Senin, 19 Desember 2016

Apakah Kedua Orang Tua Nabi Muhammad SAW Golongan Penghuni Neraka?

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail
NU Online . Kami memohon penjelasan
tentang hadits riwayat Muslim yang
menyatakan bahwa ayah dan ibu Nabi
Muhammad SAW masuk neraka. Kami
memohon penjelasan hadits ini. Apakah
benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi
Muhammad saw masuk neraka? Terima
kasih atas penjelasannya. Wassalamu
‘alaikum wr. wb. (Hilmi Qosim Mubah)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman di
mana pun berada. Semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya
untuk kita semua. Sebelum berbicara
lebih jauh kita terlebih dahulu
menyebutkan hadits riwayat Imam
Muslim yang menunjukkan bahwa kedua
orang tua Rasulullah SAW termasuk
penduduk neraka kelak di akhirat.
Kita setidaknya menemukan dua hadits
yang diriwayatkan di dalam kitab Jamuis
Shahih Muslim terkait masalah ini. Hadits
pertama diriwayatkan oleh Sahabat Anas
bin Malik. Hadits kedua diriwayatkan
Sahabat Abu Hurairah RA.
Hadits riwayat Anas bin Malik RA
menceritakan sebagai berikut.
ﺃَﻥّ ﺭَﺟُﻼً ﻗَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠّﻪِ، ﺃَﻳْﻦَ ﺃَﺑِﻲ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻓِﻲ
ﺍﻟﻨّﺎﺭِ . ﻓَﻠَﻤّﺎ ﻗَﻔّﻰ ﺩَﻋَﺎﻩُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻥّ ﺃَﺑِﻲ ﻭَﺃَﺑَﺎﻙَ ﻓِﻲ
ﺍﻟﻨّﺎﺭِ
Artinya, "Salah seorang sahabat
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah
kini ayahku?’ Nabi Muhammad SAW
menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu
berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad
SAW memanggilnya lalu berkata,
‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di
dalam neraka,’” (HR Muslim).
Sementara hadits riwayat Abu Hurairah
RA menyebutkan sebagai berikut.
ﺯَﺍﺭَ ﺍﻟﻨّﺒِﻲّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗَﺒْﺮَ ﺃُﻣّﻪِ. ﻓَﺒَﻜَﻰَ
ﻭَﺃَﺑْﻜَﻰَ ﻣَﻦْ ﺣَﻮْﻟَﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﺳْﺘَﺄْﺫَﻧْﺖُ ﺭَﺑّﻲ ﻓِﻲ ﺃَﻥْ
ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮَ ﻟَﻬَﺎ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﺆْﺫَﻥْ ﻟِﻲ ﻭَﺍﺳْﺘَﺄْﺫَﻧْﺘُﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﻥْ
ﺃَﺯُﻭﺭَ ﻗَﺒْﺮَﻫَﺎ ﻓَﺄﺫِﻥَ ﻟِﻲ
Artinya, "Nabi Muhammad SAW
menziarahi makam ibunya. Di sana
Beliau SAW menangis sehingga para
sahabat di sekitarnya turut menangis.
Rasulullah SAW mengatakan, ‘Kepada
Allah Aku sudah meminta izin untuk
memintakan ampun bagi ibuku, tetapi
Allah tidak mengizinkanku. Lalu Aku
meminta kepada-Nya agar Aku diizinkan
menziarahi makam ibuku, alhamdulillah
Dia mengizinkanku," (HR Muslim).
Secara harfiah pemahaman yang kita
dapati dari keterangan dua hadits di atas
menujukkan bahwa kedua orang tua
Rasulullah SAW termasuk ke dalam
penghuni neraka. Tetapi sebenarnya
ulama baik dari kalangan ahli hadits
maupun kalangan ahli kalam berbeda
pendapat perihal ini. Di antara ulama
yang memaknai hadits ini secara harfiah
adalah Imam An-Nawawi. Dalam kitab
Syarah Muslim yang ditulisnya
menunjukkan secara jelas posisinya
seperti keterangan berikut ini.
ﻗﻮﻟﻪ ‏( ﺃﻥ ﺭﺟﻼ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻳﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﺎﻝ
ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻓﻠﻤﺎ ﻗﻔﻰ ﺩﻋﺎﻩ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﺃﺑﻲ ﻭﺃﺑﺎﻙ ﻓﻲ
ﺍﻟﻨﺎﺭ ‏) ﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ
ﻭﻻ ﺗﻨﻔﻌﻪ ﻗﺮﺍﺑﺔ ﺍﻟﻤﻘﺮﺑﻴﻦ ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻓﻲ
ﺍﻟﻔﺘﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩﺓ
ﺍﻷﻭﺛﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﻣﺆﺍﺧﺬﺓ
ﻗﺒﻞ ﺑﻠﻮﻍ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﻓﺎﻥ ﻫﺆﻻﺀ ﻛﺎﻧﺖ ﻗﺪ ﺑﻠﻐﺘﻬﻢ
ﺩﻋﻮﺓ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﺻﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺳﻼﻣﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ
ﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﺃﺑﻲ ﻭﺃﺑﺎﻙ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻫﻮ ﻣﻦ ﺣﺴﻦ
ﺍﻟﻌﺸﺮﺓ ﻟﻠﺘﺴﻠﻴﺔ ﺑﺎﻻﺷﺘﺮﺍﻙ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺼﻴﺒﺔ ﻭﻣﻌﻨﻰ
ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﻔﻲ ﻭﻟﻰ ﻗﻔﺎﻩ
ﻣﻨﺼﺮﻓﺎ
Artinya, “Pengertian hadits ‘Seorang lelaki
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah
kini ayahku?’ dan seterusnya,
menunjukkan bahwa orang yang
meninggal dalam keadaan kufur
bertempat di neraka. Kedekatan kerabat
muslim tidak akan memberikan manfaat
bagi mereka yang mati dalam keadaan
kafir. Hadits ini juga menunjukkan bahwa
mereka yang meninggal dunia di masa
fatrah (masa kosong kehadiran rasul)
dalam keadaan musyrik yakni
menyembah berhala sebagaimana
kondisi masyarakat Arab ketika itu,
tergolong ahli neraka. Kondisi fatrah ini
bukan berarti dakwah belum sampai
kepada mereka. Karena sungguh dakwah
Nabi Ibrahim AS, dan para nabi lainnya
telah sampai kepada mereka. Sedangkan
ungkapan ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu
berada di dalam neraka’ merupakan
ungkapan solidaritas dan empati
Rasulullah SAW yang sama-sama terkena
musibah seperti yang dialami sahabatnya
perihal nasib orang tua keduanya.
Ungkapan Rasulullah SAW ‘Ketika orang
itu berpaling untuk pergi’ bermakna
beranjak meninggalkan Rasulullah
SAW.” (lihat Imam An-Nawawi, Al-Minhaj
Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj , Dar
Ihyait Turats Al-Arabi, Beirut, Cetakan
Kedua, 1392 H).
Sementara ulama lain menilai hadits ini
telah dimansukh (direvisi) oleh riwayat
Sayidatina Aisyah RA. Dengan demikian
kedua orang tua Rasulullah SAW terbebas
sebagai penghuni neraka seperti
keterangan hadits yang telah dimansukh.
Salah satu ulama yang mengambil posisi
ini adalah Syekh Jalaluddin As-Suyuthi
dalam karyanya Ad-Dibaj Syarah Shahih
Muslim Ibnil Hajjaj .
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ ﻭﺯﻫﻴﺮ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ
ﻗﺎﻻ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﻛﻴﺴﺎﻥ
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺣﺎﺯﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﺯﺍﺭ ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺒﺮ ﺃﻣﻪ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺟﺪ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻌﻼﺀ
ﺑﻦ ﻣﺎﻫﺎﻥ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺎﺕ
ﺑﻼﺩﻧﺎ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻐﺎﻓﺮ ﺍﻟﻔﺎﺭﺳﻲ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻳﻮﺟﺪ
ﻓﻲ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻷﺻﻮﻝ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺠﻨﺎﺋﺰ
ﻭﻳﻀﺒﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺭﺑﻤﺎ ﻛﺘﺐ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﺷﻴﺔ ﻭﺭﻭﺍﻩ
ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ ﻗﻠﺖ ﻗﺪ ﺫﻛﺮ ﺑﻦ
ﺷﺎﻫﻴﻦ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺳﺦ ﻭﺍﻟﻤﻨﺴﻮﺥ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻣﻨﺴﻮﺥ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﺇﺣﻴﺎﺋﻬﺎ ﺣﺘﻰ
ﺁﻣﻨﺖ ﺑﻪ ﻭﺭﺩﻫﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺣﺠﺔ ﺍﻟﻮﺩﺍﻉ ﻭﻟﻲ
ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺳﺒﻊ ﻣﺆﻟﻔﺎﺕ
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Nabi
Muhammad SAW menziarahi makam
ibunya dan seterusnya. Menurut Imam
An-Nawawi, ‘Hadits ini terdapat pada
riwayat Abul Ala bin Mahan penduduk
Maghrib, tetapi tidak terdapat pada
riwayat orang-orang desa kami dari
riwayat Abdul Ghafir Al-Farisi. Namun
demikian hadits ini terdapat di
kebanyakan ushul pada akhir Bab
Jenazah dan disimpan. Tetapi terkadang
ditulis di dalam catatan tambahan. Hadits
ini diiwayatkan Abu Dawud, An-Nasa’i,
dan Ibnu Majah.’ Hemat saya jelas, Ibnu
Syahin menyebutkan di dalam kitab
Nasikh dan Mansukh bahwa hadits ini
dan hadits yang semakna dengannya
telah dimansukh oleh hadits yang
menerangkan bahwa Allah menghidupkan
kembali ibu Rasulullah sehingga ia
beriman kepada anaknya, lalu Allah
mewafatkannya kembali. Ini terjadi pada
Haji Wada’. Perihal masalah ini saya telah
menulis tujuh kitab,” (Lihat Abdurrahman
bin Abu Bakar, Abul Fadhl, Jalaluddin As-
Suyuthi, Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim
Ibnil Hajjaj ).
Kalangan ahli kalam juga membicarakan
perihal ahli fatrah . Menurut kalangan
Muktazilah dan sebagian ulama
Maturidiyah, orang-orang ahli fatrah yang
wafat dalam keadaan musyrik termasuk
penghuni neraka. Karena bagi mereka,
manusia tanpa diutus seorang rasul
sekalipun semestinya memilih tauhid
melalui daya akal yang dianugerahkan
Allah kepadanya.
Sementara kalangan Asy-ari
menempatkan ahli fatrah sebagai
kalangan yang terbebas dari tuntutan
tauhid karena tidak ada rasul yang
membimbing mereka. Berikut ini
perbedaan pendapat yang bisa kami
himpun.
ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﻫﻞ ﻳﻜﺘﻔﻲ ﺑﺪﻋﻮﺓ ﺃﻱ ﺭﺳﻮﻝ ﻛﺎﻥ ﻭﻟﻮ
ﺁﺩﻡ ﺃﻭ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺩﻋﻮﺓ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺭﺳﻞ ﺇﻟﻰ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺸﺨﺺ. ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ. ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻓﺄﻫﻞ
ﺍﻟﻔﺘﺮﺓ ﻧﺎﺟﻮﻥ ﻭﺇﻥ ﻏﻴﺮﻭﺍ ﻭ ﺑﺪﻟﻮﺍ ﻭﻋﺒﺪﻭﺍ
ﺍﻷﻭﺛﺎﻥ. ﻭﺇﺫﺍ ﻋﻠﻤﺖ ﺃﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻔﺘﺮﺓ ﻧﺎﺟﻮﻥ
ﻋﻠﻤﺖ ﺃﻥ ﺃﺑﻮﻳﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﺎﺟﻴﺎﻥ
ﻟﻜﻮﻧﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻔﺘﺮﺓ ﺑﻞ ﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻟﻤﺎ ﺭﻭﻱ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﺣﻴﺎﻫﻤﺎ ﺑﻌﺪ ﺑﻌﺜﺔ ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺂﻣﻨﺎ ﺑﻪ ... ﻭﻟﻌﻞ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺻﺢ ﻋﻨﺪ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ... ﻭﻗﺪ
ﺃﻟﻒ ﺍﻟﺠﻼﻝ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ﻣﺆﻟﻔﺎﺕ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ
ﺑﻨﺠﺎﺗﻬﻤﺎ ﻓﺠﺰﺍﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ .
Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal
ahli fatrah. Apakah kehadiran rasul yang
mana saja sekalipun Nabi Adam AS yang
jauh sekali dianggap cukup bahwa
dakwah telah sampai (bagi masyarakat
musyrik Mekkah) atau mengharuskan
rasul secara khusus yang berdakwah
kepada kaum tertentu? Menurut kami,
yang shahih adalah pendapat kedua. Atas
dasar itu, ahli fatrah selamat dari siksa
neraka meskipun mereka mengubah dan
mengganti keyakinan mereka, lalu
menyembah berhala. Kalau ahli fatrah itu
terbebas dari siksa neraka, tentu kita
yakin bahwa kedua orang tua Rasulullah
SAW selamat dari neraka karena
keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan
keduanya termasuk pemeluk Islam
berdasarkan riwayat yang menyebutkan
bahwa Allah menghidupkan keduanya
setelah Nabi Muhammad SAW diangkat
sebagai rasul sehingga keduanya
berkesempatan mengucapkan dua
kalimat syahadat. Riwayat hadits ini
shahih menurut sebagian ahli hakikat.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menulis
sejumlah kitab terkait keselamatan kedua
orang tua Rasulullah SAW di akhirat.
