VIVA.co.id –
Indonesia kembali mencalonkan diri menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk periode 2019-2020.
Berdasarkan catatan, setidaknya Indonesia sudah tiga
kali menjadi anggota tidak tetap. Yaitu, masa Presiden Soeharto 1973-1974 dan
1995-1996, serta era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2007-2008.
Tiga kali terpilih menunjukkan pengakuan masyarakat
internasional terhadap peran Indonesia dalam menciptakan keamanan dan
perdamaian di tingkat kawasan maupun global.
Selama ini DK PBB 'hanya' beranggotakan 15 negara, di
mana lima di antaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris,
Rusia, China, dan Prancis. Sementara itu, yang sepuluh adalah anggota tidak
tetap yang dipilih setiap tahun, dan keanggotaannya diberikan selama dua tahun.
Untuk dapat terpilih menjadi anggota tidak tetap DK
PBB dibutuhkan dua pertiga suara dari keseluruhan 193 negara anggota PBB yang
memiliki hak pilih.
Dalam visinya, Indonesia ingin mewujudkan pengiriman
4.000 personel pasukan keamanan perdamaian (peacekeepers) pada
2019. Hal ini menjadi wajar lantaran Indonesia merupakan salah satu negara
penyumbang pasukan perdamaian terbesar, yaitu di peringkat 11.
Bahkan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, sampai harus
melakukan rapat terbatas (ratas) dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan, Wiranto terkait strategi kampanye agar Indonesia masuk menjadi
anggota tidak tetap untuk kali keempatnya.
"Jika rangkaian secara langsung tidak. Tetapi
kita konsisten mengenai kontribusi kita," kata Retno di kantor
Menkopolhukam, Jakarta, Senin, 5 Desember 2016.
Kontribusi Indonesia dalam pasukan perdamaian PBB
menjadi salah satu yang terbesar. Dengan kontribusi ini, Indonesia ingin
mempunyai posisi strategis dalam kancah internasional.
"Dan kontribusi yang sudah kita lakukan, tidak
salah kalau kita kapitalisasi untuk dijadikan pendukung atau aset di dalam
perjuangan untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB," tuturnya.
Retno menambahkan, bila membicarakan aset diplomasi
dalam hal ini pasukan perdamaian PBB, maka kontribusi Indonesia di dalam misi
perdamaian dunia menjadi salah satu aset yang sangat kuat.
"Isu toleransi, pluralisme, modernisme itu 'DNA'
kita. Tapi 'DNA' itu tak banyak dimiliki negara lain," kata mantan Duta
Besar RI untuk Belanda ini.
Reformasi PBB
Saat mengikuti Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat,
pada 23 September lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, tidak sekadar menjadi anggota tidak tetap, Indonesia
secara konsisten mendorong reformasi di tubuh PBB.
"Tidak hanya Indonesia, mayoritas negara anggota
sangat setuju kalau PBB direformasi. Contohnya dalam hal kewenangan seperti hak
veto," ujar JK.
Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar
Negeri, Hasan Kleib mengatakan, PBB harus mempertimbangkan kebijakan pemberian
insentif bagi negara penyumbang pasukan, dan seraya menggarisbawahi pentingnya
perspektif regional untuk mendukung Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) PBB.
"PBB harus mencari cara yang efektif dalam kerja sama antara Dewan Keamanan dan Sekretariat serta negara penyumbang pasukan pemeliharaan perdamaian," kata Hasan.
"PBB harus mencari cara yang efektif dalam kerja sama antara Dewan Keamanan dan Sekretariat serta negara penyumbang pasukan pemeliharaan perdamaian," kata Hasan.
Selain itu, terdapat sejumlah hal pokok yang
ditekankan oleh Hasan, yaitu pentingnya mewujudkan seluruh komitmen
negara-negara anggota PBB pada 2017.
"Itu termasuk melalui komitmen PBB dalam menjamin
keterwakilan yang proporsional bagi negara penyumbang pasukan. Selain itu,
untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas dan pelatihan personel pasukan
perdamaian," katanya.
Sementara itu, Wakil Tetap Indonesia Untuk PBB di New
York, Dian Triansyah Djani, menjelaskan kalau Indonesia juga penggagas berbagai
pertemuan dan ide-ide terkait pembangunan dan perubahan iklim.
"Tentunya kita optimististis. Indonesia adalah
negara yang toleran dan memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Kita
juga memiliki banyak pengalaman dalam berbagai misi PBB, seperti misi
perdamaian sejak 1950-an," ungkap Dian.
Ia menambahkan, pemilihan anggota DK PBB akan
dilakukan pada Juni 2018. Indonesia harus bersaing dengan Maladewa untuk
memperebutkan satu kursi yang dialokasikan bagi negara Asia Pasifik.
Kampanye tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh,
tidak saja Kementerian Luar Negeri, tapi juga berbagai lembaga yang bisa memberikan
citra positif Indonesia seperti Kementerian Pariwisata.
"Jadi proses ini masih panjang. Kita harus
mendekati 193 negara anggota PBB untuk memberikan dukungan. Kita juga
mengampanyekan Indonesia sebagai true
partner for peace and security," tuturnya. Menurut dia,
ada beberapa negara yang telah menyampaikan dukungan, dan diharapkan
ditindaklanjuti melalui dukungan tertulis.
Negara-negara yang menyatakan dukungannya untuk
Indonesia yakni Asosiasi Negara-negara di Kawasan Samudera Hindia (IORA) yang
jumlahnya 21 negara, MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki,
Australia), Uruguay, Kanada, dan Rumania.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar