk segera dieksekusi, karena tidak
satu paham dengan aliran politik PKI. Namun, kegagalan Pemberontakan G 30 S
1965/PKI menyebabkan Dewan Revolusi tidak bisa menindaklanjuti aksi berdarah
yang sudah dilakukan di Jakarta.
Kini, para
anggota PKI, anggota-anggota organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan
diri dengan pengakuan-pengakuan palsu : seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan Korban Tragedi
’65” yang ditulis Ita
F. Nadia dan diterbitkan Galang Press—sebuah penerbit di Yogyakarta. Padahal,
bau anyir darah begitu melekat dalam aksi-aksi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh PKI. Para penulis asing pun ikut hiruk-pikuk mencuci ”piring
kotor” PKI dengan memanfaatkan bahan-bahan dan pengakuan-pengakuan sepihak dari
orang-orang PKI. Apakah mereka telah terbeli oleh organisasi Komunis
Internasional atau telah menjadi kaki tangan kekuatan asing yang ingin
menghancurkan kembali Republik Indonesia?
Inilah
pembantaian yang sudah ditorehkan oleh penguasa Komunis di belahan dunia lain.
Setidaknya terdapat 100 juta lebih nyawa yang dibantai. Sebuah jumlah yang
melebihi jumlah korban Perang Dunia I dan II. Banjir darah dan banjir darah
menjadi ciri khas kekuasaan Komunis di dunia.
500.000
rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923)
6.000.000
petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929)
40.000.000
dibantai Stalin (1925-1953)
50.000.000
penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tsetung (1974-1976)
2.500.000
rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979)
1.000.000
rakyat Eropa Timur diberbagai Negara dibantai rejim Komunis setempat dibantu
Rusia Soviet (1950-1980)
150.000
rakyat Amerika Latin dibantai rejim Komunis di sana.
1.700.000
rakyat berbagai Negara di Afrika dibantai rejim Komunis.
1.500.000
rakyat Afganistan dibantai Najibullah (1978-1987)
(DIKUTIP
DARI BUKU KATASTROFI MENDUNIA KARYA TAUFIQ ISMAIL, TAHUN 2004)
Akankah
Komunisme dibiarkan melakukan penyusupan dalam sendi-sendi kehidupan sosial
kemasyarakatan? Ingat, Partai Komunis Indonesia dibubarkan pada tanggal 12
Maret 1966. Melalui Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 ajaran Marxisme, Leninisme,
dan Komunisme dilarang di Indonesia. Kemudian Undang-undang No 27 Tahun 1999
tentang Keamanan Negara mengukuhkan larangan bagi siapa pun untuk menyebarkan
Komunisme dalam segala bentuknya dengan sanksi pidana seberat-beratnya 12 tahun
kurungan penjara. Sesungguhnya sanksi hukum tersebut terbilang ringan. Di AS para
pemberantok tidak hanya dikurung di dalam penjara, bahkan harus diasingkan dari
kehidupan sosial kemasyarakatan.
Menurut
Prof. Dr. Moh. Noor Syam, guru besar Universitas Negeri Malang, gerakan
menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Komunisme bisa digolongkan
sebagai bentuk separatisme. Sehingga, hukum harus ditegakkan kepada mereka
dengan hukuman yang setimpal. Artinya, penegak hukum, pemerintah dan
Negara harus tegas menjaga Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia.
Tragedi-tragedi
Berdarah Itu…
Sudah
menjadi ideologi, paham Komunis selalu menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuan. Pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa yang dilarang oleh agama
apa pun di dunia, justru menjadi pola perjuangan orang-orang Komunis di dunia
termasuk di Indonesia. Inilah bukti aksi berdarah yang dilakukan Komunis di
Indonesia.
Peristiwa
Tiga Daerah
Peristiwa
ini setidaknya terjadi dari tanggal 8 Oktober – 9 November 1945.
Peristiwa ini terjadi di tengah upaya Bangsa Indonesia mempertahankan
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat, kelompok Komunis bawah tanah
mulai berubah menjadi organisasi massa dan pemuda. Sebut saja Angkatan Pemuda
Indonesia (API) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Mereka mulai
melakukan aksi penggantian pejabat pemerintah di tiga (3) kabupaten :
Karisidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan Pemalang.
Pada tanggal
8 Oktober 1945, AMRI Slawi di bawah pimpinan Sakirman dan AMRI Talang dipimpin
Kutil melakukan teror dengan menangkapi dan membunuh pejabat pemerintah. Aksi
sepihak dilanjutkan pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI menyerbu kota
Tegal—yakni kantor kabupaten dan Markas TKR. Aksi ini gagal. Namun, tokoh-tokoh
Komunis membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk perebutan
kekuasaan di Karisidenan Pekalongan.
Aksi
Gerombolan Ce’Mamat di Banten
Tokoh
Komunis ini bernama Ce’Mamat. Dia terpilih menjadi Ketua Komite Nasional
Indonesia (KNI). Ce’Mamat merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet.
Dibentuklah Dewan Pemerintahan Rakyat Serang (DPRS) pada tanggal 17 Oktober
1945. Selanjutnya merebut pemerintahan Karisidenan Banten. Dengan menggunakan
kekuatan laskar-laskarnya, teror pun dilakukan. Gerombolan Ce’Mamat berhasil
menculik dan membunuh Bupati Lebak R. Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak
pada tanggal 9 Desember 1945.
Pasukan
Ubel-ubel Membunuh Oto Iskandar Dinata
Satu lagi
bukti kekejaman Komunis di Indonesia. Peristiwa ini bermula pada tanggal 18
Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin Ahmad Khairun
didampingi tokoh-tokoh bawah tanah Komunis, mengambil alih kekuasaan Pemerintah
Republik Indonesia di Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Tidak hanya
sampai di situ. Dewan ini pun membentuk laskar-laskar dengan nama Ubel-ubel.
Aksi kekerasan dan teror dilakukan. Puncaknya pada tanggal 12 Desember 1945,
Laskar Hitam dibawah pimpinan Usman di daerah Mauk, membunuh tokoh nasional Oto
Iskandar Dinata.
Pemberontakan
PKI di Cirebon
PKI di bawah
pimpinan Mr. Yoesoef dan Mr. Soeprapto mengadakan konferensi Laskar Merah.
Sekitar 3000 anggota Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur hadir di
Cirebon pada tanggal 12 Februari 1946. Rupanya konferensi hanyalah kedok untuk
merebut kekuasaan. Karena, pada kenyataannya Laskar Merah justru melucuti TRI,
menguasai gedung-gedung vital seperti stasiun radio dan pelabuhan. Namun, pada
tanggal 14 Februari 1946, aksi sepihak Laskar Merah tersebut berhasil
digagalkan kembali oleh TRI. Kota Cirebon pun berhasil dikuasai kembali oleh
TRI.
Revolusi
Sosial di Langkat
Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945 ternyata tidak sepenuhnya bisa diterima oleh sejumlah
kerajaan di Sumatera Timur. Kondisi tersebut dimanfaat oleh PKI untuk melakukan
aksi sepihak. Inilah yang menimpa Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung
Pura. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadi Revolusi Sosial yang dilakukan PKI di
Langkat. Secara paksa PKI merebut kekuasaan para pemerintahan kerajaan bahkan
membunuh raja-raja dan keluarganya. Tidak hanya membunuh, PKI pun merampas
harta benda milik kerajaan. Pada tanggal 9 Maret 1946, PKI dibawah pimpinan
Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di
Tanjung Pura.
Pemogokan
Buruh SARBUPRI di Delanggu, Klaten
Menggerogoti
wibawa pemerintah yang sah adalah sebuah sistem pergerakan yang selalu
dilakukan PKI. Sekitar 1.500 pekerja pabrik karung goni dari tujuh perusahaan
perkebunan miliki Pemerintah di Delanggu, Klaten melakukan pemogokan pada
tanggal 23 Juni 1948. Mereka yang tergabung di dalam Serikat Buruh Perkebunan
Republik Indonesia (SARBUPRI)—organisasi buruh PKI—menuntut kenaikan upah.
Tuntutan yang sangat tidak masuk akal, mengingat Republik Indonesia baru saja
berdiri. Sementara Belanda masih terus-menerus merongrong Kemerdekaan RI dengan
kekuatan senjata maupun diplomasi Internasionalnya. Aksi ini akhirnya berakhir
pada tanggal 18 Juli 1948 setelah partai-partai politik mengeluarkan pernyataan
menyetujui Progam Nasional.
Kekacauan
Surakarta
Tampaknya
sejak awal Kemerdekaan, PKI memang hendak merebut kekuasaan terhadap
pemerintahan yang sah. Berbagai aksi adu-domba dilakukan PKI di wilayah
Surakarta, Jawa Tengah. Pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI
ke-3, yang diwarnai dengan pasar malam di Sriwedari, tiba-tiba PKI membakar
ruang pameran jawatan pertambangan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 19
Agustus 1948 tersebut kemudian terbongkar, sebagai kamuflase/kedok dari recana
makar yang dilakukan PKI dalam pemberontakan Madiun tanggal 18 September 1948.
Aksi pembakaran di Sriwedari tersebut sebagai “pemanasan” untuk pembantaian di
Madiun.
Pemberontakan
PKI di Madiun
Inilah
pengkhiatan PKI terhadap kedaulatan RI pada masa pasca Kemerdekaan RI.
Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 sampai saat ini
berusaha ditutupi oleh orang-orang PKI. Padahal, fakta sejarah sudah
membuktikan—di tengah upaya Republik Indonesia mempertahankan Kemerdekaan—PKI
justru “membokong” dan mengkhianati perjuangan yang telah dilakukan. Dengan
dalih kecewa atas perjanjian Renville, Amir Syarifuddin yang tersingkir posisi
dari pemerintahan Presiden Soekarno kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR). Seperti diketahui, Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh
Kabinet Hatta yang memang antikomunis. FDR ini beranggotakan Partai Sosialis,
PESINDO, Partai Buruh, PKI dan SOBSI.
Di Madiun
PKI membantai ulama dan kyai yang antikomunis. Tujuan tujuan memproklamasikan
Soviet Republik Indonesia, Madiun sempat jatuh di tangan PKI.
Dipimpin
Kolonel Djokosujono dan Sumarsono tanggal 18 September 1948, PKI
memproklamirkan Soviet Republik Indonesia. Sehari kemudian atau tanggal 19
September 1948, Muso membentuk pemerintahan baru, Pemerintah Front Nasional.
Muso sejak kedatangannya dari Moskow memang berhasil mempengaruhi
anggota-anggota TNI untuk bergabung. Disamping itu, Muso dengan liciknya
mengadu-domba antar kesatuan di TNI.
Atas
pemberontakan tersebut kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pada
tanggal 19 September 1948 dengan menyatakan : “Kemarin pagi PKI Muso mengadakan
coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di sana satu
Pemerintahan Soviet, di bawah pimpinan Muso. Bagimu pilih diantara dua. Iku
Muso dengan PKInya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka,
atau ikut Soekarno-Hatta, yang Isya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin
Negara Republik Indonesia kita, Indonesia yang merdeka, tidak dijajah Negara
mana pun jua.” Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyerukan : “Secepat
mungkin menghancurkan kaum pemberontak.” Selain itu, Menteri Agama KH Masjkur
yang juga tokoh Partai Masyumi menyatakan :”Perebutan kekuasaan oleh Muso di
Madiun adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin
dijalankan oleh musuh Republik.”
Pemberontakan
PKI Madiun ini berhasil dipadamkan. Madiun pun direbut kembali. Muso berhasil
ditembak mati pada tanggal 30 Oktober 1948 jam 11.00 di Semanding Timur
Ponorogo. Kemudian Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo dan gerombolannya
ditangkap. Amir Sjarifuddin dan Suripno berhasil ditangkap dan dihukum mati.
Wajar
apabila akhirnya gembong-gembong PKI dihukum mati. Selain melawan pada saat
diminta menyerah, mereka pun telah melakukan kekejaman terhadap masyarakat.
Sebagai contoh di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, KH Soelaiman
Zuhdi Affandi digelandang PKI secara keji. Sebelumnya di Pabrik Gula Gorang
Gareng puluhan orang tawanan PKI dibunuh secara keji. Selanjutnya, bersama
ratusan tawanan lain dibantai. Bahkan, KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur
hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Soco pada saat mengambil air wudlu. Pada
sumur tersebut ditemukan 108 kerangka jenazah. Kini korban keganasan PKI
tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kota Madiun. Begitulah kalau PKI
ingin berkuasa. Karena tidak mengenal Tuhan, maka pembantaian, mengubur manusia
hidup-hidup dianggap sebagai cara yang halal.
Tapi, dengan
segala kelicikannya, kemudian PKI mengatakan Pemberontakan Madiun karena
diprovokasi Hatta. Sungguh ini pemutar-balikkan fakta terhadap tragedi berdarah
yang sudah dilakukan. Persoalan kemudian Presiden Soekarno mengampuni tindakan
makar dan tindakan separatis yang dilakukan PKI. Sehingga pada Pemilu pertama
tahun 1955, PKI berhasil muncul sebagai kekuatan politik nomor 4 bersama PNI,
Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Aksi
Berdarah di Blora
Pasukan PKI
menyerang Markas Kepolisian Distrik Ngawen, Kabupaten Blora pada 18 September
1948. Setidaknya 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada tujuh polisi yang
masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari
Komandan Pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 September 1948.
Sementara tujuh polisi muda dieksekusi dengan cara keji. Ditelanjangi kemudian
leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah, tujuh polisi
dibuang ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian
ditembak mati.
Membantai
di Dungus
Setelah
Madiun direbut kembali oleh TNI, kemudian PKI pada tanggal 30 September 1948
melarikan diri ke Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Dungus. Sebenarnya
wilayah tersebut memang dipersiapkan sebagai basis pertahanan PKI. Dalam
kondisi terdesak PKI akhirnya membantai hampir semua tawanannya dengan cara
keji. Para korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Diantara
para korban ada anggota TNI, polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan ulama.
Rangkaian pembunuhan oleh PKI masih dilanjutkan.
Pembantaian
Massal di Tirtomoyo
Ini tragedi
berdarah di Wonogiri, Jawa Tengah. Aksi yang dilakukan adalah dengan menculik
lawan-lawan politiknya. Pejabat pemerintahan, TNI, polisi, dan wedana menjadi
santapan empuk PKI. Di sebuah ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di
Tirtomoyo, PKI menyekap sedikitnya 212 orang—terdiri dari para pejabat dan
masyarakat yang melawan partai berideologi Komunis tersebut. Aksi pembantaian
dilakukan sejak tanggal 4 Oktober 1948. Satu-persatu dan juga bersama-sama,
akhirnya 212 tawanan dibantai dengan keji.
Aksi
PKI di Tanjung Priok
Pasca
pemberontakan PKI Madiun dipadamkan, tidak serta merta kehidupan PKI berakhir
di Indonesia. PKI masih tetap tumbuh dan menyelusup di seluruh pelosok Negeri.
Wajar pemerintah tidak bisa membasmi habis PKI sampai ke akar-akarnya. Ini
sebabkan, pemerintah RI dan TNI juga sedang berhadapan langsung dengan Kolonial
Belanda yang tetap ingin menguasai Republik Indonesia.
Terbukti
aksi kekerasan masih terus dilakukan. Pada tanggal 6 Agustus 1951 malam,
Gerobolan Eteh (PKI) dengan kekuatan puluhan orang menggunakan senjata tajam
dan senjata api melakukan aksi di Tanung Priok. Mereka menyerang Asrama Mobile
Brigade Polisi dengan tujuan merebut senjata. Awal mulanya, seorang anggota
Gerombolan Eteh seolah-olah ingin menjenguk rekannya di Markas. Namun, secara
tiba-tiba anggota yang lain menyerang pos jaga asrama. Dalam aksi tersebut
Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 senjata bren, 7 karaben, dan 2 pistol.
Aksi
Barisan Tani Indonesia (BTI) di Tanjung Morawa
Tindakan
brutal dilakukan BTI dengan memprovokasi para petani di perkebunan tembakau di
desa Perdamaian, Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953. BTI adalah salah
satu underbouw PKI yang memang menggarap petani sebagai pendudukung kekuatan
massanya. Pada saat itu, Pemerintahan RI Karisedenan Sumatera Timur
merencanakan membuat sawah percontohan, namun ditentang oleh para penggarap
liar. Dengan dikawal pasukan polisi, lahan perkebunan tersebut terpaksa
dibuldozer. Menentang rencana tersebut BTI mengerahkan massa untuk melakukan
perlawanan kepada polisi dan aparat pemerintah.
DN
Aidit Membangkitkan Kembali PKI
Di bawah
tokoh-tokoh muda seperti DN Aidir, sejak tahun 1950 PKI melakukan konsolidasi kekuatan.
PKI pun berhasil menyatukan kembali kekuatannya yang telah berserakan setelah
Pemberontakan Madiun. Aksi yang terus dilakukan adalah menyebarkan pengaruhnya
di berbagai kalangan dan institusi. Untuk menyusun kekuasaan politik, PKI
menyusun metode perjuangan yang disebut dengan Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP)
Metode ini
merupakan rumusan yang dilakukan pada Kongres Nasional V PKI pada tanggal 14
Maret 1954. Metode tersebut meliputi : Perjuangan Gerilya di Desa, Bekerja
Intensif di Kalangan ABRI. Metode ini dilakukan secara tertutup. Sedangkan
untuk menyusup ke ABRI dilakukan oleh Biro Khusus PKI.
Kisah
tentang DN Aidit pun berlanjut. Sekretaris Jenderal Polit Biro CC PKI
mengeluarkan Statemen Polit Biro CC PKI, yang intinya meminta agar
Pemberontakan Madiun di peringati secara intern pada tanggal 13 September 1953.
Dalam pernyataannya, secara licik PKI membantah Pemberontakan Madiun bukan
dilakukan oleh PKI, tetapi akibat provokasi Pemerintah Hatta. Tindakan tegas
pemerintah dilakukan kepada DN Aidit dengan mengadilinya pada 25 November 1954.
Kemudian vonis dijatuhkan pada tanggal 25 Februari 1955 dan DN Aidit dinyatakan
bersalah.
LEKRA
Memberangus Lawan Seni dan Budayanya
PKI tidak
hanya memfokuskan diri pada bidang politik untuk membangun kekuatannya. Para
sastrawan, seniman dan budayawan juga direkrut. Lembaga Kebudayaan Rakyat
(LEKRA) memasukkan komunisme ke dalam seni dan sastra. Mempolitikkan budayawan
dan mendiskreditkan lawan. Pada tanggal 22 sampai 25 Maret 1963, LEKRA menyelenggarakan
Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia di Medan. Konferensi tidak hanya
membahas masuknya Komunisme di bidang sastra, juga menuntut dibentuknya Kabinet
Gotong Royong yang memungkinkan masuknya tokoh-tokoh PKI di dalamnya.
Salah satu
petinggi Lekra adalah Pramudya Ananta Toer. Pram juga dikenal sebagai Pemimpin
Redaksi Lembar Kebudayaan Lentera dari koran Bintang Timur. Koran inilah yang
menuding Hamka sebagai plagiator dengan berjudul Tenggelamnya Kapal Van der
Wijk. Tekanan politik terhadap karya-karya non Komunis dilakukan oleh Lekra.
Menghadapi gerakan Lekra para sastrawan seperti HB Jassin, Taufiq Ismail,
Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasoit, Goenawan Mohammad, Bur
Rasuanto, A Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Ras Siregar, D.S.
Moeljanto, Sjahwil, dam Djufri Tanissan merumuskan Manifes Kebudayaan untuk
melawan Manifes Politik yang dikeluarkan Lekra. Tetapi, dengan kekuatan politik
di tangan Presiden Soekarno pada saat itu (8 Mei 1964), Manifes Kebudayaan akhirnya
dilarang melakukan aktivitas.
Hujatan-hujatan
terhadap sastrawan Manifes Kebudayaan terus dilakukan. Penyair Chairil Anwar
(pelopor Angkatan 45) juga digugat. Seperti dikatakan Sitor Situmorang, Chairil
Anwar dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Chairil disebut sadar tidak sadar
telah masuk ke dalam jaringan kontra revolusioner. Bahkan buku-buku karya
sastra karya sastrawan di Manifes Kebudayaan dibakar oleh Lekra.
Serangan
terhadap Pelajar Islam Indonesia di Kanigoro
PKI melalui
Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) memang sungguh-sungguh
tidak beradap. Training Pelajar Islam Indonesia di kecamatan Kras, Kediri
tanggal 13 Januari 1965 diserang oleh PR dan BTN. Massa Komunis ini tidak hanya
menyiksa, melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar Islam perempuan.
Tidak hanya sampai di situ, massa PKI pun menginjak-injak Al-Quran. PKI memang
tidak mengenal Tuhan. Mereka pun memiliki pertunjukan Ludruk dengan lakon
”Matinya Gusti Allah”.
Tragedi
Bandar Betsi, Pematang Siantar
Sejarah ini
menunjukkan PKI memang brutal. Mereka pada tanggal 14 Mei 1965 melakukan aksi
sepihak yakni dengan menguasai secara tidak sah tanah-tanah miliki Negara.
Pemuda Rakyat, BTI, dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melakukan penanaman
secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX
Bandar Betsi. Sekitar 200 massa ikut serta dalam aksi tersebut. Pelda Sudjono
yang sedang ditugaskan di perkebunan secara kebetulan menyaksikan perilaku
anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan.
Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono.
Akibatnya Sudjono tewas dengan kondisi yang amat menyedihkan.
Kini salah
seorang putra pembunuh Sudjono bernama Muchtar Pakpahan aktif di organisasi
buruh SBSI dan kemudian mendirikan Partai Buruh dan mengikuti Pemilu 2009.
Pemberontakan
PKI 30 September 1965
Sejarah
berdarah kembali ditorehkan oleh PKI di Indonesia. Dengan menamakan diri
Gerakan 30 September 1965, mereka menghabisi tujuh orang Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.
Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean.
Jenderal A.H. Nasution yang sudah masuk dalam daftar pembantaian ternyata bisa
meloloskan diri. Hanya Ade Irma Nasution menjadi korban aksi keji pasukan PKI.
Menjadi fakta sejarah, para korban keganasan PKI tersebut dilemparkan ke dalam
sumur di Lubang Buaya. Sementara Mayjen Soeharto sebagai Pangkstrad tidak
diperhitungkan oleh PKI, sehingga tidak ikut dihabisi.
Instruksi
Letkol Untung (Komandan Gerakan 30 September 1965/PKI), pembantaian yang
diawali dengan penculikan dilakukan oleh tiga kelompok pasukan yang diberi nama
Pasukan Pasopati (dipimpin Lettu Dul Arief), Pringgondani (dipimpin Mayor Udara
Sujono) dan Bima Sakti (dipimpin Kapten Suradi).
ABRI/TNI
memang menjadi sasaran utama penyusupan PKI. Melalui Biro Khusus Central,
PKI mempengaruhi anggota TNI agar berpihak kepada mereka. Biro Khusus ini di
bawah kendali langsung DN Aidit. Oleh PKI, para anggota ABRI yang berhasil
dijaring disebut sebagai “perwira-perwira yang berpikiran maju.” Mereka yang
tercatat sebagai pendukung PKI antara lain : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro,
Brigjen TNI Soepardjo, Kolonel Inf. A Latief, Letnan Kolonel Untung, Mayor KKO
Pramuko Sudarmo, Letkol Laut Ranu Sunardi, Komodor Laut Soenardi, Letkol Udara
Heru Atmodjo, Mayor Udara Sujono, Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani, Brigjen
Pol. Soetarto, Komisaris Besar Polisi Imam Supoyo, Ajun Komisaris Besar Polisi
Anwas Tanuamidjaja, dan lain-lain
Pembantaian
terhadap petinggi militer yang oleh PKI dimaksudkan untuk merebut kekuasaan
dari Presiden Soekarno yang dikabarkan tengah menderita sakit. Namun, gerakan
ini mengalami kegagalan total, karena tidak mendapat dukungan dari rakyat.
Dalam bukuSoekarno File (karya
Antonie Dake) dan Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi tentang Konspirasi(karya
Victor M Fic) menyebutkan adanya dorongan dari Mao Tse Tung (Ketua Partai
Komunis Cina) yang bertemu dengan DN Aidit tanggal 5 Agustus 1965, agar
dilakukan pembunuhan terhadap Pimpinan TNI AD, karena Mao khawatir apabila
Presiden Soekarno meninggal, maka kekuasaan akan beralih kepada TNI Angkatan
Darat yang kontra terhadap PKI. Bahkan, kedua buku tersebut menyebutkan keterlibatan
Presiden Soekarno dalam pemberontakan G 30 S PKI.
Sebelum G 30
S 65/PKI meletus, aksi teror dan kekerasan sudah mewarnai politik di Indonesia.
PKI secara langsung dan organisasi-organisasi pendukungnya merasa di atas
angin, sehingga mengebiri hak-hak hidup organisasi massa lain. PKI bahkan
mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar HMI dibubarkan. PKI juga mengusulkan
dibentuknya angkatan ke-5—yakni mempersenjatai Barisan Tani Nelayan dan Pemuda
Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.
Situasi
politik memang semakin memanas. Di depan apel kesiagaan Dwikora pada tanggal 2
April 1965, DN Aidit mengatakan, “Manipol harus dibela dengan senjata, Manipol tidak bisa dibela
hanya dengan tangan kosong. Oleh sebab itu, latihan militer penting bagi orang-orang
revolusioner manipolis dengan tujuan membela Manipol dengan senjata.”
Pada saat
HUT PKI-45 tanggal 23 Mei 1965 di Stadion Utama Senayan, DN Aidit menyerukan
massa PKI meningkatkan ofensif revolusioner sampai ke puncak. Seruan ini
dirangkai pula dengan seruan pada tanggal 9 September 1965, “kita berjuang untuk sesuatu yang akan lahir. Kita kaum
revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi
lahir, dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi
cepat besar.” Seruan-seruan
DN Aidit tentu saja menjadi pemompa bagi kader-kader PKI di banyak daerah untuk
melakukan aksi sepihak.
Struktur
Pimpinan PKI, September 1965
Ketua
Comite Central : DN Aidit
Dewan
Harian Politbiro (Lima Anggota) : DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea
Politbiro
:
Dua
belas anggota penuh: DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea, Sakirman,
Njono, Mohammad Munir, Ruslan Wijayasastra, Jusuf Ajitorop, Asmu, Rewang,
Empat
calon anggota : Peris Pardede, A. Sanusi, Sucipto
Munandar, F. Runturambi
Panitera : Iskandar Subekti
Comite
Central : 85 anggota
(Dikutip dari buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September
dan Kudeta Suharto halaman 209 karya John Roosa)
Sejarah G 30
S 1965/PKI sebenarnya sangat terang bagi Indonesia. Tetapi, setelah pada masa
Reformasi terhitung sejak tahun 1998, anggota-anggota PKI yang sudah menghirup
udara bebas setelah menjalani hukuman penjara, melakukan ofensif
memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka juga melakukan pengkaderan dan
menyusupkan kader-kadernya di banyak sektor pemerintahan. Selain itu, dibentuk
pula organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan dan menuntut hak-hak
politik dan perdatanya.
Melalui
buku-buku, film, tulisan-tulisan lepas di internet dan media massa cetak,
pemutarbalikkan fakta sejarah dengan menempatkan diri sebagai ”korban”
dilakukan. Tidak cuma itu, tuntutan melalui ranah hukum dan politik dilakukan.
Namun, langkah-langkah tersebut selalu menemu kegagalan. Tetapi, mereka tidak
pernah berhenti menyebarkan virus Komunisme untuk mempengaruhi Bangsa
Indonesia.
PKI memang
telah dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966. Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi
ketetapan hukum untuk melarang ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme di
Indonesia. Pada masa Reformasi telah disahkan pula Undang Undang No 27/1999
tentang Keamanan Negara yang memberikan sanksi pidana sampai hukuman 12 tahun
penjara bagi orang dan organisasi massa yang berniat menggantikan ideologi
Pancasila melalui segala macam bentuk kegiatannya.
Namun demikian
disinyalir masih banyak yang berusaha menghidupkan idiologi terlarang itu dan
oleh karenanya harus diwaspadai.
PENUTUP
Rangkaian
perjalanan sejarah PKI sejak sebelum Kemerdekaan, setelah Kemerdekaan dan
Reformasi tetap konsisten mengusung ideologi kekerasan. Ajaran dedengkot
Komunis Internasional memang sudah dicangkokkan sebagai inspirasi para kader
Komunis untuk merebut kekuasaan di mana pun mereka bisa tumbuh. Indonesia yang
dikenal memiliki nilai-nilai keagamaan yang kukuh tentu saja tidak bisa menerima
kehadiran paham Komunis dalam segala bentuknya. Itulah mengapa, Pancasila
kemudian menjadi pilihan Negara dan Bangsa Indonesia, sebagai sebuah paham yang
menjadi inspirasi dalam pembangunan Nasional—baik pembangunan spiritual maupun
material.
Patut
disayangkan memang, anak-anak Bangsa yang seharusnya bisa ikut berperan aktif
dalam membangun karakter Bangsa, justru keblinger terhadap ajaran Marxisme,
Leninisme, Maoisme, dengan menggunakan topeng kepalsuan, mengatakan
memperjuangkan nasib rakyat. Padahal, sejarah Komunisme di dunia telah mencatat
lebih dari 100.000.000 nyawa manusia hilang sia-sia, hanya demi perbedaan paham
dan untuk mempertahankan kekuasaan.
Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia tidak mengenal adanya pembantaian terhadap nyawa manusia.
Namun, untuk menyokong agar ideologinya bisa diterima masyarakat, para kader
Komunis di mana pun bersedia melepas baju kekejamannya dan tampil sebagai
seorang humanis sejati. Artinya, sebelum cita-cita merebut kekuasaan berhasil,
Partai Komunis akan menggunakan atribut apa pun untuk melakukan penyamaran.
Dan, kini
para kader Komunis sedang gencar-gencarnya mengubah sejarah kekejaman mereka
menjadi sejarah penindasan terhadap diri mereka. Inilah upaya yang dilakukan
untuk menarik simpati dengan menampilkan wajah humanisme. Padahal, telah
menjadi fakta sejarah, PKI adalah pelaku kejahatan terhadap Bangsa Indonesia
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sungguh-sungguh licik. Padahal,
tokoh-tokoh elit PKI sendiri sudah mengakui, kalau PKI-lah yang berada di balik
Gerakan 30 September 1965 sehingga menyebabkan pertumpahan darah anak-anak
bangsa. Upaya menghapus jejak kekejaman PKI antara lain dilakukan dengan
menghapuskan Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan menghilangkan kata PKI
dari Gerakan 30 September 1965 di dalam buku pelajaran IPS/Sejarah Kurikulum 2004 dari tingkat SD sampai dengan
SMA. Tetapi, cara licik kader Komunis terbongkar dan akhirnya
Kejaksaan Agung pada bulan Mei 2007 melarang buku-buku tanpa menyebut PKI
digunakan di sekolah dan harus dimusnahkan.
Mohammad
Hatta sudah mengingatkan ”kalau ada orang Komunis yang mengatakan ia percaya
pada Tuhan, atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak
beres padanya.” Nah!!!!
Bahan
Bacaan
Dipodisastro,
Soemarno, 2007, Kesaksian Sukitman Penemu Lubang Buaya, Jakarta :
Yayasan Sukitman
Hartisekar,
Markonina dan Akrin Abadi. 2001, Mewaspadai Kuda Troyo Komunisme di Era Reformasi,
Jakarta : Pustaka Sarana Kajian
Ismail,
Taufiq, 2004, Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba,
Jakarta : Yayasan Titik Infinitum
Moeljanto DS
dan Taufiq Ismail, 1994, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk,
Jakarta : Mizan dan Harian Umum Republika
Mansur
Abubakar, 2008, Bunga Rampai Ex PKI, Komunis Gaya Baru-Ex PRD-PAPERNAS Memutar
Balikkan Fakta Sejarah, Kediri : Gerakan Nasional Patriot
Panduan
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya Jakarta, Pusat Sejarah TNI
Roosa, John,
2008, Dalih
Pembunuhan Massal, Jakarta : Hasta Mitra
Zon, Fadli
dan M Halwan Aliuddin, 2005, Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, Jakarta : Komite
Waspada Komunisme
Ini Kisah Anak DI Panjaitan dan Aidit
Putri mantan
Presiden RI I Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri dan putra mantan Presiden RI II
Soeharto, Hutomo Mandala Putra, bersama putera-puteri pahlawan revolusi dan
keluarga Tapol 1965 Sardjono Kartosuwiriyo, Ferry Oemar Dani, Svetlana Dayani,
Katrin Panjaitan, dan Ilham Aidit, saat pembacaan ikrar Forum Silaturahmi Anak
Bangsa, di Gedung MPR/DPR, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO Interaktif, Jakarta - Anak-anak para jenderal dan tokoh
PKI melakukan pertemuan di Gedung MPR, Jumat (1/10) sore tadi. Dalam pertemuan
yang bertajuk Silaturahmi Nasional di Gedung MPR itu mereka tampak akrab
berbaur dan berbagi kisah.
Catherine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, dalam acara itu
menuturkan bahwa dirinya butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa
traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah yang terjadi di depan
matanya.
Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar
kaca pada tanggal 30 September. "Saya tidak pernah menonton film itu
karena tidak mau ulangi (ingatan) dalam film itu. Saya melihat dari jauh
bagaimana ayah saya ditembak. Bagaimana dia..." kisah Catherine kepada
para hadirin acara Silaturahmi Nasional.
Namun Catherine meminta kepada semua pihak untuk saling memaafkan dan memandang
semuanya dari segi kemanusiaan. "Kalau orang tua kita berbuat salah,
jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biar lah saya mengalah, saya meminta
maaf kepada putera-putera yang dulu dianggap lawan."
Kisah traumatis serupa juga diungkapkan oleh Ilham Aidit. Dia mengaku sejak
terjadinya Gerakan 30 September tersebut dirinya harus merelakan nama
belakangnya tidak disandingkan dengan nama depannya.
"Saya yang terbiasa menggunakan nama Ilham Aidit kini sudah tidak bisa
lagi. Tangan saya berhenti lama sekali. Namun sejak saat itu saya tidak berani
menambahkan nama Aidit."
Selama puluhan tahun dia pun tidak lagi menuliskan Aidit dibelakang namanya.
Hingga akhirnya tahun 2003 dia melihat namanya disandingkan dengan nama Aidit
di dalam foto di sebuah media. "Pertama kali saya melihat itu saya terharu
sekali. Saat itu saya memakai nama itu lagi dan saya tetap hidup."
"Setelah G30S saya keluar rumah. Tiba-tiba saya melihat tulisan besar
gantung Aidit, bubarkan PKI. Saya terkejut. Badan saya bergetar, jiwa saya
bergetar," kisah Ilham dalam acara tersebut. Sejak itulah Ilham tahu bahwa
kehidupannya akan sama sekali berbeda.
Beruntung dia pun diangkat anak oleh beberapa keluarga. "Ayah saya
didaulat sebagai musuh besar bangsa. Puluhan tahun itu terjadi. Namun ada
tangan-tangan lain, saya diangkat anak. Masa sekolah saya sulit sekali, semua
bilang PKI, saat itu saya punya reaksi melawan."
Ilham mengatakan, apa pun upaya mereka merekonsiliasikan tragedi tersebut perlu
banyak hal yang harus dicermati. Dia pun berharap agar rekonsiliasi ini tidak
hanya rekonsiliasi semu. "Rekonsiliasi butuh sifat kesatria dan jiwa
besar. No future without forgiveness," ungkap Ilham
Sejarah PKI di Indonesia Partai Komunis Indonesia (PKI)
adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI Gerakan Awal PKI Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka". Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pembentukan Partai Komunis Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). [sunting] Pemberontakan 1926 Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah. Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra. Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI [3]. [sunting] Peristiwa Madiun 1948 Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peristiwa Madiun Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat. Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. [sunting] Bangkit kembali Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [4] Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. [sunting] Pemilu 1955 Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante. Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5]. Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional. Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusar dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan. Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas. Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya. Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965 Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia. Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya". [sunting] Gerakan 30 September Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010] Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010] Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri. Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa. Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010] Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia. Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
"Darah itu merah jenderal!" Demikian nulikan kalimat yang dibilang
salah seorang anggota PKI dalam film G/30/S/PKI.
Tragedi penuh darah terakhir tersebut nampaknya memang membentuk citra partai
ini menjadi buram. Sejarah telah mencatatnya, setidaknya ada tiga peristiwa
yang terjadi atas nama partai ini, yakni adalah pemberontakan PKI 1926/1927, pemberontakan PKI 1948 di Madiun, dan
terakhir pemberontakan PKI 1965 yang terkenal dengan
sebutanG-30/S/PKI.
Nampaknya citra pemberontakan memang sudah lekat meresap pada partai yang
berdasarkan paham komunis ini.
Sejarah Perkembangan PKI (Partai Komunis
Indonesia)
Cikal bakal Partai Komunis
Indonesia (PKI) bermula
dari kedatangan Sneevliet—seorang anggota SDAP (Partai Sosialis di Belanda) ke
bumi Hindia Belanda sekira 1913-1914. Di mana ia kemudian mendirikan Indische
Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dan menginfiltrasi ke dalam tubuh
Sarekat Islam (SI). Hingga akhirnya pecah menjadi SI putih dan SI merah untuk
melaksanakan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Pada Mei 1920
kongres ISDV di Semarang memutuskan mengganti nama partai menjadi Partai
Komunis Hindia (PKH). Semaun terpilih menjadi Ketuanya. Pada 1924 PKH diubah
kembali namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keradikalan partai ini memang tak bisa dibendung pemerintah Hindia Belanda.
Pada November 1926 PKI melakukan serangkaian revolusi melawan pemerintah di
daerah Jawa Barat dan Sumatera Barat. Sekaligus pula mengumumkan terbentuknya
sebuah republik. Pemberontakan berhasil ditumpas oleh penguasa kolonial. Ribuan
kadernya dibunuh lainnya dibuang ke Boven Digul. Pada 1927 pemerintah melarang
partai ini sekalian ideologinya. Para kadernya hanya bisa bergerak underground
hingga memasuki masa kemerdekaan. PKI muncul kembali pada 1945, setelah
dikeluarkannya maklumat mengenai pendirian partai tanggal 3 November 1945. Muso
menjadi ketuanya saat itu dan berhasil menggalang kekuatan massanya.
Tiga tahun kemudian, yaitu pada Februari 1948, terjadi kongkalikong. Indonesia
belum bisa berdaulat jika parlemen masih diisi oleh orang-orang kiri. Maka
terjadilah upaya penekanan terhadap orang-orang di partai ini. PKI pun
melakukan perlawanan. Upaya ini dianggap sebagai upaya pemberontakan. Beberapa
orang PKI ditangkap dan Muso mati tertembus peluru aparat. Sisanya bersembunyi
di berbagai daerah. Selama beberapa saat gerak langkah PKI terasa berhenti,
namun setelah keluar pernyataan yang diumumkan oleh Mr. Soesanto Tirtoprodjo
(Menteri Kehakiman), para anggota PKI berani keluar dari tempat
persembunyiannya.
Alimin—seorang tokoh
tua, diangkat menjadi ketua PKI pengganti Muso. Ia kemudian yang mengumpulkan
anggota-anggotanya yang tercerai berai. Menggalang persatuan dan membentuk
kader-kader yang berkualitas. Ia merupakan tokoh penting pasca Madiun 1948 itu.
Di tangannya citra buruk PKI berangsur-angsur dihilangkan. Namun langkahnya
diganjal oleh D.N. Aidit dari kelompok muda, yang menganggapnya bekerja terlalu
lamban. PKI terkenal revolusioner dan Aidit ingin mempertahankan hal tersebut.
Pada 7 Januari 1951 Alimin digusur oleh D.N. Aidit.
Ketika PKI berada di dalam genggamannya, jiwa partai kembali berubah. PKI
berjalan dengan demikian cepat. Pertengahan 1951 PKI memprakarsai sejumlah
pemogokan buruh. PKI diganjal kembali oleh pemerintah. Namun hal tersebut
bersifat sementara, renggangnya hubungan Masyumi dengan PNI, membuat PKI
mendekati PNI untuk memperoleh dukungan pemerintah. Sejak saat itu basis massa
PKI berkembang dengan sangat cepat. Jumlah 3.000-5.000 anggota (1950)
membengkak menjadi 165.000 dalam waktu empat tahun (1954). Pada 1959 naik lagi
menjadi 1,5 juta jiwa. Pada pemilu 1955, PKI berhasil memperoleh 16 persen
suara dan masuk dalam daftar empat besar partai besar pada waktu pemilu.
Selama rentang waktu 1955-1964 PKI mendapat banyak kemajuan. Pada 1965 jumlah
massa PKI meningkat menjadi 3 juta jiwa. Partai ini kemudian ditahbiskan
menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Pada 1962 PKI
menggabungkan dirinya sebagai bagian dari pemerintah. Beberapa orangnya sempat
menjabat di pemerintahan. Namun usaha ini terjegal, menjelang berakhirnya masa
kekuasaan Soekarno, PKI kembali terlibat tragedi berdarah yang dikenal dengan
pemberontakan G/30/S/PKI. Setelah jatuhnya kekuasaan Soekarno dan naiknya
Soeharto, partai ini dilarang muncul kembali berdasarkan keputusan TAP
MPRS/1966. Hingga kini perdebatan mengenai partai ini masih terus
berlangsung.[]
------
Referensi
I. Buku
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah
Nasional Indonesia V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan (Balai
Pustaka), 1993.
Subhan Sd., Langkah Merah:
Gerakan PKI 1950-1951, Yogyakarta: Bentang, 1996.
Rabu, 01 Oktober 2014
Semoga menjadi pelajaran berharga bagi sejarah bangsa
Indonesia tercinta ini.
Cerita
Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI
Masih ingat dengan film Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia atau G30S/PKI? Selama masa kepresidenan Soeharto, film berkisah
penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal revolusi itu selalu diputar pada 30
September oleh Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Satu korban yang menjadi
sasaran pembantaian adalah Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan atau D.I.
Panjaitan. Dan putrinya, Catherine Panjaitan, menjadi saksi mata penculikan
itu.
Pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, Catherine menceritakan kejadian
malam berdarah itu. Ingatan itu tertuang dalam tulisan berjudul, Kisah-kisah
Oktober 1965. Bagi Anda yang sempat menonton filmnya pasti melihat adegan putri
D.I Panjaitan membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Tapi benarkah Chaterine
melakukan hal itu?
Foto keluarga panjaitan
“Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali,” Catherine mengisahkan.
“Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papi..., Papi...." Saya
ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada.”
Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30, pada 1 Oktober
1965. Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Kemudian terbangun karena
teriakan dan tembakan. Catherine mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak
tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah. “Beberapa di antaranya
melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.
Panik, ia lari ke kamar ayahnya. Yang dicari sudah terbangun dari tidur.
Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum
papinya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik
senjatanya, semacam senapan pendek.
Catherine sendiri sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi
sang jenderal bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus
terdengar. Televisi, koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan
meja ikut terjungkal. “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.
Sebelum menyerahkan diri ke tentara, mendiang Panjaitan sempat meminta
Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine
menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel
telepon diputus.
Berseragam lengkap, kemudian D.I. Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang
berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi
Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri. Tak diacuhkan
begitu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia
tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat. Dor! Dor! “Darah menyembur
dari kepala Papi,” kata Catherine.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432722/Cerita-Anak-Jenderal-DI-Panjaitan-Soal-G30SPKI
Kisah Nyata Nasib Tragis Jenderal Ahmad Yani, Anak Emas Presiden Soekarno
Ada cerita menarik seputar pelantikan KASAD. Khususnya saat pemerintahan
Presiden Soekarno yang mengangkat Letnan Jenderal Achmad Yani sebagai Kasad
pada 28 Juni 1962. Ujung dari peristiwa ini adalah sejarah paling kelam dalam
perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika itu, Bung Karno mengangkat Kasad Jendera Abdul Haris Nasution sebagai
Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab). Secara jabatan, Nasution mendapat
promosi. Tetapi secara kewenangan, Nasution sebenarnya dilucuti. Kasab hanya
mengurus administrasi, tidak lagi memegang komando pasukan. Hubungan Bung Karno
dan Nasution memang tidak bisa dibilang sejalan, bahan cenderung berseberangan.
Bung Karno meminta Nasution merekomendasikan sejumlah nama perwira tinggi TNI
AD untuk dilantik menjadi Kasadyang kemudian semua nama-nama tersebut ditolak
oleh Bung Karno yang malah meminta diberikan nama-nama lain. Nasution
menurutinya dengan mengajukan calon-calon lain. Dari daftar rekomendasi terbaru
ini, nama Mayor Jenderal Ahmad Yani berada di posisi paling akhir.
Pada masa tersebut, Yani memang masih termasuk Jenderal junior. Itulah
alasannya mengapa Nasution tidak memasukkannya ke dalam nama-nama pertama yang
ia rekomendasikan pertama kali. Tapi justru Bung Karno malah akhirnya memilih
Yani sebagai Panglima Angkatan Darat.
Jabatan Ahmad Yani saat itu adalah Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi
(KOTI) pembebasan Irian Barat dan sekaligus juga menjadi juru bicara tunggal
Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari bertemu dalam rapat-rapat
dengan Presiden Soekarno di Istana. Itulah yang menyebabkan hubungan mereka
dekat. Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Bung Karno menjadi semakin
akrab.
Amelia Yani, Putri Ahmad Yani mengatakan bahwa "Banyak yang bilang bapak
jadi anak emas Presiden Soekarno,".
Hal berlawanan justru terjadi dalam hubungan antara Yani dan Nasution, dimana
Nasution dan Yani malah sering berdebat. Keduanya kerap berbeda pendapat soal
pembangunan Angkatan Darat. Yani dikenal tegas, blak-blakan dan jarang
basa-basi.
Di masa kepemimpinan Yani, Angkatan Darat disibukkan Operasi Trikora merebut
Irian Barat dari Belanda. Setelah itu Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi
dengan Malaysia.
Amelia mengingat Bung Karno ikut peduli masalah dengan renovasi rumah Yani di
Jalan Lembang, Menteng. Bung Karno juga sering mengajak Yani ikut dalam
kunjungan ke daerah, dan bahkan menyempatkan hadir saat acara syukuran rumah
Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini
ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Namun saat itu pun suasana politik Indonesia makin memanas. Partai Komunis
Indonesia (PKI) makin kuat karena merasa mendapat angin dukungan dari Bung
Karno. Cuma masalahnya, Angkatan Darat, khususnya Ahmad Yani terang-terangan
menolak segala kebijakan negara yang dipengaruhi PKI.
Yani bahkan menolak mentah-mentah permintaan Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit
(D.N. Aidit) yang meminta buruh dan kaum tani dipersenjatai. Jadilah, beredar
isu Dewan Jenderal dan dokumen asing yang menyebut kolaborasi sejumlah jenderal
AD dengan Barat. Karena berlawanan dengan Soekarno dan PKI yang cenderung ke
negara Blok Timur seperti China dan Uni Soviet, maka Yani dan kawan-kawannya
disebut-sebut akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno.