Semoga Allah membalas kebaikan Syekh
Jalaluddin atas karyanya,” (Lihat Syekh
Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri ala
Matnis Sanusiyyah , Dar Ihya’il Kutub Al-
Arabiyyah, Indonesia, Halaman 14).
Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani
dalam karyanya Nuruz Zhalam Syarah
Aqidatil Awam menegaskan sebagai
berikut.
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺎﺟﻮﺭﻱ ﻓﺎﻟﺤﻖ ﺍﻟﺬﻱ ﻧﻠﻘﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ
ﺃﺑﻮﻳﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﺎﺟﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ
ﻗﻴﻞ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﺣﻴﺎﻫﻤﺎ ﺣﺘﻲ ﺁﻣﻨﺎ ﺑﻪ ﺛﻢ ﺃﻣﺎﺗﻬﻤﺎ
ﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻋﻦ
ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺄﻝ
ﺭﺑﻪ ﺃﻥ ﻳﺤﻴﻲ ﻟﻪ ﺃﺑﻮﻳﻪ ﻓﺄﺣﻴﺎﻫﻤﺎ ﻓﺂﻣﻨﺎ ﺑﻪ ﺛﻢ
ﺃﻣﺎﺗﻬﻤﺎ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﻬﻴﻠﻲ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﺩﺭ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ
ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺨﺺ ﻧﺒﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﺷﺎﺀ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﻪ ﻭﻳﻨﻌﻢ
ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﺷﺎﺀ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻪ .
Artinya, “Syekh Ibrahim Al-Baijuri
mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa
kedua orang tua Rasulullah SAW selamat
dari siksa neraka berdasarkan riwayat
yang menyebutkan bahwa Allah SWT
menghidupkan kembali kedua orang tua
Rasulullah SAW sehingga keduanya
beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT
mewafatkan kembali keduanya. Sebuah
riwayat hadits dari Urwah dari Sayidatina
Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah
SAW memohon kepada Allah SWT untuk
menghidupkan kedua orang tuanya
sehingga keduanya beriman kepada
anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan
kembali keduanya. As-Suhaili berkata
bahwa Allah maha kuasa atas segala
sesuatu, termasuk mengistimewakan
karunia-Nya dan melimpahkan nikmat-
Nya kepada kekasih-Nya Rasulullah SAW
sesuai kehendak-Nya,” (Lihat Syekh
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syarah
Nuruzh Zhalam ala Aqidatil Awam , Karya
Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun,
Halaman 27).
Dari dua pandangan ulama di atas,
Penulis lebih cenderung pada pendapat
yang mengatakan bahwa kedua orang tua
Rasulullah SAW termasuk kalangan
muslim dan golongan orang-orang yang
beriman. Karena sah menurut akal ( ja’iz
aqli ) bahwa Allah SWT mengabulkan
permintaan Rasulullah SAW memandang
pangkat kekasih-Nya yang begitu agung
dan mulia itu di sisi-Nya dan begitu
luasnya kemurahan Allah itu sendiri.
Wallahu a’lam bis shawab.
Demikian jawaban yang dapat kami
kemukakan. Semoga bisa dipahami
dengan baik. Saran kami jangan sampai
perbedaan pendapat dalam masalah ini
menyebabkan kita saling menyalahkan
satu sama lain atau bahkan meremehkan
ulama besar yang berbeda pendapat
dengan kita. Kami selalu terbuka untuk
menerima saran dan kritik dari para
pembaca.



“KEUTAMAAN BERDOA UNTUK SAUDARA(MUSLIM) TANPA SEPENGETAHUANNYA”


بسم الله الرحمن الرحيم
كتاب الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَالتَّوْبَةِ وَالِاسْتِغْفَارِ
بَابُ فَضْلِ الدُّعَاءِ لِلْمُسْلِمِينَ بِظَهْرِ الْغَيْبِ


حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ حَفْصٍ الْوَكِيعِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ كَرِيزٍ، عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ


Artinya
Dari Abi Darda (w.32 H) berkata Rasullah SAW (w.11 H) bersabda "tidak ada seorang muslim yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya, melainkan Malaikat akan mendoakannya pula : dan bagimu kebaikan yang sama".

