Jumat, 23 Desember 2016

POLA MAKAN ISLAMI



Diriwayatkan dari Miqdan bin Ma’di Kariba RA, Rasulullah bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
"Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan" [HR Ibnu Majah]

Catatan:

Islam sebagai agama yang bersumber dari sang pencipta manusia bahkan alam semesta, memberikan ajaran holistik yang meliputi segala sendi kehidupan dan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengurus ibadah dan amal shalih akan tetapi islam juga memperhatikan urusan makan dan makanan. Bahkan urusan makanan lebih didahulukan daripada urusan amal shalih. Hal ini dikarenakan urusan makanan dalam islam tidak hanya urusan dunia tapi ia juga merupakan urusan akhirat.

Al-Ghazali menceritakan perihal dua orang yang bersahabat dalam jangka waktu yang lama, yakni Yahya bin ma’in (158 – 233) dan Ahmad ibnu hanbal (164 - 241 H). Namun suatu ketika Ahmad menjauhi Yahya karena ucapannya mengenai makanan, yaitu:
إني لا أسأل أحدا شيئا، ولو أعطاني الشيطان شيئا لأكلته
“Aku tidak pernah meminta makanan apapun dari seseorang namun jika aku diberi suatu makanan oleh syetan maka aku akan memakannya”.

Merasa ada yang salah dengan ucapannya, Yahya akhirnya meminta maaf kepada sahabatnya dan ia beralasan bahwa ucapannya itu hanya gurauan saja. Ahmad berkata : “Apakah kau bersenda gurau dalam urusan agama? Tahukah kau bahwa urusan makan itu lebih didahulukan oleh Allah daripada amal shalih? Lihat firman Allah :
كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih [QS Al-Mu’minun : 51]
(dengan mendahulukan perintah makan barulah kemudian perintah mengerjakan amal shalih). Dan dalam khabar disebutkan :
أنه مكتوب في التوراة: " من لم يبالي من أين مطعمه لم يبالي الله من أي أبواب النيران أدخله
Sesungguhnya dalam kitab taurat disebutkan “barang siapa yang tidak memperhatikan dari mana makanannya maka Allah tidak akan memperhatikannya dari pintu mana ia akan dimasukkan ke neraka”. [Ihya Ulumuddin]

Dalam riwayat lain disebutkan :
والذي نفس محمد بيده ، إن العبد ليقذف اللقمة الحرام في جوفه ما يتقبل منه عمل أربعين يوما ، وأيما عبد نبت لحمه من السحت والربا فالنار أولى به
Demi Allah, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.” [HR Thabrani]

Berbicara mengenai Pola Makan (Food Pattern) dalam ajaran islam maka pertama kali yang diperhatikan adalah mengenai status makanan yakni halal haramnya barulah kemudian membicarakan makanan bergizi dan pola mengkonsumsinya. Hal ini dikarenakan Allah swt mengedepankan kata halalan daripada pada kalimat thayyiban dalam firman-Nya :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu[QS Al-Maidah : 88]

Makanan dikatakan halal jika memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memperolenya, dan halal cara pengolahannya. (1) Halal zatnya maksudnya makanan tersebut telah di tetapkan kehalalannya dalam al-qur’an dan al-hadist seperti daging sapi, apel, kurma, kopi dll. (2) Halal cara pengolahannya seperti disembelih dengan cara syar’i dan dicampur dengan bumbu yang berasal dari makanan yang haram seperti minyak babi dll. (3) Halal cara memperolehnya, yakni makanan yang diperoleh atau dimiliki dengan cara yang baik dan sah seperti makanan didapat dengan cara membeli, diberi hadiah, bukan dengan cara mencuri, merampas dll.
Selanjutnya, makanan yang dikonsumsi haruslah thayyiban yang arti letterlijknya adalah baik. Ibnu Katsir menafsiri kata thayyiban dengan :
مستطابا في نفسه غير ضار للأبدان ولا للعقول
Makanan yang baik secara dzatiahnya (bergizi), tidak membahayakan kesehatan fisik maupun akan pikiran. [Tafsir Ibnu Katsir]

Makanan yang halal seperti daging, gula, kacang boleh jadi tidak thayyiban bagi penderita darah tinggi, diabetes dan asam urat. Meskipun pada dasarnya semua jenis makanan itu dibutuhkan oleh tubuh namun karena kadar yang sudah berlebihan maka hal itu akan menjadikan efek negatif. Petatah barat mengatakan “You Are What You Eat” (Anda adalah apa yang Anda makan). Harits bin Kaldah berkata :
المعدة بيت الداء، والحمية رأس الدواء
Perut adalah rumah penyakit sedang tidakan pencegahan (preventif) adalah obat yang paling utama.
الذي قتل البرية، وأهلك السباع في البرية، إدخال الطعام على الطعام قبل الإنهضام.
Yang membuat manusia meninggal, dan menjadikan biantang buas mati di daratan adalah memasukkan makanan di atas makanan sebelum makanan itu tercerna dengan baik (kekeyangan).

Dan penelitian membuktikan bahwa berkumpulnya berjenis-jenis makanan dalam perut akan menyebabkan datangnya bermacam-macam penyakit. Dari sinilah, pola makan islami selanjutnya adalah tidak berlebihan. Allah swt berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, kenakan pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang belebih-lebihan.” [QS Al A’raf : 31]

Secara maksimal, pola makan adalah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan sebagaimana hadits utama di atas.

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits utama diatas dengan mengatakan bahwa hadits tersebut merupakan pokok yang mengumpulkan semua dasar-dasar kedokteran. Yahya Ibnu masawaih (777 – 857 M) dokter ternama khilafah abbasiyah ketika membaca hadits utama tersebut berkata:
لو استعملَ الناسُ هذه الكلمات ، سَلِموا مِنَ الأمراض والأسقام ، ولتعطَّلت المارستانات ودكاكين الصيادلة

Seandainya semua orang mengamalkan hadits ini maka mereka akan selamat dari berbagai penyakit sehingga rumah sakit dan toko obat (apotek) akan sepi.  [Jami’ul Ulum Wal Hikam]

Makan atau dalam keadaan kenyang dalam sesekali waktu diperbolehkan jika tidak dijadikan suatu kebiasaan. Suatu ketika Rasul membagi-bagikan minuman susu kepada seluruh Ahlush Shuffah hingga menreka semua kenyang. Lalu Beliau memandangku sambil tersenyum dan bersabda,”Wahai, Abu Hirr! Tinggal aku dan kamu (yang belum minum). Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau SAW. bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkan kepadaku minum, sehingga aku berkata,
لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا
”Cukup. Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku”.

Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau SAW memuji Allah dan meminum susu yang tersisa. [HR Bukhari]

Rupanya inilah semua kunci kesehatan Nabi dan para sahabat saat itu yang mestinya kita teladani. Burhanuddin al-halabi menceritakan bahwa Seorang Muqauqis (pembesar mesir) mengirim hadiah dan (termasuk didalamnya) seorang dokter. Rasul berkata kepada dokter tersebut :
ارجع إلى أهلك نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
Pergilah ke keluargamu karena kami adalah kaum yang tidak makan kecuali dalam keadaan lapar dan jika makan maka kami tidak sampai kenyang.[Sirah Halabiyah]

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk meneladani uswah beliau dalam pola makan sehingga kita selamat dunia akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Generasi Rawan Lupa, Servis dalam Rumah Tangga

10 Hal Romantis Rasulullah yang Ditinggalkan Generasi  Now Rumah tangga Rasulullah SAW luar biasa. Rasulullah SAW dan istri-istriny...