Isu yang dihembuskan oleh PKI tersebut berhasil membuat hubungan Presiden
Soekarno dan Yani retak perlahan-lahan. Puncaknya, Soekarno (berencana)
memanggil Yani ke istana pada 1 Oktober 1965. Dia berniat mengganti Yani dengan
Jenderal Moersjid. Yani tak pernah tahu mengenai hal ini.
Namun apa daya, Yani tak pernah bisa datang ke Istana menemui Bung Karno,
karena pagi itu, 1 Oktober 1965 Pukul 04.30 WIB, sepasukan tentara datang
menjemput Yani. Mereka mengatakan bahwa Yani diminta menghadap Soekarno segera
saat itu juga. Yani sendiri tak curiga karena ia memang sudah ada rencana
hendak ke Istana menghadap Bung Karno. Maka dia meminta waktu kepada tentara
yang menjemputnya untuk berganti pakaian dengan seragam dinas.
Namun niatnya itu dibantah oleh Tjakrabirawa yang menjemputnya. "Tak usah
ganti baju, jenderal!" bentak seorang bintara Tjakrabirawa itu membentak.
Hal itu membuat Yani marah (mana boleh seorang bintara berani kurang ajar pada
jenderal). Lalu Yani, membalikkan badan dan menempeleng prajurit kurang ajar itu.
Pintu Tempat Jenderal Ahmad Yani Ditembak
Jenderal Ahmad Yani tewas ditembak di sini setelah menempeleng prajurit
kurang ajar di pintu ini. Ia ditembak dari jarak dekat, peluru menembus pintu
kaca memberondong tubuhnya yang berada dibalik pintu
Melihat peristiwa tersebut, seorang prajurit lainnya segera memberondong tubuh
Yani dengan tembakan senapan otomatis secara membabi buta dari jarak dekat.
Yani tersungkur dan gugur dengan berlumuran darah. Kejadian ini disaksikan oleh
Untung dan Eddy, kedua putranya yang masih kecil.
Lokasi Jenderal Ahmad Yani Tewas
Ditembak, Prasasti ini menunjukkan lokasi tersungkur dan gugurnya Jenderal
Ahmad Yani, di balik pintu kaca dan pas di sebelah meja makan
Lorong di depan pintu kaca. Di sepanjang lorong ini
tubuh Jenderal Ahmad Yani diseret kemudian berbelok ke kanan. Darah berceceran
dan menggenang di sepanjang lorong
Foto ini menunjukkan jejak-jejak darah saat jenazah
Pak Yani diseret dengan keji di sepanjang lorong
Lalu para gerombolan prajurit itu menyeret jenazah Yani di sepanjang lorong dan
melemparnya ke atas truk. Mereka membawanya pergi, tapi bukan ke Istana
melainkan ke sebuah tempat di Lubang Buaya Jakarta Timur. Itulah akhir tragis
dari seorang Jenderal yang memiliki rekam jejak cemerlang dalam peristiwa nahas
G30S/PKI.
(foto dokumentasi pribadi, Ahmad Yani Tumbal Revolusi/Galang Press, Museum
Sasmitaloka Ahmad Yani dan berbagai sumber-sumber lain)
Sumber : http://www.memobee.com/foto-kisah-nyata-nasib-tragis-jenderal-ahmad-yani-anak-emas-presiden-soekarno-10107-eij.html
Tragedi Kanigoro, PKI Serang Pesantren
Masih lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren Al-Jauhar
di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kala itu, jarum
jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127 peserta pelatihan mental Pelajar
Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh.
Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu.
Sebagian massa PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke
karung. "Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak,"
kata Masdoeqi saat ditemui Tempo di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten
Kediri, pekan lalu.
Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid. "Saya
melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata," tutur Masdoeqi, yang
kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.
Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh
Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo,
Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar
rumah.
Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk Kiai
Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada polisi. Menurut
Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota PKI itu mencaci maki dan
mengancam akan membunuh. Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader
PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya.
Akhir 1964, memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan
Jombang. "Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar
Masdoeqi, menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.
Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya PKI melakukan
penyerangan besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski hubungan kelompok santri
dan PKI tegang, tak pernah ada konflik terbuka.
Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerbuan di Kanigoro menimbulkan trauma
sekaligus kemarahan kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri, yang sebagian
besar santri pesantren. Memang kala itu para santri belum bergerak membalas.
Namun, seperti api dalam sekam, ketegangan antara PKI dan santri makin
membara.
Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki, mengakui atmosfer
permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung jauh sebelum pembantaian.
"Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak," katanya. Kubu
NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap kegiatan publik. Misalnya
ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus, rombongan PKI dan
rombongan NU saling ejek bahkan sampai melibatkan simpatisan kedua kelompok.
Kondisi itu semakin diperparah oleh penyerbuan PKI ke Kanigoro.
Peristiwa di Kanigoro
itu pula yang memperkuat tekad kaum pesantren dan anggota Ansor di Kediri,
termasuk Abdul, membantai anggota PKI. Pembantaian mencapai puncaknya ketika
pemerintah mengumumkan bahwa PKI adalah organisasi terlarang. Abdul dan para
anggota Ansor lainnya semakin yakin bahwa perbuatan mereka benar. "Seperti
api yang disiram bensin, kami semakin mendapat angin untuk memusnahkan
PKI," ujarnya.
Putri mantan
Presiden RI I Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri dan putra mantan Presiden RI II
Soeharto, Hutomo Mandala Putra, bersama putera-puteri pahlawan revolusi dan
keluarga Tapol 1965 Sardjono Kartosuwiriyo, Ferry Oemar Dani, Svetlana Dayani,
Katrin Panjaitan, dan Ilham Aidit, saat pembacaan ikrar Forum Silaturahmi Anak
Bangsa, di Gedung MPR/DPR, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO Interaktif, Jakarta - Anak-anak para jenderal dan tokoh
PKI melakukan pertemuan di Gedung MPR, Jumat (1/10) sore tadi. Dalam pertemuan
yang bertajuk Silaturahmi Nasional di Gedung MPR itu mereka tampak akrab
berbaur dan berbagi kisah.
Catherine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, dalam acara itu menuturkan bahwa dirinya butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah yang terjadi di depan matanya.
Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar kaca pada tanggal 30 September. "Saya tidak pernah menonton film itu karena tidak mau ulangi (ingatan) dalam film itu. Saya melihat dari jauh bagaimana ayah saya ditembak. Bagaimana dia..." kisah Catherine kepada para hadirin acara Silaturahmi Nasional.
Namun Catherine meminta kepada semua pihak untuk saling memaafkan dan memandang semuanya dari segi kemanusiaan. "Kalau orang tua kita berbuat salah, jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biar lah saya mengalah, saya meminta maaf kepada putera-putera yang dulu dianggap lawan."
Kisah traumatis serupa juga diungkapkan oleh Ilham Aidit. Dia mengaku sejak terjadinya Gerakan 30 September tersebut dirinya harus merelakan nama belakangnya tidak disandingkan dengan nama depannya.
"Saya yang terbiasa menggunakan nama Ilham Aidit kini sudah tidak bisa lagi. Tangan saya berhenti lama sekali. Namun sejak saat itu saya tidak berani menambahkan nama Aidit."
Selama puluhan tahun dia pun tidak lagi menuliskan Aidit dibelakang namanya. Hingga akhirnya tahun 2003 dia melihat namanya disandingkan dengan nama Aidit di dalam foto di sebuah media. "Pertama kali saya melihat itu saya terharu sekali. Saat itu saya memakai nama itu lagi dan saya tetap hidup."
"Setelah G30S saya keluar rumah. Tiba-tiba saya melihat tulisan besar gantung Aidit, bubarkan PKI. Saya terkejut. Badan saya bergetar, jiwa saya bergetar," kisah Ilham dalam acara tersebut. Sejak itulah Ilham tahu bahwa kehidupannya akan sama sekali berbeda.
Beruntung dia pun diangkat anak oleh beberapa keluarga. "Ayah saya didaulat sebagai musuh besar bangsa. Puluhan tahun itu terjadi. Namun ada tangan-tangan lain, saya diangkat anak. Masa sekolah saya sulit sekali, semua bilang PKI, saat itu saya punya reaksi melawan."
Ilham mengatakan, apa pun upaya mereka merekonsiliasikan tragedi tersebut perlu banyak hal yang harus dicermati. Dia pun berharap agar rekonsiliasi ini tidak hanya rekonsiliasi semu. "Rekonsiliasi butuh sifat kesatria dan jiwa besar. No future without forgiveness," ungkap Ilham
Catherine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, dalam acara itu menuturkan bahwa dirinya butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah yang terjadi di depan matanya.
Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar kaca pada tanggal 30 September. "Saya tidak pernah menonton film itu karena tidak mau ulangi (ingatan) dalam film itu. Saya melihat dari jauh bagaimana ayah saya ditembak. Bagaimana dia..." kisah Catherine kepada para hadirin acara Silaturahmi Nasional.
Namun Catherine meminta kepada semua pihak untuk saling memaafkan dan memandang semuanya dari segi kemanusiaan. "Kalau orang tua kita berbuat salah, jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biar lah saya mengalah, saya meminta maaf kepada putera-putera yang dulu dianggap lawan."
Kisah traumatis serupa juga diungkapkan oleh Ilham Aidit. Dia mengaku sejak terjadinya Gerakan 30 September tersebut dirinya harus merelakan nama belakangnya tidak disandingkan dengan nama depannya.
"Saya yang terbiasa menggunakan nama Ilham Aidit kini sudah tidak bisa lagi. Tangan saya berhenti lama sekali. Namun sejak saat itu saya tidak berani menambahkan nama Aidit."
Selama puluhan tahun dia pun tidak lagi menuliskan Aidit dibelakang namanya. Hingga akhirnya tahun 2003 dia melihat namanya disandingkan dengan nama Aidit di dalam foto di sebuah media. "Pertama kali saya melihat itu saya terharu sekali. Saat itu saya memakai nama itu lagi dan saya tetap hidup."
"Setelah G30S saya keluar rumah. Tiba-tiba saya melihat tulisan besar gantung Aidit, bubarkan PKI. Saya terkejut. Badan saya bergetar, jiwa saya bergetar," kisah Ilham dalam acara tersebut. Sejak itulah Ilham tahu bahwa kehidupannya akan sama sekali berbeda.
Beruntung dia pun diangkat anak oleh beberapa keluarga. "Ayah saya didaulat sebagai musuh besar bangsa. Puluhan tahun itu terjadi. Namun ada tangan-tangan lain, saya diangkat anak. Masa sekolah saya sulit sekali, semua bilang PKI, saat itu saya punya reaksi melawan."
Ilham mengatakan, apa pun upaya mereka merekonsiliasikan tragedi tersebut perlu banyak hal yang harus dicermati. Dia pun berharap agar rekonsiliasi ini tidak hanya rekonsiliasi semu. "Rekonsiliasi butuh sifat kesatria dan jiwa besar. No future without forgiveness," ungkap Ilham
Sejarah PKI di Indonesia Partai Komunis Indonesia (PKI)
adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI Gerakan Awal PKI Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka". Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pembentukan Partai Komunis Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). [sunting] Pemberontakan 1926 Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah. Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra. Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI [3]. [sunting] Peristiwa Madiun 1948 Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peristiwa Madiun Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat. Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. [sunting] Bangkit kembali Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [4] Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. [sunting] Pemilu 1955 Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante. Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5]. Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional. Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusar dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan. Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas. Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya. Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965 Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia. Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya". [sunting] Gerakan 30 September Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010] Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010] Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri. Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa. Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010] Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia. Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan. Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
"Darah itu merah jenderal!" Demikian nulikan kalimat yang dibilang
salah seorang anggota PKI dalam film G/30/S/PKI.
Tragedi penuh darah terakhir tersebut nampaknya memang membentuk citra partai ini menjadi buram. Sejarah telah mencatatnya, setidaknya ada tiga peristiwa yang terjadi atas nama partai ini, yakni adalah pemberontakan PKI 1926/1927, pemberontakan PKI 1948 di Madiun, dan terakhir pemberontakan PKI 1965 yang terkenal dengan sebutanG-30/S/PKI.
Nampaknya citra pemberontakan memang sudah lekat meresap pada partai yang berdasarkan paham komunis ini.
Tragedi penuh darah terakhir tersebut nampaknya memang membentuk citra partai ini menjadi buram. Sejarah telah mencatatnya, setidaknya ada tiga peristiwa yang terjadi atas nama partai ini, yakni adalah pemberontakan PKI 1926/1927, pemberontakan PKI 1948 di Madiun, dan terakhir pemberontakan PKI 1965 yang terkenal dengan sebutanG-30/S/PKI.
Nampaknya citra pemberontakan memang sudah lekat meresap pada partai yang berdasarkan paham komunis ini.
Sejarah Perkembangan PKI (Partai Komunis
Indonesia)
Cikal bakal Partai Komunis
Indonesia (PKI) bermula
dari kedatangan Sneevliet—seorang anggota SDAP (Partai Sosialis di Belanda) ke
bumi Hindia Belanda sekira 1913-1914. Di mana ia kemudian mendirikan Indische
Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dan menginfiltrasi ke dalam tubuh
Sarekat Islam (SI). Hingga akhirnya pecah menjadi SI putih dan SI merah untuk
melaksanakan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Pada Mei 1920
kongres ISDV di Semarang memutuskan mengganti nama partai menjadi Partai
Komunis Hindia (PKH). Semaun terpilih menjadi Ketuanya. Pada 1924 PKH diubah
kembali namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keradikalan partai ini memang tak bisa dibendung pemerintah Hindia Belanda. Pada November 1926 PKI melakukan serangkaian revolusi melawan pemerintah di daerah Jawa Barat dan Sumatera Barat. Sekaligus pula mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan berhasil ditumpas oleh penguasa kolonial. Ribuan kadernya dibunuh lainnya dibuang ke Boven Digul. Pada 1927 pemerintah melarang partai ini sekalian ideologinya. Para kadernya hanya bisa bergerak underground hingga memasuki masa kemerdekaan. PKI muncul kembali pada 1945, setelah dikeluarkannya maklumat mengenai pendirian partai tanggal 3 November 1945. Muso menjadi ketuanya saat itu dan berhasil menggalang kekuatan massanya.
Tiga tahun kemudian, yaitu pada Februari 1948, terjadi kongkalikong. Indonesia belum bisa berdaulat jika parlemen masih diisi oleh orang-orang kiri. Maka terjadilah upaya penekanan terhadap orang-orang di partai ini. PKI pun melakukan perlawanan. Upaya ini dianggap sebagai upaya pemberontakan. Beberapa orang PKI ditangkap dan Muso mati tertembus peluru aparat. Sisanya bersembunyi di berbagai daerah. Selama beberapa saat gerak langkah PKI terasa berhenti, namun setelah keluar pernyataan yang diumumkan oleh Mr. Soesanto Tirtoprodjo (Menteri Kehakiman), para anggota PKI berani keluar dari tempat persembunyiannya.
Alimin—seorang tokoh tua, diangkat menjadi ketua PKI pengganti Muso. Ia kemudian yang mengumpulkan anggota-anggotanya yang tercerai berai. Menggalang persatuan dan membentuk kader-kader yang berkualitas. Ia merupakan tokoh penting pasca Madiun 1948 itu. Di tangannya citra buruk PKI berangsur-angsur dihilangkan. Namun langkahnya diganjal oleh D.N. Aidit dari kelompok muda, yang menganggapnya bekerja terlalu lamban. PKI terkenal revolusioner dan Aidit ingin mempertahankan hal tersebut. Pada 7 Januari 1951 Alimin digusur oleh D.N. Aidit.
Ketika PKI berada di dalam genggamannya, jiwa partai kembali berubah. PKI berjalan dengan demikian cepat. Pertengahan 1951 PKI memprakarsai sejumlah pemogokan buruh. PKI diganjal kembali oleh pemerintah. Namun hal tersebut bersifat sementara, renggangnya hubungan Masyumi dengan PNI, membuat PKI mendekati PNI untuk memperoleh dukungan pemerintah. Sejak saat itu basis massa PKI berkembang dengan sangat cepat. Jumlah 3.000-5.000 anggota (1950) membengkak menjadi 165.000 dalam waktu empat tahun (1954). Pada 1959 naik lagi menjadi 1,5 juta jiwa. Pada pemilu 1955, PKI berhasil memperoleh 16 persen suara dan masuk dalam daftar empat besar partai besar pada waktu pemilu.
Selama rentang waktu 1955-1964 PKI mendapat banyak kemajuan. Pada 1965 jumlah massa PKI meningkat menjadi 3 juta jiwa. Partai ini kemudian ditahbiskan menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Pada 1962 PKI menggabungkan dirinya sebagai bagian dari pemerintah. Beberapa orangnya sempat menjabat di pemerintahan. Namun usaha ini terjegal, menjelang berakhirnya masa kekuasaan Soekarno, PKI kembali terlibat tragedi berdarah yang dikenal dengan pemberontakan G/30/S/PKI. Setelah jatuhnya kekuasaan Soekarno dan naiknya Soeharto, partai ini dilarang muncul kembali berdasarkan keputusan TAP MPRS/1966. Hingga kini perdebatan mengenai partai ini masih terus berlangsung.[]
------
Referensi
I. Buku
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan (Balai Pustaka), 1993.
Subhan Sd., Langkah Merah: Gerakan PKI 1950-1951, Yogyakarta: Bentang, 1996.
Rabu, 01 Oktober 2014
Semoga menjadi pelajaran berharga bagi sejarah bangsa
Indonesia tercinta ini.
Cerita
Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI
Masih ingat dengan film Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia atau G30S/PKI? Selama masa kepresidenan Soeharto, film berkisah
penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal revolusi itu selalu diputar pada 30
September oleh Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Satu korban yang menjadi
sasaran pembantaian adalah Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan atau D.I.
Panjaitan. Dan putrinya, Catherine Panjaitan, menjadi saksi mata penculikan
itu.
Pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, Catherine menceritakan kejadian
malam berdarah itu. Ingatan itu tertuang dalam tulisan berjudul, Kisah-kisah
Oktober 1965. Bagi Anda yang sempat menonton filmnya pasti melihat adegan putri
D.I Panjaitan membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Tapi benarkah Chaterine
melakukan hal itu?
Foto keluarga panjaitan
“Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali,” Catherine mengisahkan.
“Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papi..., Papi...." Saya
ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada.”
Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30, pada 1 Oktober
1965. Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Kemudian terbangun karena
teriakan dan tembakan. Catherine mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak
tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah. “Beberapa di antaranya
melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.
Panik, ia lari ke kamar ayahnya. Yang dicari sudah terbangun dari tidur.
Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum
papinya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik
senjatanya, semacam senapan pendek.
Catherine sendiri sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi
sang jenderal bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus
terdengar. Televisi, koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan
meja ikut terjungkal. “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.
Sebelum menyerahkan diri ke tentara, mendiang Panjaitan sempat meminta
Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine
menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel
telepon diputus.
Berseragam lengkap, kemudian D.I. Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang
berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi
Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri. Tak diacuhkan
begitu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia
tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat. Dor! Dor! “Darah menyembur
dari kepala Papi,” kata Catherine.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432722/Cerita-Anak-Jenderal-DI-Panjaitan-Soal-G30SPKI
Kisah Nyata Nasib Tragis Jenderal Ahmad Yani, Anak Emas Presiden Soekarno
Ada cerita menarik seputar pelantikan KASAD. Khususnya saat pemerintahan Presiden Soekarno yang mengangkat Letnan Jenderal Achmad Yani sebagai Kasad pada 28 Juni 1962. Ujung dari peristiwa ini adalah sejarah paling kelam dalam perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika itu, Bung Karno mengangkat Kasad Jendera Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab). Secara jabatan, Nasution mendapat promosi. Tetapi secara kewenangan, Nasution sebenarnya dilucuti. Kasab hanya mengurus administrasi, tidak lagi memegang komando pasukan. Hubungan Bung Karno dan Nasution memang tidak bisa dibilang sejalan, bahan cenderung berseberangan.
Bung Karno meminta Nasution merekomendasikan sejumlah nama perwira tinggi TNI AD untuk dilantik menjadi Kasadyang kemudian semua nama-nama tersebut ditolak oleh Bung Karno yang malah meminta diberikan nama-nama lain. Nasution menurutinya dengan mengajukan calon-calon lain. Dari daftar rekomendasi terbaru ini, nama Mayor Jenderal Ahmad Yani berada di posisi paling akhir.
Pada masa tersebut, Yani memang masih termasuk Jenderal junior. Itulah alasannya mengapa Nasution tidak memasukkannya ke dalam nama-nama pertama yang ia rekomendasikan pertama kali. Tapi justru Bung Karno malah akhirnya memilih Yani sebagai Panglima Angkatan Darat.
Jabatan Ahmad Yani saat itu adalah Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat dan sekaligus juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari bertemu dalam rapat-rapat dengan Presiden Soekarno di Istana. Itulah yang menyebabkan hubungan mereka dekat. Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Bung Karno menjadi semakin akrab.
Amelia Yani, Putri Ahmad Yani mengatakan bahwa "Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno,".
Hal berlawanan justru terjadi dalam hubungan antara Yani dan Nasution, dimana Nasution dan Yani malah sering berdebat. Keduanya kerap berbeda pendapat soal pembangunan Angkatan Darat. Yani dikenal tegas, blak-blakan dan jarang basa-basi.
Di masa kepemimpinan Yani, Angkatan Darat disibukkan Operasi Trikora merebut Irian Barat dari Belanda. Setelah itu Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia.
Amelia mengingat Bung Karno ikut peduli masalah dengan renovasi rumah Yani di Jalan Lembang, Menteng. Bung Karno juga sering mengajak Yani ikut dalam kunjungan ke daerah, dan bahkan menyempatkan hadir saat acara syukuran rumah Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Namun saat itu pun suasana politik Indonesia makin memanas. Partai Komunis Indonesia (PKI) makin kuat karena merasa mendapat angin dukungan dari Bung Karno. Cuma masalahnya, Angkatan Darat, khususnya Ahmad Yani terang-terangan menolak segala kebijakan negara yang dipengaruhi PKI.
Yani bahkan menolak mentah-mentah permintaan Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) yang meminta buruh dan kaum tani dipersenjatai. Jadilah, beredar isu Dewan Jenderal dan dokumen asing yang menyebut kolaborasi sejumlah jenderal AD dengan Barat. Karena berlawanan dengan Soekarno dan PKI yang cenderung ke negara Blok Timur seperti China dan Uni Soviet, maka Yani dan kawan-kawannya disebut-sebut akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno.
Isu yang dihembuskan oleh PKI tersebut berhasil membuat hubungan Presiden Soekarno dan Yani retak perlahan-lahan. Puncaknya, Soekarno (berencana) memanggil Yani ke istana pada 1 Oktober 1965. Dia berniat mengganti Yani dengan Jenderal Moersjid. Yani tak pernah tahu mengenai hal ini.
Namun apa daya, Yani tak pernah bisa datang ke Istana menemui Bung Karno, karena pagi itu, 1 Oktober 1965 Pukul 04.30 WIB, sepasukan tentara datang menjemput Yani. Mereka mengatakan bahwa Yani diminta menghadap Soekarno segera saat itu juga. Yani sendiri tak curiga karena ia memang sudah ada rencana hendak ke Istana menghadap Bung Karno. Maka dia meminta waktu kepada tentara yang menjemputnya untuk berganti pakaian dengan seragam dinas.
Namun niatnya itu dibantah oleh Tjakrabirawa yang menjemputnya. "Tak usah ganti baju, jenderal!" bentak seorang bintara Tjakrabirawa itu membentak. Hal itu membuat Yani marah (mana boleh seorang bintara berani kurang ajar pada jenderal). Lalu Yani, membalikkan badan dan menempeleng prajurit kurang ajar itu.