HR.Muslim (w. 261 H)


Istifadah

Mendoakan sesama muslim tanpa sepengetahuannya termasuk dari sunnah hasanah yang telah diamalkan turun menurun oleh para nabi dan orang-orang soleh.
Hal ini juga termasuk doa-doa yang mustajabah, karena malaikat ikut mengaminkankan dan ikut mendoakan orang yang mendoakan orang lain.
Dan berdoa dalam keadaan tidak diketahui orangnya lebih menjaga keikhlasan dan lebih berpengaruh dalam kasih sayang dan kecintaan.

[Lembaga Kajian dan Riset Rasionalika Darus-Sunnah]


Shahih Hadits : “Ayahku dan Ayahmu di Neraka”
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIy4t0QHFpuRc6UR5FOhLef-SJ_PsJNbbJ36q-1eVFgugTWiWw7O3eo32tynGkFRo1GNs3HQVU2VDEdRlAaD12Xl6T3yy5LfLhuNiw3CZEyMA9fN0twNjDhiTo3NcZwqAu4FSSEK93L9p2/s200/korek.jpg
Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata :
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النَّارِ، فَلَمَّا قَفَّى، دَعَاهُ، فَقَالَ: " إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ "
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit, dari Anas : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. [Diriwayatkan oleh Muslim no. 203].

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Ahmad 3/268, Abu Ya’laa no. 3516, Abu ‘Awaanah no. 289, Ibnu Hibbaan no. 578, Abu Nu’aim dalamAl-Musnad Al-Mustakhraj no. 503, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan 2/871 no. 926, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/190 dan dalam Dalaailun-Nubuwwah 1/191, Ibnu Masykuwaal dalam Ghawaamidlul-Asmaa’ Al-Mubhamah 1/400; semuanya dari jalan ‘Affaan, dari Hammaad bin Salamah dan selanjutnya seperti riwayat di atas.
‘Affaan dalam periwayatan dari Hammaad bin Salamah mempunyai mutaba’ah dari :
1.    Muusaa bin Ismaa’iil At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat.
Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4718, Abu ‘Awaanah no. 289, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/190 dan dalam Dalaailun-Nubuwwah1/191, serta Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathiil wal-Manaakiir no. 212.
2.    Wakii’ bin Al-Jarraah; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi imam.
Diriwayatkan oleh Ahmad 3/119 dan Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 502.
3.    Rauh bin ‘Ubaadah Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah.
Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 6806.
Hadits ini telah dilemahkan sebagian orang, yang kebanyakan di antara mereka mengikuti pelemahan Al-Imaam As-Suyuuthiyrahimahullah, dan beliau telah keliru dalam hal ini. Pelemahan ini ada dua segi, dari segi sanad dan segi matan.
1.    Segi sanad.
Hammaad bin Salamah, meskipun tsiqah, tapi ia berubah hapalannya di akhir hayatnya.
Dijawab :
Benar, bahwasannya Hammaad disifati dengan apa yang dikatakan dalam kritik tersebut.
Haammaad ini selengkapnya bernama Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah bin Abi Sakhrah maulaa Rabii’ah bin Maalik bin Handhalah bin Bani Tamiim. Ia perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya (muallaq), Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Termasuk generasi pertengahan atbaa’ut-taabi’iin (thabaqah 8), wafat tahun 167 H. Ibnu Hajar berkata tentangnya : “Tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
هو أحد أئمة المسلمين إلا أنه لما كبر ساء حفظه فلذا تركه البخاري وأما مسلم فاجتهد وأخرج من حديثه عن ثابت ما سمع منه قبل تغيره وما سوى حديثه عن ثابت لا يبلغ اثني عشر
“Ia adalah salah seorang imam di antara para imam kaum muslimin. Akan tetapi ketika lanjut usia, hapalannya menjadi buruk. Oleh karena itu Al-Bukhaariy meninggalkannya. Adapun Muslim, maka ia berijtihad dan meriwayatkan haditsnya dari Tsaabit yang didengarnya sebelum berubah hapalannya. Adapun selain haditsnya dari Tsaabit, tidak sampai berjumlah 12 buah yang ia riwayatkan dalam syawaahid” [Tahdziibut-Tahdziib, 3/14].