Pintu Tempat Jenderal Ahmad Yani Ditembak
Jenderal Ahmad Yani tewas ditembak di sini setelah menempeleng prajurit
kurang ajar di pintu ini. Ia ditembak dari jarak dekat, peluru menembus pintu
kaca memberondong tubuhnya yang berada dibalik pintu
Melihat peristiwa tersebut, seorang prajurit lainnya segera memberondong tubuh Yani dengan tembakan senapan otomatis secara membabi buta dari jarak dekat. Yani tersungkur dan gugur dengan berlumuran darah. Kejadian ini disaksikan oleh Untung dan Eddy, kedua putranya yang masih kecil.
Melihat peristiwa tersebut, seorang prajurit lainnya segera memberondong tubuh Yani dengan tembakan senapan otomatis secara membabi buta dari jarak dekat. Yani tersungkur dan gugur dengan berlumuran darah. Kejadian ini disaksikan oleh Untung dan Eddy, kedua putranya yang masih kecil.
Lokasi Jenderal Ahmad Yani Tewas
Ditembak, Prasasti ini menunjukkan lokasi tersungkur dan gugurnya Jenderal
Ahmad Yani, di balik pintu kaca dan pas di sebelah meja makan
Lorong di depan pintu kaca. Di sepanjang lorong ini
tubuh Jenderal Ahmad Yani diseret kemudian berbelok ke kanan. Darah berceceran
dan menggenang di sepanjang lorong
Foto ini menunjukkan jejak-jejak darah saat jenazah
Pak Yani diseret dengan keji di sepanjang lorong
Lalu para gerombolan prajurit itu menyeret jenazah Yani di sepanjang lorong dan melemparnya ke atas truk. Mereka membawanya pergi, tapi bukan ke Istana melainkan ke sebuah tempat di Lubang Buaya Jakarta Timur. Itulah akhir tragis dari seorang Jenderal yang memiliki rekam jejak cemerlang dalam peristiwa nahas G30S/PKI.
(foto dokumentasi pribadi, Ahmad Yani Tumbal Revolusi/Galang Press, Museum Sasmitaloka Ahmad Yani dan berbagai sumber-sumber lain)
Sumber : http://www.memobee.com/foto-kisah-nyata-nasib-tragis-jenderal-ahmad-yani-anak-emas-presiden-soekarno-10107-eij.html
Tragedi Kanigoro, PKI Serang Pesantren
Masih lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren Al-Jauhar
di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kala itu, jarum
jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127 peserta pelatihan mental Pelajar
Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh.
Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu.
Sebagian massa PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke
karung. "Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak,"
kata Masdoeqi saat ditemui Tempo di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten
Kediri, pekan lalu.
Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid. "Saya
melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata," tutur Masdoeqi, yang
kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.
Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh
Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo,
Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar
rumah.
Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk Kiai
Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada polisi. Menurut
Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota PKI itu mencaci maki dan
mengancam akan membunuh. Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader
PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya.
Akhir 1964, memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan
Jombang. "Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar
Masdoeqi, menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.
Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya PKI melakukan
penyerangan besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski hubungan kelompok santri
dan PKI tegang, tak pernah ada konflik terbuka.
Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerbuan di Kanigoro menimbulkan trauma
sekaligus kemarahan kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri, yang sebagian
besar santri pesantren. Memang kala itu para santri belum bergerak membalas.
Namun, seperti api dalam sekam, ketegangan antara PKI dan santri makin
membara.
Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki, mengakui atmosfer
permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung jauh sebelum pembantaian.
"Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak," katanya. Kubu
NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap kegiatan publik. Misalnya
ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus, rombongan PKI dan
rombongan NU saling ejek bahkan sampai melibatkan simpatisan kedua kelompok.
Kondisi itu semakin diperparah oleh penyerbuan PKI ke Kanigoro.
Peristiwa di Kanigoro
itu pula yang memperkuat tekad kaum pesantren dan anggota Ansor di Kediri,
termasuk Abdul, membantai anggota PKI. Pembantaian mencapai puncaknya ketika
pemerintah mengumumkan bahwa PKI adalah organisasi terlarang. Abdul dan para
anggota Ansor lainnya semakin yakin bahwa perbuatan mereka benar. "Seperti
api yang disiram bensin, kami semakin mendapat angin untuk memusnahkan
PKI," ujarnya.
Pengakuan Anwar Congo sang Pembantai PKI
Posted by KabarNet pada 30/09/2012
Jakarta
– KabarNet: Sebuah
pengakuan yang mengejutkan dari seorang bernama Anwar Congo, ia mengaku
terang-terangan telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota dan
organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966.TAWA LEBAR menghias bibir seorang lelaki
berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di
kepalanya. Seorang presenter televisi lantas memperkenalkan nama laki-laki itu.
“Pak Anwar Congo.” Tepuk tangan sontak menggema.Sekelompok
orang yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak
gembira dengan kehadiran Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk
tangan berasal. “Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemukan sistem baru yang
lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi,
kurang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga
langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari
presenter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih
sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan
laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter
itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu.
Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya. Tak jelas kapan adegan
talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan
logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini.
Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa
Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu
organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui,
pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya
Gerakan 30 September pada 30 September 1965.
Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi
TNI AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku
sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Beberapa minggu setelah tragedi itu,
jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban
itu adalah mereka yang tidak tahu menahu tentang pembunuhan para jenderal
ataupun PKI.
Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuhan
terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini
pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang
mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI.
Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mempertontonkan kemampuan Anwar
membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenheimer
berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival
Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia.
Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang
pelaku.
Berbagai cuplikan yang didapat, kawat merupakan
senjata andalan yang digunakan Anwar dalam pembantaian. Pembunuhan dengan
lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan
bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72
tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.
Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama
rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya
merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk
mengenang kembali pembantaian yang dilakukan. Tak ada rasa sesal dalam
pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan
tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan
kawat sebagai sebuah prestasi .
Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan
dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi.
Mereka siap berakting sebagai korban.
Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya.
Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede
dan Herman Koto, kader PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu.
Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berjudul Arsan dan Aminah. Film ini
akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan. “Kalau kita sukses bikin
film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini
masalah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar
180 derajat, bahkan 360 derajat,” ungkap Adi.
…”Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa
mendengar suara korban yang telah dibunuhnya”…Sebuah skenario film memang telah disiapkan.
Semua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan
kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuhan.
Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah
menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah
dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu. Namun ia tak ingin
sebuah cerita yang berakhir dengan penyesalan.
Adegan terakhir yang diinginkannya adalah
penyerahan medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterimanya
karena mengantar korban ke surga. Penyerahan medali ini dilakukan di depan air
terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup
skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.
Pembuatan film ini berawal ketika Joshua
membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan
pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu
sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun
pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada
Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai
pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.
The Act
of Killing merupakan
film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang
dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di
sela-sela syuting Arsan dan Aminah.
Lewat The Act of Killing, Joshua
menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966.
Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian
itu layak dilakukan. “Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan
bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah
aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik, pada 28 September 2012.
Film ini jelas berlawanan dengan propaganda
Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang
informasi ketika menerima kehadiran para pelaku pembantaian ini. Trailer film
Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde
Baru dinaungi oleh pemerintah. Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang
beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto. Ia
menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.
…“Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah
diubah, tanpa minta persetujuan saya”…Meski belum beredar di negeri ini, film ini
langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh sutradara karena
mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Bahkan hingga kini ia belum
menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu. “Ya saya merasa
ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu
26 September 2012.
Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak
mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya.
Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI.
“Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat,” kata anwar.
Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan
pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi.
Japto: Ini Masalah Anwar Congo Bukan Masalah PPBerikut wawancara dengan Ketua Umum
Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto
Soelistiyo Soerjosoemarno kepadamajalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin
Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Bagaimana
tanggapan Anda atas film the Act of Killing, yang menggambarkan adegan Pemuda
Pancasila memburu orang-orang PKI di Sumatera Utara?Begini, yang namanya Joshua Oppenheimer ini,
dia itu produsernya dan juga sutradaranya. Dia mengatakan, membuat film di
Indonesia tentang kepemudaan di Indonesia dalam rangka mengambil Ph.D atau
gelar S3. Saya nggak tahu kalau dia ketemu Anwar Congo buat film, katanya
membuat film pribadi tentang Anwar Congo, itu katanya. Nah, kebetulan kita di
sana sedang ada Muswil PP di Medan waktu itu, Muswil PP itu juga diambil
gambarnya. Juga waktu acara di DKI Jakarta, waktu itu acara pelepasan di kantor
Kemenpora diambil juga gambarnya. Saya nggak tahu kalau maksudnya untuk
mendiskreditkan PP, saya nggak tahu sama sekali. Karena kalaupun untuk
mendiskreditkan PP itu sangat jauh sekali. Itu tahun 1966, kita kan di tahun
1980-an, saat itu saya saja belum di PP dan masih pelajar.
Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?Memang Pak Anwar Congo merupakan tokoh PP, tapi
PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebuah kejahatan terhadap
komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya
ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya
pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.
Apakah PP memang dilibatkan dalam kasus
pemberantasan PKI tahun 1965?Oh tidak hanya di sana saja, tapi seluruh Indonesia
loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya
PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda Ansor. Begitu juga di Jawa
Timur, tidak hanya PP,ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.
Apakah PP akan mempersoalkan film ini?Mempermasalahkan apa? Ini masalah Anwar Congo,
bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya
organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar
Congo sama yang membuat film.
Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas,
apalagi ada penggambaran PP bagaimana?Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara
musyawarah kita tidak dimasukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya
ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja. ****
Anwar Congo Merasa Ditipu
AnwAr Congo, tokoh organisasi massa Pemuda
Pancasila (PP) Medan yang menjadi tokoh utama dalam film “The Act of Killing”
besutan Joshua Oppenheimer, merasa telah ditipu oleh sang sutradara. Berikut
pengakuan Anwar dalam jumpa pers di kantor Pemuda Pancasila Medan.
Kalau kita bicara mengenai sosok Joshua,
kirakira keadaannya seperti apa? Apakah ada order tertentu?
Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya
kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat
film itu saya juga heran. Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda
Pancasila pada tahun 1965.
Saat itu situasinya seperti apa?
Kita akui situasi saat itu memang cukup
menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.
Berarti ada ancaman?
Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa
tanggapan masyarakat? Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum pernah
lihat. Sampai sekarang ini, macam mana bentuk film dan apa ceritanya saya juga
nggak tahu.
Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan
komando aksi, siapa yang mengajak?
Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para
pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat seenaknya. Mencederai pemuda.
Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu
satu-satunya musuh berat kita waktu itu.
Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang
mengatur?
Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu,
Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua
aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunisnya
kocar-kacir kita buat.
Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi
masyarakat?
Semua saya serahkan saja ke pengacara saya.
Anda ingin melihat film itu secara utuh?
Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai
sekarang saya belum pernah lihat.
Komunikasi terakhir dengan sutradaranya?
Sudah ada satu bulan nggak komunikasi lagi.
Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan
Joshua (sutradara, red)?
Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti
karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan
saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada
memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken.
Anda punya berkasnya?
Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak
kelihatan. Nggak ingat ditaruh di mana.
Kapan Anda gabung dengan komando aksi?
Dari awal saya sudah gabung, karena kantor
tempat saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelahan.
Inisiatif sendiri?
Inisiatif sendiri.
Anda merasa ditipu dengan film ini?
Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja
judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya. *****
Joshua Oppenheimer : Aneh kalau tak Ada KontroversiBerikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing,
Joshua Oppenheimer:
Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo dalam The
Act of Killing?
Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali
dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal
1965-1966 di Sumatera Utara selain membaca dari literatur mengenai premanisme
di Medan atau dari buku sejarah resmi
Pemuda Pancasila. Lalu saya datangi rumahnya
dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter
mengenainya.
Berapa Anwar Congo dibayar?
Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang
kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting
bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan bayangkan
kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami
menekan serendah mungkin jumlah uangnya. Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak
seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan,
kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang
cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan,
kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.
Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tanggapan
Anda?
Semua orang yang sudah melihat film ini
sepenuhnya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya
dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak
adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sendiri, skenario untuk film
fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar
menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI
yang disiarkan untuk umum.
Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya,
tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. Setiap kali kami membuat
film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjakan dan
untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman para partisipannya, film ini tidak
akan pernah ada. Saya pun telah menjelaskan apa fungsi film fiksi Arsan dan
Aminah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar
paham. Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk
mengglory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum,
tujuan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa
kalaupun ada kekerasan terhadap jutaan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena
diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil
(kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya
kejahatan.
Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi
kontroversi?
Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa
kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami.
Tentu saja film ini jadi kontroversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film
ini gagal membawa tugasnya. Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal
terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang
amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak
disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak
ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala
dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak. Dan kami angkat ceritanya, dari
sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh
publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami melawan propaganda yang gencar
dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi
kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kontroversi.
Berapa lama pembuatan film ini?
Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali
saya berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.
Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi?
Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah
bagaimana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan
bermanfaat bagi kemanusiaan. Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan
diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri
bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.
Akankah Anda akan meluncurkan film ini di
Indonesia? Kapan?
Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika
film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa
memastikan kapan dan di mana.Anwar Congo mengaku belum menonton film ini.
Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini
kepada Anwar?
Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat
bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah
satu adegan yang membangkitkan trauma psikologis dalam dirinya. Sebelum film
ini diluncurkan di Toronto, saya menelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan
film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut
menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang
saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto
atau memutarkan film ini kepadanya.***
Film The Act of Killing bercerita tentang kehidupan Anwar
Congo di masa muda. Dulunya, Anwar dan gerombolannya hanyalah preman kelas teri
pencatut karcis bioskop, tempat mereka nongkrong. Ketika pemerintahan
Sukarno digulingkan pada 1965, Anwar ‘naik pangkat’. Dia diangkat menjadi
pemimpin pasukan pembunuh, membantu tentara dalam membunuh lebih dari
satu juta orang. Korbannya adalah orang-orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa,
dan para intelektual. Perjalanan ‘lembah hitam’ itu dilakoni Anwar dan
kawan-kawa selama satu tahun.
Posted by KabarNet pada 30/09/2012
Jakarta – KabarNet: Sebuah pengakuan yang mengejutkan dari seorang bernama Anwar Congo, ia mengaku terang-terangan telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966.TAWA LEBAR menghias bibir seorang lelaki berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di kepalanya. Seorang presenter televisi lantas memperkenalkan nama laki-laki itu. “Pak Anwar Congo.” Tepuk tangan sontak menggema.Sekelompok orang yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak gembira dengan kehadiran Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk tangan berasal. “Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemukan sistem baru yang lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi, kurang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari presenter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu. Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya. Tak jelas kapan adegan talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini.
Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui, pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya Gerakan 30 September pada 30 September 1965.
Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi TNI AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Beberapa minggu setelah tragedi itu, jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban itu adalah mereka yang tidak tahu menahu tentang pembunuhan para jenderal ataupun PKI.
Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuhan terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI. Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mempertontonkan kemampuan Anwar membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenheimer berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia. Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang pelaku.
Berbagai cuplikan yang didapat, kawat merupakan senjata andalan yang digunakan Anwar dalam pembantaian. Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.
Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk mengenang kembali pembantaian yang dilakukan. Tak ada rasa sesal dalam pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan kawat sebagai sebuah prestasi .
Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi. Mereka siap berakting sebagai korban.
Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya. Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede dan Herman Koto, kader PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu. Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berjudul Arsan dan Aminah. Film ini akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan. “Kalau kita sukses bikin film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini masalah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar 180 derajat, bahkan 360 derajat,” ungkap Adi.
…”Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya”…Sebuah skenario film memang telah disiapkan. Semua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu. Namun ia tak ingin sebuah cerita yang berakhir dengan penyesalan.
Adegan terakhir yang diinginkannya adalah penyerahan medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterimanya karena mengantar korban ke surga. Penyerahan medali ini dilakukan di depan air terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.
Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.
Jakarta – KabarNet: Sebuah pengakuan yang mengejutkan dari seorang bernama Anwar Congo, ia mengaku terang-terangan telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966.TAWA LEBAR menghias bibir seorang lelaki berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di kepalanya. Seorang presenter televisi lantas memperkenalkan nama laki-laki itu. “Pak Anwar Congo.” Tepuk tangan sontak menggema.Sekelompok orang yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak gembira dengan kehadiran Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk tangan berasal. “Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemukan sistem baru yang lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi, kurang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari presenter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu. Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya. Tak jelas kapan adegan talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini.
Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui, pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya Gerakan 30 September pada 30 September 1965.
Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi TNI AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Beberapa minggu setelah tragedi itu, jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban itu adalah mereka yang tidak tahu menahu tentang pembunuhan para jenderal ataupun PKI.
Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuhan terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI. Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mempertontonkan kemampuan Anwar membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenheimer berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia. Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang pelaku.
Berbagai cuplikan yang didapat, kawat merupakan senjata andalan yang digunakan Anwar dalam pembantaian. Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.
Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk mengenang kembali pembantaian yang dilakukan. Tak ada rasa sesal dalam pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan kawat sebagai sebuah prestasi .
Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi. Mereka siap berakting sebagai korban.
Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya. Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede dan Herman Koto, kader PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu. Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berjudul Arsan dan Aminah. Film ini akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan. “Kalau kita sukses bikin film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini masalah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar 180 derajat, bahkan 360 derajat,” ungkap Adi.
…”Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya”…Sebuah skenario film memang telah disiapkan. Semua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu. Namun ia tak ingin sebuah cerita yang berakhir dengan penyesalan.
Adegan terakhir yang diinginkannya adalah penyerahan medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterimanya karena mengantar korban ke surga. Penyerahan medali ini dilakukan di depan air terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.
Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.
The Act
of Killing merupakan
film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang
dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di
sela-sela syuting Arsan dan Aminah.
Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan. “Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik, pada 28 September 2012.
Film ini jelas berlawanan dengan propaganda Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang informasi ketika menerima kehadiran para pelaku pembantaian ini. Trailer film Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto. Ia menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.
…“Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa minta persetujuan saya”…Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh sutradara karena mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Bahkan hingga kini ia belum menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu. “Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu 26 September 2012.
Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya. Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI. “Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat,” kata anwar. Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi.
Japto: Ini Masalah Anwar Congo Bukan Masalah PPBerikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepadamajalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan. “Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik, pada 28 September 2012.
Film ini jelas berlawanan dengan propaganda Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang informasi ketika menerima kehadiran para pelaku pembantaian ini. Trailer film Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto. Ia menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.
…“Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa minta persetujuan saya”…Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh sutradara karena mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Bahkan hingga kini ia belum menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu. “Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu 26 September 2012.
Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya. Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI. “Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat,” kata anwar. Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi.
Japto: Ini Masalah Anwar Congo Bukan Masalah PPBerikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepadamajalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Bagaimana
tanggapan Anda atas film the Act of Killing, yang menggambarkan adegan Pemuda
Pancasila memburu orang-orang PKI di Sumatera Utara?Begini, yang namanya Joshua Oppenheimer ini,
dia itu produsernya dan juga sutradaranya. Dia mengatakan, membuat film di
Indonesia tentang kepemudaan di Indonesia dalam rangka mengambil Ph.D atau
gelar S3. Saya nggak tahu kalau dia ketemu Anwar Congo buat film, katanya
membuat film pribadi tentang Anwar Congo, itu katanya. Nah, kebetulan kita di
sana sedang ada Muswil PP di Medan waktu itu, Muswil PP itu juga diambil
gambarnya. Juga waktu acara di DKI Jakarta, waktu itu acara pelepasan di kantor
Kemenpora diambil juga gambarnya. Saya nggak tahu kalau maksudnya untuk
mendiskreditkan PP, saya nggak tahu sama sekali. Karena kalaupun untuk
mendiskreditkan PP itu sangat jauh sekali. Itu tahun 1966, kita kan di tahun
1980-an, saat itu saya saja belum di PP dan masih pelajar.
Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?Memang Pak Anwar Congo merupakan tokoh PP, tapi PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebuah kejahatan terhadap komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.
Apakah PP memang dilibatkan dalam kasus pemberantasan PKI tahun 1965?Oh tidak hanya di sana saja, tapi seluruh Indonesia loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda Ansor. Begitu juga di Jawa Timur, tidak hanya PP,ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.
Apakah PP akan mempersoalkan film ini?Mempermasalahkan apa? Ini masalah Anwar Congo, bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar Congo sama yang membuat film.
Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas, apalagi ada penggambaran PP bagaimana?Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara musyawarah kita tidak dimasukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja. ****
Anwar Congo Merasa Ditipu
Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?Memang Pak Anwar Congo merupakan tokoh PP, tapi PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebuah kejahatan terhadap komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.
Apakah PP memang dilibatkan dalam kasus pemberantasan PKI tahun 1965?Oh tidak hanya di sana saja, tapi seluruh Indonesia loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda Ansor. Begitu juga di Jawa Timur, tidak hanya PP,ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.
Apakah PP akan mempersoalkan film ini?Mempermasalahkan apa? Ini masalah Anwar Congo, bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar Congo sama yang membuat film.
Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas, apalagi ada penggambaran PP bagaimana?Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara musyawarah kita tidak dimasukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja. ****
Anwar Congo Merasa Ditipu
AnwAr Congo, tokoh organisasi massa Pemuda
Pancasila (PP) Medan yang menjadi tokoh utama dalam film “The Act of Killing”
besutan Joshua Oppenheimer, merasa telah ditipu oleh sang sutradara. Berikut
pengakuan Anwar dalam jumpa pers di kantor Pemuda Pancasila Medan.
Kalau kita bicara mengenai sosok Joshua,
kirakira keadaannya seperti apa? Apakah ada order tertentu?
Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat film itu saya juga heran. Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda Pancasila pada tahun 1965.
Saat itu situasinya seperti apa?
Kita akui situasi saat itu memang cukup menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.
Berarti ada ancaman?
Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa tanggapan masyarakat? Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum pernah lihat. Sampai sekarang ini, macam mana bentuk film dan apa ceritanya saya juga nggak tahu.
Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan komando aksi, siapa yang mengajak?
Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat seenaknya. Mencederai pemuda. Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu satu-satunya musuh berat kita waktu itu.
Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang mengatur?
Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu, Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunisnya kocar-kacir kita buat.
Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi masyarakat?
Semua saya serahkan saja ke pengacara saya.
Anda ingin melihat film itu secara utuh?
Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai sekarang saya belum pernah lihat.
Komunikasi terakhir dengan sutradaranya?
Sudah ada satu bulan nggak komunikasi lagi.
Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan Joshua (sutradara, red)?
Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken.
Anda punya berkasnya?
Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak kelihatan. Nggak ingat ditaruh di mana.
Kapan Anda gabung dengan komando aksi?
Dari awal saya sudah gabung, karena kantor tempat saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelahan.
Inisiatif sendiri?
Inisiatif sendiri.
Anda merasa ditipu dengan film ini?
Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya. *****
Joshua Oppenheimer : Aneh kalau tak Ada KontroversiBerikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer:
Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo dalam The Act of Killing?
Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal 1965-1966 di Sumatera Utara selain membaca dari literatur mengenai premanisme di Medan atau dari buku sejarah resmi
Pemuda Pancasila. Lalu saya datangi rumahnya dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter mengenainya.
Berapa Anwar Congo dibayar?
Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan bayangkan kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami menekan serendah mungkin jumlah uangnya. Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan, kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan, kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.
Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tanggapan Anda?
Semua orang yang sudah melihat film ini sepenuhnya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sendiri, skenario untuk film fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum.
Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya, tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. Setiap kali kami membuat film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjakan dan untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman para partisipannya, film ini tidak akan pernah ada. Saya pun telah menjelaskan apa fungsi film fiksi Arsan dan Aminah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar paham. Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk mengglory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum, tujuan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa kalaupun ada kekerasan terhadap jutaan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil (kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya kejahatan.
Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi kontroversi?
Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami. Tentu saja film ini jadi kontroversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film ini gagal membawa tugasnya. Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak. Dan kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami melawan propaganda yang gencar dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kontroversi.
Berapa lama pembuatan film ini?
Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali saya berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.
Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi?
Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah bagaimana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.
Akankah Anda akan meluncurkan film ini di Indonesia? Kapan?
Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa memastikan kapan dan di mana.Anwar Congo mengaku belum menonton film ini.
Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini kepada Anwar?
Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah satu adegan yang membangkitkan trauma psikologis dalam dirinya. Sebelum film ini diluncurkan di Toronto, saya menelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto atau memutarkan film ini kepadanya.***
Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat film itu saya juga heran. Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda Pancasila pada tahun 1965.
Saat itu situasinya seperti apa?
Kita akui situasi saat itu memang cukup menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.
Berarti ada ancaman?
Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa tanggapan masyarakat? Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum pernah lihat. Sampai sekarang ini, macam mana bentuk film dan apa ceritanya saya juga nggak tahu.
Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan komando aksi, siapa yang mengajak?
Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat seenaknya. Mencederai pemuda. Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu satu-satunya musuh berat kita waktu itu.
Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang mengatur?
Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu, Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunisnya kocar-kacir kita buat.
Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi masyarakat?
Semua saya serahkan saja ke pengacara saya.
Anda ingin melihat film itu secara utuh?
Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai sekarang saya belum pernah lihat.
Komunikasi terakhir dengan sutradaranya?
Sudah ada satu bulan nggak komunikasi lagi.
Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan Joshua (sutradara, red)?
Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken.
Anda punya berkasnya?
Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak kelihatan. Nggak ingat ditaruh di mana.
Kapan Anda gabung dengan komando aksi?
Dari awal saya sudah gabung, karena kantor tempat saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelahan.
Inisiatif sendiri?
Inisiatif sendiri.
Anda merasa ditipu dengan film ini?
Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya. *****
Joshua Oppenheimer : Aneh kalau tak Ada KontroversiBerikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer:
Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo dalam The Act of Killing?
Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal 1965-1966 di Sumatera Utara selain membaca dari literatur mengenai premanisme di Medan atau dari buku sejarah resmi
Pemuda Pancasila. Lalu saya datangi rumahnya dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter mengenainya.
Berapa Anwar Congo dibayar?
Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan bayangkan kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami menekan serendah mungkin jumlah uangnya. Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan, kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan, kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.
Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tanggapan Anda?
Semua orang yang sudah melihat film ini sepenuhnya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sendiri, skenario untuk film fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum.
Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya, tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. Setiap kali kami membuat film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjakan dan untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman para partisipannya, film ini tidak akan pernah ada. Saya pun telah menjelaskan apa fungsi film fiksi Arsan dan Aminah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar paham. Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk mengglory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum, tujuan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa kalaupun ada kekerasan terhadap jutaan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil (kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya kejahatan.
Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi kontroversi?
Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami. Tentu saja film ini jadi kontroversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film ini gagal membawa tugasnya. Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak. Dan kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami melawan propaganda yang gencar dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kontroversi.
Berapa lama pembuatan film ini?
Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali saya berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.
Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi?
Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah bagaimana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.
Akankah Anda akan meluncurkan film ini di Indonesia? Kapan?
Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa memastikan kapan dan di mana.Anwar Congo mengaku belum menonton film ini.
Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini kepada Anwar?
Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah satu adegan yang membangkitkan trauma psikologis dalam dirinya. Sebelum film ini diluncurkan di Toronto, saya menelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto atau memutarkan film ini kepadanya.***
Film The Act of Killing bercerita tentang kehidupan Anwar
Congo di masa muda. Dulunya, Anwar dan gerombolannya hanyalah preman kelas teri
pencatut karcis bioskop, tempat mereka nongkrong. Ketika pemerintahan
Sukarno digulingkan pada 1965, Anwar ‘naik pangkat’. Dia diangkat menjadi
pemimpin pasukan pembunuh, membantu tentara dalam membunuh lebih dari
satu juta orang. Korbannya adalah orang-orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa,
dan para intelektual. Perjalanan ‘lembah hitam’ itu dilakoni Anwar dan
kawan-kawa selama satu tahun.
Anwar Congo selaku pemeran utama dalam film itu belum
pernah sekali pun melihat film ‘The Act of Killing’. Dia merasa kecewa
pada sutradara. Apalagi saat pembuatan dia diberitahu film itu berjudul ‘Arsan
dan Aminah’, bukan ‘The Act of Killing’. Anwar pun merasa ditipu. Majelis
Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) menilai film itu melenceng dari
kebenaran karena disajikan sepotong-sepotong. Dia pun berencana membuat film
tandingan. Anwar Congo yang oleh MPW PP dianggap sebagai sesepuh Pemuda
Pancasila di Medan, Sumut dinilai hanya korban. [KbrNet/Slm]
Source: Majalah Detik, edisi 1 – 7 oktober 2012
Alfiannur Syafitri said
Medan, 10 Oktober 2012
Kepada Yang Terhormat,
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
di-
Kebayoran Centre
Jl. Kebayoran Baru, Majestik
Jakarta 12240
red@tempo.co.id
Saya yang bertanda
tangan dibawah ini;
Nama : H. Yan Paruhum
Lubis alias Ucok Majestik
Tempat, Tgl.Lahir : Sibolga, 22 – 12 – 1934
Alamat : Jl. Melati Raya No. 4 Blok XIX Lingk. XI Helvetia-Tengah
Medan, 20124
HP : 081264408584
Jabatan : – Majelis Pertimbangan Organisasi Majelis Pimpinan –
Nasional Pemuda Pancasila.
– Pinisepuh Pemuda Pancasila.
– Mantan Ketua Kubu Pancasila Sumut dan Kordinator
Pemuda Pancasila Kota Medan.
Bersama surat ini
menyampaikan Hak Jawab dan Bantahan sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun
1999, Pasal 5: (1), (2), (3); Pasal 18: (2); Peraturan Dewan Pers
No.9/Peraturan-DP/X/2008, dan Kode Etik Jurnalistik; terkait pemberitaan
Majalah Tempo Edisi 1-7 Oktober 2012, karena terjadi pemberitaan yang tidak
benar disebabkan kekeliruan dan tidak akuratnya fakta juga data dalam
pemberitaan berjudul: Para Algojo 1965 Pengakuan Anwar Congo; Dari Serdang
Bedagai Sampai Medan; Kol 2 Hal 113:
“…………Anwar dikenal
sebagai preman bioskop. Dia dulu menguasai pasar gelap karcis di Medan Bioskop.
Oppenheimer menemukan bukti bahwa anggota pasukan pembunuh di Medan pada 1965
rata-rata direkrut dari preman bioskop”.
“…………Mereka membentuk
pasukan pembunuh yang terkenal dan ditakuti di Medan, yaitu Pasukan Kodok.
Pasukan ini berada dibawah sayap pemuda partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia, yang didirikan Jendral AH. Nasution: Pemuda Pancasila. Di Pemuda
Pancasila Anwar bisa dikatakan salah satu pendiri dan pinisepuhnya”.
Kemudian pada Kolom 3
Hal 113:
“…………..Oppenheimer
mempertemukan Anwar dengan kawan lamanya, Ibrahim Sinik, pemilik harian Medan
Pos yang lantai atas kantornya sering digunakan Anwar untuk melakukan
pembantaian”.
Tidak akuratnya fakta
dan data juga terjadi dalam judul berita, Algojo dan Narasumber Skripsi: Hal
116 Kolom 2; “Sikapnya ini berbeda jauh dibanding saat dia menjelaskan caranya
menghabisi orang PKI. Dengan mengambil lokasi lantai atas kantor Medan Pos”.
Meluruskan pemberitaan
diatas bersumber pada Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer yang
mengambil setting dan latar belakang peristiwa demo Kampung Kolam pada 25
Oktober 1965 (penggambaran dalam film tentang sebuah kawasan/perkampungan yang
diserang massa Pemuda Pancasila dibantu tentara), dan Majalah Tempo memuatnya
tanpa melakukan cek dan ricek ulang kepada saya sebagai salah satu
pendiri(pembentuk) Pemuda Pancasila di Sumut yang masih hidup selain Alm. Kosen
Cokrosentono dan Alm. HMY. Efendi Nasution alias Fendi Keling, maka saya perlu
memberikan hak jawab dan bantahan agar tidak terjadi pemberitaan yang tidak
objektif, bias, serta pengkaburan dan pemutarbalikkan sejarah perlawanan
masyarakat Sumatra Utara terhadap komunis ditahun 1965. Sekaligus membabi buta
menuding organisasi Pemuda Pancasila dijadikan militer melakukan pembantaian
massal masa Komunis di Sumatra Utara dan Kota Medan
Tidak benar dan tidak
ada sekelompok pembunuh yang mayoritas adalah preman bioskop, yang kemudian
direkrut tentara dan disebut Pasukan Kodok di Sumatra Utara ataupun Kota Medan
saat itu. Jika ada anggota Pemuda Pancasila yang direkrut untuk menjadi
pembunuh dalam sebuah unit khusus yang disebut Pasukan Kodok, sebagai Ketua
Kubu Pancasila Sumut serta Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan dimasa itu,
tentunya saya wajib tahu terhadap keberadaan unit itu demikan juga siapa saja
anggota Pemuda Pancasila yang direkrut didalamnya. Jadi keterangan seluruh
narasumber Joshua Oppenheimer sebagaimana dituangkan dalam film The Act of
Killing terhadap keberadaan Pemuda Pancasila di Sumut dan Kota Medan soal
pembantaian massal yang dikordinir militer adalah keliru, bercampur fantasi dan
euphoria serta tidak didukung fakta dan data yang terjadi saat itu.
Jika disebut sebagai
keterangan atau pengakuan pribadi dari seseorang maupun beberapa orang yang
mengaku sebagai pelaku pembunuhan dan pembantaian massal, dan mereka juga
anggota organisasi Pemuda Pancasila, keterangan ini juga tidak dapat diyakini
keakuratan fakta serta datanya, sebab tidak pernah ada pembantaian massal yang
dilakukan dalam kantor Pemuda Pancasila. Apalagi saat itu, kantor dikawasan
Pekong Lima, merangkap kantor Redaksi Harian Cahaya, juga kantor bersama IPKI
Sumut dengan Ketua Kerani Bukit, Kantor IPKI Medan dengan Ketua Dana, Kantor
Pemuda Pancasila Sumut dengan Ketua MY Efendi Nasution dan Kantor Kubu
Pancasila Sumut merangkap Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan, yakni saya,
Yan Paruhum Lubis. Dan terakhir menjelang pecahnya peristiwa penculikan dan
pembunuhan para jendral di Jakarta, menjadi Kantor Dastagor Lubis yang ditunjuk
Partai IPKI Sumut menjadi Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan. Setelah sebelumnya
kantor bersama kami adalah di Jl. Veteran(bersebelahan dan tidak telalu jauh
dengan dengan Kantor Jl. Sutomo).
Materi lain yang tak
kalah pentingnya untuk dikoreksi dengan Hak Jawab dan Bantahan, yakni
pembantaian dilantai atas kantor Harian Medan Pos. Kantor Harian Medan Pos saat
ini berlokasi di Jl. Perdana 107-109 Medan, kantor dan nama Medan Pos baru ada
sejak tahun 1973. Penulisan 9 Mei 1966 pada halaman satu bagian depan atas
Koran Medan Pos, merujuk pada historis jika sebelum pengalihan kepemilikan
kepada Ibrahim Sinik, koran bernama Sinar Pembangunan. Sebelumnya dimasa G-30/S
media tadi bernama Harian Cahaya dan berkantor di Jl. Sutomo(Kantor
Darah-Pekong Lima dalam dialog Anwar Congo saat berkeliling dengan mobil
bersama teman-temannya), bangunan milik Kerani Bukit Ketua IPKI Sumut. Harian
Cahaya saat itu dipimpin oleh Pemimpin Redaksi Arsyad Noeh(kerabat kandung
Afnawie Noeh, Ketua BPRPI Sumut), dengan Sekretaris Redaksi So Aduon Siregar.
Jadi jelas tidak pernah ada pembantaian di lantai atas kantor Harian Medan Pos
sebagaimana ditulis dalam berita Tempo.
Ketika Harian Cahaya
masih terbit, AM. Sinnik(kerabat kandung Ibrahim Sinik, bertanggungjawab dalam
pendistribusian media ini, sementara Ibrahim Sinik saat itu sebagai pentolan
dan aktifis MURBA Sumut beraktifitas menangani usaha dagang keluarganya sebagai
distributor buah-buahan di Medan. Jadi yang bersangkutan belum masuk dalam jajaran
redaksi Harian Cahaya ataupun jurnalis Harian Cahaya.
Hingga pemberitaan
edisi Tempo terkait Film The Act of Killing, masih saya sendiri yang disebut
sebagai Pinisepuh Pemuda Pancasila, kehormatan itu diberikan organisasi untuk
mengenang sejarah eksistensi Pemuda Pancasila menghadapi panasnya bara Komunis
di Indonesia, juga di Sumatra Utara dan Kota Medan kurun 1963 -1967, khususnya
pengorbanan 9 orang anggota Pemuda Pancasila yang dibantai Komunis dalam priode
itu. Serta melihat fakta hingga saat ini tinggal saya sendiri pendiri Pemuda
Pancasila di Sumatra Utara dan Kota Medan yang masih hidup, selain Alm. Kosen
Cokrosentono dan Alm. HMY Efendi Nasution.
Untuk membantu Redaksi
Tempo memahami Hak Jawab dan Bantahan, akan saya berikan kronologis peristiwa
yang terjadi yang menjadi satu kesatuan yang utuh dalam Hak Jawab dan Bantahan,
dan kewajiban Redaksi Majalah Tempo memuatnya secara utuh. Hak Jawab dan
Bantahan saya juga harus dimuat di group Majalah Tempo, yang juga ikut
menyiarkan pemberitaan dari Film The Act of Killing, sebagai bentuk permintaan
maaf dari Redaksi Majalah Tempo lalai hingga meloloskan berita yang tidak
benar, karena tidak akuratnya fakta dan data yang disajikan serta cenderung
keliru kepada khalayak tentang Pemuda Pancasila. Hingga cenderung menyesatkan
publik, masyarakat yang selama ini menjadi pembaca setia-termasuk saya pribadi
yang juga pembaca setia Majalah Tempo.
Pemuatan secara utuh
Hak Jawab dan Bantahan sekaligus kronologis yang saya informasikan, sekaligus
untuk koreksi adanya unsur plagiat yang dilakukan Redaksi Majalah Tempo, dengan
memuat informasi yang ada dalam The Act of Killing dalam berbagai artikel yang
berhubungan dengan pemberitaan dengan Judul Utama: Pengakuan Algojo 1965 dan
dipecah menjadi sub-sub judul seperti tersebut diatas, menjadi seolah-olah
adalah reportase Jurnalis Majalah Tempo, padahal adalah petikan-petikan dari
synopsis Film The Act of Killing dan pernyataan Joshua Oppenheimer. Lalu
disiarkan untuk publik tanpa konfirmasi kepada saya sebagai pihak yang
mengetahui kronologis peristiwa perlawanan masyarakat Sumatra Utara dan mau
tidak mau melibatkan Pemuda Pancasila terhadap Komunis dimasa itu, termasuk
peristiwa Demo Kampung Kolam. Bila Redaksi Majalah Tempo tidak memuat Hak Jawab
dan Bantahan saya ini secara utuh, saya dengan sukarela akan menyelesaikan
permasalahan ini melalui jalur hukum, baik secara pidana ataupun perdata
sebagaimana diatur oleh UU Pokok Pers.
Berikut akan saya
terakan kronologis fakta dan data yang saya jalani agar Redaksi Majalah Tempo
dan masyarakat mengetahui kondisi yang sebenarnya;
Tahun 1954: Setelah
menjatuhkan Pak Mamat yang terpeleset dari tangga Bioskop Majestik saat
berusaha menampar saya, karena menanyakan mengapa Pak Mamat memukuli Entong,
teman saya yang ingin masuk kedalam pembukaan bioskop paling megah di Kota
Medan saat itu, saya dipanggil dengan sebutan Ucok Majestik. Sejak peristiwa
itu, saya dipercaya beberapa pemilik bioskop di Medan menjalankan dan
mengamankan operasional bioskop-bioskop di Medan, termasuk Bioskop Majestik
yang saat itu adalah milik seorang turunan bernama A Hwat.
Maret 1962: Sekretaris
IPKI Sumut Kosen Cokrosentono yang juga Kepala Penerangan Propinsi Sumut,
sekaligus guru pengajar Pancasila di era Presiden Soekarno, bersama Ketua II
Partai IPKI Bidang Pemuda MY. Efendi Nasution membawa saya ke Jakarta untuk
bertemu Ratu Aminah Hidayat di Menteng Raya 70, dan bertemu Jendral AH.
Nasution di Cijantung. Ratu Aminah dan Jendral AH. Nasution minta kami
membentuk karyawan IPKI(sayap partai), seperti Kubu Pancasila, Pemuda
Pancasila, Sarjana Pancasila dst, di Sumut dan Kota Medan, dengan visi misi
menjaga tetap utuh tegaknya 4 Pilar Kebangsaan. Ratu Aminah Hidahat
menerangkan, awalnya pada tahun 1959, IPKI membentuk Pemuda Patriotik. Dan pada
tahun 1960 dalam kongres pertama IPKI di Lembang-Bandung, Pemuda Patriotik
berubah nama menjadi Pemuda Pancasila.
Juni 1963: MY. Efendi
Nasution dilantik menjadi Ketua Wilayah Pemuda Pancasila Sumut di Balai Selekta
Jl. Listrik Medan(saat ini lapangan kosong disebelah Gedung Pendam I/ BB), saya
yang tidak hadir dalam acara pelantikan tadi, kemudian ditunjuk menjadi Ketua
Kubu Pancasila Sumut merangkap Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan oleh
Kerani Bukit dan Kosen Cokrosentono. Dengan kantor di Jl. Veteran-dekat Jl.
Sutomo. Dan 6 bulan kemudian pindah kekantor di Jl. Sutomo(Pekong Lima) sebagai
kantor bersama, di gedung milik Kerani Bukit. Sebagai kordinator Pemuda
Pancasila Kota Medan saya menunjuk pengurus ranting kelurahan pertama Pemuda
Pancasila di Medan yakni Ranting Pulo Brayan dipimpin Saibun Usman, kemudian
saya menunjuk pengurus kecamatan pertama yakni Medan Barat dipimpin Nikolas
Pulungan(pemilik Medan Bioskop, Orion Bioskop dan Orange Biokop). Dibentuk juga
Kubu Pancasila unit angkatan darat laut dan udara dipimpin Anton Nasution.
Untuk memperkuat
organisasi Kubu Pancasila Sumut dan Pemuda Pancasila Sumut, saya tempatkan
orang-orang anggota Pemuda Pancasila dan Kubu Pancasila di bioskop-bioskop
sebagai pekerjanya, seperti menjadi Acting Manajer- Supervisor-atau Mandor
Besar, yaitu: Bioskop Majestik-Kelly, Bioskop Rex-Dastagor Lubis, Bioskop Deli
-Abdullah Teeng dan Syarbaini Tanjung (Ten), Medan Bioskop-Rosiman(pengamanan
Medan Bioskop saya ambil alih dari kelompok pemuda Jl. Buntu-PJKA yang saat itu
dipimpin Adong), Bioskop Cathay-Barik dan Amran YS(pengamanan Cathay saya ambil
alih dari Manis Sembiring dkk), Bioskop Orion-Dahlan, Bioskop Morning-Bakti
Lubis, Bioskop Kok Tay-Jep(seorang Pemuda Minang yang biasa kami panggil
Jepang), Bioskop Kapitol-Witchin, Bioskop Astanaria-Dame. Hampir setiap malam,
saya, Fendi Keling dan Dastagor Lubis menyempatkan diri berbincang perkembangan
terakhir Sumut dan Medan, diruangan atas belakang gedung bioskop Rex-Ria(saat
ini sebuah restoran didepan gedung UNILAND Medan), sesekali teman Fendi bernama
Sahat Gurning bergabung dalam pembicaraan kami.
17 Agustus 1964:
Terjadi bentrok fisik pertama antara massa Pemuda Pancasila dengan Pemuda
Rakyat dalam peringatan HUT RI, saya tidak terima hardikan Wakil Ketua Pemuda
Rakyat Sumut-Hamid yang memerintahkan agar Pemuda Pancasila berbaris dalam
parit, sebab lapangan menurutnya hanya untuk PKI dan ormasnya. Hamid kemudian
melakukan propaganda dengan melapor kekantor Kodim dan PM, bahwa Pemuda
Pancasila yang saya pimpin berteriak-teriak minta PKI dan ormasnya dibubarkan.
Sesuatu yang mustahil karena pada saat itu kami hanya berjumlah 40 orang,
diantara ribuan massa PKI yang memenuhi Lapangan Benteng. Saya ditahan Pasi I
Kodim Medan Kapten Datuk Akhtar B dan wakilnya Letnan Ramli Markam, namun
selang beberapa jam kemudian bebas setelah dijemput Kosen Cokrosentono. Alm.
Efendi Nasution yang berjanji akan menyusul saat kami bergerak dari kantor IPKI
Sutomo menuju Lapangan Benteng karena ada urusan partai, hingga selesai acara
tidak hadir. Dari 40 orang anggota Pemuda Pancasila yang ikut parade
ini(namanya dicatat dalam buku besar Partai IPKI termasuk MY Efendi Nasution),
tidak ada satupun mereka yang jadi narasumber Joshua yang keterangannya
dijadikan dasar pembuatan film The Act of Killing. Anggota Pemuda Pancasila
yang ikut HUT RI ini yang sebahagian adalah pengurus IPKI antara lain:
Lilik(Kp. Keling), Dahlan, Suhemi Tanjung, Syarbaini Tanjung, Abdullah Teeng,
Siwadas(setelah Muslim ganti nama menjadi M. Yusuf), Berlin Tobing, Damos, Keriting,
,Rahmad Lubis, Kiting, Bakti Lubis, Yance, Syahruddin Nasution, Saibun Usman,
Mamak Isu, Usman Sitohang, Gusar Panggabean(Abang Alm. Olo Panggabean),
Witchin, Sarkunen, Dastagor Lubis, Viktor Sipahutar, Lilik(Glugur Bypass),
Dana, Nurdin Ritonga, Iskak Idris, Sailan Daly.
Sejak keributan
Lapangan Benteng itu, PKI dan ormasnya terus melakukan provokasi kepada Pemuda
Pancasila. Menjelang meletusnya G-30/S, dengan makin seringnya terjadi gesekan
antara massa Pemuda Pancasila dengan PKI dan ormasnya, IPKI pada pertengahan
1965 menunjuk Dastagor Lubis sebagai Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan.