Lebih penting dari pernyataan ini, ada empat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu ‘Affaan, Muusaa bin Ismaa’iil, Wakii’ bin Al-Jarrah, dan Rauh bin ‘Ubaadah yang kesemuanya merupakan para perawi tsiqaat. Khusus tentang riwayat Hammaad yang berasal dari ‘Affaan, Ibnu Rajab rahimahumullah berkata :
قال عبد الله بن أحمد : سمعتُ يحيى بن معين يقول : من أراد أن يكتب حديث حماد بن سلمة، فعليه بعفان بن مسلم
“Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : ‘Barangsiapa yang ingin menulis hadits Hammaad, maka wajib baginya berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/707].
Artinya, menurut Ibnu Ma’iin, ‘Affaan bin Muslim termasuk orang yang kokoh dan diterima periwayatannya dari Hammaad. Faedahnya, ‘Affaan mendengarkan hadits Hammaad bin Salamah sebelum berubah hapalannya. ‘Affaan bin Muslim sendiri adalah seorang yangtsiqah lagi tsabat, hanya kadang ia keliru/ragu [Taqriibut-Tahdziib, hal. 681-682 no. 4659].
Akurasi hadits ‘Affaan dari Hammaad ini dipersaksikan oleh tiga perawi tsiqaat lainnya. Tidak ada ruang (atau sangat kecil kemungkinannya) untuk mengatakan bahwa hadits Hammaad ini keliru karena faktor berubah hapalannya.
Hammaad bin Salamah, meskpiun ia tsiqah, namun beberapa imam mengatakan bahwa ia banyak kelirunya. Ahmad bin Hanbal berkata : “Hammad bin Salamah sering keliru (yukhthi’)” [Bahrud-Damm, no. 227]. Begitu juga dengan Ibnu Hibbaan.
As-Suyuthiy menambahkan bahwa Hammaad ini menyelisihi Ma’mar dalam periwayatan dari Tsaabit, dimana Ma’mar tidak menyertakan lafadh : ‘ayahku dan ayahmu di neraka’, namun dengan lafadh : ‘jika engkau melewati kubur orang kafir, berikanlah khabar gembira tentang neraka’. Ma’mar lebih tsabt daripada Hammaad [lihat : Al-Haawiy, 2/273].
Dijawab :
Perkataan ini jika ditujukan untuk melemahkan hadits dalam bahasan, maka sangat jauh dari kebenaran.
Hammaad, sebagaimana telah lalu penjelasannya, dicela sebagian ulama karena berubahnya hapalannya di akhir usianya sehingga ia keliru meriwayatkan beberapa hadits. Ahmad bin Hanbal memang benar diriwayatkan mengatakan demikian.
Akan tetapi Ahmad sendiri menetapkan Hammaad adalah seorang yang tsiqah [Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ oleh Ibnu ‘Adiy, 3/39 no. 431]. Dan Ahmad pun menetapkan Hammaad bin Salamah adalah orang yang paling tsabt dalam hadits Tsaabit Al-Bunaaniy.
وقال عبد الله : سمعتُ أَبي يقول : حماد بن سلمة , أثبت الناس في ثابت البناني.
‘Abdullah berkata : Aku mendengar ayahku berkata : “Hammaad bin Salamah, orang yang paling tsabt periwayatannya dalam hadits Tsaabit Al-Bunaaniy” [Al-‘Ilal, no. 1783 & 5189].
وقال ابن هانىء : وسَمِعتُهُ يقول : كان حماد بن سلمة من أثبت أصحاب ثابت .
Ibnu Haani’ berkata : Aku mendengarnya (Ahmad bin Hanbal) berkata : “Hammaad bin Salamah termasuk orang yang paling tsabt di antara ashhaab Tsaabit” [Suaalaat Ibni Haani’, 2/197 no. 2063].
Banyak riwayat lain dari Ahmad yang menunjukkan penegasan serupa. Apa yang dikatakan oleh Ahmad itu juga dikatakan oleh ulama lain.
Ibnu Ma’iin berkata :
من خالف حماد بن سلمة في ثابت فالقول قول حماد، قيل : فسليمان بن المغيرة عن ثابت ؟. قال : سليمان ثبت، وحماد أعلم الناس بثابت
“Barangsiapa menyelisihi Hammaad dalam periwayatan dari Tsaabit, maka perkataan yang dipegang adalah perkataan Hammaad”. Dikatakan : “Riwayat Sulaimaan bin Al-Mughiirah dari Tsaabit ?”. Ibnu Ma’iin berkata : “Sulaimaan itu tsabt (kokoh), namun Hammaad orang yang paling mengetahui tentang riwayat Tsaabit” [Tahdziibul-Kamaal, 7/262].