Setan Kota, dengan sketsa diri saya tengah
menyembah Jendral AH Nasution yang duduk dikursi kerajaan, serta disamping
kanan serta kirinya dikawal Jendral A. Yani dan Jendral Sambas. Setelah hampir
4 hari menyisiri kawasan Kesawan untuk mencari kantor koran dimaksud, akhirnya
saya mengobrak-abrik kantor tadi, karena tidak ada satupun yang mengaku
bertanggungjawab atas pemuatan karikatur. Sejak peristiwa itu, saya terpaksa
mengungsi kerumah Fendi Keling dikawasan Mandala sampai beberapa bulan
menjelang meletusnya peristiwa G-30/S, karena rumah saya di
Sekip-Petisah-Majestik selalu didatangi patroli polisi yang ingin memberangus
saya. Ketika terjadi peralihan pemerintahan, beberapa polisi yang dulunya rutin
menyatroni saya, meminta maaf atas peristiwa itu dan mengatakan untunglah saya
dapat lolos dari sergapan mereka, karena atasannya saat itu memerintahkan
Tembak Ditempat Ucok Majestik.à Ucok Majestik àSetelah peristiwa Bandar Betsi(14 Mei 1965), Pemimpin Redaksi Harian Cahaya
Arsyad Noeh melapor jika percetakan Mistika yang terletak disekitar Jl. Pemuda
dekat kantor Polisi Sektor Barat, dan mencetak Harian Cahaya akan diserang
Pemuda Rakyat, karena media itu adalah media yang pertama memuat tewasnya Pelda
Sujono dalam peristiwa Bandar Betsi yang salahsatu tokohnya adalah Wariman.
Malam harinya sekitar 5 truk masa Pemuda Rakyat yang datang kelokasi percetakan
untuk membakar percetakan Mistika berhasil kami halau, namun kepada Polisi
Sektor Barat yang dipimpin Ramses Sihombing, mereka melapor jika saya memimpin
masa Pemuda Pancasila mengejar dan memukuli mereka seraya minta PKI dibubarkan.
Saya sempat ditahan satu malam, dan kembali dijamin oleh Kosen Cokrosentono.
Gerah karena saya selalu menggagalkan aksi anarkhinya, PKI kemudian menyerang
saya lewat Harian Gotong Royong dan Harapan dalam karikatur Yan Paruhum Lubis
29 September 1965
malam: Bakti Lubis di gantung dan disalib massa Pemuda Rakyat di Padang Bulan
Way(kini persimpangan S. Parman), Bakti walau luka parah jiwanya berhasil
diselamatkan. Sebelumnya, pagi hari saat menyambut Subandrio dilapangan Polonia
Medan kami, sempat meneriakkan yel-yel Hidup Pancasila kepada Subandrio di
Lapangan Udara Polonia.
30 September – 1
Oktober 1065 terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan jendral di Jakarta.
Setelah aksi penculikan
dan pembunuhan jendral di Jakarta, Pemuda Pancasila yang ikut bersama-sama
dengan elemen masyarakat, pemuda, pelajar dan minta agar massa PKI menyerah dan
membubarkan diri, makin sering terlibat kontak fisik dengan PKI dan masanya.
Saya mencatat sejak 1964 hingga akhir 1965, pengurus dan kader Pemuda Pancasila
yang wafat dibantai PKI sebanyak 9 orang, Mereka yang wafat adalah: M. Nawi Harahap(diabadikan
sebagai nama jalan di Medan). Nawi, ditembak Buyung Jafar saat melintasi
kediaman aktifis onderbouw PKI ini dikawasan Jl. Halat. Buyung usai melakukan
penembakan dengan senapan berhasil melarikan diri. Hasanuddin, tewas di kawasan
Kampung Baru saat rombongan Pemuda Pancasila dicegat Pemuda Rakyat.Yusril DS
tewas dibacok saat berada disekitar kawasan Glugur dekat sebuah asrama militer.
Mobil Willys yang saya kenderai bersama Raja Ganyang Damanik dan Damos, kacanya
pecah karena hantaman batu dan benda keras dari massa Pemuda Rakyat. Saya turun
kelokasi itu karena pimpinan Pemuda Pancasila disana, Sahat Gurning minta
bantuan karena massa Pemuda Pancasila dikeroyok konsentrasi massa Pemuda Rakyat
didaerah itu. Abdul Rahim Siregar, tewas di Kawasan Menteng saat rombongan kami
melewati kawasan ini. Kaca mobil Willys saya kembali pecah dihantam peluru
senapan Pemuda Rakyat. Rustam Efendi Koto dan Suwardi, tewas diserang massa
Pemuda Rakyat dikawasan Lr. Gino, dr. med. Adilin Prawiranegara dan M. Yacub,
tewas saat demo ke Kampung Kolam. Dan terakhir Ibrahim Umar kader Pemuda
Pancasila yang juga anggota IPTR/Aceh Sepakat tewas saat demo Konsulat RRC di
Medan.
VS Wanita Muslimin; -. Masuki lembaga
pemerintahan dan partai-partai serta lancarkan politik Divide Et Impera; -.
Lakukan segala cara untuk merebut kembali kekuasaan dengan merebut
posisi-posisi penting birokrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata; -.
Ciptakan krisis kepercayaan kepada pemerintah, miskinkan rakyat, dan bila gagal
jika terpaksa lakukan langkah penyelamatan(Strategi Survival) agar tidak hancur
total. Seluruh dokumen yang disimpan dalam sebuah peti besi itu, kemudian saya
serahkan kepada Kapten Datuk Akhtar B dan Letnan Ramli Markam.(versi Komnas HAM
selain Zakir Soobo, tewas 2 orang penjaga kantor, dan kantor dibakar. Faktanya
yang tewas adalah Zakir, sementara kantor masih ada hingga sekitar tahun 2004
jadi tidak benar terjadi pembakaran. Gedung lantas dijadikan kantor oleh
beberapa organisasi seperti kantor Warakawuri, Pepabri, bahkan Perwalian Gereja
Indonesia Sumut. Barulah pada akhir tahun 2004 kantor itu dipagari seng, dan
beberapa tahun kemudian bangunan yang ada dalam pagar seng telah rata dengan
tanah dirubuhkan pengembang)à VS Pemuda Pancasila, -. Gerwani à VS HMI, -. Pemuda Rakyat àSetelah berhasil meminta massa PKI di belakang kawasan Kebun Bunga
menyerah, massa Pemuda Pancasila kembali memimpin masa yang anti Komunis untuk
demo kekantor SOBSI di Jl. Padang Bulan Way(kini Sp. Iskandar Muda). Masa PKI
yang lari untuk bertahan dilantai 2 gedung itu, melempari kami massa demo
dengan benda keras seperti batu, kayu bahkan tombak. Dalam tawuran ini, 11
orang anggota Pemuda Pancasila mengalami luka berat dan ringan. Pimpinan masa
PKI, Zakir Soobo yang melihat anggotanya dikurung rapatnya pendemo yang berada
dibahagian bawah gedung, turun kelantai bawah, sambil menggigit telunjuknya
yang dibengkokkan(lambang Palu dan Arit), Zakir yang pegawai Pertamanan Kota
Medan dan direncanakan bakal menjadi Walikota Medan bila revolusi berhasil sempat
berteriak kepada saya, “Kau pikir sudah menang kau Cok”. Zakir Soobo tewas
dalam tawuran ini, sementara kantor kami duduki. Usai demo, massa PKI yang
menyerah kami serahkan kepada Datuk Akhtar B dan Ramli Markam yang datang
kelokasi kejadian, setelah demo selesai. Setelah itu hingga seminggu setelah
demo kami berkemah digedung itu. Hamid, Wakil Ketua Pemuda Rakyat yang kami
temui di Gedung SOBSI ini, malam harinya usai demo menyerahkan dokumen
propaganda PKI, yang dikubur dihalaman belakang kantor. Diantara tumpukan
dokumen, ada terlihat satu berkas yang berisi tulisan, =. CGMI
24 Oktober 1965:
Rosiman bersama Rahmat Lubis mendatangi saya saat berada di Deli Bioskop,
mereka menyampaikan bahwa Bang Fendi ingin bicara dirumahnya. Dalam pertemuan
dengan Fendi di Mandala, Fendi mengatakan besok ada aksi masa ke Kampung Kolam,
perkebunan terlantar yang menjadi basis para petinggi PKI, seperti
Wariman(tokoh Pemuda Rakyat yang terlibat Bandar Betsi di Simalungun). Selain
saya dan Fendi, terlihat beberapa teman Fendi mendampinginya, seperti Rosiman,
Rahmat Lubis dan Arifin Labi-labi. Disepakati demo ke Kampung Kolam akan
dilakukan lewat 3 jurusan, dengan massa dipimpin Fendi, massa yang saya pimpin,
dan massa yang dipimpin tokoh masyarakat disekitar kawasan Tembung. Besok
sorenya ketika berada dikawasan Kampung Kolam dan konsolidasi, kami ketahui
Adlin Prawiranegara dan M. Yacub tidak ada dalam barisan. Saat konsolidasi itu,
selain beberapa teman yang selalu mendampingi Fendi diatas, beberapa teman
Fendi lainnya seperti Johan, Barik, Arifin, Mat Jali dan Buyung ada disekitar
Fendi(namun saya tidak melihat satupun sumber Joshua Oppenheimer untuk filmnya
dalam demo itu berada di Kampung Kolam). Adlin dan M. Yacub, kami temukan 5
hari kemudian setelah ditunjukkan pengurus Pemuda Rakyat yang mengetahui tempat
penguburan jenazah mereka. Jenazah dibenam kedalam rawa(saat ini persis dibawah
tugu peringatan Kampung Kolam). Saat ditemukan, kondisi keduanya mengenaskan
karena bahagian mata dan bahagian kemaluan sudah tidak berada ditempatnya
akibat penganiayaan. Jenazah keduanya, diikat dengan pemberat montik(roda spoor
perkebunan untuk pengangkutan barang), lalu bahagian atasnya ditimbuni sampah,
kemudian diletakkan bangkai kambing, serta ditancapkan Pohon Pisang. Massa PKI
yang menyerah dalam aksi demo ini, kemudian kami serahkan kepada Letkol. RM.
Soekardi yang datang bersama pasukan malam harinya setelah massa PKI
menyerahkan diri.
Setelah penculikan dan
pembunuhan jendral di Jakarta, Radio Peking terus menyerang mereka yang anti
komunis dengan berbagai hujatan, makian dan propaganda lewat siaran berbahasa
Indonesia Kami yang rutin setiap malamnya menyimak sumpah serapah itu dari
siaran radio di rumah Dana di Jl. Mahkamah, atau rumah Kuteh Sembiring di Jl.
Padang Bulan, berkordinasi untuk mengadakan demo ke kantor Konsulat RRC di Jl.
Ir. Juanda Medan. Ketika massa demo dari berbagai organisasi massa dan pemuda
tiba dilokasi, pendemo tidak dapat mendekati konsulat yang telah dikawal ketat
ratusan aparat militer kita. Massa kemudian dikonsentrasikan di seberang
lapangan, yang berbatasan dengan jalan kecil dan dipenuhi tentara kita. Karena
terus mendesak agar petisi kami diterima, tentara kita yang menjaga aksi demo
kemudian berusaha menemui tentara RRC yang menjaga konsulat, dan berada dibalik
pintu gerbang konsulat. Saya, Drajat Hasibuan, Parlin Pribadi Hutabarat, dan
Ibrahim Umar kemudian maju mewakili kelompok masing-masing, saat tentara kita
minta adanya perwakilan massa demo. “Keamanan tuan-tuan kami jamin”, begitu
ucapan militer kita kepada militer RRC yang menjaga konsulat, minta dibukakan
pintu untuk menerima petisi kami. Penjaga konsulat yang tidak mau membuka pintu
gerbang dalam bahasa Indonesia fasih malah mengatakan, “Ini negara kami, kalau
mau masuk minta izin Ketua Mao”, lalu 3 tentera RRC tadi segera bergegas
melintasi halaman konsulat menuju kedalam gedung konsulat. Saya dan 3 orang
lainnya yang merasa kecewa atas sikap militer RRC itu langsung memanjat gerbang
konsulat untuk memasuki halaman agar petisi dapat diterima tentara RRC tadi.
Beberapa langkah memasuki halaman, terdengar letusan senjata api. Sejenak kami
berpandangan, lalu kami berempat bergegas untuk mencapai teras konsulat.
Sekitar 5 langkah berjalan, letusan senjata api kembali terdengar. Kami langsung
berjongkok, dan memastikan milter yang tadi menolak membuka gerbang ternyata n
telah berada di teras konsulat dengan senapan terhunus tengah membidik kami.
Merasa terancam kami segera memanjat pagar agar secepatnya keluar dari halaman
konsulat. Sayup masih terdengar teriakan militer kita yang berada diluar pagar
konsulat dan berteriak untuk tiarap. Saat itu seluruh tentara kita telah
mengambil sikap siaga, berjongkok dengan posisi senapan keatas dan diletakkan
diantara kedua lututnya, sedangkan seluruh masa demo yang berada diseberang
lapangan terlihat total menidurkan diri ketanah. Parlin dan Drajat begitu
sampai diluar pagar segera berbaur dengan massa diseberang lapangan yang
tiarap. Sementara saya dan Ibrahim Umar yang belakangan keluar, sambil tetap berjongkok
mengendap-endap berlindung dibalik pepohonan yang berada didepan pintu gerbang.
Lalu kembali terdengar bunyi letusan senjata untuk yang ketiga kalinya. Setelah
tembakan usai saya menoleh kepada Ibrahim yang berada disebelah saya, terlihat
dia seperti bersujud-tafakkur. Agak lama saya perhatikan kondisinya itu, karena
saya pikir dia masih ketakutan akibat bunyi letusan 3 tembakan tadi. Setelah
diperhatikan lagi, saya melihat ada cairan putih keluar dari hidungnya, seperti
orang terkena flu. Karena tetap tak bergerak, Ibrahim saya angkat, saat itulah
saya baru melihat ada luka menganga dihagian belakang kepala searah dengan
hidung yang mengeluarkan cairan putih tadi. Barulah saya tersadar jika Ibrahim
telah Syahid, lantas saya teriakkan “motor”, minta bantuan agar Ibrahim Umar
dibawa mobil kerumah sakit. Masa yang kemudian histeris akibat kejadian itu
meneriakkan “Ganyang Cina”, kemudian bergerak menuju kelapangan Polonia Medan.
Akibatnya 2 etnik turunan yang baru keluar dari Lapangan Udara Polonia jadi
korban amuk massa, saat itulah militer penjaga Polonia yang berusaha
membubarkan kerumunan massa mengatakan, “Ini warganegara Malaysia,
bubar…bubar…!”. Akibat insiden ini Fendi Keling sempat ditanya Bung Karno dan
dianggap rasis, tapi Fendi mengatakan anggota Pemuda Pancasila bermacam etnis
dan suku, jadi kejadian itu bukan rasis, spontan akibat tewasnya Ibrahim Umar
diterjang militer penjaga Konsulat RRC.
Sebenarnya, sebelum
bertemu dengan seluruh narasumbernya dalam The Act of Killing, Joshua sempat
beberapa kali tanpa lelah berkunjung kekediaman saya, dia menginformasikan dari
Partai Buruh diluar negeri yang jadi sumbernya, hanya ada 2 nama yang dapat
dimintai keterangan yakni Fendi Keling dan Ucok Majestik. Kepada saya Joshua
mengiming-imingi akan dibuatkan film tentang heroisme sejarah penumpasan PKI di
Sumatra Utara, khususnya peristiwa Demo Kampung Kolam dengan tema Samson dan
Delilah. Saya menjawab, jika ingin membuat film jangan khusus Demo Kampung
Kolam, tapi ringkasan berdirinya Pemuda Pancasila di Sumut dan Medan hingga
terjadinya aksi massa minta pembubaran PKI dengan puncaknya Demo Kampung Kolam.
Karena saya tetap ngotot kepada syarat itu, Joshua tidak berani lagi muncul dan
beralih kepada para sumber yang keterangannya dijadikan Film The Act of
Killing(dalam situsnya The Act of Killing, sumber Joshua berdalih saya minta
bayaran yang cukup mahal, sebuah kilah yang tidak dapat diterima akal tentang
kegagalannya mendapatkan keterangan saya. Bila melihat kemampuan Joshua selama
beberapa tahun di Medan, termasuk menggiring para sumbernya untuk diwawancarai
TV lokal). Dan itu membuktikan jika sejak awal pembuatan filmnya, Joshua hanya
ingin membuat propaganda tentang Pembantaian Massal dan Pelanggaran HAM, bukan
ingin mengangkat kondisi nyata yang terjadi saat itu. Faktanya, Joshua telah
berhasil mendapatkan narasumber utama(mahkota), yakni saya H. Yan Paruhum
Lubis, tapi karena keterangan saya tidak sesuai selera propagandanya. Joshua
kemudian beralih kepada sumber-sumber lain, yang bercampur imajinasi, diragukan
keberadaan dan eksistensi serta kemampuan untuk mengingat sejarah awal Pemuda
Pancasila Kota Medan dan Sumatra Utara, ataupun rentetan peristiwa yang terjadi
kala itu.
Fakta dan data-data
yang yang jadi pengalaman hidup dan telah saya jalani ini, terjadi jauh sebelum
peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, jika ada pemikiran yang
menganggap saya ataupun mereka yang menentang komunis adalah korban propaganda
Orde Baru. Rasanya perlu dilakukan penelitian ulang, dengan berkunjung ke Sumatra
Utara dan Kota Medan. Saat ini banyak yang bicara pentingnya menjaga 4 Pilar
Kebangsaan; NKRI Harga Mati; dst. Padahal sebelumnya kami Pemuda Pancasila
sudah berkorban dan mati untuk itu. Itulah fakta sejarah, bukan propaganda Orde
Baru. Termasuk dokumen yang saya peroleh dari tangan Hamid, seluruhnya fakta.
Jika Majalah Tempo dan group medianya dapat menembus dokumen-dokumen yang
dulunya saya serahkan kepada militer, lebih baik hal itu difinalkan agar dapat
menembusnya, daripada memuat analisa-analisa dan propaganda mereka yang sama
sekali tidak berada dilapangan saat itu, namun bicara atas kepentingan sesaat
semata jadi alat propaganda dengan menjual HAM atau Pembantaian Massal.
Overste Maliki,
Komandan Brigif VII Rimba Raya, saat saya kunjungi di tahanan Sukamulia, dan
berada dalam satu ruangan dengan Jalaluddin Yusuf Nasution-Paris Pardede(SOBSI
Sumut), Maruli Siahaan, dan tokoh-tokoh lain, dengan latar belakang Palu Arit
yang mereka gambar dalam ruangan tahanan sambil menunjukkan telunjuknya yang dibengkokkan(simbol
Palu Arit)meneriakkan kepada saya, “Kau pikir sudah menang, Cok”, perkataan
yang sama persis dengan ucapan Zakir Soobo saat digedung SOBSI-Iskandar Muda.
Itu menunjukkan Pemuda Pancasila adalah musuh abadi Komunis. Segaris bila bila
melihat historis sejarah Ratu Aminah Hidayat-Jendral AH Nasution-IPKI dan
Pemuda Pancasila.
Saya sarankan untuk
dapat mencatat kondisi masyarakat Sumatra Utara khususnya Kota Medan ketika
bangkit bersatu melawan Komunis, Redaksi Majalah Tempo harus menengok kebelakang,
bukan hanya kepada Peristiwa Muso di Madiun, tapi jauh sebelum itu yakni
Revolusi Sosial di Sumatra Timur, yang berakibat tewasnya tokoh-tokoh
masyarakat, termasuk Amir Hamzah yang disebut Komunis adalah kelompok feodal.
Pengalaman hidup yang
terpaksa saya ungkap kepada Majalah Tempo untuk menghadapi propaganda Joshua
Oppenheimer, mengingatkan saya meskipun PKI telah bubar tapi Komunis dan
syahwatnya untuk berkuasa meskipun lewat merebut kekuasaan, tidak pernah mati
di republik ini. Hal itu pula yang menjawab, mengapa saya sempat ditahan
Overste Maliki saat dia masih menjadi Komandan Brigif VII Rimba Raya, atau
mengapa saya ditahan Gubernur saat itu Brigjen Ulung Sitepu, hanya karena saya
mendemo beliau terkait masalah anggaran kakus(dimasa itu ada proyek toilet umum
di Pusat Pasar, dimana anggarannya habis namun toiletnya tak pernah ada).
Seminggu saya ditahan atas perintah Ulung Sitepu, dan baru bebas setelah Alm.
Kosen Cokrosentono yang mengajar tentang Idiologi Pancasila di kantor-kantor
militer dan sipil di era Orde Lama itu menjamin dan membebaskan saya.
Belakangan baru ketahuan jika Ulung adalah kader Komunis di Sumatra Utara, dan
itu menjawab mengapa dia begitu benci kepada saya. Jadi tolong direnungkan,
bagaimana bisa santai bila soal idiologi, apalagi bila idiologi itu Komunis.
Karena saya dan kawan-kawan telah menjalani masa-masa sulit dan pahit itu.
Jika Joshua berdasarkan
imajinasinya dan imajinasi sumbernya menganggap Pemuda Pancasila adalah alat
dari militer, dapat saya kemukan pengalaman saat terjadi kerusuhan yang dikenal
dengan “Peristiwa Golden” di Medan. Insiden ini oleh seorang tokoh di Jakarta
beberapa tahun lalu ditulis dalam memoarnya dengan menyebutkan saya mati dalam
peristiwa itu hingga munculah sosok Olo Panggabean. Dan saya bersyukur, dapat
menuntaskan kesalahpahaman itu dengan penulis bukunya secara kekeluargaan. Dan
saya menjelaskan, bukan hanya Olo, bahkan seluruh keluarganya yang lain
berhubungan baik dengan saya, jadi darimana saya bisa bentrok dengan adik-adik
saya itu di Sekip. Dapat saya informasikan, dalam “Peristiwa Golden” ini,
beberapa tokoh Pemuda Pancasila bahkan sempat ditahan di Penjara Jl. Gandhi.
Tidak ada seorangpun yang dapat menuntaskan masalah itu, hingga kawan-kawan,
adik-adik saya di Pemuda Pancasila dalam era Orde Baru ini, harus mendekam
dalam tahanan hingga sakit. Saya dan beberapa teman lain yang mengetahui
peristiwa tadi kemudian menghadap Raja Inal Siregar ketika itu Kasdam I/BB.
Saat itu Raja dihadapan saya, Zulkarnain Rospati, Amril YS, Husni Malik
setengah menghardik mengatakan, “Jangan diurus itu, hanya membuat onar dan
kerusuhan saja”. Raja lalu agak melunak dan sedikit merubah sikapnya ketika
saya katakan, “Janganlah begitu, PKI saja diampuni”. Dan setelah itu atas saran
Raja diadakanlah perjanjian antara teman-teman tadi dengan Olo Panggabean di
Kodim Medan dengan konsekwensi siapa yang memulai lebih dahulu akan diambil
tindakan secara hukum. Kejadian ini dapat menginformasikan bahwa jika benar ada
kolaborasi antara militer dengan Pemuda Pancasila, khususnya dalam propaganda
Joshua Oppenheimer yang penuh imajinasi dirinya dan para sumbernya tentang
Pembantaian Massal itu(benang merah militer dan Pemuda Pancasila). Tentunya
kawan-kawan pengurus Pemuda Pancasila tadi tidak perlu mendekam sampai sakit di
Jl. Gandhi dalam peristiwa sekitar tahun 1983-1984 itu.
Dari kronologis yang
saya paparkan, Redaksi Majalah Tempo kiranya mendapat gambaran utuh kondisi
yang terjadi. Dan jangan berdalih, berdasarkan pengakuan seseorang ataupun para
sumber Joshua dalam Filmnya The Act of Killing. Apalagi yang disiarkan dalam
pemberitaan adalah utuh tanpa samaran penulisan nama organisasi Pemuda
Pancasila dan keberadaan panggung bioskop saat itu, dua dunia yang saya geluti
saat itu.
Saya tekankan, sebagai
Pinisepuh Pemuda Pancasila, dan satu-satunya pendiri Pemuda Pancasila di Sumut
dan Kota Medan yang masih hidup, selain Alm. Kosen Cokrosentono dan Alm. HMY
Efendi Nasution, keterangan ataupun pengakuan sumber Joshua bertolak belakang,
tidak objektif, bias, dan tidak sejalan ataupun persis dengan pengalaman hidup
yang saya jalani, sejak ikut mendirikan Pemuda Pancasila Sumut, Kubu Pancasila
Sumut dan Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan.
Terakhir saya hanya
mengingatkan Redaksi Majalah Tempo, jika terkait idiologi khususnya Komunis,
bagaimana bisa santai saja. 9 orang pengurus dan kader Pemuda Pancasila tewas
dibantai Komunis, diluar para ulama dan tokoh masyarakat di Sumatra Utara.
Atas kerjasama Redaksi
Majalah Tempo dan group medianya memuat Hak Jawab dan Bantahan ini saya ucapkan
terima kasih. Mudah-mudahan demokrasi yang kita bangun bersama setelah era
reformasi, dapat kita jaga bersama untuk Indonesia yang lebih baik dimasa
mendatang. Semoga……..
Hormat Saya
H. Yan Paruhum Lubis
alias Ucok Majestik
Tembusan:
1. Dewan Pers di Jakarta
2. KOMNAS HAM di Jakarta
3. Komisi Penyiaran di Jakarta
4. Komisi Informasi di Jakarta
5. Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila di Jakarta
6. Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasia Sumatra Utara di Medan
7. Pimpinan Redaksi Media Massa Cetak dan Elektronik baik Lokal dan Nasional di
Jakarta dan Medan
8. Pertinggal
Alfiannur Syafitri said
Medan, 10 Oktober 2012
Kepada Yang Terhormat,
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
di-
Kebayoran Centre
Jl. Kebayoran Baru, Majestik
Jakarta 12240
red@tempo.co.id
Kepada Yang Terhormat,
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
di-
Kebayoran Centre
Jl. Kebayoran Baru, Majestik
Jakarta 12240
red@tempo.co.id
Saya yang bertanda
tangan dibawah ini;
Nama : H. Yan Paruhum
Lubis alias Ucok Majestik
Tempat, Tgl.Lahir : Sibolga, 22 – 12 – 1934
Alamat : Jl. Melati Raya No. 4 Blok XIX Lingk. XI Helvetia-Tengah
Medan, 20124
HP : 081264408584
Jabatan : – Majelis Pertimbangan Organisasi Majelis Pimpinan –
Nasional Pemuda Pancasila.
– Pinisepuh Pemuda Pancasila.
– Mantan Ketua Kubu Pancasila Sumut dan Kordinator
Pemuda Pancasila Kota Medan.
Tempat, Tgl.Lahir : Sibolga, 22 – 12 – 1934
Alamat : Jl. Melati Raya No. 4 Blok XIX Lingk. XI Helvetia-Tengah
Medan, 20124
HP : 081264408584
Jabatan : – Majelis Pertimbangan Organisasi Majelis Pimpinan –
Nasional Pemuda Pancasila.
– Pinisepuh Pemuda Pancasila.
– Mantan Ketua Kubu Pancasila Sumut dan Kordinator
Pemuda Pancasila Kota Medan.
Bersama surat ini
menyampaikan Hak Jawab dan Bantahan sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun
1999, Pasal 5: (1), (2), (3); Pasal 18: (2); Peraturan Dewan Pers
No.9/Peraturan-DP/X/2008, dan Kode Etik Jurnalistik; terkait pemberitaan
Majalah Tempo Edisi 1-7 Oktober 2012, karena terjadi pemberitaan yang tidak
benar disebabkan kekeliruan dan tidak akuratnya fakta juga data dalam
pemberitaan berjudul: Para Algojo 1965 Pengakuan Anwar Congo; Dari Serdang
Bedagai Sampai Medan; Kol 2 Hal 113:
“…………Anwar dikenal
sebagai preman bioskop. Dia dulu menguasai pasar gelap karcis di Medan Bioskop.
Oppenheimer menemukan bukti bahwa anggota pasukan pembunuh di Medan pada 1965
rata-rata direkrut dari preman bioskop”.
“…………Mereka membentuk
pasukan pembunuh yang terkenal dan ditakuti di Medan, yaitu Pasukan Kodok.
Pasukan ini berada dibawah sayap pemuda partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia, yang didirikan Jendral AH. Nasution: Pemuda Pancasila. Di Pemuda
Pancasila Anwar bisa dikatakan salah satu pendiri dan pinisepuhnya”.
Kemudian pada Kolom 3
Hal 113:
“…………..Oppenheimer
mempertemukan Anwar dengan kawan lamanya, Ibrahim Sinik, pemilik harian Medan
Pos yang lantai atas kantornya sering digunakan Anwar untuk melakukan
pembantaian”.
Tidak akuratnya fakta
dan data juga terjadi dalam judul berita, Algojo dan Narasumber Skripsi: Hal
116 Kolom 2; “Sikapnya ini berbeda jauh dibanding saat dia menjelaskan caranya
menghabisi orang PKI. Dengan mengambil lokasi lantai atas kantor Medan Pos”.
Meluruskan pemberitaan
diatas bersumber pada Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer yang
mengambil setting dan latar belakang peristiwa demo Kampung Kolam pada 25
Oktober 1965 (penggambaran dalam film tentang sebuah kawasan/perkampungan yang
diserang massa Pemuda Pancasila dibantu tentara), dan Majalah Tempo memuatnya
tanpa melakukan cek dan ricek ulang kepada saya sebagai salah satu
pendiri(pembentuk) Pemuda Pancasila di Sumut yang masih hidup selain Alm. Kosen
Cokrosentono dan Alm. HMY. Efendi Nasution alias Fendi Keling, maka saya perlu
memberikan hak jawab dan bantahan agar tidak terjadi pemberitaan yang tidak
objektif, bias, serta pengkaburan dan pemutarbalikkan sejarah perlawanan
masyarakat Sumatra Utara terhadap komunis ditahun 1965. Sekaligus membabi buta
menuding organisasi Pemuda Pancasila dijadikan militer melakukan pembantaian
massal masa Komunis di Sumatra Utara dan Kota Medan
Tidak benar dan tidak
ada sekelompok pembunuh yang mayoritas adalah preman bioskop, yang kemudian
direkrut tentara dan disebut Pasukan Kodok di Sumatra Utara ataupun Kota Medan
saat itu. Jika ada anggota Pemuda Pancasila yang direkrut untuk menjadi
pembunuh dalam sebuah unit khusus yang disebut Pasukan Kodok, sebagai Ketua
Kubu Pancasila Sumut serta Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan dimasa itu,
tentunya saya wajib tahu terhadap keberadaan unit itu demikan juga siapa saja
anggota Pemuda Pancasila yang direkrut didalamnya. Jadi keterangan seluruh
narasumber Joshua Oppenheimer sebagaimana dituangkan dalam film The Act of
Killing terhadap keberadaan Pemuda Pancasila di Sumut dan Kota Medan soal
pembantaian massal yang dikordinir militer adalah keliru, bercampur fantasi dan
euphoria serta tidak didukung fakta dan data yang terjadi saat itu.
Jika disebut sebagai
keterangan atau pengakuan pribadi dari seseorang maupun beberapa orang yang
mengaku sebagai pelaku pembunuhan dan pembantaian massal, dan mereka juga
anggota organisasi Pemuda Pancasila, keterangan ini juga tidak dapat diyakini
keakuratan fakta serta datanya, sebab tidak pernah ada pembantaian massal yang
dilakukan dalam kantor Pemuda Pancasila. Apalagi saat itu, kantor dikawasan
Pekong Lima, merangkap kantor Redaksi Harian Cahaya, juga kantor bersama IPKI
Sumut dengan Ketua Kerani Bukit, Kantor IPKI Medan dengan Ketua Dana, Kantor
Pemuda Pancasila Sumut dengan Ketua MY Efendi Nasution dan Kantor Kubu
Pancasila Sumut merangkap Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan, yakni saya,
Yan Paruhum Lubis. Dan terakhir menjelang pecahnya peristiwa penculikan dan
pembunuhan para jendral di Jakarta, menjadi Kantor Dastagor Lubis yang ditunjuk
Partai IPKI Sumut menjadi Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan. Setelah sebelumnya
kantor bersama kami adalah di Jl. Veteran(bersebelahan dan tidak telalu jauh
dengan dengan Kantor Jl. Sutomo).
Materi lain yang tak
kalah pentingnya untuk dikoreksi dengan Hak Jawab dan Bantahan, yakni
pembantaian dilantai atas kantor Harian Medan Pos. Kantor Harian Medan Pos saat
ini berlokasi di Jl. Perdana 107-109 Medan, kantor dan nama Medan Pos baru ada
sejak tahun 1973. Penulisan 9 Mei 1966 pada halaman satu bagian depan atas
Koran Medan Pos, merujuk pada historis jika sebelum pengalihan kepemilikan
kepada Ibrahim Sinik, koran bernama Sinar Pembangunan. Sebelumnya dimasa G-30/S
media tadi bernama Harian Cahaya dan berkantor di Jl. Sutomo(Kantor
Darah-Pekong Lima dalam dialog Anwar Congo saat berkeliling dengan mobil
bersama teman-temannya), bangunan milik Kerani Bukit Ketua IPKI Sumut. Harian
Cahaya saat itu dipimpin oleh Pemimpin Redaksi Arsyad Noeh(kerabat kandung
Afnawie Noeh, Ketua BPRPI Sumut), dengan Sekretaris Redaksi So Aduon Siregar.
Jadi jelas tidak pernah ada pembantaian di lantai atas kantor Harian Medan Pos
sebagaimana ditulis dalam berita Tempo.
Ketika Harian Cahaya
masih terbit, AM. Sinnik(kerabat kandung Ibrahim Sinik, bertanggungjawab dalam
pendistribusian media ini, sementara Ibrahim Sinik saat itu sebagai pentolan
dan aktifis MURBA Sumut beraktifitas menangani usaha dagang keluarganya sebagai
distributor buah-buahan di Medan. Jadi yang bersangkutan belum masuk dalam jajaran
redaksi Harian Cahaya ataupun jurnalis Harian Cahaya.
Hingga pemberitaan
edisi Tempo terkait Film The Act of Killing, masih saya sendiri yang disebut
sebagai Pinisepuh Pemuda Pancasila, kehormatan itu diberikan organisasi untuk
mengenang sejarah eksistensi Pemuda Pancasila menghadapi panasnya bara Komunis
di Indonesia, juga di Sumatra Utara dan Kota Medan kurun 1963 -1967, khususnya
pengorbanan 9 orang anggota Pemuda Pancasila yang dibantai Komunis dalam priode
itu. Serta melihat fakta hingga saat ini tinggal saya sendiri pendiri Pemuda
Pancasila di Sumatra Utara dan Kota Medan yang masih hidup, selain Alm. Kosen
Cokrosentono dan Alm. HMY Efendi Nasution.
Untuk membantu Redaksi
Tempo memahami Hak Jawab dan Bantahan, akan saya berikan kronologis peristiwa
yang terjadi yang menjadi satu kesatuan yang utuh dalam Hak Jawab dan Bantahan,
dan kewajiban Redaksi Majalah Tempo memuatnya secara utuh. Hak Jawab dan
Bantahan saya juga harus dimuat di group Majalah Tempo, yang juga ikut
menyiarkan pemberitaan dari Film The Act of Killing, sebagai bentuk permintaan
maaf dari Redaksi Majalah Tempo lalai hingga meloloskan berita yang tidak
benar, karena tidak akuratnya fakta dan data yang disajikan serta cenderung
keliru kepada khalayak tentang Pemuda Pancasila. Hingga cenderung menyesatkan
publik, masyarakat yang selama ini menjadi pembaca setia-termasuk saya pribadi
yang juga pembaca setia Majalah Tempo.
Pemuatan secara utuh
Hak Jawab dan Bantahan sekaligus kronologis yang saya informasikan, sekaligus
untuk koreksi adanya unsur plagiat yang dilakukan Redaksi Majalah Tempo, dengan
memuat informasi yang ada dalam The Act of Killing dalam berbagai artikel yang
berhubungan dengan pemberitaan dengan Judul Utama: Pengakuan Algojo 1965 dan
dipecah menjadi sub-sub judul seperti tersebut diatas, menjadi seolah-olah
adalah reportase Jurnalis Majalah Tempo, padahal adalah petikan-petikan dari
synopsis Film The Act of Killing dan pernyataan Joshua Oppenheimer. Lalu
disiarkan untuk publik tanpa konfirmasi kepada saya sebagai pihak yang
mengetahui kronologis peristiwa perlawanan masyarakat Sumatra Utara dan mau
tidak mau melibatkan Pemuda Pancasila terhadap Komunis dimasa itu, termasuk
peristiwa Demo Kampung Kolam. Bila Redaksi Majalah Tempo tidak memuat Hak Jawab
dan Bantahan saya ini secara utuh, saya dengan sukarela akan menyelesaikan
permasalahan ini melalui jalur hukum, baik secara pidana ataupun perdata
sebagaimana diatur oleh UU Pokok Pers.
Berikut akan saya
terakan kronologis fakta dan data yang saya jalani agar Redaksi Majalah Tempo
dan masyarakat mengetahui kondisi yang sebenarnya;
Tahun 1954: Setelah
menjatuhkan Pak Mamat yang terpeleset dari tangga Bioskop Majestik saat
berusaha menampar saya, karena menanyakan mengapa Pak Mamat memukuli Entong,
teman saya yang ingin masuk kedalam pembukaan bioskop paling megah di Kota
Medan saat itu, saya dipanggil dengan sebutan Ucok Majestik. Sejak peristiwa
itu, saya dipercaya beberapa pemilik bioskop di Medan menjalankan dan
mengamankan operasional bioskop-bioskop di Medan, termasuk Bioskop Majestik
yang saat itu adalah milik seorang turunan bernama A Hwat.
Maret 1962: Sekretaris
IPKI Sumut Kosen Cokrosentono yang juga Kepala Penerangan Propinsi Sumut,
sekaligus guru pengajar Pancasila di era Presiden Soekarno, bersama Ketua II
Partai IPKI Bidang Pemuda MY. Efendi Nasution membawa saya ke Jakarta untuk
bertemu Ratu Aminah Hidayat di Menteng Raya 70, dan bertemu Jendral AH.
Nasution di Cijantung. Ratu Aminah dan Jendral AH. Nasution minta kami
membentuk karyawan IPKI(sayap partai), seperti Kubu Pancasila, Pemuda
Pancasila, Sarjana Pancasila dst, di Sumut dan Kota Medan, dengan visi misi
menjaga tetap utuh tegaknya 4 Pilar Kebangsaan. Ratu Aminah Hidahat
menerangkan, awalnya pada tahun 1959, IPKI membentuk Pemuda Patriotik. Dan pada
tahun 1960 dalam kongres pertama IPKI di Lembang-Bandung, Pemuda Patriotik
berubah nama menjadi Pemuda Pancasila.
Juni 1963: MY. Efendi
Nasution dilantik menjadi Ketua Wilayah Pemuda Pancasila Sumut di Balai Selekta
Jl. Listrik Medan(saat ini lapangan kosong disebelah Gedung Pendam I/ BB), saya
yang tidak hadir dalam acara pelantikan tadi, kemudian ditunjuk menjadi Ketua
Kubu Pancasila Sumut merangkap Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan oleh
Kerani Bukit dan Kosen Cokrosentono. Dengan kantor di Jl. Veteran-dekat Jl.
Sutomo. Dan 6 bulan kemudian pindah kekantor di Jl. Sutomo(Pekong Lima) sebagai
kantor bersama, di gedung milik Kerani Bukit. Sebagai kordinator Pemuda
Pancasila Kota Medan saya menunjuk pengurus ranting kelurahan pertama Pemuda
Pancasila di Medan yakni Ranting Pulo Brayan dipimpin Saibun Usman, kemudian
saya menunjuk pengurus kecamatan pertama yakni Medan Barat dipimpin Nikolas
Pulungan(pemilik Medan Bioskop, Orion Bioskop dan Orange Biokop). Dibentuk juga
Kubu Pancasila unit angkatan darat laut dan udara dipimpin Anton Nasution.
Untuk memperkuat
organisasi Kubu Pancasila Sumut dan Pemuda Pancasila Sumut, saya tempatkan
orang-orang anggota Pemuda Pancasila dan Kubu Pancasila di bioskop-bioskop
sebagai pekerjanya, seperti menjadi Acting Manajer- Supervisor-atau Mandor
Besar, yaitu: Bioskop Majestik-Kelly, Bioskop Rex-Dastagor Lubis, Bioskop Deli
-Abdullah Teeng dan Syarbaini Tanjung (Ten), Medan Bioskop-Rosiman(pengamanan
Medan Bioskop saya ambil alih dari kelompok pemuda Jl. Buntu-PJKA yang saat itu
dipimpin Adong), Bioskop Cathay-Barik dan Amran YS(pengamanan Cathay saya ambil
alih dari Manis Sembiring dkk), Bioskop Orion-Dahlan, Bioskop Morning-Bakti
Lubis, Bioskop Kok Tay-Jep(seorang Pemuda Minang yang biasa kami panggil
Jepang), Bioskop Kapitol-Witchin, Bioskop Astanaria-Dame. Hampir setiap malam,
saya, Fendi Keling dan Dastagor Lubis menyempatkan diri berbincang perkembangan
terakhir Sumut dan Medan, diruangan atas belakang gedung bioskop Rex-Ria(saat
ini sebuah restoran didepan gedung UNILAND Medan), sesekali teman Fendi bernama
Sahat Gurning bergabung dalam pembicaraan kami.
17 Agustus 1964:
Terjadi bentrok fisik pertama antara massa Pemuda Pancasila dengan Pemuda
Rakyat dalam peringatan HUT RI, saya tidak terima hardikan Wakil Ketua Pemuda
Rakyat Sumut-Hamid yang memerintahkan agar Pemuda Pancasila berbaris dalam
parit, sebab lapangan menurutnya hanya untuk PKI dan ormasnya. Hamid kemudian
melakukan propaganda dengan melapor kekantor Kodim dan PM, bahwa Pemuda
Pancasila yang saya pimpin berteriak-teriak minta PKI dan ormasnya dibubarkan.
Sesuatu yang mustahil karena pada saat itu kami hanya berjumlah 40 orang,
diantara ribuan massa PKI yang memenuhi Lapangan Benteng. Saya ditahan Pasi I
Kodim Medan Kapten Datuk Akhtar B dan wakilnya Letnan Ramli Markam, namun
selang beberapa jam kemudian bebas setelah dijemput Kosen Cokrosentono. Alm.
Efendi Nasution yang berjanji akan menyusul saat kami bergerak dari kantor IPKI
Sutomo menuju Lapangan Benteng karena ada urusan partai, hingga selesai acara
tidak hadir. Dari 40 orang anggota Pemuda Pancasila yang ikut parade
ini(namanya dicatat dalam buku besar Partai IPKI termasuk MY Efendi Nasution),
tidak ada satupun mereka yang jadi narasumber Joshua yang keterangannya
dijadikan dasar pembuatan film The Act of Killing. Anggota Pemuda Pancasila
yang ikut HUT RI ini yang sebahagian adalah pengurus IPKI antara lain:
Lilik(Kp. Keling), Dahlan, Suhemi Tanjung, Syarbaini Tanjung, Abdullah Teeng,
Siwadas(setelah Muslim ganti nama menjadi M. Yusuf), Berlin Tobing, Damos, Keriting,
,Rahmad Lubis, Kiting, Bakti Lubis, Yance, Syahruddin Nasution, Saibun Usman,
Mamak Isu, Usman Sitohang, Gusar Panggabean(Abang Alm. Olo Panggabean),
Witchin, Sarkunen, Dastagor Lubis, Viktor Sipahutar, Lilik(Glugur Bypass),
Dana, Nurdin Ritonga, Iskak Idris, Sailan Daly.
Sejak keributan
Lapangan Benteng itu, PKI dan ormasnya terus melakukan provokasi kepada Pemuda
Pancasila. Menjelang meletusnya G-30/S, dengan makin seringnya terjadi gesekan
antara massa Pemuda Pancasila dengan PKI dan ormasnya, IPKI pada pertengahan
1965 menunjuk Dastagor Lubis sebagai Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan.
Setan Kota, dengan sketsa diri saya tengah
menyembah Jendral AH Nasution yang duduk dikursi kerajaan, serta disamping
kanan serta kirinya dikawal Jendral A. Yani dan Jendral Sambas. Setelah hampir
4 hari menyisiri kawasan Kesawan untuk mencari kantor koran dimaksud, akhirnya
saya mengobrak-abrik kantor tadi, karena tidak ada satupun yang mengaku
bertanggungjawab atas pemuatan karikatur. Sejak peristiwa itu, saya terpaksa
mengungsi kerumah Fendi Keling dikawasan Mandala sampai beberapa bulan
menjelang meletusnya peristiwa G-30/S, karena rumah saya di
Sekip-Petisah-Majestik selalu didatangi patroli polisi yang ingin memberangus
saya. Ketika terjadi peralihan pemerintahan, beberapa polisi yang dulunya rutin
menyatroni saya, meminta maaf atas peristiwa itu dan mengatakan untunglah saya
dapat lolos dari sergapan mereka, karena atasannya saat itu memerintahkan
Tembak Ditempat Ucok Majestik.à Ucok Majestik àSetelah peristiwa Bandar Betsi(14 Mei 1965), Pemimpin Redaksi Harian Cahaya
Arsyad Noeh melapor jika percetakan Mistika yang terletak disekitar Jl. Pemuda
dekat kantor Polisi Sektor Barat, dan mencetak Harian Cahaya akan diserang
Pemuda Rakyat, karena media itu adalah media yang pertama memuat tewasnya Pelda
Sujono dalam peristiwa Bandar Betsi yang salahsatu tokohnya adalah Wariman.
Malam harinya sekitar 5 truk masa Pemuda Rakyat yang datang kelokasi percetakan
untuk membakar percetakan Mistika berhasil kami halau, namun kepada Polisi
Sektor Barat yang dipimpin Ramses Sihombing, mereka melapor jika saya memimpin
masa Pemuda Pancasila mengejar dan memukuli mereka seraya minta PKI dibubarkan.
Saya sempat ditahan satu malam, dan kembali dijamin oleh Kosen Cokrosentono.
Gerah karena saya selalu menggagalkan aksi anarkhinya, PKI kemudian menyerang
saya lewat Harian Gotong Royong dan Harapan dalam karikatur Yan Paruhum Lubis
29 September 1965
malam: Bakti Lubis di gantung dan disalib massa Pemuda Rakyat di Padang Bulan
Way(kini persimpangan S. Parman), Bakti walau luka parah jiwanya berhasil
diselamatkan. Sebelumnya, pagi hari saat menyambut Subandrio dilapangan Polonia
Medan kami, sempat meneriakkan yel-yel Hidup Pancasila kepada Subandrio di
Lapangan Udara Polonia.
30 September – 1
Oktober 1065 terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan jendral di Jakarta.
Setelah aksi penculikan
dan pembunuhan jendral di Jakarta, Pemuda Pancasila yang ikut bersama-sama
dengan elemen masyarakat, pemuda, pelajar dan minta agar massa PKI menyerah dan
membubarkan diri, makin sering terlibat kontak fisik dengan PKI dan masanya.
Saya mencatat sejak 1964 hingga akhir 1965, pengurus dan kader Pemuda Pancasila
yang wafat dibantai PKI sebanyak 9 orang, Mereka yang wafat adalah: M. Nawi Harahap(diabadikan
sebagai nama jalan di Medan). Nawi, ditembak Buyung Jafar saat melintasi
kediaman aktifis onderbouw PKI ini dikawasan Jl. Halat. Buyung usai melakukan
penembakan dengan senapan berhasil melarikan diri. Hasanuddin, tewas di kawasan
Kampung Baru saat rombongan Pemuda Pancasila dicegat Pemuda Rakyat.Yusril DS
tewas dibacok saat berada disekitar kawasan Glugur dekat sebuah asrama militer.