Abu Haatim berkata :
حماد بن سلمة في ثابت، وعلي بن زيد أحب إليَّ من همام، وهو أضبط الناس وأعلمهم بحديثهما
“Hammaad bin Salamah dalam riwayat Tsaabit dan ‘Aliy bin Zaid, lebih aku sukai daripada Hammaam. Dan ia (Hammaad) adalah orang yang paling dlabth (akurat) dan yang paling mengetahui tentang hadits keduanya” [idem, 7/264].
Dan, Ahmad bin Hanbal menegaskan riwayat Hammaad dari Tsaabit ini lebih kuat daripada Ma’mar :
حماد بن سلمة أثبت في ثابت من معمر
“Hammaad bin Salamah lebih tsabt (kokoh) dalam hadits Tsaabit daripada Ma’mar” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/141; dan Tahdziibul-Kamaal, 7/259].
Adapun perkataan Ibnu Hibbaan, maka itu sama sekali tidak menjatuhkan kedudukan riwayat Hammaad dari Tsaabit.
Maka, di sini nampak ketidakakuratan jarh yang dialamatkan As-Suyuthiy rahimahullah dan orang yang sepakat dengannya.
Tsaabit (bin Aslam) Al-Bunaaniy sendiri adalah seorang yang tsiqah lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 185 no. 818].
Kesimpulannyasanad riwayat ini sangat shahih.
2.    Segi Matan.
Sebagian ulama menganggap bahwa matan hadits ini ma’lul karena bertentangan dengan ayat :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Israa’ : 15].
Dijawab :
Tidak akan pernah satupun hadits shahih bertentangan dengan hadits shahih lain ataupun ayat, karena apa yang dikatakan Rasulshallallaahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan wahyu dari Allah ta’ala :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” [QS. An-Najm : 3-4].
Termasuk hadits di atas.
Ta’lil terhadap matan hadits ini berangkat dari pemahaman bahwa kedua orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul-fatrah yang akan dimaafkan, karena belum sampai kepada mereka berdua risaalah (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, sebab ada beberapa yang disebutkan para ulama sebagai ahlul-fatrah, namun masuk neraka. Seperti misal : ‘Amru bin ‘Aamir bin Luhay Al-Khuzaa’iy :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، قَالَ الْبَحِيرَةُ: الَّتِي يُمْنَعُ دَرُّهَا لِلطَّوَاغِيتِ وَلَا يَحْلُبُهَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ، وَالسَّائِبَةُ: الَّتِي كَانُوا يُسَيِّبُونَهَا لِآلِهَتِهِمْ فَلَا يُحْمَلُ عَلَيْهَا شَيْءٌ، قَالَ: وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرِ بْنِ لُحَيٍّ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Az-Zuhriy, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Al-Bahiirah adalah onta yang tidak boleh ditunggangi dan diambil susunya oleh seorang pun, yang dipersembahkan kepada berhala. Adapun As-Saaibah adalah onta yang tidak bunting lagi yang akan mereka persembahkan kepada tuhan-tuhan mereka”. Ibnul-Musayyib berkata : Telah berkata Abu Hurairah : “Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Aku melihat ‘Amru bin ‘Aamir bin Luhay Al-Khuzaa’i menarik-narik ususnya di neraka. Dia adalah orang pertama yang melepaskan onta-onta (untuk dipersembahkan kepada berhala)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3521].
‘Amru bin ‘Aamir bin Luhay Al-Khuzaa’iy adalah orang yang hidup di masa fatrah, namun ia mengubah ajaran Nabi Ibraahiim bagi bangsa ‘Arab sehingga mereka menyembah berhala. ‘Amru bin Luhay tidak diberikan ‘udzur karena masa fatrah, karena telah sampai kepadanya ajaran Nabi Ibraahiim ‘alaihis-salaam.
Begitu pula dengan shaahibul-mihjan (si pemilik tongkat) :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، وَتَقَارَبَا فِي اللَّفْظِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ...... لَقَدْ جِيءَ بِالنَّارِ وَذَلِكُمْ حِينَ رَأَيْتُمُونِي تَأَخَّرْتُ مَخَافَةَ أَنْ يُصِيبَنِي مِنْ لَفْحِهَا، وَحَتَّى رَأَيْتُ فِيهَا صَاحِبَ الْمِحْجَنِ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ، كَانَ يَسْرِقُ الْحَاجَّ بِمِحْجَنِهِ، فَإِنْ فُطِنَ لَهُ، قَالَ: إِنَّمَا تَعَلَّقَ بِمِحْجَنِي، وَإِنْ غُفِلَ عَنْهُ ذَهَبَ بِهِ....."