Mobil Willys yang saya kenderai bersama Raja Ganyang Damanik dan Damos, kacanya
pecah karena hantaman batu dan benda keras dari massa Pemuda Rakyat. Saya turun
kelokasi itu karena pimpinan Pemuda Pancasila disana, Sahat Gurning minta
bantuan karena massa Pemuda Pancasila dikeroyok konsentrasi massa Pemuda Rakyat
didaerah itu. Abdul Rahim Siregar, tewas di Kawasan Menteng saat rombongan kami
melewati kawasan ini. Kaca mobil Willys saya kembali pecah dihantam peluru
senapan Pemuda Rakyat. Rustam Efendi Koto dan Suwardi, tewas diserang massa
Pemuda Rakyat dikawasan Lr. Gino, dr. med. Adilin Prawiranegara dan M. Yacub,
tewas saat demo ke Kampung Kolam. Dan terakhir Ibrahim Umar kader Pemuda
Pancasila yang juga anggota IPTR/Aceh Sepakat tewas saat demo Konsulat RRC di
Medan.
VS Wanita Muslimin; -. Masuki lembaga
pemerintahan dan partai-partai serta lancarkan politik Divide Et Impera; -.
Lakukan segala cara untuk merebut kembali kekuasaan dengan merebut
posisi-posisi penting birokrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata; -.
Ciptakan krisis kepercayaan kepada pemerintah, miskinkan rakyat, dan bila gagal
jika terpaksa lakukan langkah penyelamatan(Strategi Survival) agar tidak hancur
total. Seluruh dokumen yang disimpan dalam sebuah peti besi itu, kemudian saya
serahkan kepada Kapten Datuk Akhtar B dan Letnan Ramli Markam.(versi Komnas HAM
selain Zakir Soobo, tewas 2 orang penjaga kantor, dan kantor dibakar. Faktanya
yang tewas adalah Zakir, sementara kantor masih ada hingga sekitar tahun 2004
jadi tidak benar terjadi pembakaran. Gedung lantas dijadikan kantor oleh
beberapa organisasi seperti kantor Warakawuri, Pepabri, bahkan Perwalian Gereja
Indonesia Sumut. Barulah pada akhir tahun 2004 kantor itu dipagari seng, dan
beberapa tahun kemudian bangunan yang ada dalam pagar seng telah rata dengan
tanah dirubuhkan pengembang)à VS Pemuda Pancasila, -. Gerwani à VS HMI, -. Pemuda Rakyat àSetelah berhasil meminta massa PKI di belakang kawasan Kebun Bunga
menyerah, massa Pemuda Pancasila kembali memimpin masa yang anti Komunis untuk
demo kekantor SOBSI di Jl. Padang Bulan Way(kini Sp. Iskandar Muda). Masa PKI
yang lari untuk bertahan dilantai 2 gedung itu, melempari kami massa demo
dengan benda keras seperti batu, kayu bahkan tombak. Dalam tawuran ini, 11
orang anggota Pemuda Pancasila mengalami luka berat dan ringan. Pimpinan masa
PKI, Zakir Soobo yang melihat anggotanya dikurung rapatnya pendemo yang berada
dibahagian bawah gedung, turun kelantai bawah, sambil menggigit telunjuknya
yang dibengkokkan(lambang Palu dan Arit), Zakir yang pegawai Pertamanan Kota
Medan dan direncanakan bakal menjadi Walikota Medan bila revolusi berhasil sempat
berteriak kepada saya, “Kau pikir sudah menang kau Cok”. Zakir Soobo tewas
dalam tawuran ini, sementara kantor kami duduki. Usai demo, massa PKI yang
menyerah kami serahkan kepada Datuk Akhtar B dan Ramli Markam yang datang
kelokasi kejadian, setelah demo selesai. Setelah itu hingga seminggu setelah
demo kami berkemah digedung itu. Hamid, Wakil Ketua Pemuda Rakyat yang kami
temui di Gedung SOBSI ini, malam harinya usai demo menyerahkan dokumen
propaganda PKI, yang dikubur dihalaman belakang kantor. Diantara tumpukan
dokumen, ada terlihat satu berkas yang berisi tulisan, =. CGMI
24 Oktober 1965:
Rosiman bersama Rahmat Lubis mendatangi saya saat berada di Deli Bioskop,
mereka menyampaikan bahwa Bang Fendi ingin bicara dirumahnya. Dalam pertemuan
dengan Fendi di Mandala, Fendi mengatakan besok ada aksi masa ke Kampung Kolam,
perkebunan terlantar yang menjadi basis para petinggi PKI, seperti
Wariman(tokoh Pemuda Rakyat yang terlibat Bandar Betsi di Simalungun). Selain
saya dan Fendi, terlihat beberapa teman Fendi mendampinginya, seperti Rosiman,
Rahmat Lubis dan Arifin Labi-labi. Disepakati demo ke Kampung Kolam akan
dilakukan lewat 3 jurusan, dengan massa dipimpin Fendi, massa yang saya pimpin,
dan massa yang dipimpin tokoh masyarakat disekitar kawasan Tembung. Besok
sorenya ketika berada dikawasan Kampung Kolam dan konsolidasi, kami ketahui
Adlin Prawiranegara dan M. Yacub tidak ada dalam barisan. Saat konsolidasi itu,
selain beberapa teman yang selalu mendampingi Fendi diatas, beberapa teman
Fendi lainnya seperti Johan, Barik, Arifin, Mat Jali dan Buyung ada disekitar
Fendi(namun saya tidak melihat satupun sumber Joshua Oppenheimer untuk filmnya
dalam demo itu berada di Kampung Kolam). Adlin dan M. Yacub, kami temukan 5
hari kemudian setelah ditunjukkan pengurus Pemuda Rakyat yang mengetahui tempat
penguburan jenazah mereka. Jenazah dibenam kedalam rawa(saat ini persis dibawah
tugu peringatan Kampung Kolam). Saat ditemukan, kondisi keduanya mengenaskan
karena bahagian mata dan bahagian kemaluan sudah tidak berada ditempatnya
akibat penganiayaan. Jenazah keduanya, diikat dengan pemberat montik(roda spoor
perkebunan untuk pengangkutan barang), lalu bahagian atasnya ditimbuni sampah,
kemudian diletakkan bangkai kambing, serta ditancapkan Pohon Pisang. Massa PKI
yang menyerah dalam aksi demo ini, kemudian kami serahkan kepada Letkol. RM.
Soekardi yang datang bersama pasukan malam harinya setelah massa PKI
menyerahkan diri.
Setelah penculikan dan
pembunuhan jendral di Jakarta, Radio Peking terus menyerang mereka yang anti
komunis dengan berbagai hujatan, makian dan propaganda lewat siaran berbahasa
Indonesia Kami yang rutin setiap malamnya menyimak sumpah serapah itu dari
siaran radio di rumah Dana di Jl. Mahkamah, atau rumah Kuteh Sembiring di Jl.
Padang Bulan, berkordinasi untuk mengadakan demo ke kantor Konsulat RRC di Jl.
Ir. Juanda Medan. Ketika massa demo dari berbagai organisasi massa dan pemuda
tiba dilokasi, pendemo tidak dapat mendekati konsulat yang telah dikawal ketat
ratusan aparat militer kita. Massa kemudian dikonsentrasikan di seberang
lapangan, yang berbatasan dengan jalan kecil dan dipenuhi tentara kita. Karena
terus mendesak agar petisi kami diterima, tentara kita yang menjaga aksi demo
kemudian berusaha menemui tentara RRC yang menjaga konsulat, dan berada dibalik
pintu gerbang konsulat. Saya, Drajat Hasibuan, Parlin Pribadi Hutabarat, dan
Ibrahim Umar kemudian maju mewakili kelompok masing-masing, saat tentara kita
minta adanya perwakilan massa demo. “Keamanan tuan-tuan kami jamin”, begitu
ucapan militer kita kepada militer RRC yang menjaga konsulat, minta dibukakan
pintu untuk menerima petisi kami. Penjaga konsulat yang tidak mau membuka pintu
gerbang dalam bahasa Indonesia fasih malah mengatakan, “Ini negara kami, kalau
mau masuk minta izin Ketua Mao”, lalu 3 tentera RRC tadi segera bergegas
melintasi halaman konsulat menuju kedalam gedung konsulat. Saya dan 3 orang
lainnya yang merasa kecewa atas sikap militer RRC itu langsung memanjat gerbang
konsulat untuk memasuki halaman agar petisi dapat diterima tentara RRC tadi.
Beberapa langkah memasuki halaman, terdengar letusan senjata api. Sejenak kami
berpandangan, lalu kami berempat bergegas untuk mencapai teras konsulat.
Sekitar 5 langkah berjalan, letusan senjata api kembali terdengar. Kami langsung
berjongkok, dan memastikan milter yang tadi menolak membuka gerbang ternyata n
telah berada di teras konsulat dengan senapan terhunus tengah membidik kami.
Merasa terancam kami segera memanjat pagar agar secepatnya keluar dari halaman
konsulat. Sayup masih terdengar teriakan militer kita yang berada diluar pagar
konsulat dan berteriak untuk tiarap. Saat itu seluruh tentara kita telah
mengambil sikap siaga, berjongkok dengan posisi senapan keatas dan diletakkan
diantara kedua lututnya, sedangkan seluruh masa demo yang berada diseberang
lapangan terlihat total menidurkan diri ketanah. Parlin dan Drajat begitu
sampai diluar pagar segera berbaur dengan massa diseberang lapangan yang
tiarap. Sementara saya dan Ibrahim Umar yang belakangan keluar, sambil tetap berjongkok
mengendap-endap berlindung dibalik pepohonan yang berada didepan pintu gerbang.
Lalu kembali terdengar bunyi letusan senjata untuk yang ketiga kalinya. Setelah
tembakan usai saya menoleh kepada Ibrahim yang berada disebelah saya, terlihat
dia seperti bersujud-tafakkur. Agak lama saya perhatikan kondisinya itu, karena
saya pikir dia masih ketakutan akibat bunyi letusan 3 tembakan tadi. Setelah
diperhatikan lagi, saya melihat ada cairan putih keluar dari hidungnya, seperti
orang terkena flu. Karena tetap tak bergerak, Ibrahim saya angkat, saat itulah
saya baru melihat ada luka menganga dihagian belakang kepala searah dengan
hidung yang mengeluarkan cairan putih tadi. Barulah saya tersadar jika Ibrahim
telah Syahid, lantas saya teriakkan “motor”, minta bantuan agar Ibrahim Umar
dibawa mobil kerumah sakit. Masa yang kemudian histeris akibat kejadian itu
meneriakkan “Ganyang Cina”, kemudian bergerak menuju kelapangan Polonia Medan.
Akibatnya 2 etnik turunan yang baru keluar dari Lapangan Udara Polonia jadi
korban amuk massa, saat itulah militer penjaga Polonia yang berusaha
membubarkan kerumunan massa mengatakan, “Ini warganegara Malaysia,
bubar…bubar…!”. Akibat insiden ini Fendi Keling sempat ditanya Bung Karno dan
dianggap rasis, tapi Fendi mengatakan anggota Pemuda Pancasila bermacam etnis
dan suku, jadi kejadian itu bukan rasis, spontan akibat tewasnya Ibrahim Umar
diterjang militer penjaga Konsulat RRC.
Sebenarnya, sebelum
bertemu dengan seluruh narasumbernya dalam The Act of Killing, Joshua sempat
beberapa kali tanpa lelah berkunjung kekediaman saya, dia menginformasikan dari
Partai Buruh diluar negeri yang jadi sumbernya, hanya ada 2 nama yang dapat
dimintai keterangan yakni Fendi Keling dan Ucok Majestik. Kepada saya Joshua
mengiming-imingi akan dibuatkan film tentang heroisme sejarah penumpasan PKI di
Sumatra Utara, khususnya peristiwa Demo Kampung Kolam dengan tema Samson dan
Delilah. Saya menjawab, jika ingin membuat film jangan khusus Demo Kampung
Kolam, tapi ringkasan berdirinya Pemuda Pancasila di Sumut dan Medan hingga
terjadinya aksi massa minta pembubaran PKI dengan puncaknya Demo Kampung Kolam.
Karena saya tetap ngotot kepada syarat itu, Joshua tidak berani lagi muncul dan
beralih kepada para sumber yang keterangannya dijadikan Film The Act of
Killing(dalam situsnya The Act of Killing, sumber Joshua berdalih saya minta
bayaran yang cukup mahal, sebuah kilah yang tidak dapat diterima akal tentang
kegagalannya mendapatkan keterangan saya. Bila melihat kemampuan Joshua selama
beberapa tahun di Medan, termasuk menggiring para sumbernya untuk diwawancarai
TV lokal). Dan itu membuktikan jika sejak awal pembuatan filmnya, Joshua hanya
ingin membuat propaganda tentang Pembantaian Massal dan Pelanggaran HAM, bukan
ingin mengangkat kondisi nyata yang terjadi saat itu. Faktanya, Joshua telah
berhasil mendapatkan narasumber utama(mahkota), yakni saya H. Yan Paruhum
Lubis, tapi karena keterangan saya tidak sesuai selera propagandanya. Joshua
kemudian beralih kepada sumber-sumber lain, yang bercampur imajinasi, diragukan
keberadaan dan eksistensi serta kemampuan untuk mengingat sejarah awal Pemuda
Pancasila Kota Medan dan Sumatra Utara, ataupun rentetan peristiwa yang terjadi
kala itu.
Fakta dan data-data
yang yang jadi pengalaman hidup dan telah saya jalani ini, terjadi jauh sebelum
peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, jika ada pemikiran yang
menganggap saya ataupun mereka yang menentang komunis adalah korban propaganda
Orde Baru. Rasanya perlu dilakukan penelitian ulang, dengan berkunjung ke Sumatra
Utara dan Kota Medan. Saat ini banyak yang bicara pentingnya menjaga 4 Pilar
Kebangsaan; NKRI Harga Mati; dst. Padahal sebelumnya kami Pemuda Pancasila
sudah berkorban dan mati untuk itu. Itulah fakta sejarah, bukan propaganda Orde
Baru. Termasuk dokumen yang saya peroleh dari tangan Hamid, seluruhnya fakta.
Jika Majalah Tempo dan group medianya dapat menembus dokumen-dokumen yang
dulunya saya serahkan kepada militer, lebih baik hal itu difinalkan agar dapat
menembusnya, daripada memuat analisa-analisa dan propaganda mereka yang sama
sekali tidak berada dilapangan saat itu, namun bicara atas kepentingan sesaat
semata jadi alat propaganda dengan menjual HAM atau Pembantaian Massal.
Overste Maliki,
Komandan Brigif VII Rimba Raya, saat saya kunjungi di tahanan Sukamulia, dan
berada dalam satu ruangan dengan Jalaluddin Yusuf Nasution-Paris Pardede(SOBSI
Sumut), Maruli Siahaan, dan tokoh-tokoh lain, dengan latar belakang Palu Arit
yang mereka gambar dalam ruangan tahanan sambil menunjukkan telunjuknya yang dibengkokkan(simbol
Palu Arit)meneriakkan kepada saya, “Kau pikir sudah menang, Cok”, perkataan
yang sama persis dengan ucapan Zakir Soobo saat digedung SOBSI-Iskandar Muda.
Itu menunjukkan Pemuda Pancasila adalah musuh abadi Komunis. Segaris bila bila
melihat historis sejarah Ratu Aminah Hidayat-Jendral AH Nasution-IPKI dan
Pemuda Pancasila.
Saya sarankan untuk
dapat mencatat kondisi masyarakat Sumatra Utara khususnya Kota Medan ketika
bangkit bersatu melawan Komunis, Redaksi Majalah Tempo harus menengok kebelakang,
bukan hanya kepada Peristiwa Muso di Madiun, tapi jauh sebelum itu yakni
Revolusi Sosial di Sumatra Timur, yang berakibat tewasnya tokoh-tokoh
masyarakat, termasuk Amir Hamzah yang disebut Komunis adalah kelompok feodal.
Pengalaman hidup yang
terpaksa saya ungkap kepada Majalah Tempo untuk menghadapi propaganda Joshua
Oppenheimer, mengingatkan saya meskipun PKI telah bubar tapi Komunis dan
syahwatnya untuk berkuasa meskipun lewat merebut kekuasaan, tidak pernah mati
di republik ini. Hal itu pula yang menjawab, mengapa saya sempat ditahan
Overste Maliki saat dia masih menjadi Komandan Brigif VII Rimba Raya, atau
mengapa saya ditahan Gubernur saat itu Brigjen Ulung Sitepu, hanya karena saya
mendemo beliau terkait masalah anggaran kakus(dimasa itu ada proyek toilet umum
di Pusat Pasar, dimana anggarannya habis namun toiletnya tak pernah ada).
Seminggu saya ditahan atas perintah Ulung Sitepu, dan baru bebas setelah Alm.
Kosen Cokrosentono yang mengajar tentang Idiologi Pancasila di kantor-kantor
militer dan sipil di era Orde Lama itu menjamin dan membebaskan saya.
Belakangan baru ketahuan jika Ulung adalah kader Komunis di Sumatra Utara, dan
itu menjawab mengapa dia begitu benci kepada saya. Jadi tolong direnungkan,
bagaimana bisa santai bila soal idiologi, apalagi bila idiologi itu Komunis.
Karena saya dan kawan-kawan telah menjalani masa-masa sulit dan pahit itu.
Jika Joshua berdasarkan
imajinasinya dan imajinasi sumbernya menganggap Pemuda Pancasila adalah alat
dari militer, dapat saya kemukan pengalaman saat terjadi kerusuhan yang dikenal
dengan “Peristiwa Golden” di Medan. Insiden ini oleh seorang tokoh di Jakarta
beberapa tahun lalu ditulis dalam memoarnya dengan menyebutkan saya mati dalam
peristiwa itu hingga munculah sosok Olo Panggabean. Dan saya bersyukur, dapat
menuntaskan kesalahpahaman itu dengan penulis bukunya secara kekeluargaan. Dan
saya menjelaskan, bukan hanya Olo, bahkan seluruh keluarganya yang lain
berhubungan baik dengan saya, jadi darimana saya bisa bentrok dengan adik-adik
saya itu di Sekip. Dapat saya informasikan, dalam “Peristiwa Golden” ini,
beberapa tokoh Pemuda Pancasila bahkan sempat ditahan di Penjara Jl. Gandhi.
Tidak ada seorangpun yang dapat menuntaskan masalah itu, hingga kawan-kawan,
adik-adik saya di Pemuda Pancasila dalam era Orde Baru ini, harus mendekam
dalam tahanan hingga sakit. Saya dan beberapa teman lain yang mengetahui
peristiwa tadi kemudian menghadap Raja Inal Siregar ketika itu Kasdam I/BB.
Saat itu Raja dihadapan saya, Zulkarnain Rospati, Amril YS, Husni Malik
setengah menghardik mengatakan, “Jangan diurus itu, hanya membuat onar dan
kerusuhan saja”. Raja lalu agak melunak dan sedikit merubah sikapnya ketika
saya katakan, “Janganlah begitu, PKI saja diampuni”. Dan setelah itu atas saran
Raja diadakanlah perjanjian antara teman-teman tadi dengan Olo Panggabean di
Kodim Medan dengan konsekwensi siapa yang memulai lebih dahulu akan diambil
tindakan secara hukum. Kejadian ini dapat menginformasikan bahwa jika benar ada
kolaborasi antara militer dengan Pemuda Pancasila, khususnya dalam propaganda
Joshua Oppenheimer yang penuh imajinasi dirinya dan para sumbernya tentang
Pembantaian Massal itu(benang merah militer dan Pemuda Pancasila). Tentunya
kawan-kawan pengurus Pemuda Pancasila tadi tidak perlu mendekam sampai sakit di
Jl. Gandhi dalam peristiwa sekitar tahun 1983-1984 itu.
Dari kronologis yang
saya paparkan, Redaksi Majalah Tempo kiranya mendapat gambaran utuh kondisi
yang terjadi. Dan jangan berdalih, berdasarkan pengakuan seseorang ataupun para
sumber Joshua dalam Filmnya The Act of Killing. Apalagi yang disiarkan dalam
pemberitaan adalah utuh tanpa samaran penulisan nama organisasi Pemuda
Pancasila dan keberadaan panggung bioskop saat itu, dua dunia yang saya geluti
saat itu.
Saya tekankan, sebagai
Pinisepuh Pemuda Pancasila, dan satu-satunya pendiri Pemuda Pancasila di Sumut
dan Kota Medan yang masih hidup, selain Alm. Kosen Cokrosentono dan Alm. HMY
Efendi Nasution, keterangan ataupun pengakuan sumber Joshua bertolak belakang,
tidak objektif, bias, dan tidak sejalan ataupun persis dengan pengalaman hidup
yang saya jalani, sejak ikut mendirikan Pemuda Pancasila Sumut, Kubu Pancasila
Sumut dan Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan.
Terakhir saya hanya
mengingatkan Redaksi Majalah Tempo, jika terkait idiologi khususnya Komunis,
bagaimana bisa santai saja. 9 orang pengurus dan kader Pemuda Pancasila tewas
dibantai Komunis, diluar para ulama dan tokoh masyarakat di Sumatra Utara.
Atas kerjasama Redaksi
Majalah Tempo dan group medianya memuat Hak Jawab dan Bantahan ini saya ucapkan
terima kasih. Mudah-mudahan demokrasi yang kita bangun bersama setelah era
reformasi, dapat kita jaga bersama untuk Indonesia yang lebih baik dimasa
mendatang. Semoga……..
Hormat Saya
H. Yan Paruhum Lubis
alias Ucok Majestik
alias Ucok Majestik
Tembusan:
1. Dewan Pers di Jakarta
2. KOMNAS HAM di Jakarta
3. Komisi Penyiaran di Jakarta
4. Komisi Informasi di Jakarta
5. Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila di Jakarta
6. Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasia Sumatra Utara di Medan
7. Pimpinan Redaksi Media Massa Cetak dan Elektronik baik Lokal dan Nasional di Jakarta dan Medan
8. Pertinggal
1. Dewan Pers di Jakarta
2. KOMNAS HAM di Jakarta
3. Komisi Penyiaran di Jakarta
4. Komisi Informasi di Jakarta
5. Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila di Jakarta
6. Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasia Sumatra Utara di Medan
7. Pimpinan Redaksi Media Massa Cetak dan Elektronik baik Lokal dan Nasional di Jakarta dan Medan
8. Pertinggal
nama saya Maria Fadhlan dari Ajman di UEA, saya adalah korban penipuan di tangan pemberi pinjaman, saya menipu $ 2000 karena saya butuh pinjaman $ 90.000 untuk modal usaha dan hutang. Saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, dan bisnis saya hancur dalam proses yang diterimanya. semua ini terjadi pada bulan Maret 2019, sampai saya bertemu seseorang online minggu lalu yang bersaksi tentang pemberi pinjaman jadi saya mengajukan pertanyaan dan dia memperkenalkan saya kepada seorang ibu yang baik yang akhirnya membantu saya mendapatkan pinjaman tanpa jaminan $ 90.000 dengan suku bunga rendah di RIKA ANDERSON PERUSAHAAN PINJAMAN. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk berterima kasih kepada Anda ibu Rika, semoga Allah terus memberkati Anda Ibu Rika atas kejujuran dan perbuatan baik Anda. jika Anda memerlukan pinjaman dan pinjaman tanpa jaminan cepat hubungi ibu Rika melalui perusahaan, W / S: +19147057484 Anda dapat menghubungi saya juga melalui mariafadhlan@gmail.com
BalasHapus