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair – dan lafadh keduanya mirip - , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik, dari ‘Athaa’, dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “……….Dan sungguh telah diperlihatkan neraka kepadaku, yaitu ketika kalian melihat aku mundur, karena aku takut hangus (oleh jilatannya). Hingga aku melihat di dalamnya shaahibul-mihjan (pemilik tongkat yang bengkok kepalanya.) menyeret ususnya dalam neraka. Dahulunya, ia mencuri (barang milik) orang yang haji. Jika ketahuan, ia berkilah : ‘Barang itu tersangkut di mihjanku”. Tetapi jika orang itu lengah dari barangnya, maka si pencuri membawanya (pergi)….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 903].
Jika kita bisa menghukumi bahwa dua orang di atas masuk neraka berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa halangannya kita mengatakan bahwa orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga masuk neraka berdasarkan sabda beliau pula ?.
Bisa juga hal itu dijamak dengan riwayat :
أَخْبَرَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ صَاحِبُ الدَّسْتُوَائِيِّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الأحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَرْبَعَةٌ يَحْتَجُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَصَمُّ، وَرَجُلٌ أَحْمَقُ، وَرَجُلٌ هَرِمٌ، وَرَجُلٌ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَأَمَّا الأَصَمُّ فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَلَمْ أَسْمَعْ شَيْئًا، وَأَمَّا الأَحْمَقُ، فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَالصِّبْيَانُ يَحْذِفُونِي بِالْبَعْرِ، وَأَمَّا الْهَرِمُ، فَيَقُولُ: رَبِّ لَقَدْ جَاءَ الإِسْلامُ وَمَا أَعْقِلُ، وَأَمَّا الَّذِي مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ، فَيَقُولُ: رَبِّ مَا أَتَانِي لَكَ رَسُولٌ، فَيَأْخُذُ مَوَاثِيقَهُمْ لَيُطِيعَنَّهُ، فَيُرْسِلُ إِلَيْهِمْ رَسُولا أَنِ ادْخُلُوا النَّارَ، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ دَخَلُوهَا كَانَتْ عَلَيْهِمْ بَرْدًا وَسَلامًا ".
Telah mengkhabarkan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam shaahibu Ad-Dastuwaaiy : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qataadah, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Al-Aswad bin Sarii’, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda : “Ada empat orang yang akan berhujjah (beralasan) kelak di hari kiamat : (1) orang tuli, (2) orang idiot, (3) orang pikun, dan (4) orang yang mati dalam masa fatrah. Orang yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabbku, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mendengarnya sama sekali’. Orang yang idiot akan berkata : ‘Wahai Rabbku, sungguh Islam telah datang, namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan’. Orang yang pikun akan berkata : ‘Wahai Rabb, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak dapat memahaminya’. Adapun orang yang mati dalam masa fatrah akan berkata : ‘Wahai Rabb, tidak ada satu pun utusan-Mu yang datang kepadaku’. Maka diambillah perjanjian mereka untuk mentaati-Nya. Diutuslah kepada mereka seorang Rasul yang memerintahkan mereka agar masuk ke dalam api/neraka”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 41; shahih].
Yaitu, orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk neraka setelah diuji oleh Allah ta’ala di hari kiamat, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsiir rahimahullah [Al-Aayaatu wal-Ahaadiitsu wal-Aatsaar Al-Waaridah fii Ahlil-Fatrah oleh Marwaan bin Ahmad Al-Hamdaan, hal. 251; thesis Univ. Ummul-Qurraa’, tahun 1411].
Oleh karena itu, hadits Anas tetap dapat dijamak dengan ayat yang dipertentangkan bersamaan dengan hadits Al-Aswad bin Sarii’radliyallaahu ‘anhumaa ini.
Tidak ada satu hal pun yang menyebabkan hadits Anas ini cacat lagi dla’iif sebagaimana Pembaca dapat lihat.
Kesimpulannya : Riwayat ini shahih, para perawinya tsiqaat, sanadnya bersambung, dan tidak ada syudzuudz ataupun ‘ilat.

Wallaahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Generasi Rawan Lupa, Servis dalam Rumah Tangga

10 Hal Romantis Rasulullah yang Ditinggalkan Generasi  Now Rumah tangga Rasulullah SAW luar biasa. Rasulullah SAW dan istri-istriny...